THE RICHMAN

The Richman - Old Friend



The Richman - Old Friend

0Sheina sedang mengantri di coffee shop untuk layanan take home, entah mengapa dia memilih untuk menikmati kopinya di rumah hari ini. Di antrian depan seseorang tiba-tiba datang dan entah apa yang terjadi, pria yang baru saja masuk dan beriat menarik wanita yang berada di barisan tempat Sheina mengantri berjarak tiga orang di depannya itu beradu argumen dengannya dengan suara tertahan.     

"Lepaskan aku." Wanita yang mengatri itu berusaha mengibaskan lengan si pria dan wanita di belakangnya berusaha membela.     

"Easy man, dia tak ingin kau mengajaknya."     

"It's not your business!" Si pria justru tampak bersuara keras dan Sheina tertarik untuk mendekatinya.     

"Leave her or I'll call the pollice." Sheina menatap pria itu sembari melepas kacamata hitamnya, si pria tampaknya mengenali Sheina si pengacara yang sering wara-wiri di berita televisi dan memilih untuk menghindar.     

"Urusan kita belum selesai." Sang pria mengancam wanita itu dan Sheina terus menatapnya agar dia pergi menjauhi sang wanita.     

"Thank you." Wanita muda dengan rambut pendek itu mendongak menatap Sheina yang lebih tinggi darinya. Dia terlihat seperti keturunan Asia jika dilihat dari warna kulit dan bentuk matanya.     

"Sheryl?" Alis Sheina berkerut.     

"Sheina?" Gadis muda yang baru saja mendapatkan pembelaan dari Sheina tampak terkejut karena dia bertemu dengan teman semasa SMAnya.     

"Ok, kita akan bicara setelah kau mendapatkan kopimu, antrian di belakang masih panjang." Sheina kembali ke antriannya dan Sheryl mendapatkan kopinya karena kebetulan dia berada di nomor dua dari depan. Setelah mendapatkan kopinya, mereka memutuskan untuk berbincang dan duduk di meja kosong yang posisinya kebetulan berada di sudut ruangan.     

"Setelah sekian lama akhirnya kita bertemu di tempat ini." Sheryl tampak berbinar menatap Sheina.     

"Ya." Sheina mengangguk. "Aku tidak menyangka itu kau, kau tampil sangat berbeda." Puji Sheina, dia melihat Sheryl Wong dalam versi yang berbeda. Saat SMA gadis ini memiliki tubuh yang sintal dengan rambut hitam panjang terurai dan dia mengenakan kacamata. Tapi yang dia temui saat ini, dia benar-benar tampak berbeda dengan potongan rambut pendek model bob, dia terlihat jauh lebih kurus dan tanpa kacamata.     

"Aku dengar kau tinggal di German beberapa tahun lalu." Ujar Sheryl.     

"Ya, hanya untuk sekolah." Ujarnya.     

Sheryl tersenyum, "Aku sering melihatmu di televisi, kau keren Sheina, kau selalu keren." Pujinya.     

"Thank you." Sebenarnya pujian itu justru membuat Sheina sesak nafas. Tidak ada yang keren sama sekali apalagi percobaan pembunuhan yang terjadi padanya. "Bagaimana denganmu?" Tanya Sheina.     

"Aku hanya menikmati traveling setelah aku sempat hampir gila bekerja di wall street." Ujar Sheryl dan itu membuat Sheina terkekeh.     

"Kau serius?" Tanya Sheina.     

"Ya." Angguknya. "Aku sempat mengalami masalah serius, mental illness." Imbuhnya.     

"Really, bagaimana itu bisa terjadi?" Sheina menjadi penasaran.     

Sheryl menghela nafas dalam, "Wall street, kau tahu itu adalah tempat yang tidak akan memberimu akses untuk tidur. Setiap hari kau hanya memikirkan soal untung dan rugi dan aku terjebak dalam masalah yang semakin dalam karena aku kehilangan kehidupanku demi uang." Sheryl tersenyum.     

"Aku bekerja di perusahaan keuangan ternama dan dalam semalam karena kelalaianku dan kesalahan analisis yang kulakukan aku hampir membuat perusahaanku bangkrut dan aku dipercat. Kehilangan pekerjaan dan sebagian besar tabunganku pribadi, aku hampir gila." Sheryl tersenyum.     

Sheina mendengarkan dengan sangat tertarik, sementara Sheryl menyesap kopinya. "Kau tahu, insomnia jika dibiarkan akan semakin parah dan itu terjadi padaku. Awalnya hanya insomnia, lalu aku mengalami gangguan kecemasan, semacam OCD, aku melakukan pengecekan berulang untuk berbagai hal yang kukerjakan dan memastikan aku tidak melakukan kesalahan." Sheryl menghela nafas, "Karirku hancur karena seorang financial planer berakhir, tidak ada satupun perusahaan jasa sekuritas yang mau mempekerjakanku karena satu keteledoran yang kubuat, setelah aku bekerja bertahun-tahun. Itu fatal." Ungkap Sheryl.     

"Aku turut prihatin." Sheina meraih tangan Sheryl. Meski semasa SMA mereka tidak begitu akrab, tapi Sheina selalu membantu Sheryl saat gadis itu mengalami pembulian dan diskriminasi oleh teman-teman di kelasnya.     

Sheryl tersenyum. "Itu jutru menjadi titik balik dalam kehidupanku." Senyumnya. "Aku pulang ke Singapore, tempat nenekku tinggal. Dan belajar berdamai dengan diriku sendiri. Aku belajar mencintai diriku dan menerima situasi saat itu. Dengan sisa tabunganku aku mengubah rencanaku dan memilih untuk hidup bertamasya. Aku mendapatkan uang dari jasa keuangan personal dengan aplikasi yang kuciptakan, jadi aku tidak perlu bekerja untuk sebuah perusahaan, aku bekerja dengan diriku sendiri." Ujar Sheryl.     

"It's amazing." mata Sheina berbinar. "Aku selalu tahu bahwa kau adalah berlian Sheryl, bahkan saat teman-teman di kelas kita mentertawakanmu."     

Sheryl mengangguk, "Setiap kali aku jatuh, aku menemukan titik pantul dalam kehdupanku dan menjadikannya moment untuk bangkit."     

"Kau benar-benar menginspirasiku." Sheina tersenyum. "Belakangan aku merasa jenuh dengan apa yang kukerjakan. Terkadang aku menemukan pekerjaanku memberikan pengaruh terhadap caraku memandang kehidupan dan mempengaruhi caraku memandang hubungan pribadiku dengan orang-orang di sekitarku." Keluh Sheina.     

"Kau lelah Sheina, cobalah ambil sedikit waktu dan lakukan sesuatu yang out of the box. Nikmati betapa serunya kehidupan dan betapa sia-sia jika kita hanya mengerjakan satu hal yang sama setiap hari tanpa tahu value diri kita jika kita melakukan hal lainnya." Sheryl menatap dalam ke arah Sheina.     

"Kau benar." Sheina seolah baru saja tercerahkan dengan apa yang dikatakan Sheryl padanya, tentang mengambil jeda untuk melakukan hal baru. Mencari titik pantul dalam kehidupan untuk menemukan lompatan yang lebih tinggi.     

"Ya, coba lakukan." Sheryl berbinar menatap Sheina.     

"Oh ya, aku sungguh tak ingin mencampuri urusanmu. Tapi pria barusan?" Sheina menyipitkan matanya ke arah Sheryl.     

"Dia mantan kekasihku, Daniel. Kami baru saja putus dan dia masih belum bisa terima bahwa hubungan kami berakhir." Jawab Sheryl santai.     

"Wow, kau tampak benar-benar berubah, aku bahkan tak bisa menemukan Sheryl Wong yang dulu ku kenal." Sheina terkekeh dan Sheryl menimpali tertawa, mentertawakan diri sendiri adalah tanda bahwa seseorang memiliki kesehatan mental yang baik, dan itu sudah terbukti bahwa Sheryl semakin bisa menemukan kepercayaan dirinya dan dia tampak begitu menikmati menjadi dirinya.     

"Sheryl, aku sangat senang bertemu denganmu. Bisakah kau meninggalkan nomor ponselmu, kita bica bicara banyak setelah ini." Sheina menyodorkan     

"Tentu saja." Dengan cekatan Sheryl menuliskan nomor ponselnya di telepon pintar meilik Sheina.     

"Thank you." Sheina tersenyum, "Tapi maaf, aku harus pergi karena hari ini aku ada janji bertemu dengan dokterku, sebuah kecelakaan mobil membuat tanganku sempat mengalami patah tulang dan beberapa waktu lalu aku merasa kurang nyaman tanpa sebab, jadi aku membuat janji temu dengan dokter hari ini pukul sebelas." Terang Sheina dan Sheryl mengangguk paham.     

"Ok, sampai jumpa." Sheryl bangkit dari tempatnya duduk dan Sheina memberinya pelukan singkat. Mereka berpisah dan dalam perjalananya menuju rumahsakit, Sheina terus berpikir untuk mengambil jeda dalam hidupnya. Mungkin setelah itu dia bisa melihat semuanya dengan lebih jelas. Dia bisa melihat seberapa besar cintanya pada Oliver setelah selama ini terjadi keraguan yang datang dan pergi. Dia juga ingin menemukan jati dirinya setelah semua proses yang kehidupan yang dia alami selama ini, mencoba menemukan "value" dirinya.     

Seperti yang selalu dikatakan orang, bahwa lukisan harus di pandang dari jarak jauh agar terlihat wujudnya. Melihat lukisan dari jarak dekat justru tampak buram. Begitu juga dengan kehidupan, terkadang kita harus sesekali mengambil jarak dari orang-orang terdekat agar kita bisa merasakan makna kehadiran mereka dalam hidup kita.     

***     

Sheina mengambil ponselnya dan menulis pesan singkat tepat setelah dia berkonsultasi dengan dokter dan sang dokter mengatakan bahwa kondisinya baik-baik saja, nyeri yang sempat dia rasakan dimungkinkan karena kelelahan dan kurang vitamin. Karena kesehatannya dalam kondisi Prima, Sheina merasa ini waktunya mengambil jarak, seperti yang dikatakan Sheryl tadi di coffee shop.     

"Aku akan mengambil cuti selama dua minggu." Tulis Sheina dan dikirim ke nomor Oliver. Pria yang tengah sibuk bekerja itu segera menghubungi Sheina begitu mendapatkan pesan singkat dari wanita yang dicintainya itu, meski sudah puluhan kali menolaknya, bahkan memutuskan pertunangan mereka, tapi setiap tindakan yang diambil Sheina menjadi concern bagi Oliver.     

"Halo." Oliver membuka suara.     

"Hai." Jawab Sheina ragu-ragu, dia yakin bahwa Olvier akan mempertanyakan keputusannya ini mati-matian.     

"Apa maksudmu dengan cuti dua minggu? Apa kata dokter?" Oliver tahu bahwa sepulang dari apartmentnya Sheina akan menemui dokternya untuk konsultasi. Oliver khawatir jika hasil pemeriksaannya menunjukan hal yang buruk hingga Sheina harus mengambil cuti selama dua minggu.     

"Tidak, aku baik-baik saja." Sheina berusaha menjelaskan. "Ini bukan soal kesehatanku." Imbuhnya.     

"Lalu mengapa kau ingin mengambil cuti dua minggu?"     

"Aku ingin jalan-jalan." Jawab Sheina santai.     

"Kau akan pergi kemana?" Oliver menjadi penasaran.     

"Aku belum memutuskan." Jawab Sheina.     

"Kau ingin kita pergi bersama?" Oliver sungguh berharap mereka bisa mengambil waktu untuk liburan bersama, mungkin akan lebih mudah bagi Sheina untuk merasakan betapa Oliver mencintai dan menginginkannya.     

"Tidak kali ini." Jawab Sheina mantap. "Sorry Oliver, aku ingin menikmati waktuku sendiri untuk beberapa saat, aku butuh menjernihkan pikiranku." Terangnya.     

"Kau benar-benar ingin lari dariku?" Tanya Oliver dan itu membuat Sheina tertawa. "Tentu saja tidak." Sangkalnya. "Aku justru berharap setelah liburan dua minggu yang kuambil, aku bisa kembali dan melihat hubungan kita dengan lebih jernih." Sheina berargumen.     

"Atau kau akan menemukan pria lain yang lebih menarik dariku."     

"Hei . . ." Sheina terkekeh. "Mengapa seorang Oliver Hawkins menjadi begitu insecure?"     

"I'm not." Bantah Oliver. "Ok, ambil cuti duamingumu dan kembali padaku." Jawabnya.     

"Yap." Sheina tersenyum sembari meninggalkan loby rumahsakit dan menuju area parkir mobilnya. "Bye." Sheina mengakhiri panggilannya dan masuk kedalam mobilnya. Didalam mobil sebelum dia meninggalkan rumahsakit dia menghubungi Ben, ayahnya dan mengatakan hal yang sama.     

"Hi dad, are you busy right now?" Tanya Sheina.     

"Hi sweetheart, tentu saja selalu ada waktu untukmu sayang. Ada apa?" Tanya Ben.     

"Dad, aku akan mengambil cuti dari pekerjaanku dan pergi liburan." Ujarnya.     

Ben terlihat cukup terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh puteirnya itu. "Wah, itu baik sayang, aku senang mendengarnya. Kau memang mebutuhkan liburan." Ujar Ben. "Kau pergi dengan Oliver?" Tanya Ben.     

"Tidak, aku ingin pergi sendiri." jawab Sheina.     

"Are you ok sweety?" Tanya Ben mendadak, pergi sendiri bukanlah type Sheina mengingat dia selalu pergi dengan ayahnya dan setelah dia memiliki kehidupannya sendiri, Oliver menjadi orang yang tak pernah jauh darinya. "Kau bertengkar dengan Oliver?"     

Sheina terkekeh, "Tentu saja tidak dad, aku bukan anak-anak lagi."     

"Ok. Lalu mengapa begitu mendadak dan mengapa kau ingin pergi sendiri?"     

Sheina menghela nafas dalam, "Jauhkan pikiran-pikiran bodoh tak masuk akal dad, aku hanya ingin menikmati liburan sendiri. Aku bosan dengan semuanya dan benar-benar butuh waktu untuk diriku sendiri."     

"Ok sayang, kau sudah dewasa dan daddy tahu kau bisa menjaga diri."     

"Thank you dad." Jawab Sheina. "Aku akan menemuimu setelah kembali dari liburanku."     

"Beri tahu daddy, kemana kau akan pergi?"     

"Aku belum punya tujuan, aku akan mengabarimu setelah aku menemukan tujuanku." Jawab Sheina.     

"Ok sayang, aku selalu berharap yang terbaik untukmu."     

"Thanks dad, I love you." Tutup Sheina.     

"I love you too baby." Jawab Ben. Panggilan mereka berakhir dan Sheina tidak sabar untuk tiba di rumah dan segera melakukan mencarian melalui mesin pencari Google untuk menemukan tujuan wisata out of the box yang akan mengubah hidupnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.