THE RICHMAN

The Richman - Temtation



The Richman - Temtation

0George tengah bersiap untuk pulang dari kantornya saat seseorang menghampiri mobilnya dan mengetuk-ngetuk kaca mobil milik pria itu. George menurunkan kaca mobil saat melihat yang berada di luar adalah seorang wanita.     

"Help . . ." Wanita itu meminta pertolongan pada George, wajahnya pucat dan tampak ketakutan. George membuka pintu mobilnya dan wanita itu masuk kedalam mobil.     

"Tolong pergi cepat, seseorang mengikutiku." Ujar wanita itu, George segera menyalakan mesin mobilnya dan memutar keluar dari area kantor. Sesekali George melirik ke arah wanita itu, bukan berarti jika dia seorang wanita maka dia tidak mungkin berniat jahat padanya.     

"Siapa namamu?" Tanya George.     

"Judith." Jawab wanita itu sembari sesekali menoleh ke belakang.     

"Ok, Judith sekarang aku akan mengantarmu ke kantor polisi. Kau bisa melaporkan apa yang terjadi padamu dan kau akan aman karena mereka akan memberikan perlindungan padamu." Ujar George.     

"Aku imigran dan visaku habis." Jujurnya.     

"Jadi kau imigran gelap?" Alis George berkerut.     

"Tolong aku, kali ini saja. Bawa aku kemanapun anda pergi." Gadis itu mulai meangis dan George tidak bisa melihat gadis menangis di hadapannya. Dia akan kewalahan dan memilih untuk mengambil opsi agar gadis itu berhenti menangis.     

"Ok, aku akan membawamu ke tempat temanku. Kau tidak bisa ikut aku kerumah, aku sudah menikah, apa yang akan dipikirkan isteriku jika aku membawa wanita lain kerumah." George menghela nafas dalam. Dia berpikit untuk membawa Judith ke rumah Daniel, teman dekatnya.     

George memutar mobilnya dan menuju ke apartment Daniel, namun sebelum tiba di apartment temannya itu, George menghubungi Daniel dan panggilannya di terima setelah dia menunggu berapa kali nada tunggu terdengar.     

"Halo." Jawab Daniel.     

"Daniel, aku butuh bantuanmu." George menjawab cepat. "Aku dalam perjalanan menuju apartmentmu."     

"George, maafkan aku sobat. Aku sedang tidak di apartment, isteriku mengajakku ke rumah orang tuanya." Jujur Daniel. "Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya.     

"Ya, aku baik-baik saja." George mematikan ponselnya, dia menepikan mobilnya dan menatap gadis itu.     

"Dengarkan aku, jika kau butuh uang, aku akan memberimu uang. Kau bisa menginap di hotel, dan aku akan memberimu uang."     

"Aku tidak butuh uang, karena percuma aku tidak akan bisa menginap di hotel manapun tanpa identitas." Gadis itu mengeluarkan kartu pasport kadaluarsa miliknya.     

"Kau baru berusia dua puluh dua tahun?" Alis George berkerut.     

"Yes Sir." Angguk Judith.     

"Dimana keluargamu?" Tanyanya.     

"Aku dibuang dari keluarga karena meninggalkan rumah." Jujurnya.     

George menghela nafas dalam, sebenarnya entah mengapa secara kebetulan sejak dua hari lalu isterinya pergi ke rumah orang tuanya membawa bayi mereka. Tapi itu bukan menjadikan alasan bagi George untuk memasukkan wanita lain, apalagi yang tidak dia kenal ke dalam rumahnya.     

George mengamati ponselnya, dia menghubungi Claire.     

"Hi sayang." Sapa Claire dari seberang.     

"Hi, bagaimana harimu?" Tanya George berbasa basi.     

"Baik-baik saja, kami menikmati liburan kami." Jawabnya. "Ella sempat rewel tadi, tapi dia baru saja tertidur." Imbuhnya.     

"Aku merindukan kalian." George membuang pandangan keluar dendela menghindari tatapan Judith.     

"Oh sayang, kami juga merindukanmu." Jawab Claire. "Dimana kau? Belum pulang kantor?"     

"On my way." Jawab George.     

"Ok, selamat istirahat. Maaf mungkin kami masih akan tinggal beberapa hari."     

"Nikmati liburan kalian, I love you." George mengakhiri panggilannya dan menyimpan kembali ponselnya. Dia menatap ke arah Judith dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia segera menyalakan kembali mesin mobilnya dan berkendara menyusuri jalanan sampai dia tiba di sebuah club malam. Tempat dimana petugas imigrasi tidak akan menemukan gadis malang itu. Dia juga tak butuh syarat administarsi untuk berada di sana.     

George memarkirkan mobilnya dan mengajak gadis itu keluar dari mobilnya. Dia masuk melalui pintu penjagaan dan membawa serta Judith.     

"Kita akan berada di sini sampai menemukan solusi." Ujar George.     

"Maafkan aku karena merepotkanmu. Tapi aku benar-benar berhutang budi padamu." Judith berkaca menatap George.     

"Simpan air matamu." Ujar pria itu, dia segera memesan minuman untuknya dan juga segelas juice buah untuk Judith.     

"Sekarang katakan padaku, apa yang terjadi?" Tanya George sembari menatap dalam wajah gadis itu. Judith menyesap juice dari gelas itu dengan tangan gemetaran.     

"Aku meninggalkan keluargaku dan pergi ke Amerika bersama pacarku." Ujarnya membuka kisahnya.     

"Lalu?"     

"Dia adalah warga negara, sementara aku imigran." Jujurnya. George menghela nafas dalam mendengar kisah itu, bukan satu-satunya kasus imigrasi yang menyebabkan seseorang akan di deportasi dan justru rela untuk melakukan apapun agar mereka tidak dideportasi. "Awalnya aku merasa bahwa dia adalah pria yang baik dan mencintaiku. Tapi setelah aku bermasalah dengan dokumen imigrasiku, dan uangku sudah habis untuk biaya hidup kami selama ini, dia mulai memintaku melakukan hal-hal yang buruk." Jujurnya.     

"Contohnya?" Alis George bekerut.     

"Menjual diri." Gadis itu tertunduk. George menghela nafas dalam, dia mengambil gelas minumannya di atas menja dan meneguknya. "Mengapa kau tidak pulang saja?" Tanya George.     

"Orang tuaku tidak lagi mengakuiku. Dan jika aku pulang ke negaraku, aku tak memiliki apapun lagi yang tersisa." Jujurnya.     

"Tidak ada orang tua yang akan membuang anaknya, setidaknya jika kau tulus meminta maaf, mungkin mereka akan memaafkanmu." George meyakinkan Judith si gadis muda yang malang itu.     

"Tidak semudah yang kau bayangkan." Geleng Judith. "Marco tahu kemana harus mencariku dan dia akan membunuhku jika dia berhasil menangkapku."     

George memegangi kepalanya. "Aku benar-benar kashian padamu nona muda, tapi aku juga tak tahu bagaimana cara membantumu." Jujurnya.     

"Tolong lindungi aku malam ini saja, aku berjanji besok pagi-pagi aku akan pergi. Setidaknya aku butuh tidur setelah tiga hari aku melarikan diri dari Marco." Judith memohon.     

"Tiga hari?" Alis George berkerut. "Apa selama itu juga kau tidak makan?" Alis George berkrut, tapi wajah gadis itu tak terlampau jelas di bawah lampu temaram club malam itu. Gadis itu menggeleng dan George menghela nafas dalam.     

"Ok, kita pergi dari tempat ini." George membawa Judith keluar dari kerumunan itu setelah membayar minuman mereka. Tidak ada pilihan lain selain membawa gadis itu pulang, memberinya makanan dan membiarkannya mandi lalu beristirahat. Setidaknya malam ini dia memiliki tempat untuk tidur.     

George berkendara dan membawa Judith kerumahnya.     

"Anda mengatakan bahwa anda memiliki isteri?" Judith bertanya.     

"Isteri dan anakku sedang berada di rumah orang tua isteriku." George membuka kunci pintu dan membawa Judith masuk.     

"Aku akan tidur di manapun, aku tidak akan merepotkanmu Sir. Terimakasih sudah memberiku tempat untuk beristirahat malam ini." Judith berkaca dan air matanya berderai-derai. Dibawah lampu yang lebih terang, George bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Sudut bibirnya robek, begitu juga dengan pelipisnya. Pakaian yang dia kenakan juga terlihat lusuh.     

"Kau bisa pakai kamar tamu. Mandilah, aku sedang memesan makanan cepat saji. Akan kubawakan untukmu ke kamarmu setelah makanan itu tiba." Ujar Goerge sembari menunjukkan sebuah kamar yang berada di lantai satu yang biasa di tempati tamu yang menginap di rumah besar itu.     

"Terimakasih Mr. . ." Judith menatap pria itu, dan George menyebutkan namanya. "George." Ujarnya singkat.     

"Thank you Mr. George."     

"Just George." George meninggalkan gadis itu dan berjalan ke kamarnya. Sesampainya di kamar dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Setelah minggu lalu secara misterius dia menerima telepon dari Emanuella Dimitry, Ratu Inggris yang entah mengapa menghubunginya kembali sebagai teman lama. Menceritakan banyak hal tentang hubungan rumahtangganya bersama sang suami, King of England. Mati-matian George berusaha menjaga hatinya untuk Claire dan Ella kecil, buah hati mereka. Dan kini seorang gadis muda meminta pertolonganya dan menginap di rumahnya.     

George bukan pria yang memiliki jiwa soaial sebesar kakek dan ayahnya, dan soal kesetiaan, memang dia tengah berjuang mati-matian untuk meneladani dua pria yang menjadi panutannya itu. Tapi ketika godaan datang silih berganti, apakah George akan benar-benar bisa kuat dan melewati semua godaan ini dengan baik.     

"Shit!" Umpat George dengan kesal, dia melonggarkan dasinya dan melucuti sepatunya. Setelah itu barulah dia mandi dan membersihkan dirinya. Hubungannya dan Claire tengah berada di titik yang cukup baik setelah sempat hampir hancur di awal pernikahan karena soal bulan madu. Hingga akhirnya sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke mana, Claire jatuh sakit dan harus dirawat selama dua minggu di rumahsakit. Hubungan mereka tertolong karena penyakit yang menyerang secara mendadak.     

Soal Emanuella Dimitry, George sudah menanggung beban yang sangat berat karena Claire memilih nama Emanuella untu bayi mereka diantara jutaan nama lainnya yang indah untuk bayi, entah sengaja atau tidak. Tapi itu menjadi siksaan tersendiri bagi George untuk menyebut nama wanita yang pernah begitu dicintainya menjadi nama bayinya. Meski pada akhirnya George setuju bayi mereka diberina nama itu, tapi inisiator namanya adalah sang ibu dari bayinya, Claire.     

***     

Piza yang dipesannya tiba, dan George turun ke lantai satu dengan mengenakan piyama mandi yang terikat di bagian pinggang. Membayar piza berukuran kecil itu dan membawanya ke kamar Judith.     

Tok Tok.     

Judith membuka pintu dan dia tampak baru saja mandi dengan rambut basahnya yang tergulung handuk juga kaos dan celana pendek yang dia ambil dari lemari. Memang di kamar tamu selalu disediakan pakaian bersih beberapa potong jika ada kondisi darurat.     

"Maaf aku meminjam pakian di lemari." Ujar Judith.     

"It's ok." George menyerahkan box mini piza untuk Judith.     

"Anda tidak perlu repot." Gumanya dengan mata berkaca.     

"Makanlah." George tersenyum sekilas sebelum meninggalkan depan pintu kamar tamu tmepat Judith berada.     

"Akan kuambilkan kotak obat untuk mengobati lukamu." Ujar George setelah melihat ternyata tangan Judith juga mengalami luka lebam di kedua pergelangannya dan cukup parah seperti bekas jeratan tali. Sembari melangkah menuju dapur tempat kotak obat disimpan, Geore memikirkan hal buruk macam apa yang dilewati gadis itu? Mengapa ada pria yang tega memperlakukan gadis selugu dan sepolos Judith dengan begitu kasar.     

George kembali ke kamar itu dan menyerahkan kotak obat pada Judith. "Kau bisa memakai obat lukanya sendiri." Ujar George. Dia jelas tak ingin melakukannya untuk wanita yang tak dia kenal sama sekali, aplagi melakukan kontak fisik yang cukup riskan dimana hanya ada dia dan gadis itu di dalam rumah. Membawanya pulang saja sudah membuat George merasa dirinya seperti penjahat dan penghianat, apalagi sampai melakukan kontak fisik dengan gadis itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.