THE RICHMAN

Ther Richman - Regret



Ther Richman - Regret

0Sheina siuman sekitar setengah jam yang lalu, namun tanpa alasan yang jelas dia mengerang kesakitan, seolah sakit itu tak tertahankan. Dokter dan perawat yang bertugas memberikannya pain killer hingga dia bisa kembali tertidur.     

"Apa yang terjadi?" Tanya Marcus cemas.     

"Sepertinya Mss. Anthony pernah menjalani operasi besar belum lama ini." Ujar sang dokter.     

"Operasi besar?" Marcus bahkan tak menyadarinya.     

"Anda tidak menyadarinya?" Dokter itu menatap Marcus dan pria itu menggeleng lemah, dia merasa tidak berdaya karena dia tidak mengenal Sheina sedalam itu.     

"Kami tidak memiliki medical recordnya, dan kami sedang berusaha mencari tahu apa yang menyebabkannya merasakan sakit yang sedemikian. Kami akan mencari tahu."     

"Temukan penyebabnya." Marcus menatap sang dokter dan dokter muda itu mengangguk, dia menepuk pundak Marcus.     

"Berita baiknya, dia sudah semakin stabil." Jelasnya.     

"Thanks." Marcus duduk di sebelah Sheina berbaring dengan semua peralatan yang terpasang di tubuhnya. Hari ini menjadi hari yang berat bagi Marcus, setelah pemakaman Karim, Marcus tak beranjak dari rumahsakit. Dia lebih banyak murung beberapa hari terakhir. Entah karena kondisi Sheina yang tak kian membaik seperti yang dia inginkan meski dokter mengatakan bahwa kondisinya lebih stabil atau kenangan tentang pilihannya untuk mengakhiri hidup Karim dengan tangannya sendiri yang membuatnya seperti ini.     

Kenyataan bahwa Karim adalah dalang dibalik semua kekacauan yang dia alami, bahkan terbunuhnya ibu kandung dan juga ayahnya, dan sekarang Sheina yang menjadi sasaran berikutnya adalah hal yang sulit di terima oleh akal sehat Marcus. Semua fakta tentang Karim itu membuat Marcus hampir gila, ditambah kondisi Sheina yang membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Andaikan dia tahu akhirnya akan seperti ini, Marcus tentu akan melepaskan Sheina jika dia tahu bahwa bahaya terbesar bagi gadis itu adalah Karim. Sebelumnya Marcus begitu khawatir bahwa Sheina akan menjadi sesuatu yang berbahaya, ternyata bersama dengan gadis itu justru membahayakan nyawa gadis itu.     

"It will be the worst regret, jika sampai sesuatu yang buruk menimpa gadis itu."     

Meskipun kehidupan gelap yang dijalaninya selama ini tidak sering melibatkan perasaan, bahkan dia sama sekali tak menggunakan hati, namun urusannya dengan Karim, pria yang sejak awal di ceritakan ayahnya sebagai anak muda yang ditolong dan dibawanya dari pinggir jalan kemudian mendapatkan kehidupan yang baik dari kebaikan keluarga Marcus, teganya dia membunuh pria yang sudah memungutnya dari pinggir jalan, hidup sebatangkara sebagai gelandangan.     

Lebih dari tigapuluh tahun Karim menumpang hidup pada keluarga Marcus dan mengerogoti keluarga itu perlahan-lahan dari dalam, meski demikian, tak dapat di pungkiri ada ikatan batin tersendiri diantara dirinya dan Karim.     

Untuk dua belas jam berikutnya Marcus tidak meninggalkan tempat itu, hampir setiap detik menjadi begitu berharga bagi Marcus. Sheina harus kembali ditidurkan karena responnya saat terbangun justru menunjukkan rasa kesakitan yang begitu besar. Dokter sempat membawanya untuk melakukan CT scan untuk memastikan apa penyebab rasa sakit luar biasa yang dia alami.     

***     

Sheina menemukan kesadarannya dan rasa sakit itu kembali menyerang. Dokter dan perawat bersiap untuk memberinya suntikan pereda rasa nyeri yang memberikan efek kantuk luar biasa, tapi Sheina menolaknya.     

"Bisakah aku tetap sadar setelah disuntik?" Tanyanya dengan wajah meringis menahan sakit. Matanya bahkan mulai berair.     

Dokter tampak mempertimbangkan. "Kami akan mengurangi dosisnya."     

"Ok." Sheina menerima suntikan itu melalui selang infuse dan beberapa saat kemudian rasa nyeri yang semula begitu berat menjadi bisa diterima, meskipun itu jelas tidak nyaman.     

Dokter meminta perawat memastikan tekanan darah Sheina sebelum akhirnya keluar dari ruangan.     

"Bisakah aku menemuinya?" Tanya Marcus, membuat langkah sang dokter terhenti. "Apakah dia tetap sadarkan diri?" Tanya Marcus lagi.     

"Ya, respirator sudah kami lepas dan dia bernafas dengan normal." Jawab sang dokter. Dokter residen itu tersenyum. "Temui dia." Ujar sang dokter.     

"Thank you." Marcus masuk ke dalam ruangan dan menemui Sheina.     

"Hei…" Bisik Marcus dengan suara parau, dia menahan kegetiran di balik sapaan ramahnya. Sementara itu Sheina tak sanggup menjawab, dadanya naik turun menahan tangis.     

"Jangan menangis, itu akan membuat bekas operasinya terasa sakit." Marcus berbisik. "Kau akan baik-baik saja, aku ada di sini." Ujarnya sembari mengecup tangan Sheina berkali-kali. Marcus menarik kursi dan duduk di sisi ranjang Sheina.     

"Ya…" Wanita itu mengangguk, berusaha tersenyum tegar meski seluruh tubuhnya berteriak kesakitan saat ini.     

Marcus menelan ludah. "Aku berharap saat ini aku yang merasakan semua sakit yang kau rasakan."     

"No…" Geleng Sheina.     

Marcus terlihat getir menatap Sheina, "Harusnya aku melepaskanmu." Sesalnya.     

Sheina menarik bibirnya dalam satu garis tipis. "Ya." Angguknya.     

"Tapi ini sudah terjadi." Ujar Sheina terbata.     

"Ini salahku." Marcus menatap Sheina dengan tatapan kelam penuh sesal.     

"Jangan menyalahkan dirimu, mungkin ini bagian dari takdirku." Sheina menatap Marcus.     

"Aku tidak mau menjadi bagian takdir dalam hidupmu, jika itu bagian yang menyakitimu." Marcus meraih tangan Sheina. Marcus tampak menelan ludah, rahangnya mengeras dan dia tak memiliki jawaban untuk apa yang baru saja dikatakan oleh Sihena.     

"Aku akan menghubungi keluargamu." Marcus menatap Sheina.     

"No." Tolak Sheina. "Mereka tidak akan melepaskanmu begitu saja setelah apa yang kualami." Imbuhnya.     

***     

Malam hari, mereka berbicara lagi disaat malam tiba. Perawat meminta Sheina beristirahat cukup untuk menjaga kondisinya stabil. Dan dokter menemukan bahwa penyebab rasa sakit yang dideritanya adalah trauma yang dialami tubuhnya, dimana otak mengirim sinyal pada Sheina untuk mengingat rasa sakit yang sebelumnya dialami.     

"Hei." Sapa Sheina saat dia melihat Marcus masih duduk di tempatnya. "Terimakasih." Sheina tersenyum. "Kau pria yang sangat baik." Gumamnya lirih. "Maaf karena sudah salah menilaimu." Sheina menatap Marcus dengan tulus.     

"I'm not a good man as you think." Marcus membuka suara setelah mereka berada dalam keheningan dalam ruangan hangat berlampu temaram tempat sebuah meja panjang diletakkan. Marcus berada di ujung dan Sheina di ujung lainnya.     

"Mengapa kau mengatakan hal itu?" Tanya Sheina.     

Marcus menghela nafas dalam, "Ayahku menjalankan bisnis ini seumur hidupnya, dan aku tidak mungkin keluar dari bisnis ini seumur hidupku." Marcus memulai penjelasannya sementara Sheina memperhatikan ekspresi wajah Marcus. Pria itu menatap Sheina dengan tatapan dalam, "Ayahku kehilangan nyawanya karena bisnis ini juga." Ucapnya berat. "Aku bisa saja kehilangan nyawaku kapanpun tanpa bisa kutolak." Imbuhnya.     

Sheina menatap Marcus dengna nanar, matanya berkaca, "Kau bisa memilih bisnis lainnya." Ujarnya lirih.     

Rahang Marcus mengeras. "Itu tidak sesederhana yang kau pikirkan."     

"Nyawaku pernah terancam karena aku berusaha membongkar kasus yang berhubungan dengan pria sepertimu." Shiena mengenang saat dia mengalami kecelakaan mobil hebat.     

"Aku tidak seperti itu." Jawab Marcus.     

"Aku tidak mengatakan kau seperti itu, tapi mungkin Karim berpikir dengan cara yang sama, itu sebabnya dia berusaha memunuhku melalui Liz." Sheina menatap Marcus. "Kau dikelilingi bahaya Marcus."     

"Aku tahu itu sejak awal." Tatapan Marcus terlihat semakin kelam.     

"Berapa banyak kehilangan yang sudah kau lalui?"     

"Sangat banyak." Jawabnya getir. "Aku kehilangan kedua orang tuaku, beberapa temanku dan orang kepercayaanku." Marcus menjawab. "Dan aku hampir kehilanganmu." Ujarnya lirih dengan kilatan-kilatan penyesalan dalam di matanya.     

Sheina menghela nafas, "Kurasa setiap dari kita memiliki alasan untuk tetap berada pada pilihan kita. Seperti aku yang tetap memilih karirku meski aku tahu bahayanya."     

"Dokter sedang memastikan kau pulih dengan sempurna, dan sebelum jadwal liburanmu berakhir aku akan mengirimmu kembali ke negaramu." Ujarnya.     

"Marcus . . ." Sheina meraih tangan pria itu, dan Marcus yang semula hendak bangkit dari tempatnya duduk, mengurungkan niatnya dan kembali menatap Sheina.     

"What?" Tanyanya lirih.     

"You deserve better."     

"It's my life." Jawabnya.     

Sheina menatap pria itu dalam, "Jika kau merasa bahwa kau tak memiliki hati dan perasaan, kau salah. Aku bisa merasakannya, kau pria yang baik." Sheina menatap pria itu dan Marcus membalas tatapannya, untuk beberapa saat mereka saling menatap.     

"Cepatlah pulih." Marcus menolak untuk terlihat melibatkan perasaanya dalam percakapan diantara mereka berdua.     

"Can I hug you?" Sheina menatap pria itu sekali lagi dan rahang Marcus mengeras sekilas. Tapi pada akhirnya dia bangkit dan duduk di sisi ranjang tempat Sheina berbaring, dia merundukkan tubuhnya dengan ragu dan memberikan pelukan pada Sheina. Gadis itu dengan segenap tenaga yang dia miliki melawan rasa nyeri di bekas lukanya dan memeluk Marcus sembari mengusap punggung pria itu.     

"I'm sorry for your lost." Bisik Sheina, dia melepaskan pelukannya dan menatap Marcus dalam.     

"Aku akan kembali ke New York, aku sudah menemukan jawaban yang kucari." Sheina tersenyum menatap pria itu, "Thank you."     

Marcus menatap dalam pada Sheina dan bertanya, "Kau akan menikahi pria itu?"     

Sheina tersenyum, "May be not." Gelengnya.     

"Why?" Alis Marcus berkerut, "Kau bilang kau sudah menemukan jawaban."     

Sheina tersipu, "Aku menemukan bahwa bad boy lebih menarik." Jawabnya dan itu membuat Marcus tersenyum sekilas. "So don't marry him." Ujarnya lirih sebelum mendekatkan wajahnya ke arah Sheina dan memberikan ciuman pada gadis itu. Untuk kedua kalinya ciuman terjadi diantara mereka berdua namun kali ini rasanya berbeda. Semua terlihat begitu nyata bagi Marcus dan Sheina kali ini.     

"Aku hampir mati dalam kecelakaan mobil yang diawali dengan penembakan, lalu sekarang aku benar-benar tertembak, jadi kurasa aku bisa mengencani seorang mafia pada akhirnya sampai aku memiliki senjata apiku sendiri." Sehina tersenyum.     

"Kau tidak akan pernah mendapatkannya." Marcus membalas senyumnya, dan entah mengapa pria ini begitu manis ketika tersenyum, tapi dia lebih suka menyembunyikan senyum manisnya itu dibalik topeng garang dan wajah yang selalu muram.     

"Aku suka senyummu, mungkin kau harus lebih sering melakukannya jika di dekatku." Seheina mengusap wajah Marcus.     

"No." Dia merubah ekspresinya. "Kau akan kembali ke New York dan itu berarti waktunya kau melupakanku."     

"Kau tidak berhak mendikteku Mr. Bad Boy." Jawab Sheina, sekali lagi Marcus menggulungnya dalam pelukan. Terkadan gperasaan manusia memang begitu sulit diprediksi. Mungkin saja sudah menjalin hubungan dengan seseorang dalam jangka waktu yang lama tapi tak menemukan alasan untuk berkomitment, tapi ketika bertemu dengan seseorang yang benar-benar "klik" tak butuh waktu lama untuk mengungkapkan perasaan itu. Dan pilihan Sheina juga tampaknya diluar dugaannya sendiri. Dia tidak berpikir bahwa dia akan jatuh hati pada pria yang memiliki profesi sama dengan orang-orang yang sempat berniat untuk membunuhnya. Dia melawan rasa takutnya itu sendiri, meski dia bahkan tak tahu apakah perasaannya itu akan bertahan untuk waktu yang lama atau tidak. Baginya tak penting sekarang ini karena dia bisa melihat senyum Marcus, merasakan dekapannya, bakan ciumannya. Satu hal yang ingin dia lakukan adalah cepat keluar dari rumahsakit dan menjalani sisa waktu liburannya, menikmati petualangan dengan Marcus di Albania dengan segala vasilitas mewah juga segala previlege yang dia miliki sebagai bos mafia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.