THE RICHMAN

The Richman - Thank You for Have My Back



The Richman - Thank You for Have My Back

0Air mata Sheina berderai-derai sembari mengendarai kendaraannya pulang malam itu. Sound track yang dia putar di dalam kabin mobilnya benar-benar menggambarkan perasaannya.     

Mengapa Marcus tidak bisa menjadikannya kekasih sementara Sheina sudah mengatakan dengan jujur bagaimana perasannya pada pria itu? Mengapa Marcus tidak membiarkannya masuk lebih dalam, dalam kehidupan pria itu, mengapa Marcus mendorongnya menjauh dengan cara seperti ini?     

***     

Sheina sampai di apartmennya dan membawa semua barang-barang itu, tapi beberapa berjatuhan hingga berkali-kali Sheina harus menghentikan langkahnya dan memunguti barang-barangnya itu. Saat dia berjongkok untuk yang ketiga kaliny dan memungut beberapa lemon yang terjatuh, seseorang mengulurkan tangannya dan Sheina mendongak menatap pria itu.     

"Dad." Gadis itu berkaca menatap ayahnya.     

"I'll help you." Sang ayah mengambil alih belanjaan dari tangan Sheina dan menyisakan beberapa kantong yang bisa di bawa oleh puterinya itu sementara dia membawa barang yang lebih banyak.     

Sheina membuka pintu apartmentnya dan membiarkan Ben masuk. Setelah meletakkan semua barang itu, Sheina mengeluarkan dua kaleng softdrink untuk ayahnya dan satu untuk dirinya sendiri.     

"I miss you." Sang ayah menatap puterinya itu.     

"Me too." Jawab Sheina meski dia tak membalas tatapan sang ayah, dia lebih memilih menatap pada kaleng softdrink di tangannya.     

"Kau berusaha menghindari Daddy?" Tanya Ben sembari mengukur ekspresi wajah puterinya itu.     

"No." Gelengnya.     

Ben menghela nafas dalam, "Setelah aku menikah dengan Ketty, kau menarik diri dari daddy." Ben meraih tangan Sheina dan gadis itu mendadak berkaca. Meskipun Ben bukanlah ayah biologisnya tapi pria itu adalah cinta pertamanya. Sosok yang selalu bisa mengerti dirinya, mengayominya sebagai ayah, juga mengerti dirinya seperti seorang teman.     

"Aku hanya tidak ingin merusak kebahagiaan daddy." Ujar Sheina dengan air mata berjatuhan.     

"Kau adalah bagian dari keluargaku sayang, dulu atau sekarang. Dan bagiku, kau adalah yang paling penting dalam hidupku, selalu seperti itu." Ben menatap puterinya itu. "Itu tidak akan pernah berubah, kau adalah puteri kecil daddy. Jangan pernah lari dari daddy." ujar Ben sembari menggulung puteirnya itu dalam dekapannya.     

Rasa nyeri di dada Sheina bukan hanya soal bekas lukanya tapi lebih dari itu. Saat dia mengharapkan dekapan pria lain, bahkan mengemis cinta dari pria itu, pria yang jauh darinya sekarang, tapi di tempat ini, di tempat yang begitu dekat dengnanya, ayahnya selalu siap membanjirinya dengan cinta tanpa syarat. Selain itu, pelukan Ben, ayahnya tak pernah berubah, selalu sehangat dulu, sejak dirinya kanak-kanak hingga kini saat dia sudah dewasa dan tengah mengalami patah hati. Ayahnya selalu menjadi sandaran terbaik baginya.     

"Forgive me dad." Sheina berbisik di tengah isakannya.     

"Nothing to forgive me, because my love for you bigger then anything in this world. You will always be my baby."     

"Thank you."     

Untuk beberapa saat, pelukan sang ayah memang bisa meredakan semua kegetiran dalam dirinya. Setidaknya ada tempat bersandar dan menumpahkan semua persaan sedih dan kecewa yang sedang dia rasakan saat ini.     

***     

"Bagaimana liburanmu di Albania?" Tanya Ben setelah mereka bisa mengobrol dengan perasaan yang lebih netral dan suasana yang lebih nyaman.     

"Semuanya berjalan baik." Bohong Sheina.     

"Oliver mengatakan bahwa kau tak menghubunginya selama dua minggu terakhir." Ben menatap puterinya itu.     

"Ya." Jujur Sheina.     

"Kalian bertengkar?" Tanyanya.     

"No." Geleng Sheina. "Aku hanya ingin mengambil jarak untuk tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya pada Oliver."     

"Dan kau menemukan jawabannya?" Tanya Ben.     

Sheina tertunduk, dia menggeleng pelan. "Not yet."     

Ben meraih tangan Sheina dan meremasnya, "Take it slow." Ujarnya menasehati. "Tak semua hubungan harus berakhir dengan pernikahan." Imbuhnya bijak sana, dan Sheina mengangkat wajahnya menatap sang ayah.     

"Jika kau merasa bahwa Oliver dan kau akan lebih baik jika kalian hanya berteman, maka lakukan seperti yang hatimu katakan sayang. Jangan memaksakan dirimu untuk apa yang tidak ingin kau lakukan." Ben meyakinkan Sheina, dan gadis itu tampak menelan ludah.     

Dia menatap ayahnya, "Aku menemukan pria lainnya." Ujar Sheina dan Ben tersenyum sekilas.     

"Daddy sudah menduganya." Ben tersenyum sekali lagi.     

"Tidak seperti yang daddy pikirkan." Sangkal Sheina, meski tak mengatakan apa yang sedang dia pikirkan, tapi Sheina menyimpulkan dari bagaimana cara Ben tersenyum.     

"I'm not judging." Geleng Ben.     

"Dia menolakku." Jujur Sheina dengan mata berkaca menatap sang ayah, Ben meraih puterinya itu dan menggulungnya sekali lagi.     

"Daddy di sini, menangislah sesukamu."     

"Aku sangat menginginkannya dad." Ujar Sheina.     

"I know." Ben mengangguk paham. "Terkadang untuk ebberapa hal, kita tidak bisa memaksakan itu terjadi seperti keinginan kita." Ben menasehati.     

"Ya, aku hanya sedang berusaha menerima semua itu." Jawab Sheina.     

"Time will heal." Ben meraih wajah sang puteri dan mengecup keningnya. "Daddy bisa tinggal kalau kau butuh teman bicara."     

"No, I'm ok." Tolak Sheina.     

Ben menghela nafas dalam. "Jaga dirimu, semua akan baik-baik saja." Ben meyakinkan.     

"Ya." Angguk Sheina.     

Ben mengusap wajah puterinya itu sekali lagi dan menatapnya dalam, memastikan bahwa Sheina benar-benar cukup stabil untuk ditinggalkan sendiri malam ini di apartmentnya. "Call me if you need to talk, or need something."     

"Of course." Angguk Sheina. Setelah menangis dan bercerita pada ayahnya, kini perasaannya jauh lebih baik.     

"Some people are destined to cross our paths, but not to walk together toward the same goal as us." Ben memberikan nasehat terakhirnya sebelum meninggalkan puterinya itu. "They meet with us to give us meaning and leave behind memories. Not only everyone who passes must stay, and you must learn to accept that. Dady knows you're a strong girl. Immediately recover and be happy again, my dear daughter. "     

"Thank you dad." Mereka berpelukan sekali lagi sebelum akhirnya Ben meninggalkan apartment puterinya itu. Tentu saja Ben berusaha tegar ketika menghadapi puterinya, tapi begitu melangkah keluar dari pintu apartment puterinya itu, hatinya juga hancur melihat puterinya patah hati. Karena sejatinya semua orang tua merasakan sakit yang berlipat-lipat saat melihat anak-anak mereka terluka.     

Sementara itu di dalam apartmentnya, air mata Sheina kembali berjatuhan. Sama seperti ayahnya, dia juga berusaha untuk tidak terlihat terlalu terpuruk saat ada ayahnya, tapi begitu ayahnya pergi, ruang kosong itu kembali menganga di dalam dadanya dan membuatnya kembali sakit tanpa ada orang yang bisa memberikan pelukan lagi kali ini. Dia benar-benar sendiri dan patah hati.     

Sementara itu di ruang kerjanya, Oliver tengah memandangi foto Sheina yang sempat dia ambil bersama saat gadis itu masih berada di rumahsakit dalam pemulihan pasca kecelakaannya. Oliver bahkan menyimpan banyak foto dari gadis itu, sejak dia masih berjuang hidup dengan berbagai peralatan yang melekat di tubuhnya sampai dia bisa berjalan dan perlahan pulih.     

Oliver menekan satu persatu foto hingga semuanya terchecklist dan memilih opsi untuk menghapus. Tapi pada konfirmasi terkahir, "Are you sure want to delete 32 photos?" ibu jari Oliver berhenti dan tak memilih "Yes." Rahangnya mengeras sekali lagi, dan dia memilih opsi "No" kemudian menimpan ponselnya ke dalam saki celana kemudian meninggalkan ruangannya, menuju area parkir dan bersiap untuk berkendara pulang.     

***     

Tok Tok     

Sheina menghapus jejak airmata dan berjalan ke arah pintu. Dia berpikir ayahnya berubah pikiran dan memilih untuk tinggal, tapi saat dia membuka pintu, Oliverlah yang berdiri di hadapannya.     

"Hai." Senyum Oliver masih sama seperti setiap kali pria itu tersenyum, tak peduli berapa kali Sheina menyakitinya, melawannya, bahkan beradu argumen, senyum Oliver akan selalu sama seperti itu setelah semua hal buruk yang mereka lewati.     

Sheina menghambur ke pelukannya dan Oliver membalas pelukan gadis itu, dia mengusap punggung Sheina lembut dan mengecup keningnya.     

"I'll always be the best place to come back to when you're tired of searching for what you want. I will always have your back." Bisik Oliver. Dan hati Sheina menjadi semakin getir. Pria yang selalu diragukannya, tapi tak pernah pergi.     

"I'll never give up on us." Bisik Oliver lagi dan Sheina tak menjawab, tangisnya semakin menjadi. Rasanya seperti tertampar-tampar karena pria ini tetap setia tak peduli seberapa jauh dirinya berhianat atau meninggalkannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.