THE RICHMAN

The Richman - Lizbeth



The Richman - Lizbeth

0Ini hari kedua dimana Marcus masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Sementara Hana tak bisa memberikan jawaban yang dinginkan oleh Sheina terkait dengan keberadaan pria itu. Sheina menjadi frustasi dan rasa bosannya bahkan hampir menelannya hidup-hidup.     

Selama Marcus tidak muncul di kamarnya, Sheina tidak berani keluar dari kamarnya. Itu juga yang dipesankan Hana padanya. "Jangan keluar dari kamarmu jika Tuan Marcus tak berada di rumah." Ujarnya. Dan perintah itu juga sesuatu yang tak diikuti oleh penjelasan detail hinggal Sheina tak tahu apa alasannya.     

Tapi bukan Sheina jika tidak hidup dalam bayang-bayang rasa penasarannya. Dia memutuskan keluar kamar dan melihat-lihat kesekeliling rumah, tentu saja tak sendiri karena dia membuntuti kemanapun Hana Pergi.     

"Siapa gadis itu?" Bisik Sheina.     

"Lisbeth, pengawal di rumah ini." Jawab Hana tak kalah lirih.     

Sheina sempat memperhatikannya sekilas. Lizbeth, si pengawal berambut pirang itu justru jauh lebih menyeramkan dibandingkan beberapa pria kekar di luar sana yang terkadang masih memberikan senyuman saat berpapasan dengan dirinya.     

"Sejak kapan dia menjadi pengawal Marcus?" Tanya Sheina sembari membantu Hana membersihkan rumah. Padahal yang diinginkan Sheina hanyalah mencari celah untuk kabur, atau mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Marcus.     

Hana menghela nafas, dia menatap Sheina sekilas, "Dia datang ke tempat ini sudah sekitar dua atau tiga tahun." Jawabnya lirih, sementara di kejauhtan Lizbeth mengawasi mereka berdua.     

"Mengapa dia wanita satu-satunya di tempat ini?" Tanya Sheina.     

Hana mengangkat bahunya. "Entahlah, aku tidak pernah bertanya pada Tuan Marcus."     

"Dan kau sendiri sudah berapa lama ada di tempat ini?"     

"Sejak Tuan Marcus masih kanak-kanak." Jawab Hana.     

"Kau mengenal orang tua Marcus?" Tanya Sheina ingin tahu.     

"Lebih lama dari Marcus mengenal ibunya." Jawab Hana.     

"Bagaimana mungkin?" Alis Sheina bertaut.     

Hana menghela nafas dalam, pandangannya menerawang jauh. "Marcus kehilangan ibunya saat usianya tiga tahun." Mata Hana berkaca saat mengatakan hal itu. Seperti ada ikatan emosional yang dalam antara wanita setengah baya ini dengan keluarga Marcus.     

Alis Sheina bertaut dalam, "Dia tidak pernah mengenal ibunya?"     

"Dari foto mungkin." Jawab Hana.     

Sheina menunjukan wajah penuh empati, tapi tanda tanya tak pernah berhenti terukir di benaknya dan spontan dia keluarkan beitu saja, "Dan ayahnya?" Sheina semakin ingin tahu.     

Sekali lagi Hana menghela nafas dalam. "Ayahnya menjalankan bisnis yang dilanjutkan Marcus saat ini."     

"Mengapa Marcus tidak memilih bisnis lain." Gumam Sheina untuk dirinya sendiri, namun tampaknya Hana mendengarnya dan menjadi tidak setuju.     

"Banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada Marcus dan bisnisnya." Hana menatap Sheina, "Kau tak akan pernah tahu." Ujarnya. Selama ini Sheina menerka-nerka bahwa si pria tampan nan seram itu bergelut di dunia gelap, entah itu perdagangan senjata api, perdagangan manusia atau apapun, tapi yang jelas senjata api tak pernah jauh dari hidupnya dan bisnis yang dia jalani adalah bisnis yang berbahaya, itu sebabnya dia butuh banyak pengawal untuk menjaganya. Meski itu hanya sekedar dugaan, tapi Sheina menatap Hana dengan tatapan tulus yang dalam. "Aku tidak ingin dia terluka." Ujar Sheina.     

"Begitu juga diriku." Hana mengusap lengan Sheina. "Aku selalu berdoa untuknya." Lanjut Hana.     

***     

Sementara itu Marcus tengah berkendara dengan mobil bersama Karim, orang yang paling dia percaya dalam bisnis ini. Usianya dua puluh tahun lebih tua dari dirinya. Karim sudah terjun di bisnis ini sejak masih mendampingi ayah Marcus, hingga kini dia meneruskan bisnis ayahnya, Karim adalah orang kepercayaan yang paling setia.     

"Sepertinya mereka akan membuat masalah." Karim membahas pertemuan dengan salah satu pimpinan mavia dari Asia yang tampaknya alot dalam membuat kesepakatan.     

"Bereskan, aku hanya ingin cepat pulang." Ujar Marcus tampak tak acuh.     

"Kau ingin segera menemui wanita itu?"     

"Ya." Jawab Marcus.     

Karim menghela nafas dalam, "Kau bisa jadi lemah karenanya Marcus."     

"Aku tidak pernah kuat, dan kau tahu betul soal itu."     

"Ayahmu akan kecewa jika karena seorang wanita kau gagal menjalankan bisnis warisannya."     

Marcus menghela nafas dalam. "Aku tidak akan gagal." Jawabnya yakin.     

"Kita masih akan berada di sini sampai kesepakatan ini bisa di capai."     

"Aku akan kembali ke Albania untuk dua hari dan kembali ke tempat ini untuk kesepakatan baru."     

"Tidak ada waktu untuk bermain-main Marcus." Karim tampak tak setuju, dan itu membuat Marcus kesal. Sayangnya dia juga tidak bisa menghubungi Sheina, bukan karena dia tidak mampu, dia hanya tidak ingin mendengarkan rengekan Sheina tanpa bisa menyentuh tubuhnya atau bibirnya.     

"Kau bisa menghubungi Lizbeth untuk bicara dengan wanitamu itu." Karim tahu betul keresahan hati Marcus, namun pria itu tampaknya bergeming.     

***     

"Hai." Sapa Sheina santai saat Lizbeth melintas, tapi wanita itu tak membalas senyum Sheina. Bahkan tatapan Lizbeth lebih seperti tatapan permusuhan dibandikan tatapan seorang pelindung.     

"Haruskah dia menatapku seperti ingin menelanku bulat-bulat seperti itu." Ujar Sheina, namun dia tampak mengabaikan dan memilih untuk berjalan-jalan di taman yang tak terlalu besar itu, sendiri.     

Saat tengah menikmati keindahan taman belakang rumah Marcus, Sheina merasakan ada orang yang mengikutinya. Sheina memelankan langkahnya dan menoleh, tapi tak di dapati siapapun. Degup jantung Sheina semakin keras, dia gugup dan ketakutan, mungkin saja seseorang mengikutinya dari belakang, dan entah apa tujuannya.     

Sheina mempercepat langkahnya, dan tidak lagi menoleh ke belakang, saat tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari arah belakangnya. Sheina menoleh dan tampak Lizbeth sedang menerima panggilan telepon dari seseorang.     

"Liz…" Gumam Sheina lirih. "Untuk apa dia mengikutiku diam-diam." Batin Sheina lagi. Lizbeth mendekatinya dan menyodorkan ponselnya pada Sheina. "Mr. Marcus." Ujar wanita itu singkat.     

"Oh…" Sheina menghela nafas lega. "Halo." Sheina membuka suara, dan di seberang terdengar sauara parau Marcus. "Hai."     

Sheina menutup telepon dengan tangan, "Bisakah meninggalkanku sebentar? Aku butuh privasi." Tanya Sheina dengan tatapan harap-harap cemas pada Lizbeth, tapi di luar dugaan wanita itu mengangguk sekali meski tanpa senyuman. Sheina segera membawa ponsel itu masuk ke dalam kamarnya setelah meminta Marcus bersabar menunggu sampai dia berada di dalam kamar dan siap berbicara berdua tanpa ada yang menguping.     

"Apa yang sedang kau lakukan." Ujar Marcus singkat.     

"Apa lagi yang bisa dilakukan seorang tawanan di kastil besar dengan lusinan penjaga, kau tahu, aku hampir mati bosan di sini." Gerutu Sheina.     

Dia mengigit bibirnya, karena begitu mendengarkan suara Marcus, bayangan tentang pria itu muncul dalam benaknya, dan ciumannya malam itu, juga terlihat kembali dengan begitu jelas. "Dimana kau sekarang?" Tanya Sheina ragu.     

Marcus terdengar menghela nafas, "Urusanku sedikit rumit di sini." Jujur Marcus.     

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Sheina.     

"Ya, Jangan bertindak bodoh dan mencelakai dirimu sendiri. Aku tidak ada di sana untuk menyelamatkanmu."Ujar Marcus, dan itu membuat Sheina tersenyum dengan wajah merona.     

"Kapan kau kembali?" Tanyanya lirih.     

"Soon." Jawab Marcus.     

Sheina mengigit bibirnya sekali lagi. "Ok, jaga dirimu." Marcus mengakiri panggilannya tanpa mengatakan apapun pada Sheina meski Sheina sudah menjadi begitu manis padanya hari ini.     

"Pria kaku." Gumam Sheina. Benar-benar dilema, antara menunggu Marcus kembali atau berusaha sekuat tenaga untuk kabur dari tempat ini. Sheina menatap ponsel Lizbeth dan berniat menghubungi keluarganya. Nomor yang dia hubungi adalah Ben.     

"Halo." Suara sang ayah menjawab panggilan Sheina.     

"Hi dad." Bisik Sheina lirih.     

"Sayang, kemana saja kau. Mengapa begitu sulit di hubungi?" Tanya Ben cemas.     

"Aku baik-baik saja, hanya sedikit kecelakaan. Ponselku hilang dan aku belum berhasil menemukannya. Aku meminjam ponsel pemilik penginapan untuk menghubungimu dan memastikan bahwa aku baik-baik saja." Suara Sheina menjadi parau karena dia menahan air matanya.     

"Sweetheart, kau baik-baik saja sayang?" Tanya Ben.     

"Ya, aku hanya merindukan kalian." Bohong Sheina. Dia jelas tidak ingin membuat ayahnya panic dengan mengatakan bahwa dirinya menjadi korban penculikan di Albania.     

"Dad, aku akan menghubungimu nanti setelah aku membeli ponsel baru. Atau tunggu saja, saat liburanku habis aku akan pulang." Sheina menyeka airmatanya yang berjatuhan.     

"Nikmati liburanmu sayang, daddy akan menunggumu pulang. Daddy sudah lega karena mendengar suaramu dan kau baik-baik saja."     

"Bye dad, I love you." Sheina mengakhiri panggilannya dan berjalan ke arah Liz yang menunggu di kejauhan untuk mengembalikan ponselnya setelah dia menghapus log panggilan keluar yang baru saja dia lakukan.     

"Thank you." Sheina menatap Liz sekilas dan wanita itu tetap tak mengeluarkan ekspresi apapun.     

***     

Sheina tak menemukan Hana dimanapun, sementara mata para pengawal it uterus mengawasinya. Satu-satunya tempat paling aman jika Marcus tidak berada di rumah adalah diam di dalam kamarnya. Itu yang hendak Sheina lakukan, dia berjalan kembali ke arah kamarnya.     

Sheina merasa ada yang mengikutinya dari belakang, hingga akhirnya dia menghentikan langkahnya dan menoleh. Di kejauhan Liz berdiri menatap ke arahnya, "Liz." Gumam Shiena, tapi seperti biasa wanita itu tak memberikan respon apapun.     

Sheina melanjutkan langkahnya, berjalan ke arah kamar. Beberapa langkah sebelum dia mencapi pintu kamar tiba-tiba terdengar suara tembakan dan seketika itu juga dia merasa tubuhnya terpelanting dan roboh ke lantai. Mendadak Sheina kehilangan kemampuannya untuk bernafas, dia tersengal-sengal dan tangannya menyentuh bagian tubuhnya yang koyak dan melihat darah di tangannya.     

"Liz…" Gumam Sheina sebelum akhirnya tidak sadarkan diri sepenuhnya.     

Semua pengawal bergegas menuju arah datangnya sumber suara, sementara itu Liz bisa melarikan diri tanpa ada yang menghalangi karena semua orang berpusat pada keselamatan Sheina.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.