THE RICHMAN

The Richman - Strange Deal



The Richman - Strange Deal

0Pagi ini Adrianna dan Aldric sengaja membolos dari pekerjaan masing-masing. Mereka membuat semacam kesepakatan aneh dengan mengulang masa-masa pacaran mereka kembali. Mereka akan tinggal di apartment masing-masing untuk seminggu kedepan dan memulai semuanya dari awal.     

"Kau yakin dengan kesepakatan ini?" Tanya Aldric, awalnya pria ini tidak setuju dengan kesepakatan aneh yang dibuat Adrianna untuk mereka berdua.     

"Kita bisa tinggal satu rumah dan memulai hubungan perkenalan yang baru, tidak perlu tinggal di tempat yang berbeda." Aldric masih mencoba meyakinkan isterinya itu.     

Adrianna meletakan panekuk yang dia buat ke atas piring dan menuangkan sirup maple ke atasnya. "Bon appetit." Dia tersenyum lebar setelah menyajikan maha karyanya meskipun itu hanyalah seporsi panekuk, setidaknya dia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membuat makanan paling sederhana itu.     

Aldric mengambil garpu dan pisau lalu mengambil sepotong dan memasukkannya ke dalam mulutnya. "Not bad." Pujinya, dan itu membuat Adrianna bertolak pinggang dan menatapnya seolah ingin menelan suaminya itu bulat-bulat. Melihat ekspresi Adianna, Aldric tersenyum lebar.     

"We've done yet." Ujar Aldric. "Aku tidak setuju dengan kesepakatan konyolmu itu." Imbuhnya.     

"Itu tidak konyol sama sekai, kita tinggal terpisah dan mengulang semua keseruan sebagai sepasang kekasih, bukankah itu terdengar menyenangkan?" Tanya Adrianna dengan wajah sumringah.     

Aldric menggeleng, "Terakhir kali aku menjadi kekasihmu kita bertengkar hebat."     

Adrianna menghela nafas dalam. "Jadi apa yang kau inginkan Aldric Bloom?"     

Aldric meraih isterinya itu hingga jatu ke atas pangkuannya. "Aku ingin kita tinggal di rumah yang sama, tidur di ranjang yang sama, makan di meja yang sama."     

Adrianna menatap suaminya itu, mata Aldric yang begitu bening, teduh dan dalam membuat hatinya meleleh. "I love you Aldric Bloom." Adrianna mengecup bibir suaminya itu sekilas, tapi Aldric tampaknya takn ingin melepaskan kesempatan ini begitu saja, dia meraih bibir Adrianna lagi dan menciumnya semakin dalam.     

"Tidak perlu menghabiskan ratusar ribu dollar untuk bulan madu, dirumahpun asal bersamamu, aku merasa seperti bulan madu." Bisinya di sela ciumannya. Ciuman mereka semakin dalam dan dengan nakal jemari Aldric sudah mulai menyusup ke bagian tubuh Adrianna yang sangat sensitif. Mereka baru memulai pemanasan itu saat tiba-tiba pintu apartment terbuka.     

"OH MY GOSH!" tampaknya itu adalah Christabell yang tiba-tiba muncul dan mengganggu keasyikan Adrianna dan Aldric.     

"Apa yang kalian berdua lakukan sepagi ini?" Tanya Adrianna sembari bergegas ke lantai dua sambil menutup sisi wajahnya dan terus berlalu.     

"MOM!" Protes Adrianna sambil berteriak, setelah itu dia dan Aldric saling menatap dan tersenyum. "Sorry." Bisik Adrianna. "Aku tidak sadar jika hoby ibuku masih sama, suka menyusup."     

Christabell segera turun, masih menutupi wajahnya.     

"We've done" Teriak Adrianna dan Chrsitabell menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan tersenyum lebar ke arah puterinya itu dan juga menantunya.     

"Aku mengambil sesuatu, kupikir apartment ini kosong." Imbuhnya. Aldric menghampirinya dan mencium pipi ibu mertuanya itu untuk memberikan salam.     

"Lanjutkan kesibukan kalian, mommy tidak akan mengganggu lagi." Christabell mengatakan hal itu setelah memeluk singkat puterinya dan Adrianna memutar matanya setela ibunya benar-benar pergi.     

"Kau masih ingin melanjutkan?" Tanya Aldric, dan Adrianna menggeleng. "Sepertinya aku akan pergi ke kantor." Tolaknya.     

"Kita sudah berjanji untuk tidak pergi kemana-mana hari ini." Protes Aldric, baru saja menutup mulutnya ponsel Aldric yang berada di atas meja makan berbunyi, seseorang menghubunginya.     

"Sir, pesawat anda pukul sembilan pagi ini." Sang sekretaris mengingatkan bahwa hari ini ada rencana kunjungan ke Jepang yang harus dilakukan Aldric hari ini. Aldric mengira kunjungan itu masih lusa.     

"Oh, aku hampir lupa." Jawab Aldric.     

Adrianna melipat tangannya di dada dan menatap suaminya, menunggu pria itu selesai dengan pembicaraannya melalui jaringan telepon.     

Aldric menyeringai, "Aku harus ke Jepang hari ini."     

Adrianna mengangkat alisnya. "Kejutan." ungkapnya ironis, Aldric memeluknya dari belakang saat sang isteri berniat meninggalkan ruang makan. "Kau mau ikut?" Tanya Aldric.     

"Tidak." Geleng Adrianna. "Berapa hari kau pergi?" Tanya wanita itu pada suaminya.     

"Tiga hari." Jawab Aldric.     

"See you in three days." Adrianna membalik badannya dan menatap ke arah suaminya, dia mengecup Aldric sekilas sebelum akhirnya naik ke lantai dua untuk mandi dan mengganti pakaian. Mereka tampak sama-sama terburu-buru.     

"Kau sudah mengepak kopermu?" Tanya Adrianna dan Aldric mengangguk. "Sudah." Jawabnya sementara Adrianna sibuk memasangkan dasi untuk suaminya itu.     

"Maaf harus mengingkari janjiku hari ini." Aldric mengusap wajah isterinya itu.     

"Aku tahu aku menikahi pria seperti apa." Jawab Adrianna.     

"Isteriku juga tak kalah sibuk." Aldric membela diri.     

***     

Adrianna menyentir mobilnya sendiri setelah mengantar suaminya ke bandara, dan setelah tiba di kantor banyak pekerjaan yang sudah menunggunya hingga Adrianna sibuk seharian ini tanpa jeda. Menjelang malam, Adrianna berpikir untuk menginap di rumah ibunya.     

"Hi mom." Adrianna masuk kedalam rumah dan tidak ada seorangpun di rumah.     

"Dad?" Adrianna mencari ke ruangan-ruangan lainnya dan tidak menemukan siapapun. Di rumah besar itu hanya tinggal ibu dan ayahnya saja, Ben sudah tinggal di apartment sendiri sekarang. Adrianna memutuskan untuk menghubungi ibunya melalui telepon.     

"Hi mom." Sapa Adrianna saat ibunya menerima panggilannya.     

"Hi sayang." Jawab Christabell.     

"Aku ada di rumah." Adrianna menjelaskan, tapi untuk beberapa saat Christabell tak menjawab.     

"Mom, are you ok?" Tanya Adrianna.     

"Ya." Jawab Christabell. "Apa kau akan menginap?" Tanya wanita setengah baya itu pada puterinya.     

"Tadinya aku berpikir begitu, hari ini Aldric ke Jepang. Tapi karena mommy tidak ada di rumah, aku pikir sebaiknya aku pulang."     

"Ok sayang. Aku akan selesai dengan urusanku beberapa saat lagi, jika kau tidak bisa menunggu kau bisa kembali besok."     

"Ya, aku akan kembali besok."     

Adrianna keluar dari rumah ibunya itu dan menyetir sendiri mobilnya kembali ke apartment. Tidak biasanya sang ibu begitu tertutup soal urusannya. Entah kesibukan macam apa yang dimiliki ibunya itu hingga dia tidak bisa menyebutkan kemana dia pergi.     

***     

Adrianna duduk termanggu di sebuah bangku di rumahsakit. Hari ini dia menjalani pemeriksaan yang sudah sejak beberapa waktu lalu dia tunda, tapi karena gejala yang dia alami semakin berat, Christabell merasa perlu memeriksakan kondisinya. Dan hari ini hasl pemeriksaannya keluar, hal yang selama ini hanya menjadi mimpi buruk seolah berubah menjadi kenyataan yang jauh lebih buruk.     

Mendiang ibu kandungnya, Layla Stone mewariskan penyakit langka pada Chrsitabell puterinya. Penyakit yang membuat Christabell mulai sering melupakan banyak hal. Dan semakin lama gejalanya semakin parah karena Christabell sering tidak sadar dia sedang bepergian kemana dan apa tujuannya ketempat itu. Terkadang yang menyedihkan setelah sampai di tempat yang dia tuju, Christabell tidak tahu apa yang akan dia lakukan di tempat itu.     

Bahkan banyak hal yang berurusan dengan yayasan tidak dapat dia handle lagi dengan baik seperti sedia kala. Namun Adrianna tampaknya menyembunyikan semua itu dari suaminya. Richard sama sekali tidak menyadari gejala-gejala itu, dia menyembunyikan banyak hal dari suaminya termasuk hal paling buruk semacam ini.     

Christabell berpikir di usia senjanya bersama dengan Richard Anthony seharsnya menjadi saat-saat yang membahagiakan, bukannya harus menanggung beban penderitaan yang jauh lebih besar dari yang selama ini mereka alami.     

***     

Beberapa menit setelah kepergian Adrianna, Richard pulang ke rumah dan tidak menemukan isterinya itu. Dia menghubungi ponsel Chritsabell dan panggilannya tidak diterima oleh Chrsitabell. Itu sedikit aneh bagi Richard, tidak bisanya Christabell meninggalkan rumah hingga selarut ini.     

Richard memutuskan untuk mandi, dan setelah dia selesai mandi Bell tampak sudah kembali.     

"Hai sayang." Sapa Richard setelah mengganti pakaian.     

"Hai." jawab Christabell. "Maaf, hari ini acara di yayasan sangat padat dan itu mengharuskanku pulang terlambat." Bohongnya, dan Richard percaya begitu saja.     

"Aku menghawatirkanmu." Rich menghampiri isterinya itu dan mengecup bibir isterinya singkat.     

"Kau terlihat begitu kelelahan." Ujar Rich, sembari menatap wajah isterinya.     

"Ya. Aku akan mandi dan beristirahat." Jawab Bell, suasana hatinya tak cukup baik setelah mendengar penjelasan dokter. Seolah kejadian buruk berpuluh tahun lalu terulang kembali, saat dia menemani ibunya memeriksakan kondisinya. Seperti yang dia katakan, Christabell hanya mandi dan pergi tidur, begitu juga dengan Richard.     

Namun tampaknya tertidur tidak semudah itu setelah apa yang dia dengarkan dari dokter sore ini.     

"Apa yang kau pikirkan sayang?" Bisik Rich di telinga isterinya, tangannya ketat memeluk Christabell.     

"Tidak ada." Bohong Bell lagi.     

"Kau terlihat pucat sejak pulang tadi, apa semua baik-baik saja?" Richard memastikan dan Christabell mengangguk sambil menjawab singkat, "Ya."     

"Jika kegiatan yayasan menguras tenagamu sebaiknya kau menguranginya, sudah waktunya kau banyak beristirahat." Richard memberikan saran dan Christabell kembali setuju. "Ya." jawabnya. Tidak ada hal lain yang bisa dia pikirkan selain soal penyakitnya.     

Alis Rich bertaut, dia merasa ada yang berbeda dengan isterinya itu, "Kau tidak ingin menceritakan apapun?" Tanya Rich. "Biasanya kau bercerita banyak setelah pulang kerumah."     

Chrsitabell memutar posisinya, jemarinya meraba wajah Rich mulai dari dahi, turun ke hidung hingga bibirnya, kemduian jaggut dan rahang, juga ke dua sisi alis Richard, mata Christabell berkaca.     

"Hei...." Rich melihat itu dan menjadi sedikit bingung. "Mengapa kau berkaca-kaca?" Tanya Richard.     

"Tidak, aku hanya merindukan menatap wajahmu." Christabell menyembunyikan rasa sedihnya di balik senyuman palsu.     

"Kau melihatnya setiap hari." Jawab Rich.     

"Bisakah kita menghabiskan lebih banyak waktu bersama?" Tanya Christabell dan Richard langsung mengiyakan, "Tentu saja sayang."     

"Aku ingin kita berlibur." Ujar Chrisatabell.     

"Sesuai keinginanmu madam." jawab Richard dengan senyum lebar, dia meraih tangan isterinya itu dan mengecupnya.     

"Bisakah kita pergi bersama anak-anak? Aku rindu saat mereka masih kecil, kita sering berlibur berempat." Kenang Christabell.     

"Ya, kita bisa pergi ke Alpen dan menginap beberapa hari di sana." Richard mengingat salah satu aset mereka, berupa rumah besar di Alpen, tempat yang dingin dan cocok untuk berlibur.     

"Atau kau ingin ke Paris?" Rich juga memiliki properti di kota itu.     

Christabell tampak mempertimbangkan, "Sebuah tempat yang nyaman, semacam pedesaan, dengan kebun anggur." Ujarnya, dia membayangkan kehidupannya menjadi lebih seperti keluarga jika dia jauh dari hiruk pikuk kesibukan.     

Richard membaca pikiran isterinya itu, "Kau ingin kita pindah ke kota yang lebih kecil, dan tinggal berdua di sana?" Tanya Richard, dan itu membuat Christabell tersenyum tulus. Seperti kata dokter, ingatannya mungkin akan mengalami beberapa masalah dan itu progresif, jadi yang harus dia lakukan saat ini adalah menikmati hidup selagi bisa. Karena kemunduran daya ingat akan merusak kehidupannya secara perlahan namun pasti. Dan ide Richard barusan benar-benar tawaran yang menjanjikan seandainya dia bisa. Membayangkan tinggal di pedesaan dengan ternak dan rumput hijau, pepohonan dan bunga-bunga yang indah di sekitar rumah. Menikmati masa tua bersama dengan Richard Anthony, pria yang di cintainya sejak pertama kali melihatnya, dan berharap tetap bisa melihat pria itu sampai waktunya di dunia ini habis.     

"Ya, andaikan anak-anak tidak begitu sibuk, mungkin kita bisa sering berkumpul."     

Richard menarik bibirnya dalam sebuah garis, "Kau tahu, sekarang aku juga sering merindukan Ben dan Adrianna."     

"Aku juga." Christabell meraih tangan suaminya itu dan meremasnya. "Sekarang hanya ada kita berdua di rumah besar ini, dan aku merasa kesepian." Chrsitabell mengungkapkan isi hatinya yang paling dalam."Teman-temanku di yayasan sering mengeluhkan hal yang sama. Salah satu alasan mereka menyibukkan diri mengurus yayasan dan terlibat dalam berbagai aksi amal setelah mereka berada di usia senja adalah untuk mengusir rasa sepi. Mereka merasa anak-anak mereka sudah memiliki dunianya sendiri hingga melupakan mereka, orang tua yang melahirkan dan membesarkannya." Christabell mulai terpancing untuk membahas hal lainnya dan itu membuat Richard sedikit bisa bernafas lega, setidaknya itu yang biasa dilakukan isterinya sebelum mereka pergi tidur. Aktifitas seksual sudah jauh menurun saat usia mereka sudah cukup tua, meski sesekali mereka masih melakukannya. Namun lebih dari pada itu, mereka lebih sering menghabiskan waktu untuk mengobrol sebelum tidur belakangan ini.     

" Apa kau merasa anak-anakmu melupakanmu sayang?" Tanya Rich, Christabell menggeleng. "Adrianna masih sangat sering menghubungiku, tapi Ben, dia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan dunianya."     

"Dia masih terlalu muda, lagipula dia anak laki-laki, dia tidak sering merindukan rumah." Richard mengenang dirinya sendiri. Ketika masih muda, sifatnya kurang lebih sama dengan Ben, puteranya.     

"Adrianna tadi datang, tapi aku belum kembali. Mungkin dia berniat untuk menginap karena suaminya pergi ke Jepang tadi pagi." Christabell baru teringat soal panggilan Adrianna.     

"Kami bertemu di kantor pagi ini, tapi dia tidak mengatakan apapun." Ujar Rich.     

"Ya, mungkin dia lupa." Jawab Bell. "Kurasa aku akan memaksa Adrianna untuk segera punya anak." Tiba-tiba Christabell memikirkan hal itu.     

Alis Richard berkerut. "Mengapa kau berubah pikiran sayang?" Rich mengerucutkan bibirnya sekilas. "Aku masih ingat betul kau sibuk memikirkan bagaimana jika kau di panggil Grandma dalam waktu dekat." Imbuhnya dengan nada candaan. Namun dalam batin Bell, hal lain mengganjal. Dia begitu ingin melihat cucunya, anak dari Adrianna dan Aldric sebelum dia menjadi semakin pikun dan nantinya tidak akan mengingat apapun.     

"Biarkan itu terjadi alami, jangan memaksa mereka." Richard memberi saran.     

"Tidak, aku ingin mereka segera memiliki anak." Christabell bersikeras, dalam batinnya dia ingin segera menemui Adrianna dan mengutarakan semua keinginannya itu. Adrianna tidak akan menolaknya jika dia tahu apa alasan Christabell.     

"Ok, aku setuju." Richard memilih untuk setuju, dia tidak ingin ada pertengkaran diantara mereka selarut ini. "Sekarang tidurlah." Rich mengecup kening isterinya dan Chrisatbell membalas dengan ciuman bibir, setelah itu dia berbalik dan memejamkan mata, sementara Rich beringsut untuk memeluk isterinya itu dari belakang dan jatuh tertidur bersama hingga pagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.