THE RICHMAN

The Richman - Marcus



The Richman - Marcus

0Sheina meringkuk di pelukan Marcus setelah mereka bercinta dengan sangat panas malam ini. Meskipun Marcus harus terbang berjam-jam untuk melampiaskan hasratnya itu, tapi dia rela melakukan segalanya bagi Sheina.     

"Aku ingin kita menikah." Ujar Marcus dengan suara parau di tengah keheningan.     

"What?" Sheina mendongak menatapnya. "Are you insane?" Tanyanya.     

"Aku melamarmu dan kau menerimanya, dimana letak gilanya?" Tanya Marcus.     

Sheina menautkan alisnya, "Katakan padaku, ada apa dibalik semua ini?" Tanyanya.     

"Nothing, aku hanya meminta wanita yang ku cintai untuk menikah denganku dan tinggal bersamaku, apa salahnya?" Marcus beralibi. Sheina beringsut dan menatap Marcus sejajar, "Kau memang pria penuh kejutan, tapi memintaku menikah dengan tiba-tiba bukan kejutan yang ku inginkan darimu Mr. Durant." Sheina menatap Marcus dan mengukur ekspresinya. Marcus terlihat datar dan itu membuat Sheina bingung. "Ok, lalu setelah kita menikah, apa yang kau inginkan?" Tanya Sheina.     

"Kau tinggal bersamaku di Paris." Ujar Marcus.     

"Marcus, kehidupanku di tempat ini. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku dan pindah ke Paris bersamamu. Aku tidak pernah bercita-cita menjadi ibu rumahtangga." Jelas Seheina, ini terdengar seperti penolakan dibandingkan penjelasan.     

"Jadi kau menolakku?" Alis Marcus bertaut.     

Sheina menggeleng, dia menghela nafas dalam, "Apa yang kau sembunyikan dariku?" Alis Sheina berkerut.     

"Nothing." Geleng Marcus. Meski sejujurnya dalam hatinya ada yang mengganjal. Dia ingin melindungi Sheina tanpa harus memberi tahu bahaya apa yang mengancamnya di luar sana.     

Sheina meraih wajah Marcus, "Kita baru saja menikmati bercinta dengan sangat luar biasa, dan kau tahu betapa aku mencintaimu. Lima tahun aku hidup dengan harapan bahwa suatu saat aku akan bertemu denganmu lagi, dan sekarang kita berada di tempat ini berbagi ranjang, aku tidak ingin ada kebohongan diantara kita." Sheina mencoba menggali apa yang disembunyikan Marcus dari tatapannya itu.     

Marcus menghela nafas dalam, rahangnya mengeras sekilas. "Roberto Bochelli, dia adalah kakak dari Pablo Bochelli, pria yang kau jebloskan ke penjara dengan hukumgan mati karena kasus perdagandan orang dan narkotika." Ujar Marcus.     

"Dia layak mendapatkannya." Jawab Sheina.     

"Roberto tidak terima adiknya ditembak mati begitu saja." Ujar Marcus.     

"Jadi dia berencana membunuhku sebagai gantinya? Yang benar saja?" Sheina tertawa dan Marcus menatapnya dengan tatapan kelam.     

"Hei . . ." Sheina mengusap wajah Marcus. "Aku seorang pengacara, aku menerima teror hampir setiap hari selama duapuluh empat jam, melalui email, pesan singkat, dan berbagai bentuk lainnya." Ujar Sheina.     

"Kau tak tahu siapa yang kau hadapi." Marcus meraih tangan Sheina dan mengecupnya. "Tinggal bersamaku, kau akan mendapatkan pengawalan duapuluh empat jam." Pria itu berusaha meyakinkan Sheina.     

"Marcus, kau berencana mengurungku, bukan menikahiku." Shiena menarik diri dan beringsut turun dari ranjangnya. Dia berjalan ke arah lemari dan mengeluakan kaos oversize lalu mengenakannya. Dia juga menarik celana dalam dan mengenakannya lalu berjalan keluar ke arah dapur. Sheina mengambil segelas besar air mineral dan menenggaknya. Dia sudah pernah hampir mati dalam sebuah kecelakaan yang hingga kini kasusnya tak pernah terungkap, siapa yang menembak mobilnya hingga mobil itu terguling ke jalur yang berlawanan arah dan bahkan ditabrak kendaraan lainnya. Polisi seolah tutup mata dan membuat kasus itu berakhir sebagai kecelakaan murni dan menahan ijin mengemudi milik Sheina selama enam bulan sebagai gantinya.     

Marcus menyusul setelah dia mengenakan celana panjangnya, meski dia masih topless. Dia melilitkan tangannya ke pinggang Sheina dan mengecup pundaknya.     

"Aku ingin melindungimu, dengan segala cara, bahkan dengan nyawaku." Ujar Marcus dari belakang telinga Sheina.     

"I know." Jawab wanita itu.     

"Aku mendengar cerita tentang kecelakaanmu, dan aku pernah melihatmu hampir kehilangan nyawa karena peluru dari pistol Karim. Aku tidak bisa hidup dengan memikirkan kemungkinan buruk yang bisa menimpamu kapan saja." Ujar Marcus.     

"Tapi aku juga tak bisa hidup tanpa pekerjaanku, kuharap kau mengerti." Jawab Sheina sembari memutar tubuhnya hingga dia bisa berhadapan dengan Marcus, meski dia harus mendongak menatap pria jangkung dihadapannya, sementara tubuhnya yang mungkil tak sepadan dengan tinggi tubuh marcus. Rahang Marcus mengeras sekilas mendengar jawaban Sehina barusan.     

"Lakukan itu untukku, setidaknya sampai aku bisa melumpuhkan Roberto dan komplotannya." Marcus memohon.     

"Tinggal bersamamu di Paris untuk beberapa waktu juga bukan solusi, ayahku tidak akan bisa menerima alasan aku meninggalkan New York dan tinggal bersama kekasih yang bahkan belum pernah kukenalkan padanya." Sheina melipat tangannya di dada.     

"Aku akan menemui ayahmu dan melamarmu di depan mereka." Ujar Marcus.     

"Dan kau akan membuat ayahku jantungan." Sheina tersenyum sekias.     

"Aku tidak punya waktu sayang, mengertilah. Kau dalam bahaya." Ujar Marcus.     

Sheina berjinjit untuk mencium bibir Marcus, dan pria itu membalas ciumannya meski ekspresinya tetap tak membaik.     

"Bisakah kita tidur malam ini?" Alis Sheina bekerut menatap Marcus, dan pria itu mengangguk. Mereka kembali ke kamar Sheina dan berbaring di ranjang itu.     

"Aku tidak pernah tidur di kamar berwarna merah muda seperti ini." Ujar Marcus, dan itu membuat Sheina terkikik. "Bagaimana rasanya?" Sheina mantap Marcus.     

"Mataku hampir rusak." Jawabnya dan itu membuat Sheina terkikik. Marcus menggulung gadis itu dalam pelukannya dan membiarkannya jatuh tertidur dalam pelukannya. Setelah memastikan Sheina terlelap, Marcus meraih ponselnya dan melihat pesan singkat dari dalam ponselnya. Dia meminta beberapa orang berjaga di seputaran apartment Sheina untuk memastikan tidak ada orang yang dikirim Roberto untuk menyakitinya. Marcus bahkan menyimpan pistol di beberapa tempat, dibawah ranjang Sheina dan di dalam laci Sheina. Itu dia lakukan sebelum Marcus menyusul Sheina masuk ke dalam kamar mandi.     

Sementara dia dan Marcus menikmati berendam di kamarmandi, Marcus meminta orang-orangnya untuk memasang kamera CCTV bahkan mulai dari lorong menuju unit apartment Sheina. Marcus bahkan mengosongkan unit apartment yang berada tepat di sebelah unit apartment milik Sheina untuk dijadikan ruang monitor. Marcus benar-benar melakukan semuanya demi melindungi wanitanya, tanpa sepengetahuan Sheina. Karena wanita keras kepala yang kini tertidur pulas itu pasti tidak akan terima jika dia dimata-matai sedemikian rupa, apapun alasannya.     

Marcus turun dari ranjang dan mengenakan kemejanya, kemudian dia duduk di single sofa yang berada di sebelah ranjang Sheina, dia tidak membiarkan dirinya jatuh tertidur setelah mendengar informasi dari orang kepercayaannya bahwa Roberto berniat untuk membalas dendam atas hukuman yang diterima adiknya itu.     

Marcus bahkan berencana untuk tinggal di New York bersama bebearpa pengawalnya untuk beberapa minggu sampai orang-orangnya bisa melumpuhkan antek-antek Roberto. Dibalik tidur nyenyak yang dialami Sheina malam ini, orang-orang Marcus tengah berjibaku dengan orang-orang Roberto di Poerto Rico, markas utama Roberto. Tapi jelas bahwa si gembong mafia itu tidak akan berada di istananya sementara orang-orang Marcus berusaha menghabisinya.     

Marcus dan Sheina bagaikan air dan api. Sehina berjuang mati-matian mengorbankan nyawanya demi bisa membela kebenaran sementara Marcus memilih untuk mengangkat senjatanya setiap kali ada yang mengganggunya. Dunia normal Sheina tidak akan pernah bisa dinikmati Marcus, begitu juga dengan dunia gelap Marcus yang tidak akan pernah ditinggali Sheina dengan nyaman.     

Lewat tengah malam, Marcus menerima pesan singkat lagi. Dan saat itu, tidak ada waktu lagi untuk membiarkan Sheina tinggal di rumah itu. Dia tidak akan membiarkan adanya kerusuhan yang menimbulkan baku tembak di kota New York ini. Melibatkan polisi bukanlah keputusan yang bijak bagi profesi Marcus.     

Dia membangunkan Sheina. "Sayang, kita harus pergi dari tempat ini." Uajar Marcus. Sheian mengusap matanya untuk menjernihkan pandangan.     

"Apa yang terjadi?" Alis Sheina bekerut.     

"Kita bicara nanti." Marcus mengeluarkan tas dari dalam lemari Sheina dan memasukkan beberapa potong pakaian. Sheina segera menarik coat panjang dan menutupi dirinya. Dia bergegas pergi dengan Marcus dari dalam apartment, sementara diluar dua orang pengawal Marcus sudah siap.     

Jantung Sheina berdegup keras, apalagi saat dia melihat Marcus mengambil pistol dari dalam laci menjanya. Marcus menyimpan itu tanpa sepengetahuannya, dan sebelum meninggalkan kamar Sheina, pria itu juga mengambil sebuah pistol dari bawah tempat tidur Sheina yang dilekatkan dengan lakban.     

"Kau menyimpan senjata api di apartmenku?" Protes Sheina.     

"I have no choice." Jawab Marcus.     

Mereka bergegas masuk kedalam mobil dimana seorang supir mengendarai mobil, seorang pengawal duduk di sampingnya dan Marcus duduk di belakang dengan Sheina di sisinya. Di belakang mobil mereka, terdapa mobil pengawalan yang menempel ketat, begitu juga di depan mobil mereka.     

"Kemana kita akan pergi?" Tanya Sheina.     

"St. George, Staten Island." Jawab Marcus.     

Perjalanan menjadi sangat menegangkan karena antara mobil satu dengan mobil lainnya saling memberikan kabar, terutama mobil di belakang yang tampaknya dibuntuti oleh mobil orang-orang yang dikirim Roberto untuk menyakiti Sheina.     

"Kita berpisah." Ujar Marcus.     

"Sangat riskan Sir." Jawab sang pengawal.     

Marcus mengambil ponselnya, dia menghubungi seseorang yang entah siapa itu.     

"Siapkan Jet sekarang juga, kami akan tiba sekitar setengah jam dari sekarang." Ujar Marcus. Dia mengakhiri panggilannya dan supir tahu apa yang harus dia lakukan.     

"Ke Bandara." ujar Marcus.     

"Yes Sir." Jawab sang supir yang langsung menginjak pedal gas semakin dalam dan mendahului mobil pertama. Menyisakan dua mobil beriringan di belakangnya. Sheina pucat pasi dengan jantung berdegup tak tentu, tangannya menjadi begitu dinging, tapi Marcus terus menggenggam tangannya. Andai dia mendengarkan Marcus tadi, mungkin mereka tidak harus berada dalam situasi seperti ini.     

"Kita akan baik-baik saja." Marcus meremas tangan Sheina dan menatap wanita itu. Meski sorot matanya dalam kabin mobil yang gelap itu mengatakan sebaliknya tapi Sheina mencoba untuk percaya. "Ya." Jawabnya.     

Marcus mendengar suara tembakkan di mobil belakang dan rahangnya mengeras.     

"Apa mereka baik-baik saja?" Tanya Marcus, sang pengawal mengeluarkan kepalanya dan menoleh ke belakang. "Tampaknya tidak Sir." Ujar sang pengawal.     

"Aku akan memotong jalan." Supir Marcus begitu piawai memotong jalan dan meninggalkan dua pengawal Marcus yang masih berada di belakang dan tengah baku tembak di jalanan bebas sepanjang jalan.     

"Apa mereka akan baik-baik saja?" Tanya Sheina ketakutan.     

"Mereka sudah puluhan tahun bermain dengan senjata, mereka akan baik-baik saja." Marcus meyakinkan.     

Setiba di bandara, jet pribadi sudah siap. Marcus meminta dilakukan pemeriksaan sekali lagi secara menyeluruh dan semuanya aman. Mereka terbang ke Paris malam itu juga tanpa meninggalkan pesan pada siapapun. Tepat sebelum tinggal landas pengawal Marcus mengatakan bahwa mereka sudah berhasil melumpuhkan anak buah Roberto dan kembali ke markas mereka di New York, di St. George, Staten Island. Tempat tersembunyi dimana mereka membaur dengna kehidupan di sana sebagai warga biasa. Itu salah satu cara mereka berkamuflase. Ada yang menjadi penjual daging, ada yang menjadi penjual bunga, bahkan ada yang menjadi pelayan restoran. Sebenarnya mereka adalah pengawal profesional terlatih yang bisa membunuh orang dengan pistol, tentunya dengan mata terbuka. Mereka berdarah dingin dan sangat mematikan, untuk itu Marcus rela membayar mahal mereka karena kepiawaian yang mereka miliki. Beberapa bahkan veteran militer.     

Shiena berbaring di ranjang di dalam jet pribadi milik Marcus, sementara pria itu duduk menatapnya lekat.     

"Kau tak ingin tidur?" Tanya Sheina.     

"No." Geleng Marcus, wajahnya masih penuh dengan kekhawatiran.     

"Kau mengatakan bahwa kita akan baik-baik saja bukan?" Alis Sheina berkerut.     

Marcus menghela nafas dalam, "Tidak sampai Roberto terbunuh." Ujar Marcus.     

"Apa ini dunia yang selama ini kau geluti?" Alis Sheina berkerut.     

"Ya." Angguk Marcus dengan tatapan kelam.     

Sheina menautkan bibirnya, dia seperti melihat Marcus dalam sosok lain yang begitu gelap. Dia seperti pangeran dari kegelapan dalam negeri dongeng, meski hatinya penuh dengan cinta, tapi tanannya berlumuran darah dan memegang senjata. Sheina bertanya dalam hatinya, "Apa aku jatuh hati pada pria seperti itu?" Gumamnya dalam hati.     

Rahang Marcus mengeras sekilas, "Tidurlah." Gumamnya sebelum akhirnya Sheina memilih memejamkan mata dan berusaha mencerna semua yang baru saja terjadi padanya. Dia tak pernah berpikir akan menjadi subjek kekacauan diantara dua kubu mafia, dan mengencani salah satu dari petinggi mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.