THE RICHMAN

The Richman - Broken Wings



The Richman - Broken Wings

0Pagi ini Aby masuk ke kamar majikannya itu untuk membangunkan Christabell dan mengajaknya jalan-jalan menikmati matahari pagi dan sedikit udara segar, lalu memandikannya dan memberikannya sarapan juga vitamin. Namun sudah memanggil-manggil namanya beberapa kali dan Christabell tampak tak merespon sama sekali. Aby segera memanggil anggota keluarga yang lain sementara Richard tampak sedang berada di ruang makan untuk memakan sarapannya.     

Richard yang panik segera masuk ke kamar dan berusaha membangunkan isterinya. Bahkan sepuluh menit lalu sebelum Richard keluar kamar, dia masih sempat duduk di tepi ranjang dan memengang tangan Cristabell sembari memastikan bahwa isterinya itu masih bernafas dengan baik karena sejak semalam dia mengatakan bahwa dia merasa dirinya kepanasan.     

"Honney . . ." Richard mengguncangkan tubuh kurus Christabell tapi tak ada respon, Richard bahkan sempat memeriksa denyut nadi dari leher Christabell dan masih ada denyutnya.     

"Kita bawa kerumahsakit sekarang." Richard segera meminta bantuan untuk mengangkat Christabell ke mobil dan membawanya kerumahsakit terdekat. Sesampai di emergency unit, Christabell langsung dipindahkan ke ICU untuk memberikan perawatan yang lebih maksimal.     

Wajah Richard pucat pasi sementara tangannya yang gemetar berusaha menghubungi anak-anaknya. Adrianna dan Aldric bergegas menuju rumahsakit, air mata Adrianna bahkan sudah berderai sejak dia menerima telepon dari ayahnya. Begitu juga dengan Ben dan Leah, harus beberapa kali mencoba menghubungi Ben dan Leah karena mereka tampak bangun kesiangan hari ini. Tapi begitu bisa dihubungi dan mendapat berita bahwa ibunya dilarikan ke rumahsakit, Ben dan Leah bergegas menuju rumahsakit tempat ibunya di rawat.     

Kini mereka berlima berada di lorong ruang tunggu ICU, tempat Christabell mendapatkan perawatan dari beberapa tenaga medis yang langsung memeriksa keadaan Christabell secara menyeluruh. Richard duduk pasrah diluar dengan wajah pucat sementara Adrianna memegangi tangannya. Leah dan Ben berdiri dengan wajah cemas. Dan Aldric duduk di dekat isterinya.     

Tak lama salah satu dari tim dokter datang dan menghampiri mereka.     

"Mr. Richard Anthony." Dia menghampiri Richard, sebenarnya dokter Mark adalah salah satu dokter yang selama ini memantau kondisi Christabell selama melakukan rawat jalan. Richard bangkit dari tempatnya duduk dan dengan cemas berharap ada keajaiban untuk isterinya itu. Kondisi semacam ini sudah di prediksi mungkin terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, tapi Christabell tampak begitu sehat akhir-akhir ini, hingga Richard tidak menyangka perburukan kondisi isterinya terjadi begitu cepat.     

"Apakah mungkin ada keajaiban?" Tanya Richard.     

Sang dokter menghela nafas dalam. "Kondisinya sangat kritis, penyempitan pembuluh darah otak terjadi begitu drastis jika dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu saat anda terakhir membawanya kerumahsakit untuk melakukan check up." Ujar sang dokter dengan wajah penuh empaty.     

Richard membeku mendengar berita itu, jantungnya seolah berhenti berdetak seketika dan seperti seorang malaikat yang hakikatnya memiliki dua buah sayap, Richard merasakan kesakitan yang begitu besar seolah salah satu sayapnya dipatahkan paksa hingga berdarah-darah.     

"Semoga ada keajaiban, kita terus berusaha dan berdoa." Dokter menepuk pundak Richard dengan lembut untuk memberinya kekuatan sebelum meninggalkan lorong disusul dengan tim dokter lainnya, menyisakan Christabell dengan berbagai alat bantu di dalam ruang ICU. Dari kaca luar bisa diliat keadaan Christabell namun tak seorangpun kecuali tim medis yang diperbolehkan masuk ke dalam.     

Richard dengan susah payah menyeret langkahnya mendekat ke arah kaca dan menempelkan tangannya di dinding kaca itu seolah dia sedang menyentuh wajah isterinya. Air matanya berjatuhan, dia benar-benar terluka melihat isterinya seperti itu dan dia tak berdaya untuk menolongnya sama sekali. Adrianna menangis terisak dalam pelukan suaminya sementara Ben menghampiri ayahnya dan mengusap-usap punggung ayahnya.     

"I love your mommy so much . . ." Bisik Richard dengan suara yang bergetar.     

"I know dad, we love her so much." Ben berusaha memberikan dukungan untuk ayahnya meskipun hatinya juga terluka mendengar apa yang dokter katakan. Bagi Ben, ibunya adalah orang yang selalu hadir dalam setiap moment kehidupannya, membelanya dalam segala hal, memanjakannya dengan begitu besar bahkan selalu menjadi penengah antara dirinya dan sang ayah setiap kali terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.     

"Berjuanglah sedikit lagi, . . ." Richard berbisik seolah tengah mengatakan langsung pada sang isteri, sementara Christabell berbaring dalam kedamaiannya.     

"Duduklah Dad, . . ." Ben menyarankan ayahnya untuk duduk tapi Richard menolak, dia justru meminta Ben untuk menemani isterinya. "Temani isterimu, aku baik-baik saja." Bohongnya. Ben menoleh pada Leah dan memilih untuk mendekati isterinya itu sementara Aldric masih memeluk Adrianna yang belum bisa mengendalikan tangisnya.     

Suasanya menjadi begitu menyedihkan di lorong itu, tempat Christabell di rawat sendiri, terpisah dari pasien-pasien lainnya. Richard masih berdiri, kali ini dia melipat tangannya di dada. Ingatannya terseret pada suatu malam dimana mereka baru saja menyelesaikan makan malam, merayakan ulang tahun Christabell.     

"Apakah aku sudah terlihat tua?" Tanya Christabell.     

"Tidak." Geleng Richard sembari menyetir sendiri mobilnya.     

Christabell mengkerutkan alisnya, dia bahkan tampak manyun. "Harusnya kau berkata jujur Rich." Protesnya.     

"Bagiku kau selalu cantik sayang, seperti saat pertama kita bertemu. Aku selalu melihatmu seperti itu." Jawab Richard.     

Christabell menghela nafas dalam, "Apa aku akan hidup sampai tua Rich?" Tanyanya tiba-tiba.     

"Hei . . . mengapa kau sedih di hari ulangtahunmu. Seharusnya kau bahagia sayang, apa kadonya kurang?" Goda Richard, dia meraih tangan Christabell dan mengecupnya.     

"Ini bukan soal kado, tapi kau tahu kan ibuku meninggal karena penyakit mengerikan itu. Setiap hari aku ketakutan jika aku akan berakhir sepertinya." Jawab Christabell murung.     

"Itu tidak akan terjadi." Richard meraih tangan isterinya itu sekali lagi dan meremasnya lembut.     

Christabell menoleh ke arahnya, "Bagaimana jika aku meninggal lebih dulu darimu?" Tanya Chrstabell, pertanyaan aneh itu membuat Richard mengkerutkan alisnya dalam dan menatap isterinya.     

"Mengapa mendadak kau memikirkan hal seperti itu?" Tanya Richard.     

Mata Christabell berbinar, "Mungkin sebaiknya aku meninggal lebih dulu darimu jika aku tua nanti, setidaknya itu akan lebih baik bagiku."Christabell tersenyum di ujung kalimatnya.     

"Mengapa kau begitu kecam, apa kau pikir aku bisa hidup tanpamu jika kau meninggal lebih dulu?" Protes Richard.     

"Aku juga tidak bisa hidup tanpamu Rich, aku tidak akan bisa hidup tanpamu." Christabell berkaca saat mengatakannya. "Mungkin akan lebih adil jika kita mati bersama."     

Richard menghela nafas dalam, "Bagimana dengan anak-anak jika kita mati bersama?"     

"Kalau begitu biarkan aku dulu, kau jaga anak-anak. Kau lebih bisa menjaga mereka tanpaku dibandingkan aku tanpamu." Chrsitabell memberikan usul dan Richard tersenyum.     

"Kau dan aku akan hidup selamanya." Richard tersenyum, dia benar-benar tidak bisa membiarkan pikiran isterinya itu semakin liar.     

Richard terbangun dari lamunannya, dia bergumam dalam hati, "Apa kau benar-benar akan meninggalkanku sendiri sekarang?" Gumamnya dalam hati, tangannya meyentuh dinding kaca itu sekali lagi seolah dia bisa menyentuh wajah isterinya itu dari luar dinding kaca.     

***     

Christabell merasa dia sekarang ini berada di tengah-tengah teman-temannya di panti asuhan dan melakukan berbagai aktifitas hariannya hingga kedatangan seorang wanita berambut coklat yang di sanggul, wanita itu berbicara dengan ibu asrama dan memilih Chirstabell untuk ikut bersamanya. Seolah mengingat semuanya, semua memory bahkan puluhan tahun lalu saat dia memulai kehidupannya di The Ritz, bagaimana pertemuannya dengan Richman, dan bagaimana akhirnya mereka jatuh hati.     

Lalu potongan ingatan itu berganti dengan senyum ibunya, Layla Stone.     

"Honney . . ." Layla membuka tangannya dan Christabell yang begitu merindukan ibunya itu memeluk wanita itu.     

"Mom . . ." Jawabnya.     

"Follow me." Layla tersenyum saat memberikan ajakan itu. Tapi di kejauhan dia mendengar tangis anak-anak.     

"Sepertinya aku mendengar Ben dan Adrianna menangis." Tolak Christabell.     

"Richard bisa menangani mereka." jawab Layla.     

Christabell terdiam beberapa saat, "Bisakah aku menemui Richard sekali lagi sebelum kita pergi?" Tanya Christabell dan Layla menggeleng.     

"Kau sudah terlalu lelah, ini waktunya kau beristirahat sayang." Jawab Layla.     

"Mom . . ." Christabell masih merasa ada yang berat, dia tidak ingin ikut dengan ibunya itu. "Aku akan menyusul." Jawab Christabell.     

Layla mengangguk sedih, dan wanita itu berjalan meninggalkan Christabell di sebuah ruangan gelap seperti sebuah kamar tanpa jendela, hanya ada satu pintu tempat Layla keluar. Christabell terlihat kebingungan dengan keputusannya, apakah dia akan ikut dengan ibunya atau mencari jalan lain untuk bisa menemui anak dan suaminya.     

Dalam ingatannya itu, Christabell melihat dirinya seperti baru berusia tigapuluhan tahun, dimana waktu itu Adrianna masih berusia sekitar sepuluh tahunan dan Ben masih kecil.     

"Aku harus menemui anak-anakku." Gumamnya dalam hati, tapi dia juga begitu ingin mengejar ibunya itu. Tapi tidak ada pintu lainnya selain pintu keluar yang dilewati ibunya tadi.     

"Apa tidak ada pintu lain?" Christabell meraba ke seluruh dinding yang gelap dan semakin jauh dia berjalan dinding itu seolah tak bertepi dan saat menoleh pintu itu sudah begitu jauh. Chrisatabell menghentikan langkahnya, ada dorongan untuk berbalik ke arah pintu atau berjalan terus melewati kegelapan yang tak bertepi itu.     

Sekali lagi dia mendengar tangisan Ben dan Adrianna, hingga Christabell memilih untuk menembus kegelapan itu, semakin jauh, semakin jauh hingga saat dia menoleh sekali lagi tidak ada pintu di belakangnya. Terlalu jauh dan sudah terbungkus kegelapan. Christabell melanjutkan langkahnya lagi menembus kegelapan, mengikuti arah datangnya suara tangsisan anak-anaknya. Hingga dia melihat ada titik putih di kejauhan, sangat kecil.     

Kali ini Christabell bukan saja berjalan tapi dia berlari menuju ke titik itu, terus berlari hingga dia hampir kehilangan tenaga dan titik putih itu tampak masih sangat jauh. Semakin Christabell berlari ke arahnya, titik itu semaki besar kini, semakin besar dan besar dan mendadak seolah titik itu yang menghampirinya, hingga menyilaukan matanya.     

"She's open her eye." Teriak Richard girang saat melihat dari kejauhan isterinya itu membuka mata. Ben segera berlari untuk memanggil paramedis yang berjaga di ujung lorong dan mereka segera datang untuk memeriksa kondisi Christabell.     

Sementara tangis Adrianna berganti dengna komat-kamit berisi doa-doa agar ibunya itu benar-benar kembali, begitu juga dengan Leah yang berada di pelukan Ben dan Richard yang hampir tak berkedip melihat dokter memeriksa kondisi isterinya itu. Dalam hatinya dia terus mengumamkan doa dan harapannya agar Christabell bisa kembali hidup, meskipun dia tidak akan mengingat apapun atau siapapun. Richard lebih rela menjelaskan siapa dirinya setiap hari, setiap kali Christabell membuka mata dan bertanya tentang siapa dirinya dari pada melihat isterinya berbaring tak berdaya antara hidup dan mati seperti yang terjadi beberapa jam terakhir.     

Beberapa menit kemudian dokter Mark kembali menghampiri keluarga itu, kali ini wajahnya lebih sumringah.     

"Ini keajaiban." Dia tersenyum menatap Richard dan Rich membalas senyumannya.     

"Mrs. Anthony adalah wanita yang kuat, dia tidak menyerah begitu saja." Imbuhnya. "Bersabarlah sedikit lagi sampai kondisinya benar-benar stabil. Kami akan terus memantau keadaannya.     

"Thanks." Jawab Richard.     

Dokter Mark berlalu, sementara ada satu dokter yang berjaga di dalam ruangan dan satu perawat yang masih melakukan pemeriksaan. Beberapa menit kemudian mereka meninggalkan Christabell kembali, sendiri di dalam ruangan. Dengan lemah Christabell menoleh ke arah dinding kaca dan melihat suaminya berada di luar sana. Richard tersenyum lebar dengan air mata bercucuran melihat isterinya itu.     

"Kau berhasil sayang, kau kembali." Bisik Richard dan air mata di sudut mata Chrsitabell jatuh.     

"Istirahatlah, aku tidak akan pergi kemanapun." Richard mengatakan itu tanpa suara, dia yakin benar bahwa Christabell bisa membaca gerak bibirnya. Wanita itu kembali ke posisi menghadap ke langit-langit dan memejamkan matanya lagi.     

"Dad, sebaiknya Daddy turun untuk makan siang." Ben meminta ayahnya untuk beristirahat, berada dalam situasi menegangkan seperti tadi dalam keadaan perut kosong jelas tidak baik bagi kesehatan ayahnya di usianya yang tak muda lagi.     

"Kalian saja, daddy masih ingin di sini menemani mommy." Jawabnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.