THE RICHMAN

The Richman - Atlanta



The Richman - Atlanta

0yoSheina duduk di bangku pesawat dengan penerbangan first class menuju Atlanta. Hari ini seharusnya dia dan Oliver yang akan pergi ke Atlanta untuk menemui ibu biologisnya setelah menemukan waktu yang sesuai. Mereka berdua berjanji untuk bertemu di bandara pagi ini pukul 9.00 dan pesawat mereka berangkat ke Atlanta satu jam kemudian, tapi Oliver tak muncul sampai detik terakhir. Sheina hampir putus asa dan membatalkan penerbangannya ke Atlanta hari ini, tapi melewatkan kesempatan ini hanya akan membuat dia tidak memiliki kesempatan lainnya untuk terbang ke atlanta dan menemui ibu biologisnya.     

Beberapa kali dia sempat menghubungi Oliver dan ponselnya tidak aktif. Sheina mengirim pesan singkat pada Oliver juga tidak membalas pesannya.     

"Hai." Seorang pria yang duduk di sebelahnya menyapanaya dengan ramah.     

"Hi." jawab Sheina seadanya.     

"Kau sering ke Atlanta?" Tanya Sheina.     

"No." Geleng Sheina, "My first time." jawabnya singkat.     

"For business?" Tanya pria itu lagi.     

"No." Geleng Sheina. Gadis itu tampak tak ingin berbicara banyak dengan orang asing yang tidak dia kenal sama sekali apalagi di dalam sebuah penerbangan. Pembicaraan basa-basi yang tidak akan mengarah kemanapun.     

"Aku akan menikah minggu depan." Ujar pria itu dan yang bisa diberikan Sheina sebagai ungkapan ikut bahagia meski tak mengenal hanyalah seulas senyum singkat.     

"Aku melakukannya karena ibu gadis itu sekarat dan dia ingin kami segera menikah." Ujar pria itu. Sebuah kejadian yang memaksa orang-orang mengambil keputusan besar dalam hidupnya karena kesempatan hidup orang lain mungkin sudah sangat terbatas saat ini.     

Itu juga yang dilakukan oleh Sheina, dia terpaksa datang ke Atlanta untuk menemui ibu biologis yang sebenarnya tak begitu ingin dia temui. Tapi mengingat mungkin ini kesemaptan terakhir dia melihat ibunya itu, maka dia melakukannya saat ini juga.     

"Kau mencintainya?" Tanya Sheina mendadak tertarik dengan cerita pria itu.     

"Aku tak yakin." Jawabnya. "Kami teman sejak di bangku kuliah, lalu kami berpisah dengan kehidupan masing-masing dan beberapa bulan lalu kami bertemu lagi dan menjadi cukup akrab. Tapi aku belum siap memikirkan hubungan yang lebih jauh."     

"Dan mengapa kau melakukannya jika kau tak menginginkan pernikahan ini?" Alis Sheina bertaut.     

"Dia gadis yang baik." Jawab pria itu.     

"Jadi hanya karena dia baik?"     

"Dan dia temanku." Jawabnya.     

"Poor guy." Gumam Sheina lirih. "Ok, good luck for you then." Sheina memasang headset dan mendengarkan musik sementara sang pria tak memiliki akses untuk mengobrol lebih lanjut bahkan memperkenalkan siapa dirinya pada Sheina. Gadis muda itu hanya berusaha untuk menyibukkan diri dan mengalihkan pikirannya dari Oliver yang mendadak mengingkari janjinya.     

***     

Sheina mendarat di Atlanta dengan selamat dan segera menuju ke rumahsakit di sana, tempat ibu biologisnyanya dirawat, Atlanta General. Setiba di sana dia bertemu dengan salah seorang dokter yang sudah dihubunginya, dokter itu merawat ibu biologisnya selama menjalani kemoterapi. Dan saat ini sang ibu biologis sudah tidak berada di rumahsakit, dia sudah pulang ke rumahnya.     

"Dia baru saja pulang tiga hari yang lalu, dan kondisinya stabil." Ujar sang dokter.     

"Anda tahu siapa saya dan untuk apa saya datang ke rumahsakit ini dokter." Ujar Sheina. "Tapi sebelum itu, bolehkah aku menemuinya secara pribadi?"     

"Tentu." Sang dokter menuliskan alamat tempat tinggal ibu biologisnya di sebuah kertas dan memberikannya pada Sheina.     

"Thank you." Gadis itu keluar dariruangan dokter, masih membawa kopernya dan menuju ke kafetaria untuk meminum segelas kopi karena dia merasa perjalanan kali ini cukup melelahkan baginya, tak hanya fisik tapi juga emosional.     

Sheina menyesap kopinya sembari melihat ke arah kertas di tangannya, ada dua pilihan, untuk mengunjungi alamat itu atau tidak pernah sama sekali. Gadis itu melihat ke ponselnya, berhapar mendengar kabar dari Olvier tapi pria itu bahkan tak memberinya kabar sama sekali.     

Sheina memutuskan bahwa perjalanan ini adalah untuk dirinya sendiri, sangat pribadi antara dirinya dan wanita di masalalunya. Sheina meninggalkan cafetaria dan dengan taksi dia berangkat menunju alamat wanita itu, dia sengaja belum membooking hotel karena dia bahkan tak yakin untuk berapa lama dia bisa dan akan tinggal di kota itu.     

Sepanjang jalan menuju alamat rumah ibu biologisnya, Sheina terlihat gelisah, dia beberapa kali telihat merubah posisi duduknya. Atlanta sebenarnya kota yang besar tapi lebih tenang dari pada New York. Tapi baru beberapa menit berada di tempat ini, Sheina sudah merindukan New York dan hiruk pikuknya.     

Sheina turun dari taksi dan dengan ragu berdiri di depan halaman rumah seseorang yang terlihat besar dan cukup mewah. Dia berhenti di depan pagarnya dan tampak menghela nafas dalam, mendadak rasa gugup melingkupinya dengan ketat.     

"No turning back." Ujar Sheina dalam hati, dia menyeret kopernya masuk melalui pagar yang terbuka dan mengetuk pintu rumah besar itu. Beberapa saat kemudian seorang wanita muda, mungkin usianya tiga atau empat tahun lebih muda darinya keluar dari dalam rumah.     

"Hai." Sapa Sheina kikuk.     

"Hai." Gadis muda itu tersenyum ragu.     

"Benarkah ini rumah, . . ." Sheina merogoh kantongnya dan berusaha membuka catatan dari dokter yang sebelumnya. "Mrs. Nevin?" Tanyanya.     

"Ya." Angguk wanita muda dari dalam rumah. "And you?" Tanya gadis muda itu.     

"Sheina Anthony." jawab gadis itu. "From New York." ujar Sheina. Meski ragu-ragu tapi gadis itu memberikan ruang untuk Sheina masuk.     

"Come on in, Mrs. Anthony, aku akan memanggil ibuku." ujarnya, dan saat itu Sheina seperti disambar petir, gadis itu adalah adiknya entah dengan ayah yang sama atau berbeda.     

"Silahkan duduk, dan tunggu sebentar." Gadis muda bermata coklat itu meninggalkan Sheina di ruang tamu besar kemudian masuk kedalam ruangan lainnya. Untuk beberapa saat Sheina menebar pandangan, sebuah foto keluarga dalam ukuran super besar terpampang di sana, sepasang suami isteri dengan seorang anak gadis, yang tidak lain adalah gadis yang barus saja menemuinya.     

"Mom, ini adalah Mss. Anthony dari New York, dia ingin menemuimu." Gadis itu memberikan ruang pada Sheina dan wanita berambut putih dengan potongan bob itu. Kulitnya pucat tapi senyumnya sangat manis.     

"Hai." Wanita itu berjalan mendekat ke arah Sheina dan menyalaminya. Untuk pertama kali menyentuh tangan lembut wanita itu, Sheina cukup terkejut karena dia tidak menangis. Dia bahkan merasa dia cukup kuat untuk menjelaskan siapa dirinya dan untuk apa dia datang.     

Sheina berdehem, "Em, aku tidak akan berpanjang lebar." Ujarnya, dia mengambil tas kecil yang dia tentang dan mengeluarkan sebuah dokumen, dia menyodorkan dokumen itu pada wanita pucat di hadapannya. Rupanya itu email rumahsakit Atlanta General untuk Sheina terkait dengan donor sumsum tulang belakang karena diketahui bahwa Sheina adalah anak kandungnya.     

Tangan wanita itu gemetar dan melipat kembali kertas ditangannya, dia menatap Sheina dengan mata berkaca dan bibir bergetar. Sheina menghela nafas dalam, dia membalas tatapan wanita itu dan untuk beberapa saat mereka diam dan saling menatap.     

"Thank you for comming." Ujar sang ibu biologis.     

"Aku tidak datang untuk mendonorkan sumsumku." Sheina berkata cepat.     

"It's ok." Wanita itu cepat-cepat terseyum, dia menatap Sheina dan meraih tangan gadis itu. "Kau tumbuh menjadi gadis yang cantik." Pujinya dengan tangis tertahan.     

"Orangtuaku membesarkanku dengan sangat baik." Sheina menjawab cepat, dia benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya kali ini.     

"Aku bisa melihatnya." Sang ibu biologis.     

"Aku datang mencarimu karena setidaknya sekali seumur hidupku aku melihat ibu biologisku." Ujar Sheina.     

"Terimakasih kau sudah mencariku." sang wanita berkulit pucat tersenyum sekali lagi, meski matanya terus berkaca. "Sebelum aku sakit, aku adalah seorang dokter ongkologi. Aku tahu betul bagaimana penyakit ini dan apa yang akan terjadi padaku bahkan setelah operasi cangkok tulang sungsum berhasil, masih banyak komplikasi yang mungkin kualami." Ujarnya. "Aku sudah memutuskan untuk menerima hidupku seperti ini dan menikmati hari-hari terakhirku." Ujarnya.     

Sheina mengerutkan alisnya, "Kau berhenti dari kemo?" Tanyanya, dan sang wanita berkulit pucat mengangguk.     

"Puteriku akan menikah seminggu lagi, dan aku tidak inging hadir di pernikahan puteriku dalam keadaan sekarat, aku ingin dengan sadar menyaksikan pernikahannya." Jawabnya.     

"Kau pasti sangat bangga padanya." Ujar Sheina dengan senyum getir.     

"Aku juga bangga padamu." Ujarnya.     

"Kau bahkan tak tahu siapa aku saat pertama kali aku datang menemuimu." Sangkal Sheina. "Bagaimana kau bisa bangga padaku?"     

Wanita itu menatap Sheina, "Kau tumbuh sangat mirip denganku saat aku masih muda. Aku sangat tegas dan keras kepala, tapi aku juga yakin bahwa hatimu begtu lembut dan kau memikirkan orang lain lebih dari dirimu sendiri." Dia tersenyum menatap Sheina.     

"Mengapa kau tidak mencariku?" Sheina bertanya dan menatap ibu biologisnya itu dangan skeptis.     

"Aku mencarimu, tapi pantiasuhan tempatku meninggalkanmu mengatakan bahwa kau sudah diadobsi dan mereka tidak bisa menyebutkan identitas keluarga yang mengadopsimu."     

"Kapan kau melakukannya?"     

"Secepatnya setelah aku selesai dengan sekolah kedokteranku dan mulai menjadi resident." Jawabnya.     

"Kau tidak mencariku lebih keras?" Sheina masih mengatakan semua kalimatnya dengan nada menyalahkan.     

Wanita itu mengangguk-anggukkan kepala, "Itu salahku." Imbuhnya. "Aku masih kuliah kedokteran saat aku mengandungmu, saat itu orangtuaku sangat miskin dan mereka berjuang mati-matian untuk membayar sekolahku." Ujarnya.     

Wanita itu menatapku, "Aku masih sangat muda saat itu, aku takut tidak bisa merawatmu dan aku juga takut mengecewakan keluargaku." Jawabnya.     

Sheina menatap wanita itu, "Aku mengerti." Sheina mengela nafas dalam, dia tersenyum sekilas sebelum bangkit dari tempatnya duduk.     

"Kau tinggal dimana selama di Atlanta?" Tanya wanita berkulit pucat itu dengan cepat.     

"Aku tidak akan tinggal, aku akan kembali ke New York, Nice to see you Mrs. Nevin." jawabnya.     

"Tinggalah beberapa waktu, dirumah kami." Ujarnya.     

"Thank you." Sheina berkeras untuk pergi. "Aku harus pergi sekarang." Ujarnya dan baru dua langkah dia keluar dari pintu rumah keluarga Nevin, terdengar suara teriakan dari dalam rumah, Sheina menghentikan langkahnya, dan hati kecilnya meminta untuk berbalik. Beberapa saat dia mempertimbangkan untuk tetap pergi tapi toh langkahnya memawanya masuk kembali.     

"Apa yang terjadi?" Tanya Sheina panik melihat ibu biologisnya itu tergeletak di sofa dan tangannya dipegangi oleh puterinya.     

"Dia pingsan." Jawabnya cepat, setelah meletakkan ponselnya dia menatap Sheina. "Aku sudah menelepon ambulance." Imbuhnya.     

"Good." Wajah Sheina mendadak pucat melihat wanita yang baru saja berbincang dengannya beberapa menit lalu kini terbujur tak berdaya.     

"Dia semakin lemah belakangan ini." Ujar puterinya. Dalam hati Sheina dia berbisik, "Jangan sekarang, kumohon. Jangan sekarang, jangan dihadapanku." Bisiknya dalam hati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.