THE RICHMAN

The Richman - Dealing with Danger III



The Richman - Dealing with Danger III

0Bunyi beep mendominasi di dalamruangan yang penuh dengan peralatan medis itu. Seorang dokter anastesi bertugas bersama seorang dokter bedah neurologi dan seorang dokter berdah ortopedik tengah bertugas didampingi beberapa perawat dan dua orang dokter residen. Semula operasi berjalan lancar sampai mendadak tekanan darah Sheina drop dan jantungnya melemah. Dokter bedah jantung langsung ikut terjun dalam operasi penjelamatan gadis muda itu, dan memakan waktu kurang lebih lima jam.     

Saat di bawa ke ruang ICU, Sheina sama sekali belum sadarkan diri dan dokter mengatakan jika dia siuman dan bisa kembali normal setelah semua hal buruk itu, semuanya adalah sebuah keajaiban. Ben menangis di sisi tempat tidur Sheina sementara Oliver memilih keluar dari ruangan itu. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya dari kemarahan yang meledak, tak tahu siapa yang harus disalahkan untuk semua yang terjadi.     

Sheina harus bernafas melalui ventilator dan dia dibuat tertidur untuk memastikan recoverinya tidak terganggu. Untuk beberapa lama dia akan tertidur dan hanya tertidur, sementara semua orang yang mengenalnya hidup dengan harapan tipis untuk dia kembali seperti sedia kala.     

***     

Keesokan harinya, setelah malam yang panjang dan menakutkan Ben masih duduk di dalam ruangan tempat puterinya di rawat sementara Oliver juga masih berada di ruangan yang sama. Tapi dia mendapatkan kabar yang lebih buruk dari itu, Jovanca Bill ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Dan saat ini jasadnya dibawa ke rumahsakit untuk diautopsi.     

"What is that?" Ben melihat ekspresi Oliver setelah menerima panggilan di ponselnya.     

"Ini tentang kasus yang sedang ditangani oleh Sheina." Jawab Oliver. "She's dealing with danger, dan aku sudah memperingatinya berkali-kali tapi tidak di dengarnya." Oliver menggeleng putus asa.     

Ben menghela nafas dalam, dia meraih tangan Sheina dan mengusapnya lembut. "She remind me of her mother." Bisik Ben dengan senyum getir. "Ibunya meninggal demi mempertahankan apa yang dia anggap benar." Ben mengingat betul bahwa Leah kehilangan nyawanya saat dia berjuang mati-matian untuk memiliki buah hatinya sendiri, bayi yang lahir dari rahimnya. Tapi bahkan sebelum bayi itu lahir, dia sudah kehilangan nyawanya begitu juga dengna bayi mereka.     

"Ya." Angguk Oliver. "Dia tidak pernah mendengarkanku, dan meskipun aku sangat marah padanya, dia tahu bagiamana membuatku lemah di hadapannya." Ujar Oliver.     

Ben tersenyum, "Kita berada di posisi yang sama." Ujarnya.     

"Aku meminta bantuan pengawalan khusus untuk beberapa waktu sampai kasus ini bisa diatasi." Ujar Oliver.     

"Apa itu perlu?" Tanya Ben.     

"Sangat, mereka tidak akan berhenti memberikan teror sampai kita angkat tangan dengan kasus ini." Ujar Oliver. "Aku sudah pernah menghadapi yang sejenis dan aku kehilangan rekan kerjaku karena keras kepalaku." Rahang Oliver mengeras. "Aku tidak ingin kehilangan Sheina." Ujar Oliver.     

"Jadi bagaimana selanjutnya?" Tanya Ben.     

"Sheina akan tetap berada di rumahsakit dan aku akan tetap berada di sini duapuluh empat jam untuk memastikan tidak ada sabotase dari siapapun, aku memiliki beberapa kenalan di rumahsakit ini dan mereka bisa dipercaya." Ujar Oliver. "Sebaiknya kau pulang dan jaga keluargamu."     

"Dia puteriku." Ben mengkerutkan alisnya, seolah Oliver mengusirnya dan itu membuat egonya terluka.     

"Aku tidak memintamu untuk tidak datang lagi, kau bisa datang setelah situasinya aman." ujar Oliver. "Aku akan menjaga puterimu dengan nyawaku, dan beberapa pengawal akan memastikan semuanya baik-baik saja." Oliver meyakinkan Ben dan setelah memberikan kecupan kecil di kening Sheina, Ben meninggalkan puterinya itu.     

***     

Oliver mengambil ponselnya, "Sorry but I have to fight on my way." Bisik Oliver saat menggenggam tangan Sheina. Dia menghubungi kenalannya dan meminta untuk mengusut tuntas kasus ini. Siapapun yang mencelakakan Sheina dengan sedemikian fatal harus mendapatkan balasan yang setimpal. Dan wanita tua yang mati karena kasus ini, kematiannya tidak boleh sia-sia.     

Oliver menerima panggilan dari ayahnya. "Thank you dad." Jawab Oliver.     

"You can count on me, son." Jawab pria itu. Jejaring Marshall Hawkins jelas lebih luas dibandingkan puteranya dan kasus ini sudah pernah ditanganinya berkali-kali, bahkan yang jauh belum berbahaya. "Aku akan membantumu dengan sekuat tenaga."     

"Aku berhutang padamu, Dad."     

"Aku akan melakukan yang terbaik untukmu, Son. Bagaimana keadaanya?" Marshall menanyakan tentang Sheina.     

"Kondisinya stabil, tapi belum ada perkembangan berarti."     

"Aku berharap dia segera melewati masa kritisnya."     

"Ya." Jawab Oliver, dia menatap gadis yang dicintainya itu.     

"Ok, aku akan menghubungimu lagi." Marshall menutup panggilannya dan Oliver menyimpan ponselnya. Dia meraih tangan Sheina sekali lagi. "Stay with me please." Bisiknya di telinga Sheina dan tidak ada respon dari gadis itu selain bunyi beep dari mesin yang menandakan bahwa jantungnya masih berdetak normal.     

Oliver menghela nafas dalam, "Aku kehilangan Randy dalam kasus seperti ini." bisik Oliver di dekat wajah Sheina, dia berharap suaranya yang lirih cukup terdengar oleh Sheina meski dia tidak merespon.     

"Kasus pertamaku, saat itu aku bersama Randy temanku dihadapkan dengan kasus yang sama. Aku mendapatkan peringatan untuk melepas kasus itu tapi aku mengabaikannya. Randy membackupku dalam kasus itu dan kami berusaha menggali berbagai fakta yang ada sampai hari itu kami baru saja memenangkan kasusnya di pengadilan dan kami pergi keluar untuk merayakan kemenangan kami." Bisik Oliver.     

Tatapannya jelas kelam, dia juga terlihat berat mengatakan semuanya di hadapan Sheina yang berjuang mempertahankan hidupnya yang saat ini bergantung pada semua peralatan medis penyokong kehidupan yang terpasang padanya.     

"Randy ditembaki dengan brutal di depan bar tempat kami minum saat aku masih berada di dalam untuk mengambil kunci mobilku yang tertinggal." Oliver menelan ludah, wajahnya mendadak pucat.     

"Delapan belas peluru menembus tubuhnya dan dia meninggal ditempat. Aku berhutang nyawa padanya, karena semua peluru itu seharusnya menembus tubuhku, aku yang menjadi sasaran mereka." Bisik Oliver.     

"Bangun dan aku tidak akan marah padamu." Bisiknya lagi. "Bangun, kumohon bangunlah." Sekali lagi Oliver berbisik, dan dia melihat sudut mata Sheina mengeluarkan air mata.     

"Aku tahu kau mendengarku, dan apapun yang kau rasakan disana, atau yang kau alami di sana, bangun dan kembali padaku." Oliver mengecup tangan Sheina dan menatap gadis itu dengan mata berkaca.     

Ponsel Oliver bergetar dan dia melihat ke arah ponsel, pesan singkat dari ayahnya.     

"Aku berada di kantormu, semua pekerjaanmu sudah ku-handle. Fokus pada penyembuhannya." Tulis Marshall. Pria itu memang tak cukup dekat dengan puteranya ataupun Sheina, tapi saat Oliver berjuang antara hidup dan mati di rumahsakit, tertembus peluru dalam kasus Vely, Sheina tak pernah pergi dari sisinya. Itulah sebabnya Marshall tahu seberapa besar mereka saling mencintai satu sama lainnya.     

Sesuatu yang selalu dianggapnya sebagai kegagalan karena dia tak bisa menjadi role model bagi Oliver. Kegagalan hubungannya dengan mantan isterinya, ibu kandung dari Oliver, perceraian yang berujung perebutan hak asuh atas Oliver juga ibunya yang ditemukan bunuh diri, semuanya menjadi beban di pundak Marshall. Pria tua itu bahkan bersumpah bahwa sisa hidupnya akan dia gunakan untuk selalu ada bagi puternya, untuk menebus masalalu yang dialami Oliver yang tidak semuanya indah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.