THE RICHMAN

The Richman - Is there a future?



The Richman - Is there a future?

0Sheina terbangun saat cahaya matahari menembus tirai kamar Marcus dan mengenai wajahnya. Dia membuka matanya dan menggerak-gerakkan tangannya untuk mencari Marcus yang sejak semalam bahkan tak tidur di sisinya. Sheina beringsut turun dari tempat tidur dan berjalan ke sisi jendela. Dia menikmati pemandangan pagi di Paris yang tenang. Suasana yang jelas berbeda dengan yang terjadi saat mereka meninggalkan New York.     

Sheina duduk di sisi jendela besar kamar Marcus di penthouse miliknya, tepat di jantung kota Paris, Prancis. Marcus tengah sibuk dengan orang-orangnya di ruang kerjanya sementara Sheina duduk di dalam kamar itu, sendiri. Dengan begitu dia memiliki banyak waktu untuk berpikir tentang hidup dan kehidupannya.     

Menikah dengan Marcus akan menjadi pilihan antara dibunuh atau membunuh, dan itu terasa mengerikan. Apalagi setelah apa yang dia alami malam itu di New York. Meski Sheina tak pernah mengutarakan keinginan untuk menikah, tapi dalam hati kecilnya dia merindukan keluarga kecil seperti yang pernah dia rasakan saat masih bersama dengan ibunya, Leah.     

Ibu yang mengurus semua keperluan rumahtangga, yang menjaga puteri kecilnya sembari menunggu suaminya pulang dari kantor. Kehidupan damai dan tentram, penuh cinta seperti yang dicontohkan Leah untuknya. Wanita itu hidup untuk orang lain, untuk orang-orang di sekitarnya. Dia tidak pernah ingin mengejar mimpinya sendiri meski setiap hari dia mendorong Sheina untuk memiliki mimpinya sendiri.     

Menjadi wanita sederhana seperti Leah ibunya, diam-diam menjadi mimpi Sheina sebelum dia merasakan kehilangan mendalam saat ibunya meninggal dunia. Meninggalkannya sendiri bersama Ben sang ayah.     

"Kalau kau besar nanti, kau ingin jadi apa?" Tanya Leah setiap kali mereka mengobrol di kamar Sheina sebelum ibunya yang manis itu membacakan dongeng untuknya.     

"Aku ingin menjadi seperti mommy." Jawab Sheina polos, dan itu membuat Leah tertawa geli.     

"Kau bisa memilih menjadi apapun sayang, tidak harus menjadi seperti mommy." Terang Leah.     

Sheina kecil mendongak dan dengan berbinar matanya, dia berkata pada Leah, "Tapi mommy adalah yang terbaik, dan aku ingin jadi seperti mommy." Ujarnya.     

"Kau juga hal terbaik dalam hidup mommy." Leah mengecup kening puterinya itu dan mereka bersiap membaca dongeng. Kenangan itu terlintas di benak Shiena dan membuat air matanya menetes. "I miss you mom." Bisiknya sembari mengusap air mata yang jatuh di pipinya.     

Marcus berniat masuk kedalam kamarnya yang terbuka, tapi langkahnya terhenti saat melihat Sheina duduk memeluk dirinya dan tampak sedang menikmati kesendirian. Untuk beberapa saat Marcus membeku di ambang pintu, tapi kemudian mengurungkan niatnya untuk masuk. Marcus memilih keluar dan kembali ke ruang kerjanya.     

Dia melempar tubuhnya di kursi dan merenung. Sesaat dia berpikir untuk menikahi Christabell, tapi merenggut gadis itu dari dunia yang dicintainya, yang membuatnya menjadi manusia yang nyata bukan pilihan bijak. Ibunya meninggal karena memilih menjadi pendamping hidup sang ayah. Bahkan selama pria itu tumbuh, dia tak pernah melihat ibunya ceria seperti Sheina. Tawanya begitu nyata, dan setelah hidup bersama dengannya, tawa itu akan lenyap. Setiap hari dia akan hidup dalam ketakutan, entah takut suaminya membunuh orang, atau justru terbunuh oleh orang lain.     

Tok Tok     

Sheina berdiri di ambang pintu dan menatap ke arah Marcus. Tatapan menggoda dari wajah Sheina yang tanpa riasan juga rambut panjangnya yang terurai dibalas dengan senyuman oleh Marcus.     

"Bolehkah aku masuk?" Tanya Sheina.     

"Tentu saja." Jawab Marcus.     

Wanita itu melenggang masuk, masih mengenakan piyama tidurnya sementara Marcus sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans yang dia kenakan. Marcus memutar kursinya dan Sheina duduk di pangkuannya. Dia memberikan ciuman singkat di bibir Marcus. Pria itu tersenyum sekilas tapi tak membalas ciuman Sheina. Meskipun Sheina menurunkan satu bagian gaun tidurnya hingga membuat pundaknya yang mulus terlihat menggoda, tapi Marcus tampak tak tertarik.     

"Kau tidak tidur semalaman?" Sheina mengusap wajah Marcus yang terlihat lelah.     

"No." Geleng Marcus.     

Sheina melingkarkan tangannya ke leher Marcus dan mendekatkan hidungnya ke hidung Marcus. Dia menghirup aroma pria itu yang meski tak tidur semalaman, tapi tampaknya Marcus justru sudah mandi.     

Marcus menghela nafas dalam, dia menatap Sheina dalam dan mengatakan berita baik pagi ini, "Roberto sudah dilumpuhkan." ujar Marcus.     

"Really?" Mata Sheina berbinar. Kini berita tentang kematian seseorang secara ilegal bukan lagi hal baru baginya.     

"Ya, beberapa jam lalu." Ujar Marcus. "Mulai sekarang kau akan aman dari ancaman Roberto dan anaka buahnya. " Imbuhnya.     

Sheina menghela nafas dalam, "Aku senang mendengarnya. " Jawab Sheina. "Setelah Roberto tidak ada lagi, apa penwaranmu soal pernikahan juga kau cabut?" Tanya Christabell, sebelum dia mengigit bibirnya dan menggoda Marcus.     

Rahang Marcus mengeras sekilas, dia menghela nafas dalam dan menyentuh wajah Sheina dengan telunjuknya, "Kau tahu aku mencintaimu." Ujarnya dengan tatapan dalam."Tapi setelah aku berpikir tentang alasanmu menolakku, itu menjadi masuk akal bagiku." jawab Marcus.     

"Apa maksudmu?" Alis Sheina berkerut.     

"Aku sangat bahagia kita bertemu lagi, tapi kita hanya membuang-buang waktu." Marcus menatap Sheina,     

"What?" Sheina terlihat tidak bisa menerima pernyataan Marcus yang mengatakan bahwa hubungan yang mereka jalani hanyalah membuang-buang waktu belaka.     

"Marcus, aku berpikir bahwa hubungan kita sungguh nyata. Bagaimana kau tega mengatakan bahwa apa yang kita lakukan hanya membuang-buang waktu?" Protes Sheina.     

Marcus meletakkan telunjuknya di bibir Shiena," Dengarkan aku." Gumamnya. "Kau sungguh nyata bagiku, dan aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku rela memberikan nyawaku untukmu, tapi bukan itu yang kau buthkan." Marcus menatap Sheina dengan tatapan kelam, "Aku membuang-buang waktumu, kau hidup dalam kehidupan nyata. Harimu berputar dan kau melakukan banyak hal baru. Bersamaku hanya akan membuatmu stuck di satu titik dan kau akan kehilangan duniamu yang penuh warna. Kau butuh pria yang bisa memberikan kehidupan yang normal untukmu."     

Sheina menggeleng, "Bagiamana kau bisa berpikir seperti itu sementara aku susah payah meyakinkan diriku untuk siap hidup bersamamu." Protes Sheina.     

"Tidak ada kehidupan saat kau memutuskan bersamaku." Geleng Marcus.     

Sheina menelan ludah, dia menata hatinya beberapa saat sebelum mengatakan apa yang ada di benaknya, "Jadi kau mengusirku sekarang?" tanya Sheina dengan tatapan nanar.     

"Itu yang terbaik untukmu, percayalah." Jawab Richard.     

"Jangan berkata seolah kau tahu apa yang terbaik untukku." Sangkal Sheina.     

"Sheina, aku melihat ibuku hidup dalam ketakutan setiap hari sampai akhirnya dia kehilangan nyawanya karena kehidupan yang di jalani suaminya. Dia berkorban terlalu banyak untuk ayahku. Dia kehilangan dunianya, keceriaanya, teman-teman bahkan keluarganya. Hingga saat dia menghembuskan nafas terakhir, tak ada yang menangisinya, tidak juga ayahku." Kenang Marcus dengan tatapan penuh kegetiran. "Aku tidak bisa menjadikanmu seperit itu, menderita seperti ibuku yang menderita seumur hidupnya." Imbuh Marcus.     

Shiena menitikkan air matanya, "Tapi aku sangat mencintaimu, Marcus Durant." Bisiknya dengan linangan air mata. "Bisakah kau tidak egois, sekali saja dalam hidupmu?" Tanya Sheina di tengah linangan air matanya.     

"I love you, Sheina Anthony" jawab Marcus. "Aku akan tetap mencintaimu sampai kapanpun." Marcus menelan ludah, matanya berkaca. Marcus tak pernah meneteskan airmatanya, bahkan saat ayahnya tertembak atau ibunya, tapi saat ini dia berkaca di hadapan Sheina.     

"Don't love me then." Jawab Shiena.     

Marcus berusaha meraih wajah Sheina tapi gadis itu mebuang muka, dia menyeka air matanya. "Beraninya kau menghancurkan hatiku berkali-kali." Sheina memukul dada Marcus dan pria itu diam tak melawan. Dia membiarkan Sheina melampiaskan semua kemarahannya, dan yang dilakukan Marcus hanya memegang pinggang wanita itu.     

"Pukul aku sesukamu." Marcus menatap Sheina.     

"No." Geleng Sheina. "Aku tidak akan bisa hidup tanpamu." Bisiknya lirih.     

"Kau sudah pernah melewatinya selama lima tahun, dan kau akan bisa melewatinya. Temukan pria yang bisa membuatmu bahagia, yang bisa berbagi kehidupannya denganmu." Marcus meyakinkan.     

"Aku tidak yakin akan menemukannya seperti aku menemukanmu." Tolak Sheina.     

"Cobalah." Marcus tersenyum getir.     

Sheina menggeleng, "Kau akan kembali ke New York besok pagi." katnaya.     

"Marcus, kau membuatku merasa seolah ini Dejavu." Sheina mengingat kembali hari dimana Marcus memaksanya kembali ke New York setelah dia pulih pasca penembakan yang dialaminya.     

"Ya, tapi kali ini aku tidak memintamu kembali." Jawab Marcus. Sheina perlahan turun dari pangkuan Marcus dan meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kamar Marcus. Sheina bergegas mandi dan merapikan dirinya, dia mengenakan pakaian formal dan bersiap meninggalkan tempat itu.     

Marcus menyusulnya masuk ke dalam kamar dan Sheina sudah bersiap.     

"Aku akan meninggalkan Paris hari ini." Sheina menatap Marcus.     

"Akan kuminta orangku menyiapkan pesawat untukmu." Jawabnya.     

"Aku akan pergi dengan penerbangan komersial, aku sudah memesan tiketnya." Sheina memasukkan ponselnya ke saku jaket dan meninggalkan penthouse Marcus. Pria itu menatap kepergian Shiena begitu saja. Sejak awal dia memang ragu untuk melibatkan Sheina dalam kehidupannya yang kelam meski dia sangat yakin bahwa perasaannya pada Sheina tak akan bisa berubah. Marcus tak pernah benar-benar jatuh hati pada perempuan, dan Sheina Anthony adalah gadis yang berhasil merebut hatinya.     

Sepanjang perjalanan dengan taksi menuju bandara, air mata Sheina berjatuhan. Dia mengenang semua yang terjadi antara dia dan Marcus. Tidak bisa ditepis bahwa hatinya hancur berkeping-keping. Meski sejak awal Sheina ragu akan ada masadepan bagi mereka berdua meningat mereka hidup di dunia yang benar-benar berbeda.     

***     

Sheina kembali ke Broklyn New York dengan penerbangan First Class. Mau tidak mau, dia harus meninggalkan kenangan tentang Marcus di belakang dan melanjutkan kehidupannya. Keputusan sudah diambil dan dia tidak bisa mundur lagi.     

Tidak semua hubungan ditakdirkan untuk berakhir bahagia, beberapa memang diciptakan untuk menjadi kisah dengan akhir yang menyedihkan. Bahkan kisah Romeo dan Juliet menjadi kisah yang mendunia bukan karena akhir bahagia, melainkan akhir tragis diantara keduanya.     

Marcus dan Sheina memang ditakdirkan untuk bertemu dan menikmati kebahagiaan sebagai pasangan untuk sementara waktu. Bahkan setelah perpisahan pahit dan perjuangan untuk bertahan selama beberapa tahun dalam kesendirian masing-masing, mereka dipertemukan lagi. Saat hati dan pikiran mereka tak ingin berpaling ke lain hati, kehidupan mereka tampaknya tak sejalan. Bagaikan ikan yang harus hidup di daratan, Marcus tak bisa meninggalkan dunianya dan masuk ke dunia Sheina, begitu juga dengan Sheina. Begitu berat baginya meninggalkan dunianya dan menjadi burung dalam sangkar emas di istana Marcus yang meski megah menyimpan banyak sisi gelap yang mengerikan.     

Gadis muda itu yakin bahwa patah hatinya tidak akan cepat pulih, tapi dia yakin bahwa hidupnya masih dibutuhkan oleh orang lain. Bagaimanapun Sheina harus bertahan hidup untuk mereka. Profesinya tidak membiarkannya terlarut dalam patah hati terlalu lama. Begitu banyak orang yang membutuhkan bantuannya untuk mendapatkan keadilan dari kasus-kasus yang dialaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.