THE RICHMAN

The Richman - Sabotage



The Richman - Sabotage

0Hari ini Adrianna dengan sengaja pergi ke rumah barunya yang tengah dibangun oleh arsitek nakal yang tengah berusaha menggoda suaminya, Alexandra Cameroon. Semalam Adrianna sudah berbicara dengan Aldric, semua urusan rumah baru akan menjadi tanggung jawab Adrianna karena dia tidak ingin wanita itu memiliki akses untuk menghubungi suaminya atau sebaliknya.     

"Sayang . . ." Adrianna bergelayut di pelukan Aldric, hal ini belum lama kembali terulang setelah trimester pertama kehamilan yang cukup menyiksa karena fase penyesuaian hormonal yang bahkan membuat Adrianna tidak menyukai berada dekat dengan suaminya itu.     

"Ya." Jawab Aldric.     

Adrianna mendongak menatap suaminya itu dan Aldric membalas tatapannya, "Kau menginginkan sesuatu?" Tanya Aldric, Adrianna menggeleng. "Ini bukan soal makanan, perutku sudah sangat kenyang." Jawab Adrianna.     

"Lalu soal apa?" Tanya pria itu sabar, menghadapi ibu hamil memang gampang-gampang susah, terkadang mereka menjadi begitu penurut, namun terkadang bisa menjadi sangat menjengkelkan.     

"Soal rumah baru." Ujar Adrianna sembari menatap dalam pada sang suami, ekspresi Aldric jelas berubah seketika saat mereka membicarakan tentang rumah baru. Rumah yang sedianya akan menjadi kejutan dan hadiah untuk kelahiran putera mereka namun akhirnya justru menjadi sumber masalah yang berkepanjangan karena setiap kali mereka membahas tentang rumah, Adrianna selalu terpancing emosinya.     

"Ada apa dengan rumah itu?" Tanya Aldric, dia tampak tak lagi tertarik membahas soal rumah yang baru dibangun itu.     

"Alexandra mengabariku untuk melihat hasil akhirnya sebelum dilakukan serah terima." Ujar Adrianna, dan itu membuat alis Aldric mengkeut dalam. "Terakhir kali aku mendengar hubungan kalian sangat tidak baik." Jawab Aldric.     

"Ya, sejujurnya dia mengundangmu." Adrianna tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan kejujuran.     

"Aku bahkan tak menerima undangannya."     

"Dia datang kemarin, sekitar limabelas menit, membawa foto-foto hasil akhirn rumah dan memintamu untuk datang langsung mengecek lokasi." Adrianna mengigit bibirnya, "Tapi aku tidak suka kau bertemu dengan wanita itu." Imbuhnya sekali lagi, Adrianna tak menunggu komentar Aldric, dia lansung beringsut membalik posisinya membelakangi sang suami.     

"Jadi apa maumu sayang?" Aldric beringsut sejurus kemudian dia melilitkan tangannya di pinggang sang isteri hingga tangannya bisa menyentuh perut sang isteri. Dengan lembut Aldric mengusapnya, "Apa yang diinginkan ibumu nak, beritahu daddy." Aldric berbicara pada perut buncit Adrianna dan itu membuat Adrianna tersenyum.     

"Bagaimana jika aku saja yang pergi ke tempat itu untuk melihat-lihat rumah?"     

"Apa kau yakin untuk pergi sendiri?"     

"Ya," angguk Adrianna, die memutar lagi tubuhnya, kini dia menghadap ke arah Aldric.     

"Kau bisa menunggu sampai akhirn pekan agar kita bsia melihat rumah itu bersama?"     

"Aku bisa pergi dulu, weekend kita kesana lagi untuk serah terima." Ujar Adrianna antusias.     

"Kau sedang hamil sayang, aku tidak mau kau bekerja terlalu lelah." Aldric terdengar keberatan, tapi Adrianna meyakinkannya sekali lagi.     

"Ok, aku akan menyusulmu setelah meeting pagi." Ujar Aldric mengalah dan malam itu, untuk kali pertama mereka membahas rumah baru tanpa mengakhirinya dengan keributan.     

***     

Pagi ini dengan begitu percaya diri Adrianna menyetir sendiri kendaraannya menuju rumah barunya. Rencananya setelah dari rumah baru itu dia akan menginap di rumah ayahnya untuk menjenguk sang ibu.     

"Selamat pagi Mrs. Bloom." Sapa Alexandra Cameroon ramah saat Adrianna turun dari mobil. Adrianna sengaja memilih pakaian paling modis dengan harga mahal agar tidak tersaingi oleh Alexandra. Dia memilih atasan dari Dolce & Gabbana, flat shoe dari LV, ditambah kacamata keluaran dari merk terkenal Bvlgari woman sunglasses.     

"Hai . . ." Sapa Adrianna sembari melepas kacamata hitamnya dan menggantunya di kerah gaunnya yang begitu modis meski terlihat memiliki potongan simple.     

"Mari silahkan." Alexandra tersenyum sembari mengarahkan Adrianna untuk masuk ke pintu utama rumah megah yang dibangun suaminya itu untuknya. Dalam hati Adrianna dia tahu betul bahwa yang sedang berjalan bersamanya dengan senyum indah ini adalah ular beludak yang bisa kapan saja mematuknya, jadi yang harus dilakukan Adrianna adalah terlihat tetap tenang namun siaga, dalam waktu yang bersamaan.     

Adrianna melewati ruang tamu besar kemudian melihat ke ruang tengah, beberapa kamar tidur termasuk kamar utama, kesemuanya terasa biasa saja. Kemewahan sedemikian rupa sudah dia nikmati sejak masa kecilnya hingga tidak ada yang terasa spesial, kecuali saat dia masuk ke kamar tidur utama dan di dalam sana ada sebuah ruangan lainnya yang bersekat pintu slide yang kesemuanya terbuat dari kaca. Disanalah kamar tidur anaknya, dada Adrianna berdegup kencang saat melihat kamar itu didesign dengan begitu indah. Warna yang dipilih juga warna-warna netral karena Aldric dan Adrianna belum bisa mengetahui jenis kelamin bayi mereka di usia kehamilan yang baru menginjak empat bulan ini.     

Adrianna melangkah masuk ke ruangan bayi dan meminta Alexandra untuk meninggalkannya. Beberapa pekerja masih berada di lokasi untuk melakukan finisihing terutama untuk instalasi kelistrikan dan lain sebagainya.     

"Sayang, ini akan jadi kamarmu nanti." Bisik Adrianna dalam hati saat tangannya mengusap perut nya yang mulai membuncit meski masih sangat kecil ukurannya.     

"Mommy yakin kau akan menyukainya." Imbuhnya lagi. Dia berkeliling dan melihat ke sisi ruangan lainnya, ada sebuah jendela kaca besar yang memungkinkan putera atau puterinya nanti menikmati pemandangan diluar rumah dari dalam kamarnya.     

"Kita akan mengajak daddy untuk berbelanja perabotan kamarmu nanti ya." Kali ini Adrianna bergumam dengan suara sambil memandangi perutnya. "Mommy akan memborong semua mainan yang bagus untukmu nanti, setelah mommy tahu apakah kau perempuan atau laki-laki."     

Setelah menikmati moment di dalam kamar calon bayinya, Adrianna keluar dari kamar itu dengan perasaan yang berbunga-bunga. Dia bahkan tak sabar menunggu sampai waktu kelahiran bayinya lima bulan lagi.     

***     

Aldirc menyelesaikan rapatnya pagi ini lebih cepat karena dia sudah menerima kabar dari Adrianna bahwa isterinya itu sudah tiba di rumah baru mereka sekitar tigapuluh menit lalu. Membiarkan Adrianna dan Alexandra bertemu tanpa pengawasan orang lain hanya akan berakhir bencana, itu yang ada di dalam kepala Aldric. Maka demi keselamatan keduanya, Aldric bergegas menyelesaikan rapatnya dan menyetir sendiri kendaraannya menuju manshion yang dia bangun sebagai hadiah kelahiran bayinya nanti.     

Setibanya di mansion Adrianna dan Alexandra tampak melihat bagian depan rumah dan Aldric bisa menghela nafas lega karena mereka berdua masih bisa berdiri tegak dan penampilan mereka tidak berantakan sama sekali, itu berarti selama sekitar satu jam mereka tidak saling menendang atau menjambak satu dengan yang lainnya.     

Aldric baru saja akan keluar dari mobilnya saat terdengar bunyi yang sangat keras, seperti sebuah benda patah yang keras. Aldric dengan cepat mendorong pintu mobilnya dan bersiap berlari ke arah mereka berdua, tapi yang terlihat seolah dalam adegan slow motion adalah pipa di bagian atas jatuh ke bawah dan Alexandra mendorong Adrianna hingga wanita itu jatuh tersungkur berdua dan terhindar dari pipa.     

Aldric dengan cepat berlari ke arah mereka. Alexandra tampak terluka di bagian siku sementara Adrianna tidak mengalami luka sama sekali.     

"Sayang kau tak apa?" Aldric bertanya dengan panik, dia segera meraih Adrianna dalam pelukannya, dan Adrianna menggeleng pelan. Jantungnya masih berdebar begitu kencang, mengingat mungkin saja pipa besar itu menimpa kepalanya dan bisa berakibat sangat fatal bahkan mungkin kematian. Aldric menoleh ke arah Alexandra dan gadis itu memegangi sikunya yang terluka. Kepala proyek berlari ke arah Alexandra dan menolongnya.     

"Anda terluka." Ujar kepala proyek, namanya Robinson. Dia bergegas membawa Alexandra ketempat lain dan mengobatinya sementara Adrianna yang tadinya berniat bangun mendadak mengurungkan niatnya. Dia merasa mendadak perutnya seperti dicengkeram dengan keras hingga dia meringis kesakitan dan memegangi tangan Aldric dengan kuat.     

"Sayang, apa kau baik-baik saja?" Tanya Aldric dengan panik tapi Adrianna tak bisa menjawab. Tampaknya darah mulai merembes dari balik dress yang dikenakan isterinya itu.     

"No . . . no . . . no." Adrianna menggeleng, kemudian menangis, sejurus kemudian dia meringis kesakitan. Aldric segera membopongnya ke dalam mobil dan membawanya kerumahsakit terdekat. Begitu tiba di pintu Emergency Unit, dua orang perawat datang dengan ranjang pasien yang di dorong, namun sayang sekali, saat hendak memindahkan Adrianna dari dalam mobil, mendadak seilah ada air dalam balon yang di pecahkan, tak banyak tapi cukup banyak hingga dua orang perawat itu saling bertatapan. Aldric dengan sigap menggendong isterinya dan membaringkannya di ranjang. Dua perawat itu dengan cepat membawa Adrianna masuk untuk mendapatkan perawatan.     

Aldric dengan cemat menunggu di luar ruangan, sementara itu dia menghubungi ibunya untuk datang ke rumahsakit, jika sesuatu terjadi pada isterinya. Setengah jam kemudian Aldric diminta menandatangani dokumen pengangkatan janin di rahim isterinya karena ketubannya pecah dan pendarahan hebat terjadi. Tidak mungkin ada kesempatan untuk menyelamatkan janjin itu lagi karena dia terlalu kecil untuk bertahan.     

Ditemani sang ibu, Aldric menandatangani dokumen itu. Namun sesaat setelah membubuhkan tandatangannya, pria itu terhuyung lemah dan bersandar di dinding. Perasaannya hancur berkeping-keping, seharunya dia tidak menyetujui rencana Adrianna untuk datang sendiri ke rumah itu. Seharusnya Aldric memilih bertengkar hebat hingga Adrianna enggan melihat wajahnya tapi setidaknya semuanya tidak berakhir seburuk ini.     

***     

Perawat mendorong Adrianna keluar dari ruang Emergency Unit untuk di bawa ke ruang operasi. Disana akan dilakukan tindakan kuretase untuk membersihkan rahimnya karena bayi yang dia kandung sudah tidak bisa lagi bertahan hidup.     

Air mata Adrianna berlinangan sementara dia sudah hampir tidak sadarkan diri karena selama menunggu proses persiapan ruang operasi kontraksi terus terjadi, begitu jug dengan pendarahan yang dia alami. Proses kuretase memakan waktu kurang lebih satu jam dengan prosedur pembiusan total. Setelah Adrianna mendapatkan kembali kesadarannya dia dipindahkan ke ruangan perawatan.     

Aldric masuk dan menghampiri Adrianna, tangis wanita itu mendadak pecah dipelukan suaminya.     

"I lost him." Ucap Adrianna di tengah isakannya. "I lost him." Katanya berulang-ulang dan Aldric tidak bisa menjawab. Raut wajahnya begitu sendu, hatinya juga hancur, tapi dia tidak bisa menangis di hadapan isterinya. Sementara Jollene yang berdiri di dekat mereka juga tampak menitikkan air mata. Tak berapa lama Richard datang sendiri dan segera menghampiri puterinya itu.     

"Dad . . ." Adrianna menatap Richard dengan air mata yang membanjir, Richard tua berkaca dan segera mendekati puterinya dan memberikan pelukannya. Pelukan ayah yang hangat tak hanya menenangkan, terkadang artinya begitu dalam hingga tangis Adrianna bukannya mereda justru semakin menjadi.     

"Aku kehilangan anakku. . ." Adrianna mencurahkan semua sakit hati dan kekecewaan juga kesedihannya itu pada sang ayah. Sementara Richard tidak bisa berbuat banyak, yang bisa dia lakukan hanya berusaha membesarkan hati puterinya.     

"Sayang, yang terpenting bagi daddy, kau selamat. Daddy tahu itu berat untukmu, kami juga sedih kehilangan bayimu. Kau harus kuat." Richard memberikan kesempatan untuk Jollene memeluk menantunya itu.     

"Sayang . . ." Jollene memeluk Adrianna, sementara Richard memeluk Aldric sekilas. "Kau harus kuat." Ucap Rich singkat.     

"Sayang ini kecelakaan." Ucap Jollene dengan empaty yang begitu mendalam pada menantunya itu. "Aku pernah mengalaminya, seharusnya Aldric tiga bersaudara, tapi saat aku mengandung adiknya aku juga mengalami keguguran saat itu sayang." Ujarnya. Meskipun tak mudah bagi Adrianna tapi dia berusaha tersenyum disela-sela linangan air matanya.     

"Saat itu usiaku sudah empat puluh tahun lebih." Kenang Jollene sedih.     

"Itu kesempatan terakirku memiliki seorang anak perempuan, dan lihat setelah menunggu puluhan tahun, kini aku memilikimu anakku sayang. Meskipun kau merasa dirimu hanyalah istri dari putraku, tapi aku mencintaimu seperti putri kandungku." sekali lagi Jollene memeluk Adrianna.     

"Thank you." Bisik Adrianna.     

Sementara itu Richard memilih berbicara dengan Adric menantunya di luar ruang perawatan.     

"Bagaimana bisa ini semua terjadi?" Tanya Richard, eksprsinya jelas masih penuh dengan kesedihan.     

"Semalam dia ingin mengunjungi rumah yang sedang dibangun, aku menawarkannya untuk datang bersama tapi Adrianna memaksa ingin pergi sendiri." Aldric terlihat berat mengungkapkan semua itu.     

"Pagi itu aku ada rapat yang tidak bisa kutinggalkan, tapi setelah menerima kabar dari Adrianna bahwa dia sudah berada di rumah baru, aku segera mengakhiri rapatku dan menyulnya. Saat aku sampai di sana dan baru bersiap keluar dari mobil, sebuah pipa penyangga di bagian atas terjatuh dan hampir pengenai Adrianna." Ujar Aldric terpotong.     

"Lalu?"     

"Alexandra mendorong Adrianna agar terhindar dari pipa itu, tapi tampaknya Adrianna terjatuh dengan posisi tengkurap dengan cukup keras." Ujar Aldric berat. "Harusnya aku tidak membiarkannya pergi sendiri tadi." Sesalnya, Richard menepuk-nepuk pundak menantunya itu. Namun dalam batinnya terbersit sebuah kejanggalan.     

"Harus ada investigasi atas kecelakaan ini." Ujar Richard.     

"Apa maksudmu?" Alis Aldric berkerut dalam.     

"Jika benar itu semua murni kecelakaan, kita tentu harus merelakan semua yang sudah terjadi. Tapi bagaimana jika itu sebuah sabotase?"     

"Maksudmu ada yang berencana mencelakai Adrianna?"     

Richard tersenyum pilu, "Atau bayi kalian." Ujar Richard singakt.     

"Aku akan meminta detektif swasta kenalanku untuk meninvestigasi lokasi kejadian." Ujar Ricahrd, "Aku tidak menuduh siapapun, aku hanya tidak bisa membairkan insiden ini begitu saja, karena si pelaku mungkin mengincar nyawa puteriku." Richard masuk kembali ke ruang perawatan untuk berpamitan pada puterinya, bagaimanapun isterinya juga tengah sakit dan berada di rumah hanya dengan perawat.     

"Sayang, maaf daddy tidak bisa menemanimu sepanjang hari. Mommy di rumah bersama perawat." Ujar Richard, dia duduk di tepi ranjang perawatan puterinya.     

"Aku baik-baik saja dad." Bohongnya.     

"Aku akan kembali lagi sepceatnya." Richard mengusap punggung puterinya itu saat memberinya pelukan. "Jangan terlarut dalam kesedihan." Richard menatap mata puterinya itu saat dia memegangi wajah Adrianna dengan kedua tangannya yang hangat.     

"Ok." Angguk Adrianna meski air matanya kembali jatuh. Kali ini bukan semata soal bayinya, tapi bayi itu adalah permintaan terakhir Christabell saat dia masih sadar dan ingat tentang semua hal. Kini bahkan permintaan terakhir ibunya itu pun tak bisa dia wujudkan. "Sampaikan salamku untuk mommy." Adrianna berusaha berbicara dengan suara bergetar.     

"Pasti sayang."     

"Sorry . . ." Tangis Adrianna kembali pecah, "Bahkan permintaan terakhirnya tak bisa kuwujudkan."     

"Hei . . ." Sekali lagi Richard memeluknya dan setelah tangis Adrianna mereda, Richard baru benar-benar meninggalkan puterinya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.