THE RICHMAN

The Richman - Being Mad



The Richman - Being Mad

Ben berjalan dengan cepat menuju ke dalam kamarnya sementara Richard yang baru saja masuk ke dalam kamar tampak bingung dengan situasi yang baru saja dilihatnya, Ben yang berjalan dengan cepat keluar dari kamar ibunya, bahkan dia tampak marah sementara di dalam kamar Leah terlihat kebingungan dan Christabell justru terlihat biasa saja.     

"Apa yang terjadi?" Tanya Richard.     

"Sir, maaf aku bisa menjelaskannya nanti. Tapi bisakah sekarang anda jaga Mrs. Anthony, ada sesuatu yang harus ku jelaskan pada tuan muda." Leah buru-buru pergi dan Richard yang sempat mengkerutkan alisnya memilih untuk tidak ambil pusing, Dia mendekat ka arah Christabell dan wanita tua itu tersenyum lemah. "Aku lelah, begitu banyak orang." Ujarnya lirih, Richard tersenyum padanya dan dengan lembut mengusap tangan kurus dan keriput milik Christabell. "Tidurlah, aku akan menjagamu." Ujar Richard dan Christabell menutup matanya perlahan. Tampaknya dia benar-benar sangat mudah lelah belakangan ini.     

Leah berjalan dengan cepat dan tanpa mengetuk kamar Ben dia masuk begitu saja.     

"Untuk apa kau datang lagi?" Tanya Ben kasar.     

"Aku benar-benar tidak bermaksud mempermainkan perasaan anda Sir." Ujar Leah penuh sesal.     

"Kau tidak bermaksud, tapi kau sudah mempermainkanku berkali-kali . . .!" Ben berkata dengan penuh penekanan, dia bahkan terlalu kesal hingga benar-benar mengeluarkan ekspresi marah pada Leah.     

"Aku, . . .?" Leah tampak tak paham. Ben tersenyum sinis, "Sudah ku duga, kau akan memanfaatkan wajah lugu dan naifmu itu untuk terlihat tak bersalah."     

Leah mengkerutkan alisnya, "Aku benar-benar mendengar ibumu mengatakan bahwa dia memiliki putera tampan bernama Ben, I swear." Ujar Leah berusaha meyakinkan Ben.     

"Berhenti membual!" Kesal Ben.     

"Aku tidak membual." Leah bersikeras bahwa dia mengatakan kebenaran.     

Ben menatap ke arah Leah, "Aku tidak suka ada orang yang mempermainkanku, termasuk kau!" Leah membeku ditatap dengan mata Ben yang menyala penuh kemarahan, sementara wajahnya tidak bisa bergerak karena Ben menyangga rahang kecil Leah dengan tangan besarnya dan memaksa Leah untuk menatapnya.     

"Aku minta maaf." Ujar gadis itu dengan suara     

Ben melepaskan rahang Leah dan berjalan ke sisi jendela sementara gadis itu tetap membeku di tempatnya.     

"Keluar dari kamarku!" Perintah Ben. "Jangan pernah masuk lagi jika aku tidak mengijinkanmu." Perintah Ben tegas. Leah menghela nafas kemudian keluar dari kamar Ben dan dengan cepat berjalan ke kamarnya. Leah mengunci kamarnya dan berlari ke kamar mandi, dia tampak menangis di wastafel. Dia tidak pernah diperlakukan dengan kasar seperti ini, dan perlakuan Ben benar-benar menyakitinya, karena meski menolak mengaku di hadapan Mala, diam-diam Leah menyimpan kekaguman besar dari sosok Ben Anthony.     

Apalagi saat pria itu tengah mengenakan setelan rapi setiap kali dia bersiap berangkat ke kantornya, atau saat dia sibuk di ruang kerjanya dengan berbagai pekerjaannya. Bahkan saat Ben mengenakan kaos penuh keringat dan celana olahraga juga sepatu olahraganya setiap kali dia selesai lari pagi. Sesederhana itu bentuk kekaguman Leah padanya meski gadis biasa itu tak pernah berani memimpikan pangeran setampan dan sesempurna juga sekaya Ben Anthony. Tapi saat mendapatkan perlakuan tadi di kamar Ben, semua citra Ben yang begitu hangat dan baik juga perhatian mendadak luntur. Leah seolah melihat sisi gelap dari Ben Anthony, ketika pria itu marah, dia terlihat begitu menyeramkan, tatapannya kelam dan mematikan dan itu membuat Leah ketakutan.     

Namun tampaknya Leah sadar bahwa dia tidak bisa membiarkan dirinya terlalu cengeng apalagi dalam menghadapi Ben Anthony. Dia harus ingat siapa dirinya di rumah itu dan apa tanggungjawabnya. Dia bekerja di rumah itu sebagai perawat home care untuk merawat ibu Ben yang sedang sakit, tidak seharunya Leah melibatkan perasaannya saat dia bekerja.     

Leah segera membasuh wajahnya dan mengelapnya, untuk beberapa saat dia menatap dirinya di cermin. "Jangan melibatkan perasaanmu, ingatlah siapa dirimu Leah." Ujarnya dalam hati. Leah menunjukan wajah senyumnya dan memastikan bahwa tidak ada orang yang akan menyadari bahwa dia baru saja menangis. Setelah memastikan bahwa dirinya terlihat baik-baik saja, Leah keluar dari kamarnya dan bergegas ke dapur untuk membantu Mala.     

Leah banyak menghabiskan waktu untuk membantu Mala, apalagi saat pasien yang dia rawat sedang berisitrahat dan ditemani oleh suaminya. Waktu luang itu terkadang dimanfaatkan untuk memasak hidangan makan pagi, makan siang atau makan malam, tergantung kapan waktu senggang yang dimiliki Leah.     

***     

"Tampaknya tuan muda sedang sangat marah hari ini." Ujar Mala dengan bibir keriting khasnya ketika dia sedang bergosip.     

"Oh. . ." Leah tak tampak menanggapi.     

"Ah . . ." Mala membuat Leah terkejut dengan suaranya, "Aku baru ingat." Katanya.     

"Apa?" Tanya Leah. "Kau mengingat sesuatu tapi kau hampir membuatku kehilangan jantungku." Leah tampak protes, tapi dia tak ambil pusing dengan gaya bicara Mala yang terkadang meledak-ledak itu.     

"Aku tadi berbohong pada tuan muda." Bisknya, dan itu membuat alis Leah berkerut.     

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Leah bingung. "Apa yang kau katakan padanya sampai dia menjadi sangat marah?" Tanya Leah, padahal Leah hampir yakin seratus persen alasan Ben tak tersenyum sepanjang sisa hari adalah karena dirinya.     

"Tadi aku mengarang cerita tentangmu." Ungkap Mala penuh sesal.     

Leah yang semula tengah sibuk membuat saus pasta mendadak mematikan kompor dan menatap Mala, "Cerita apa?" Tanyanya penuh kekhawatiran, terkadang fantasi Mala terlalu berlebihan, entah itu perngaruh karena Mala hobi menonton drama percintaan atau karena dia memang orang yang terlalu romantis.     

"Aku mengatakan bahwa kau kembali ke Nevada karena ayahmu akan menjodohkanmu dengan anak teman ayahmu." Ujar Mala penuh sesal. Leah menepuk jidatnya, "Apa yang kau pikirkan, bagaimana mungkin kau mengarang cerita sebodoh itu?" Tanya Leah pasrah.     

"Maaf . . ." Mala menyeringai lebar, bukannya mengungkapkan wajah penuh penyesalannya. "Bisakah kau mengatakan yang sebenarnya pada tuan muda, dan membuatnya tidak memecatku?" Bisik Mala, dia menungkapkan itu dengan nada permohonan.     

Leah menggeleng, "Jika dia tidak memecatmu, mungkin dia akan memecatku." Jawab Leah pasrah.     

"Dia menyukaimu Leah, aku yakin itu."     

"Berhenti membual, Mala." Protes Leah. Obrolan mereka tiba-tiba berhenti dan mereka membeku saling tatap saat Ben mendadak masuk ke dapur untuk mengambil es batu dari dalam lemari pendingin.     

"Sir . . ." Mala berusaha sok akrab, tapi Ben mengacuhkannya. Dia hanya mengambil beberapa kotak kecil es batu dalam gelas dan membawanya pergi dari dapur itu. Benar-benar terkesan dingin dan eksklusif, tak seperit Ben yang biasanya.     

"Dia benar-benar pangeran yang dingin." Mala menatap bayangan Ben yang melangkah menjauh dari arah dapur. "Kau tahu, dia tadi seperit akan menelan kita bulat-bulat." Ujarnya, dia bahkan menyeringai ke arah Leah seolah tidak ada maslaah besar yang baru saja menambah buruk daftar kesalahan Leah dimata Ben Anthony.     

"Mala, bisakah kau lebih serius?" Tanya Leah.     

"Apanya yang tidak serius?" Aku benar-benar serius mengatakan bahwa dia menyukaimu." Ujar Mala sekali lagi. Dia tampak bersikeras mengatakan hal yang sama, cara Ben menatap Leah seolah menganddung makna tersembunyi, sebuah perasaan yang baik Leah maupun Ben berusaha tutupi dari pandangan orang lain.     

Leah menghela nafas dalam, dia memilih meninggalkan Mala dan berniat untuk pergi ke kamar Christabell, ini sudah sore, waktunya dia memandikan Christabell. Namun saat Leah melewati meja bar, dia melihat Ben duduk dan menenggak segelas minuman di sore hari. Agak aneh, karena ini belum cukup malam untuk mabuk-mabukan.     

"Aku tidak memberimu ijin ke Nevada miggu depan." Kalimat Ben itu membuat Leah menghentikan langkahnya dan menoleh. "Maaf, tapi aku sudah mendapatkan ijin dari Mr. Richard." Leah membantah, bukan karena apa-apa, tapi sebagian gajinya sudah dia habiskan untuk membeli tiket pesawat, untuk itulah Leah tidak mungkin membatalkan begitu saja perjalanan ini.     

"Aku yang membayar gajimu, jadi jika aku mengatakan tidak, maka kau tidak mendapatkan ijin." Ujar Ben.     

Leah menghela nafas dalam. "Ganti tiket penerbanganku sepuluh kali lipat." Ujar Leah kesal. Jelas sekali Ben mengada-ada soal penolakan ijin ini.     

"Aku akan membayar seratus kali lipat, tapi katu tetap tidak akan pergi ke Nevada dalam waktu dekat." Ujar Ben sebelum menyesap minuman dari dalam gelasnya.     

Leah mendekat ke arahnya dan menatap Ben dalam-dalam, dia bahkan mengambil gelas dari tangan Ben dan meletakkannya di meja dengan keras. "Apa masalahmu?!" Tanya Leah dengan tegas dan itu membuat Ben cukup terkejut, entah dari mana keberanian itu berasal tapi dia berhasil membuat Ben membeku beberapa saat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.