THE RICHMAN

The Richman - Flight



The Richman - Flight

0Setelah menghabiskan tujuh hari di Jepang, Adrianna dan Aldric memutuskan untuk pulang ke New York. Tujuh hari penuh petualangan, mengunjungi berbagai tempat yang indah di Jepang, bercinta, dan mencicipi berbagai makanan khas Jepang yang unik dan enak. Pesawat mereka take off sekitar lima belas menit lalu. Selama empatbelas jam kemudian mereka akan terbang kembali ke New York, dengan penerbangan first class.     

"Kau menikmati perjalanan kita?" Tanya Aldric dan Adrianna mengangguk girang. Meski dia juga terlihat kelelahan tapi petualangan selama tujuh hari di Jepang benar-benar tak terlupakan. Selama ini jika liburan Adrianna selalu mengunjungi negara-negara di benua Amerika, atau Eropa, hampir tidak pernah mengunjungi benua Asia meski benua itu juga dikatakan tak kalah eksotis.     

"What about Bali?" Tanya Aldric.     

"Apa kau pernah ke sana?" Mata Adrianna berbinar.     

Aldric mengangguk, "Indonesia sungguh menakjubkan. Ada Bali, ada Raja Ampat, ada tempat-temat yang indah. You must google it first." Ungkap Aldric dan Adrianna sudah tidak sabar untuk kunjungan mereka selanjutnya.     

"Bagaimana jika kita berkeliling dunia?" Tanya Adrianna.     

"Perusahaan kita tidak bisa membiarkan kita pergi terlalu lama." Aldric menyeringai lebar dan Adrianna terlihat kesal. "Aku benar-benar ingin menjadi ibu rumahtangga biasa agar tidak perlu memikirkan perusahaan." Ujarnya kesal, dan itu membuat Aldric terkekeh.     

"Aku tidak akan memaksamu, tapi perusahaan ayahmu membutuhkanmu." Aldric mengerucutkan bibirnya. "Aku memikirkan kemungkinan untuk merger sebenarnya."     

Adrianna membeku sekilas, alisnya berkerut menatap Aldric, "Siapa mengambil alih siapa?" Tanyanya dan itu membuat Aldric mengangkat alisnya, "Merger lebih seperti dua perusahaan saling mencintai kemudian ingin hidup bersama menjadi satu, bukan siapa memakan siapa." Aldric memberikan penjelasan yang sangat sederhana dan itu membuat Adrianna tersenyum lebar.     

"Kau harus bicara pada seluruh pemegang saham untuk rencanamu itu, melalui RUPSLB." Ujar Adrianna.     

"Aku memegang tigapuluh delapan persen, kau memegang tigapuluh persen dan ayahmu tigapuluh persen, jadi sebenarnya hanya perlu kita bertiga untuk mewujudkan semuanya itu." Ujar Aldric, "Dan sekarang aku sedang berbicara dengan pemilik tigapuluh persen saham perusahaan."     

"Mengapa kau berpikir dua perusahaan harus merger sekarang?" Tanya Adrianna tiba-tiba, dia terlihat bingung dengan rencana suaminya itu.     

"Sayang, maaf. Aku tidak bermaksud meragukan kemampuanmu atau pengalaman ayahmu. Tapi performa perusahaan menurun di kuwartal pertama tahun ini, berturut-turut sejak kuwartal ke empat tahun kemarin. Aku mengkhawatirkan jika dibiarkan, kinernanya akan semakin menurun."     

Adrianna yang belum benar-benar terjun di perusahaan dan mengetahui seluk-beluk bisnis yang dijalani ayahnya puluhan tahun itu tampak masih mempertimbangkan. "Apa menurutmu itu yang terbaik?"     

Adric mengangguk, "Ayahmu nahkoda yang hebat, tapi dia tidak bisa membawa kapal sebesar itu sendirian. Jika anak buahnya tidak bisa bekerja dengan baik, kapal tidak akan berjalan dengan stabil dengan kecepatan maksimal."     

Adrianna mengangguk, "Aku juga merasa daddy sudah terlalu tua untuk tetap bekerja. Beberapa kali aku melihat daddy terlihat terlalu kelelahan."     

"Kita akan membicarakannya pelan-pelan. Ini yang kupikirkan beberapa waktu terakhir, setelah melihat performa perusahaan kian menurun."     

"Thanks." Adrianna meraih tangan Aldric dan meremasnya, "Aku benar-benar mengandalkanmu." Ujarnya.     

"Aku menikahimu dan keluargamu. Tidak mungkin aku hanya memikirkan kita saja, aku juga memikirkan keluarga kita." Ujarnya.     

***     

Penerbangan empatbelas jam adalah penerbangan yang panjang, meski begitu terasa tidak terlalu lama karena Aldric terbang bersama Adrianna. Setibanya di New York mereka sengaja menaiki taksi menuju apartment. Terbiasa menjadi back packer membuat gaya hidup mereka berubah.     

Kelelahan, sudah pasti mereka berdua kelelahan dan tidak ada yang mereka lakukan selain membersihkan diri kemudian tidur selama sepuluh jam berikutnya. Dan saat mereka berdua terbangun yang tersisa hanyalah rasa lapar.     

"Jet lag." Aldric mengerjapkan matanya, dan mengucapkan hal itu setelah melihat Adrianna sudah bangun lebih dulu.     

"Ya. Dan kau akan pergi ke kantor atau tidak hari ini?" Tanya Adrianna.     

"Let me check." Aldric meraih ponselnya dan melihat pesan masuk dari sekretarisnya, serentetan jadwal meeting hari ini.     

"Dia benar-benar tidak bisa membiarkan bosnya istirahat." Gerutu Aldric setelah melempar kembali ponselnya ke sisi ranjang dan kembali merebahkan diri di atas bantal.     

"Aku akan bersiap ke kantor." Adrianna beringsut turun dan segera berjalan ke kamar mandi untuk bersiap. Ayahnya mengirim pesan singkat untuk bertemu pagi ini di kantor.     

***     

Aldric dan Adrianna tengah menikmati sarapan pagi mereka. Aldric memutuskan untuk datang ke kantornya setelah mengantar Adrianna ke kantornya lebih dulu. Setelah menyantap sarapan pagi mereka, kini Aldric berkendara bersama dengan isterinya itu.     

"Kau bisa beristirahat di rumah hari ini dan baru mulai ke kantor besok." Ujar Aldric sembari menoleh ke arah isterinya yang terlihat pucat.     

"Daddy ingin bertemu denganku hari ini." Jawab Adrianna, dia tampak sesekali memejamkan matanya selama perjalanan menuju kantornya.     

"Tapi kau terlihat pucat sayang, apa semua baik-baik saja?" Tanya Aldric.     

"Em... entahlah, aku merasa sangat lemas. Mungkin aku terlalu bersemangat saat di Jepang hingga energiku habis." Guraunya meski dia tidak tertawa sama sekali untuk candaan yang baru saja dia lontarkan.     

"Kau yakin akan tetap ke kantor?"     

"Ya, jika aku merasa semakin lemas aku akan pulang setelah bertemu dadady."     

"Ok. Jangan memaksakan diri."     

Beberapa saat setelah tiba di kantor Adrianna, Aldric memutar mobilnya untuk menuju ke kantor sementara Adrianna langsung menuju ke ruangannya. Saat berada di dalam lift, mendadak kepalanya terasa melayang hingga dia terhuyung dan hampir jatuh. Untunglah dia sempat berpegangan pada dinding lift.     

Setelah meletakkan tasnya di ruangan, Adrianna sempat duduk beberapa saat sembari memastikan kondisinya sudah cukup stabil sebelum bertemu ayahnya. Namun sebelum dia mendatangi ruangan ayahnya, ternyata Richard sudah mendapatkan informasi bahwa Adrianna sudah berada di ruangannya. Rich segera mendatangi ruangan puterinya itu.     

tok tok     

meski Richard adalah pemilik perusahaan dengan posisi tertinggi di perusahaan besar itu tapi dia tetap mengetuk pintu bawahannya yang adalah puterinya sendiri.     

"Hi dad . . ." Adrianna berniat bangkit dari bangkunya tapi Richard mengangkat tangannya. Dia bergerak masuk dan langsung duduk di bangku yang berada di depan meja Adrianna.     

"Bagaimana liburanmu?" Tanya Richard. Entah mengapa pertanyaan itu justru membuat rona di wajah Adrianna memerah.     

"Kau terlihat bahagia." Puji Richard.     

Adrianna mengangguk, "Semua orang menyukai liburan Dad."     

Richard berdehem, dia menghela nafas dalam dan rahangnya mengeras sekilas, seperti hal yang akan dia katakan adalah hal yang sangat berat. "Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi sebaiknya tidak sekarang."     

"Dad . . ." Alis Adrianna berkerut. "Mengapa harus menunda?"     

Richard tersenyum sekilas, "Aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu." Ujar Rich.     

"No. . ." Adrianna menggeleng. "Katakan saja dad, itu tidak akan berpengaruh padaku."     

Richard menaikkan alisnya, "Ibumu sakit." Ujar Richar singkat, Adrianna mendadak membeku dalam keterkejutan.     

"Mommy . . . ?" Alis Adrianna bertaut, dia tampak benar-benar shock mendengar kabar itu. "Mommy sakit apa?" Kerutan di alis Adrianna semakin dalam.     

"Cadasil." Imbuh Richard, dia terlihat berkaca saat mengatakannya.     

"What is cadasil dad?" Adrianna tidak bisa menangkap apa yang dimaksud dengan penyakit cadasil. Richard tak kunjung menjawab, dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah dinding kaca. Richard menyarungkan tangannya di saku celana, tatapannya menerawang jauh kedepan. Sementara Adrianna yang masih gugup segera membuka laptopnya dan mencari penjelasan tentang cadasil di mesin pencari google.     

Setelah membaca singkat penjelasan tentang Cadasil, Adrianna jatuh lemas di kursinya. Matanya berkaca dan mulai berlinangan airmatanya.     

"Aku baru pergi beberapa hari dan mommy sakit seberat ini?" Ucapnya dalam isakan, membuat Richard menoleh dan menghampiri puterinya itu untuk memeluknya.     

"Mommy masih dalam keadaan baik-baik saja, beberapa kali dia mengalami serangan kecemasan, dan migrain, atau mendadak melupakan sesuatu. Tidak seburuk yang kau pikirkan sayang." Jelas Richard.     

"Tapi ini akan semakin buruk kan Dad?"     

Richard tidak menjawab, dia hanya mengusap punggung puterinya itu. "Kita harus mendukung mommy." Jawabnya.     

"Pengobatan apa yang bisa diberikan untuk mommy?" Adrianna menatap ke arah Rich dan Richard tidak menjawab. Itu pertanda buruk.     

"Apa ini alasan mommy memintaku menyusul Aldric?"     

"Ya. Dia sangat menginginkan cucu." Jawab Richard.     

Adrianna tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya kembali memeluk ayahnya. Tidak ada yang bisa dilakuakn selain mendampingi Christabell di masa-masa sulitnya hingga waktunya habis dan itu mendadak membuat Adrianna begitu terpukul. Setelah beberapa saat Adrianna mulai bisa mengendalikan dirinya.     

"Daddy ingin beristirahat dan menemani mommy." Richard membuka pembicaraan intinya.     

"Maksud daddy?" Alis Adrianna berkerut.     

"Daddy serahkan perusahaan padamu." Ujar Richard.     

"Dad . . .?" Adrianna membulatkan matanya.     

"Kau pasti bisa sayang. Mommy memutuhkan daddy." Richard membesarkan hati puterinya itu.     

"Aku tidak akan bisa menghandle semuanya sendiri dad."     

Richard menghela nafas dalam, "Daddy sudah meminta Ben untuk bergabung tapi dia menolak." Ujar Richard.     

"Mungkin daddy harus bicara pada Aldric." Adrianna memberikan opsi lainnya.     

"Ya, mungkin itu pilihan terbaik." Jawab Richard. Bagaikan gayung bersambut, rencana Aldric untuk melakukan merger dengan perusahaan Richard ternyata sesuai dengan keinginan Richard untuk pensiun dini dari posisinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.