THE RICHMAN

The Richman - Second Shocking Moment



The Richman - Second Shocking Moment

0Ella baru saja masuk kembali ke ruangannya setelah keluar dari ruangan sang direktur utama rumah sakit untuk mendapatkan apresiasi yang besar dari bosnya. Minggu lalu dia berhasil mendapatkan tandatangan Princess Eleonnore dan King Robert Owen untuk prosedur persalinan Caesar minggu depan. Untuk benar-benar mendapatkan customer sebesar Royal Family jelas sebuah prestasi yang harus layak di acungi jempol.     

"Kita harus merayakannya boss." Salah seorang stafnya menyusulnya masuk ke dalam ruangan.     

Ella terlihat sedikit terkejut, sejurus kemudian dia menggeleng. "No."     

"Come on, it's a big deal. Kita harus merayakannya."     

Ella masih menggeleng, bersikukuh menolk. "Just one drink." Ujar Samantha.     

Hingga pada akhirnya Ella menyerah. Mereka meninggalkan kantor berenam. Empat orang menaiki mobil Nick, sementara Ella berencana untuk membawa mobil sendiri.     

"Hi boss." Lucas mendekati Ella begitu mereka tiba di area parkir.     

"Luke?" Alis Ella berkerut, "You wll joint us?" Tanya Ella.     

Lucas menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana, "Karena ini adalah hari keberuntunganmu dan kau sudah melakukan hal hebat, may I drive you to the bar?" Tanya Lucas dan Ella sempat mempertimbangkan sekilas. "Is it ok?" Ella menatap Lucas dan pria itu mengangguk, "It's an honour to drive my boss to celebrate her great job."     

"You kidding me." Ella menggeleng sembari tersenyum malu. Sejurus kemudian dia melemparkan kunci itu dan ditangkap sempurna oleh Lucas. Pria itu menekan remote kemudian membuka pintu untuk Ella.     

Wanita itu sempat tersanjung sekilas. "Kau tak perlu melakukannya dude." Ella tersenyum dan Lucas mengangkat alisnya. Pria itu berlari memutari mobil dan masuk ke dalam mobil kemudian duduk di belakang kemudi.     

"Are you ready?" Lucas menatap Ella dan wanita muda itu mengangguk. " Why not." Senyum Ella membuat Lucas semakin bersemangat untuk segera membawa wanita itu ke bar.     

Bagi Lucas, Ella adalah smart, brilliant, beautiful, young woman yang selama dua tahun ini menjadi atasannya. Pria itu bahkan jatuh hati pada Ella saat wanita itu pertama kali masuk ke kantornya sebagasi staff seperti dirinya. Karir Ella semakin bersinar karena beberapa klient besar seperti aktris, selebritis papan atas, bahkan beberapa miliarder dari negara lain memilih Portland Hospital sebagai tempat persalinan mereka.     

Selama lima tahun bekerja, Ella merangkak dari bawah dan memakan waktu tiga tahun untuk mencapai posisinya sekarang ini. Seperti sebuah dongeng, she's nothing but now, she is something.     

Yang menarik dari Ella, atau mereka kenal sebagai Ema adalah, dia datang paling pagi di kantor itu, memersiapkan harinya dengan begitu baik, dia ramah sepanjang hari dan pulang paling larut.     

Suatu hari Lucas pernah berusaha mendekatinya dan dia mendapatkan jawaban menohok dari bosnya itu. "I don't date Luke, sorry." Meski begitu, Lucas yang tidak menganggap itu serius tetap percaya diri berada di sekitar Ella dan bekerja dibawah otoritasnya.     

Selain cerdas, muda dan cantik, Ella juga memiliki hati yang baik, dia care pada seluruh staf yang bekerja di timnya, dan hubungan mereka begitu dekat sampai meraka menganggap Ella sebagai keluarganya sendiri. Setiap moment natal tiba, Ella selalu bergiliran mengunjungi rumah stafnya untuk merayakan natal bersama. Bukan tanpa sebab, dia tidak memiliki keluarga di UK, meski paman dan bibinya adalah saudara sedarah, tapi mereka memilih untuk memutus hubungan dengan Ella. Oleh karena itu, bagi Ella, staffnya, Nick, Grace, Stefanie, Rob, dan Lucas adalah keluarga yang dia miliki di UK.     

"Apakah kau berkencan dengan seseorang sekarang, Luke?" Tanya Ella mendadak.     

Lucas terlihat cukup terkejut mendapatkan pertanyaan semacam itu dari bosnya. "Apa kau benar-benar ingin tahu, Boss?" Lucas menoleh.     

"Don't call me like that, kita hanya berdua di mobil ini, jadi jangan memanggilku boss." Ella menatap Lucas sekilas.     

Lucas tersenyum sekilas, "Aku bertemu dengan seorang gadis di bar, dua minggu lalu namanya Catherine dan kami sering bertemu belakangan ini." Ujarnya, Ella menghela nafas dalam dan tersenyum pada Lucas. "Good for you Luke."     

"What about you?" Tanya Lucas     

"I don't date." Ella bergidik cepat.     

Lucas menoleh ke arahnya, "Ema, pikirkan dirimu sendiri. Pencapaianmu setinggi ini dan kau tak memiliki seorangpun untuk berbagi dan merayakannya." Ujar Lucas, dan itu membuat Ella berkecil hati. Lucas mengenalnya sebagai Ema, karena sejak masuk pertama kali, Ella memperkenalkan dirinya sebagai Ema untuk mengubah citranya. Dia benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk lari dari masalalunya, dan apa yang terjadi, dia kembali lagi ke istana itu dan bertemu dengan Robert, cinta pertamanya.     

Ella menghela nafas dalam, "Terdengar menyedihkan bukan?" Mendadak Ella terbawa suasana, selama ini dia menghindari percakapan sedemikian personal agar benteng dan topeng yang dia bangun dan dia kenakan tak pernah terbongkar.     

"Find someone, berkencan atau sekedar doing sex for one night, it's ok Ema, it's normal."     

"It's never sounds normal for me Luke." Jawab Ella.     

Lucas menyipitkan matanya pada Ella, "Bertaruh denganku, seribu dollar jika kau bisa mengencani pria di bar malam ini."     

"Crazy, seribu dollar?" Mata Ella membulat.     

"Seluruh tabunganku akan menjadi milikmu jika kau bisa berkencan dengan pria malam ini." Ujar Luke.     

"What about one drink." Ella menolak taruhan sebanyak itu, bukan karena dia takut kalah, karena dia bahkan berpikir untuk nekat malam ini. Setelah puluhan tahun dia hidup dalam bubble yang dia ciptakan untuk dirinya sendiri, mungkin Lucas benar soal keluar dari zona nyaman dan mencoba petualagan baru. Peduli setan dengan semua yang ada selama ini, toh takdir sudah mempermainkannya dengan sangat kejam sepanjang hidupnya, terutama sepuluh tahun terakhir.     

"Deal." Lucas tersenyum, meski dalam hatinya dia berharap pria yang hendak di kencani Ella bukanlah pria sembarangan. Bagaimana mungkin Ella memilih pria sembarangan yang tak dia kenal dibandingkan dengan dirinya yang selama ini sudah sangat perhatian padanya.     

Mereka tiba di Bar dan langsung bergabung dengan empat rekan lainnya yang sudah tiba lebih dulu. Beberapa botol minuman sudah tersedia di atas meja, begitu juga dengan batu es dan juga gelas. Musik menghentak-hentak, lantai dansa sudah dipenuhi oleh banyak orang dan semua meja besar penuh dengan pengunjung.     

"For our boss." Nick mengangkat gelas dan semua meneriakan hal yang sama sebelum bersulang.     

"Seriously?" Ella memutar matanya, namun pada akhirnya mengangkat gelasnya dan mengatakan hal lain, "For our team."     

Mereka bersulang dan beberapa memilih untuk menghambur di lantai dansa.     

"Kau tak ingin berdansa?" Tanya Lucas.     

"No." Geleng Ella.     

"Come on, kau akan kalah taruhan jika duduk di sini semalaman." Goda Lucas. "Aku akan ke lantai dansa." Ujar Lucas dan Ella mengangguk.     

"Have fun Luke." Ella memilih untuk beralih ke meja bar yang lebih tinggi dan memesan minuman.     

"Hi . . ." Sang bartender pria taman dengan brewok di wajahnya menyapanya ramah.     

"Hi." Ella tersenyum.     

"Pertama kali berkunjung hah?" Tanya pria itu.     

"Ya." Angguk Ella. "Tequila, please."     

"Ok." Tak butuh waktu lama bagi sang bartender untuk memberikan minuman untuk Ella.     

"Thanks." Jawab Ella sebelum menyesap minuman itu. "Datang untuk merayakan sesuatu?" Tanya sang bartender.     

"No, just hanging out with friends."     

"Enjoy then." sang bartender tersenyum.     

"I'm Ema." Ella memperkenalkan diri dan sang bartender tersenyum manis menatapnya. "Scott." Jawab sang pria dengan senyuman.     

"Sudah berapa lama kerja di sini Scott?"     

"Tiga tahun." jawabnya.     

"Really, kau menyukai pekerjaanmu?" Ella bertanya dengan tatapan menggoda dan Scott kembali tersenyum. "Aku sudah menikah, dan kebutuhan kami banyak, jadi aku menikmatinya."     

"Oh . . ." Ella mengangguk pasrah, dia berharap Scott bisa menjadi teman kencannya malam ini, tapi dia mengatakan bahwa dia menikah, meskipun dia memiliki opsi untuk menyembunyikan statusnya, itu berarti Scott tidak ingin berkencan dengan wanita asing.     

Mendadak seorang pria duduk di sebelah Ella dan memesan minuman. Ella menoleh ke arah pria itu, mencoba menebar jala pada yang lainnya dan yang terjadi justru sebaliknya, dia seperti baru saja di sambar petir di siang bolong.Pria itu dan Ella saling menatap dalam kebekuan masing-masing.     

"Ella . . ." Sang pria mengenali Ella pada kesempatan pertama.     

"George?" Alis Ella bertaut.     

"Hi." George menghela nafas dalam, dan kemudian mereka saling berpelukan meski terkesan kikuk. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Ella dan George hampir bersamaan setelah mereka berpelukan, dan itu justr menjadi penolong karena suasana diantara mereka menjadi cair karenanya.     

"Kau jawab duluan." George memberi kesempatan pada Ella untuk menjawab lebih dulu.     

"Just hanging out with friends." jawab Ella, "And you?"     

"Ayahku ada proyek di London tapi karena kondisi kakekku tidak terlalu baik, dia tidak bisa meninggalkan ibuku sendiri dengan kakekku." Jawab George.     

"Oh, aku turut prihatin. Apa yang terjadi pada kakekmu?" Ella berempati.     

"Dia sudah sangat tua." Jawag George singkat.     

Setelah pembicaraan basa-basi itu habis, mereka tak memiliki ide lagi untuk berbicara hal lainnya, dan suasana menjadi hening seketika, diantara mereka, meski musik di lantai dansa masih menghentak-hentak keras.     

"Jadi, kau bersama Robert sekarang?" Tanya George kemudian, memecah kebeukan diantara mereka.     

"No." Geleng Ella cepat.     

George menyipitkan matanya pada gadis itu, "Ku pikir kau membatalkan rencanamu kembali ke Amerika saat itu karena Robert."     

"Bisakah kita bicara di tempat lain, di sini terlalu brisik." Ella menawarkan dan George mengangguk setuju. Pria itu mengeluarkan uang untuk membayar minumannya dan minuman Ella kemudian pergi. Lucas yang terlihat sibuk menari di lantai dansa diam-diam mengawasi Ella dan setelah melihat gadis itu keluar dari bar dengan seorang pria, hatinya menjadi kecut meski dia terus menari. Ini bukan soal kalah taruhan, tapi dia menyadari bahwa dirinya tak pernah begitu berarti bagi Ella.     

***     

George melangkah masuk ke rumah Ella, rumah yang di cicilnya selama bekerja di rumahsakit.     

"Wow . . .jadi kau tinggal di rumah ini?" Tanya George begitu mereka masuk ke dalam rumah.     

"Ya, aku mencicilnya selama aku berkerja di sini." Ella menuju lemari pendingin dan mengeluarkan dua kaleng minuman ringan.     

George duduk di sofa dan menatap ke arah Ella. "How's life Ella?" Tanya George dalam keheningan diantara mereka berdua.     

"Fine." Ella mengangguk, meski matany berkaca. "Aku berhutang maaf padamu George." Imbuhnya.     

"Itu sudah berlalu, sudah sangat lama. Sebaiknya kita melupakannya."     

"Saat itu aku kebingungan." Kenang Ella, "Tapi setelah aku sadar, mungkin ini pilihan terbaik. Aku fokus pada karirku dan menikmati hidup."     

"Dan kau menikmatinya?" George menyipitkan matanya pada Ella.     

"Not really." Ella tersenyum di tengah matanya yang semakin berkaca.     

"Come . . ." George membuka lengannya dan Ella mendekat, pria itu memeluknya hangat.     

"I miss your smell." Ujar Ella dalam pelukan pria muda itu.     

"Hem . . ." George tersenyum sekilas kemudian menghela nafas dalam. "Mengapa kau senang sekali melarikan diri dari pilihan-pilihan mudah dalam hidupmu dan memilih yang sulit?" Tanya George.     

"I don't know." Jawab Ella. George melepaskan pelukannya dan mereka saling menatap.     

"Teriamaksih karena tidak marah padaku." ujar Ella lirih.     

"Aku tidak akan bisa marah padamu." jawab George, meski dia masih ingat betul, butuh berbulan-bulan untuk menyembuhkan kekecewaannya saat itu.     

Ella tersenyum, meraih tangan George, "Terimakasih karena tetap menjadi temanku." Ella menatap George.     

"Ya." George tersenyum. Kata "Teman" menjadi momok baginya. Lima tahun adalah waktu yang panjang bagi George untuk hidup dalam bayang-bayang masalalunya, Emanuella Dimitry, dan setelah dia menemukan gadis untuk di kencani beberapa waktu terakhir, takdir sialan ini membawa Ella kembali pada kehidupannya. Kebahagiaan, sekaligus kemalangan yang datang di saat bersamaan.     

"Jadi kapan kau tiba di London?" Tanya Ella.     

"Beberapa hari lalu." Jawab George.     

"Em, sejujurnya aku punya berita soal Ellyn untukmu." Ella mengungkapkannya ragu.     

"Aku tahu dia sudah menikah dan akan segera punya anak." Tukas George.     

"Kau mengikuti beritanya?" Ella menatap George.     

"Aku ingin tahu kapan pernikahanmu dan Robert di umumkan."     

"We don't date George, bahkan itu bukan alasanku membatalkan kepergianku ke Amerika saat itu." Jawab Ella.     

"Kau tidak pernah memberiku kabar, aku juga tak bisa menghubungimu." George menjawab.     

"Aku benar-benar menyesal, long story." Ujar Ella.     

George tersenyum, "Aku punya beberapa bulan di sini untuk mendengarkan ceritamu." Ujar George.     

"Bagiamana denganmu, kau mengencani seseorang?" Ella menyipitkan matanya ke arah George.     

"Ya." Jawab George singkat. "Namanya Amy."     

"Oh, aku senang mendengarnya." Bohong Ella, entah mengapa perasaan dimasalalu kembali terbawa, entah itu saat dirinya bersama Robert atau George. Meski saat ini Robert tengha bersama Willhelmina dan George bersma dengan Amy, sementara dirinya memilih sendiri, tapi perasaan itu tak pernah hilang dari Ella sama sekali. Seolah dia masih terperangkap dalam ikatan tiga perasaan itu.     

"Kau sendiri?" George menatap Ella dalam, mengukur ekspresinya dan gadis itu tertunduk, dia menggeleng pelan.     

"Aku tidak berkencan." Jawabnya singkat.     

"Why?" Alis George bertaut dalam. "Apa ini karena Robert?"     

Ella menggeleng, "Aku hanya tidak tahu bagaimana cara memulai semuanya lagi setelah semua yang terjadi diantara kita, aku, kau dan Robert." Jujur Ella.     

"Kau masih mencintainya?" Tanya George dan Ella tak bisa menjawab.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.