THE RICHMAN

The Richman - George



The Richman - George

0Pria muda itu benar-benar tengah berusaha mati-matian untuk menipu dirinya. Menggunakan Ellyn sebagai subsider untuk ketidakhadiran Ella di konser, dan yang dia rasakan adalah meskipun suasana begitu ramai, George merasa kosong. Mati-matian dia mengelabuhi Ellyn dan dirinya sendiri selama konser berlangsung.     

Setelah konser Ellyn langsung kembali ke istana dengan pengawalnya sementara George mampir ke sebuah coffee shop, dia duduk sendiri di sana dan merenungkan semua yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi putera tunggal dari Adrianna dan Aldric, memiliki cukup banyak uang untuk di hamburkan, dan sekarang yang tersisa hanyalah sebuah penyesalan. Mengapa dia memilih untuk kuliah di UK dan bukannya di Amerika sementara di negeri Paman Sam itu begitu banyak universitas yang juga tidak kalah baik dari tempatnya menempuh pendidikan saat ini.     

George terkenang malam itu, sebelum dia kembali ke UK keesokan paginya dia sempat mengobrol dengan ayahnya.     

"George . . . bagaimana kuliahmu?" Itu lah kali pertama selama dua minggu terkahir di rumahnya, Aldric benar-benar menyempatkan diri untuk bisa mengobrol dengan puteranya itu.     

"Good." Jawab George, jawaban yang sebenarnya sangat normatif.     

"Kau berkencan dengan seorang gadis?" Tanya Aldric tiba-tiba dan itu membuat George cukup terkejut, tidak pernah ada pembicaraan sentimental bahkan sejak George pergi ke UK untuk kuliah.     

"Ya, tidak mengencani lebih tepatnya, berteman." Ujar George, dia tampak sibuk mendeskripsikan hubungan yang tepat dengan Ella, atau Ellyn.     

Aldric menuang wine dalam gelas lalu menyodorkannya pada sang putera "Hanya satu gadis?"     

"Dia tidak membalasnya." Ujar George setelah menyesap minuman dalam gelasnya, dan ayahnya tampak tersenyum.     

"Ini pertama kali kau ditolak oleh seorang gadis?" Aldirc menyipitkan matanya ke arah sang putera.     

"Ya." George mengangkat alisnya.     

"Dan kau semakin penasaran dengannya?"     

"Mungkin." George menghela nafas dalam, dia menuang kembali wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong.     

"Terkadang kita harus belajar merelakan, son." Aldirc menatap ke arah sang putera dan raut awajah George menjadi muram. "Entahlah Dad, aku belum berencana untuk menyerah."     

Aldric mengalihkan perhatiannya pada sang putera. "Dia menyukai pria lain?"     

"Ya." Angguk George pasrah.     

"Lebih matang, lebih mapan dan lebih tampan darimu?" Goda Aldric pada sang putera.     

"Dua point di depan mungkin ya, tapi yang ketiga kurasa aku lebih tampan." George membalas kalimat ayahnya dengan nada candaan yang sama.     

Aldric tersenyum. "Kemapanan dan kematangan bisa membuat ketampanan seorang pria meningkat ribuan kali lipat. Dan jika kau kalah dalam dua point di atas, mungkin daddy bisa menyebut pria itu lebih tampan darimu."     

"Mengapa wanita lebih suka yang mapan?" Tanya George pada sang ayah, mungkin dengan usia yang sudah sangat dewasa dan pengalaman yang dijalaninya selama ini, Aldric memiliki jawaban untuk pertanyaan yang menggantung di benak George selama ini.     

Aldric menghela nafas dalam, "Tidak semua wanita seperti itu, Geroge." Aldric memulai penjelasannya.     

"Tapi jika gadis yang kau sukai seperti itu, mungkin dia membutuhkan sosok yang bisa mengayominya, laki-laki yang memiliki power yang besar, Jika kau menginginkan gadis itu, be the one." Aldric menepuk pundak puteranya itu. "Come on, my son." Sang ayah berusaha menumbuhkan kembali keceriaan di wajah sang anak, tapi tampaknya sia-sia, George justru terlihat lebih murung.     

"Jika ini soal usia, aku tidak akan pernah bisa mengalakan pria itu Dad." Protesnya.     

"Kemapanan dan kematangan tak melulu di tentukan oleh usia." Aldric tersenyum pada puteranya, "Kau bisa memulainya dari sekarang." Ujar sang ayah.     

"Show me the way." Pinta George.     

"Kau sangat menyukai apa yang kau pelajari sampai kau pergi ke negara lain untuk belajar, mengapa kau tidak meulai untuk merintis usahamu, dan aku akan menjadi investor pertamamu jika memang project yang kau kerjakan sangat bagus, and it can impress me." Ujar Aldric.     

George tersenyum, seolah baru saja menemukan terang setelah begitu panjang perjalanan penuh kegelapan yang dia lalui.     

"Tapi ingat Son, tidak ada yang instant di dunia ini. Semua butuh proses, bahkan makanan paling instantpun perlu di buka dari pembungkusnya sebelum kau makan, jadi nikmati saja prosesmu. Dan George Bloom yang ku kenal bukanlah pria yang mudah menyerah hanya karena di tolak oleh seorang gadis." Aldric tersenyum kemudian meninggalkan puteranya.     

Dan saat ini, sembari menikmati kopinya, sendiri, di tengah rintik hujan yang turun di luar coffee shoop, George mempertimbangkan semuanya. Dia berpikir bahwa kuliah di UK akan menjadi pengalaman menyenangkan, dia akan memiliki banyak teman, sibuk dengan kuliah dan hang out, party dan semua keseruan layaknya mahasiswa, tapi entah mengapa dia menjadi sangat antusias pada seorang gadis dan bukannya kuliahnya.     

Setelah mengenang soal ayahnya, mendadak ingatan Aldric dibawa pada pertemuannya dengan Sheina, meski baru berpisah hampir enam bulan lamanya tapi Sheina tampak tumbuh begitu cepat. Saat ini dia sudah menjadi remaja cantik yang begitu mandiri. Dia mengurus dirinya sendiri setelah kepergian ibunya dan Ben, ayahnya adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Sheina.     

"Aku minta maaf karena hari itu aku tidak berada di sini bersamamu." Sesal George saat mengenang bibinya Leah. "Dia wanita yang hebat, dan sangat berbarti bagiku juga." Ujarnya.     

"It's ok." Sheina tersenyum. "I'm proud of her." Ujar Sheina.     

"Me too." Jawab George.     

"Bagaimana sekolahmu?" Tanya George mencoba mengalihkan pembicaraan.     

"Fine." Sheina tersenyum sekilas.     

"Kau bisa mengatasi semuanya sendiri, kau yakin?" Tanya George.     

"Sudah beberapa bulan, dan aku sudah mulai terbiasa dengan semuanya." Jawab Sheina.     

"Good." George tersenyum, "Jika kau membutuhkanku, kau bisa menghubungiku kapanpun." George meyakinkan dan Sheina hanya mengangguk.     

"Kau terlihat lebih pendiam." George menatap dalam pada gadis remaja itu.     

Sheina tertunduk, dari balik bulu matanya dia menatap George, "Kau yang sudah lupa seperti apa diriku." Ujarnya.     

"Maafkan aku Sheina." George meraih tangan sepupunya itu dan mengenggamnya. "Aku berpikir untuk kembali ke Amerika dan kuliah di sini." Ujar George spontan.     

"Really?" Tapi tanggapan Sheina justru sebaliknya, dia sangat antusias.     

"Kau setuju jika aku melakukannya?" Tanya Geroge dan gadis itu tersenyum malu-malu. "Itu terserah padamu, aku akan mendukungmu. Aku selalu berharap yang terbaik untukmu George."     

"Thanks." George tersenyum pada sepupunya itu. "Kau berkencan dengan teman sekolahmu?" Tanya George konyol dan itu membuat wajah Sheina kembali bersemu merah.     

"No." Gelengnya.     

"Really?"     

"Ada yang mendekatiku, tapi aku tidak menyukainya."     

"Why?"     

Sheina bergidik, "Karena dia terlihat seprerti bad boy." Ujarnya.     

"Bad boy?" Alis George bertekuk dan entah mengapa obrolan semacam ini, yang terdengar begitu remaja justru diminati oleh Sheina dan dia antusias untuk mengatakan banyak hal meski sejujurnya belakangan ini dia lebih banyak menyimpannya sendiri dalam hati.     

"Saat kami kelas satu dia sering membulyku." Ujarnya.     

"Dan sekarang?"     

"Dia masih membulyku di depan teman-temannya, tapi di belakang mereka dia mendekatiku. Terkadang aku bingung harus bagaimana." Jujurnya dan itu terdengar seperti tamparan bagi George Bloom. Remaja itu benar-benar persis seperti dirinya saat George duduk di bangku SMA, dengan pesona bad boy namun memiliki kecerdasan yang begitu baik, Geroge berhasil membuat banyak gadis terpesona olehnya. Dan sekarang, George bahkan kehilangan jatidirinya. Dia tampak seperti pria pada umumnya, yang menyukai wanita tapi tak memiliki banyak pesona.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.