THE RICHMAN

The Richman - Betrayal



The Richman - Betrayal

0Sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dan langsung mendapatkan penanganan dari dokter terbaik di rumahsakit setempat. Kini Sheina terbaring lemah dalam keadaan belum sadar pasca operasi besar pengambilan proyektil yang bersarang di dadanya setelah sempat menembus punggungnya, karena sang penembak menarik pelatuk dari belakang posisi Sheina berdiri. Marcus yang mendapat kabar itu langsung bertolak kembali ke Albania dan menyerahkan urusan diplomasi pada Karim, orang kepercayaannya.     

Setelah memerintahkan sebagian anak buahnya untuk melacak keberadaan Liz, kini Marcus bersama beberapa orang pengawal menunggu Sheina kembali sadar. Wajahnya pucat pasi karena hanya bisa melihat Sheina dari luar ruangan yang bersekat jendela kaca.     

Wajah Sheina benar-benar semakin pucat karena dia kehilangan banyak darah. Begitupun wajah Marcus, setelah dokter menjelaskan posisi proyektil yang sudah berhasil di angkat dan juga masih menyisakan serpihan proyektil di dalam tubuh Sheina, namun karena posisinya terlalu beresiko untuk dilakukan pembedahan langsung, maka dokter menunggu kondisi Sheina membaik barulah akan dilakukan pembedahan lanjutan.     

"Apa dia bisa melewati semua ini?" Tanya Marcus cemas.     

"Kami berharap ada keajaiban, setidaknya jika Mss. Louis bisa melewati malam ini, mungkin akan ada harapan."     

Marcus keluar dari ruangan dokter dengan perasaan sesak di dalam dada, entah bagaimana seluruh kekuatan dan kegarangannya mendadak luntur. Jika apa yang dia miliki bisa di tukar dengan keselamatan Sheina, dia benar-benar ingin menukarnya detik ini juga.     

"Jaga dia…" Ujar Marcus pada para pengawal saat dia berjalan meninggalkan ruang perawatan Sheina. Langkahnya tak tentu arah, dia berhenti di sebuah bangku panjang dan duduk sendiri. Marcus meremas wajahnya dengan frustasi.     

"Kau mengalami hari yang sulit sepertinya." Seorang wanita setengah baya duduk di dekatnya dan membuka suara seolah mereka sudah akrab. Marcus menoleh tapi tak menjawab.     

Wanita tua itu tersenyum. "Puteriku koma selama tujuh tahun, dan aku selalu ke rumahsakit untuk menjenguknya." Wanita tua itu berujar, membuat Marcus menoleh karena ceritanya sungguh mengerikan.     

"Apa yang terjadi pada puterimu?" Tanya Marcus kemudian.     

"Sebuah kecelakaan mobil." Jawab sang perempuan, dia tampak tegar.     

"Saat menyadari puteriku akan tertidur untuk waktu yang sangat lama aku juga sehancur dirimu." Wanita tua itu menatap Marcus dengan mata bening yang berkilat-kilat penuh ketulusan. "Tujuh tahun aku memelihara keyakinan bahwa suatu hari dia akan siuman dan mengenaliku sebagai ibunya."     

"Semoga itu segera terwujud." Marcus terlihat berempati.     

"Kau tahu nak… setiap malam aku selalu di hantui perasaan ketakutan bahkan mimpi buruk, jika suatu hari nanti dia bangun dan tak mengenaliku lagi." Wanita tua itu kini berkaca.     

"Bagaimana mungkin, dia puterimu, dia pasti mengenalimu." Jawab Marcus menghiburnya.     

"Cidera kepala parah, dokter juga mendiagnosa kemungkinan amnesia jika dia siuman." Si wanita mengusap air matanya yang berjatuhan. "Bagiku, yang terpenting dia masih bernafas. Dan jika suatu saat dia siuman, meskipun tak lagi mengenaliku, itu akan menjadi kebahagiaan terbesar yang mungkin kuperoleh seumur hidupku."     

Marcus menatap wanita tua itu, "Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?"     

"Kau pasti pernah mendengar ungkapan bahwa cinta seorang ibu tak terukur, seperti itulah hal yang sebenarnya. Meskipun kami hancur, tapi kami bisa bertahan demi orang-orang yang kami cintai." Wanita tua itu bangkit dari tempatnya duduk dan menepuk pundak Marcus.     

"Kau pasti bisa melewati masa sulit ini, aku melihatmu sebagai pria yang kuat." Wanita itu tersenyum dan entah mengapa hati Marcus menjadi kecut.     

Dia teringat foto wanita yang tersenyum dengan bocah laki-laki berusia dua tahun dalam gendongannya. Matanya berbinar penuh kebahagiaan dibingkai bulu mata tebal dan rambut hitam lebat yang begitu elok. Meski foto itu sudah tua dan sudah begitu lama tak dilihatnya lagi, tapi lekat di ingatan Marcus. Hana selalu mendoktrin dirinya bahwa itu adalah Margareth, Ibunya.     

Marcus menghela nafas dalam sebelum akhirnya bangkit dari tempatnya duduk dan menyeret langkahnya kembali ke ruang perawatan Sheina. Dia berdiri dan meletakkan telapak tangannya di jendela kaca lebar itu, seolah bisa menembus dan menyentuh wajah Sheina. Dalam hatinya dia berbisik, "Bertahanlah."     

Tak ada jawaban, hanya bunyi bib dari alat penopang kehidupan yang terdengar menyahut dari dalam ruangan. Tubuh Sheina terbaring tak berdaya di dalam sana, sementara jiwanya sedang berjuang mempertahankan kehidupan.     

Separuh diri Marcus menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa Sheina, seharusnya dia kembali lebih cepat, seharusnya dia tidak percaya pada Lizbeth, dan seharusnya juga dia tidak memberikan ijin pada Hana untuk meninggalkan Sheina seorang diri di rumah bersama orang-orang yang asing bagi Sheina.     

***     

Sheina belum siuman, namun si penembak, Lizbeth justru ditemukan meninggal dunia dengan luka tembak di dahi di dalam mobilnya yang terparkir di tepi jalan.     

Menjadi sebuah teka-teki besar bagi Marcus, ini bukan sekedar soal asmara, ini jauh lebih besar dari pada itu. Seseorang sedang berusaha menerornya. Orang yang bisa menembus kesetiaan Lizbeth tentu bukan orang yang sembarangan mengingat Lizbeth bahkan rela memberikan apapun pada Marcus sejak pertama kali mereka bertemu.     

Pertemuan tidak sengaja saat Marcus tengah bertemu dengan salah seorang koleganya di dunia bisnisnya yang kelam. Lizbeth adalah seorang pelayan yang tengah dipermalukan di depan umum karena tidak sengaja menumpahkan minuman pada salah satu pengunjung klub malam. Beberapa pengungjung yang duduk mengitari meja tampak melecehkannya dengan melemparkan Liz ke sana kemari. Mereka bahkan tampak menggerayangi Liz dengan sesuka hati tanpa ada yang peduli.     

Kala itu entah mengapa Marcus peduli dan menyelamatkannya meski harus baku hantam dengan beberapa pengunjung klub malam.     

Setelah kejadian itu, Liz beberapa kali mendekati Marcus untuk berterimakasih. Meski Marcus meryakinkan Liz bahwa itu tidak dia lakukan semata-mata demi dirinya, tapi Liz tetap tidak bisa memahaminya.     

Hingga suatu hari Liz menerobos masuk ke rumah Marcuz dan tertangkap oleh beberapa pengawal. Wanita itu bahkan sempat di hajar oleh para pengawal Marcus dan di hadapakan pada Marcus dengan pistol ditodongkan di kepalanya dan bibir berdarah tapi Liz bergeming. Dia ingin membalas kebaikan Marcus dengan bekerja untuknya.     

Marcus tak ingin berurusan dengan hal yang rumit, jadi dia mengabulkan permintaan Liz dengan satu syarat, Lizbeth harus belajar beladiri jika ingin menjadi salah satu pengawalnya.     

Wanita gigih itu benar-benar memenuhi syarat dari Marcus hingga akhirnya Marcus menjadikannya salah satu orang kepercayaannya.     

Meski demikian, bagaimanapun Lizbeth adalah wanita yang memiliki hasrat. Beredar di sekitar Marcus yang begitu mempesona, membuatnya kehilangan kendali. Sempat sekali dia menawarkan diri pada Marcus untuk melayani bosnya itu secara seksual namun Marcus menolaknya. Sebagai gantinya Marcus menemaninya minum malam itu, tepat dimana Lizbeth mendapatkan foto dirinya dan Marcus yang dia simpan di ponselnya.     

Memendam hasrat pada sang bos, tentu bukan perkara mudah bagi Lizbeth, karena hampir setiap akhir pekan Marcus membawa wanita ke rumahnya. Apalagi yang dilakukan Marcus sekalin memuaskan hasrat seksualnya?     

Begitu menyakitkan bagi Lizbeth menyaksikan Marcus bercinta dengan banyak wanita namun menolak dirinya. Bukan karena Lizbeth tidak cantik, Marcus hanya ingin Lizbeth tetap profesional sebagai pengawal, itu saja.     

Nampaknya kedatangan Sheina mengubah Lizbeth yang sudah mulai bisa menerima tabiat sang bos. Aroma kecemburuan kembali menyeruak saat Marcus terlihat begitu menginginkan Sheina, si gadis asing.     

"Aku tidak pernah melibatkan perasaanku saat bersama wanita." Ujar Marcus saat mereka berdua tengah mabuk malam itu. "Jadi alasanku tidak bisa melakukannya denganmu bukan soal perasaan. It's not my thing. I'm not make love to some one, I fuck them." Marcus tertawa bangga, tapi dibalik itu semua hati Lizbeth sebenarnya terluka.     

Luka yang mulai mengering mendadak bagaikan di rajam dan disiram dengan garam saat Sheina masuk dengan manjanya. Gadis tak berdaya yang menurut Lizbeth sangat jauh kualitasnya dibandingkan dirinya, tapi Marcus justru tampak tergila-gila padanya.     

***     

Karim tampak sedang berbincang dengan seseorang di telepon saat Marcus kembali ke rumah dan melintas tepat di hadapannya, namun Karim cepat-cepat mematikan sambungan teleponnya itu.     

"Ada masalah apa paman Karim?" Tanya Marcus, dan Karim tampak celingukan.     

"Tidak." Gelengnya. "Aku pikir kau masih sibuk dengan urusan rumahsakit itu."     

Marcus mengerucutkan bibirnya. "Ada urusan yang jauh lebih penting di tempat ini." Tuturnya.     

"Apa?" Karim tersenyum lebar.     

"Kau, pamanku tersayang. Orang yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri." Marcus menempelkan pistol lekat di kening Karim dan membuat pria tua itu mengangkat tangannya, ponsel yang tadi di pegangnya bahkan terjatuh dan tampak berhamburan.     

"Apa yang kau lakukan, Marcus? Jangan gila?" Karim terlihat begitu ketakutan saat ini, darah bahkan surut dari wajahnya.     

"Kau yang membuatku gila Paman Karimku sayang." Ujar Marcus dibalik giginya yang terkatup rapat. Dia tampak kesal.     

"Marcus, jangan gara-gara perempuan itu kau menjadi hilang akal."     

"Ini bukan karena siapa-siapa Karim, ini karenamu."     

"Marcus!"     

"Diam!" Bentak Marcus balik. Dia bahkan terlihat semakin murka melihat wajah orang yang selama berpuluh-puluh tahun ternyata telah menghianati bisnis keluarganya, termasuk menghianati ayah dan ibunya.     

"Kau berada di balik semua kejadian buruk yang menimpa keluargaku Karim." Geram Marcus.     

"Apa maksudmu?"     

"Aku menemukan semua faktanya, kau bersekongkol dengan pesaing ayahku, kau yang memberikan informasi keberadaan ayahku dan ibuku saat mereka pergi tanpa pengawalan. Kau yang membuat ibuku terbunuh dalam penembakan saat itu, dan dua puluh lima tahun kemudian kau membunuh ayahku dengan cara yang hampir sama." Marcus menodongkan ujung senjatanya semakin dekat.     

"Kau membuat bocah umur tiga tahun menyaksikan kematian ibunya dalam sebuah penembakan brutal, dan kau juga membuatku menyaksikan kematian ayahku dengan cara yang sama kejinya." Mata Marcus merah, urat-urat di wajahnya menonjol menampakan betapa dia tengah meluapkan seluruh emosinya.     

"Lalu kau datang seperti malaikat yang berjanji akan melindungiku seumur hidup, padahal kau sedang mengerogotiku dari dalam."     

"Apa yang kau katakan."     

"Sudah berapa banyak yang kau ambil dariku?"     

"Tidak ada, aku adalah orang yang paling setia padamu Marcus. Kau akan durhaka jika menembakku dengan cara seperti ini."     

"Tuhanpun akan menyetujui tindakanku sekarang."     

"Marcus."     

Beng Beng     

Terdengar dua kali suara tembakan dan Karim tampak tergeletak bersimbah darah. Marcus jatuh tersungkur di dekat jasadnya. Air matanya berderai, semua pengawal mengelilinginya dan menyaksikan kejadian itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.