THE RICHMAN

The Richman - Proposal



The Richman - Proposal

0George sudah berada di dekat rumah Claire tapi dia sengaja menepikan mobilnya dan mematikan mesin sebelum menghubungi Claire.     

"Hai." Sapa Claire ramah dari seberang telepon.     

"Hai." Jawab George.     

"Mengapa menelepon, bukankah kita janjian untuk makan malam?" Tanya Claire, sementara dia tampak sibuk mengangkat daging dari dalam oven dengan satu tangannya.     

"Maaf sayang, tapi aku terpaksa membatalkan janjiku." Ujar George.     

"Mengapa?" Alis Claire berkerut, dia tampak berkacak pinggang dengan satu tangannya sementara tangan lainnya memegangi telepon. Rambutnya masih dia ikat cepol dan dia tampak masih mengenakan kaos. Dia bahkan sudah berbelanja hari ini untuk mempersiapkan makan malam mereka berdua dan baru saja selesai memasaknya.     

"Aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan malam ini juga." Bohong George.     

Claire menghela nafas dalam. "Aku masih bisa menunggu jika kau datang terlambat."     

"Aku takut akan sangat larut, aku masih di kantor dengan beberapa orang untuk peluncuran produk baru besok. Aku khawatir ini tidak akan cepat selesai." Bohongnya lagi.     

"Ok." Angguk Claire pasrah, dia menarik bangku dan duduk di sana. "Lain kali kau seharusnya menghubungiku sejak siang jika ingin membatalkan janji." Suara Claire terdengar begitu kecewa.     

"Aku minta maaf." Ujar George.     

"Ok. Semoga pekerjaanmu berjalan lancar."     

"Sampai jumpa besok, sayang." Tutup George.     

"See you." Claire menatap daging yang baru saja dia ambil dari pemanggang dan membiarkannya begitu saja. Dia memilih untuk masuk ke kamarnya dan mandi. Mungkin dengan mandi, dia bisa menurunkan emosinya sedikit.     

Duapuluh menit kemudian Claire keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah dapur untuk membereskan semua kekacauan, tapi mendadak terdengar suara pintu di ketuk. Claire berlari ke arah pintu dan melihat siapa yang datang dari lubang intai. Begitu melihat George, dia segera membuka pintunya.     

"Hi." Senyumnya malu-malu. "Bukankah kau bilang tak akan datang?" Tanya Claire.     

"Aku sudah berada di dekat sini saat menelepon." George menyodorkan buket bunga mawar itu dan Claire tampak sangat terkejut.     

"Kau jahat George." Claire memukulnya manja dan George menarikna dan menggulungnya dalam pelukan.     

"Thank you." Ucapnya dengan binar kebahagiaan memenuhi matanya. "Come on in." Claire meraih tangan George dan menuntunnya kedalam begitu George menutup pintu di belakangnya.     

"Hem . . . smells good." Puji George.     

"Ya, baru saja selesai kumasak. Sebenarnya aku hampir membungkusnya dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin. " Claire menyiapkan dua piring tenderloin untuk menu makan malam mereka malam ini. Terpaksa dia menghangatkannya lagi beberapa saat sebelum menyiramkan sausnya.     

George mencoba membantu dengan meletakkan sayuran tumis di piring sementara Claire menyiapkan minumannya. "Kau memasaknya sendiri?" Tanya George.     

"Yep, mendiang kakekku adalah seorang cheff di restoran."     

"Really?"     

"Aku memasak dengan resepnya." Claire tersenyum dengan bangga dan menatap George. "Kau harus coba." Imbuhnya.     

George mengambil alat makan lalu menyuapkan potongan pertamanya ke dalam mulut dan sensasi daging lembut dan jucy yang kaya rempah itu menggoyang lidahnya. "Ini luar biasa." Puji George. "Kau berbakat."     

Claire tersenyum. "Kau suka?" Tanyanya.     

"Ya, dan aku tidak membual saat mengatakan bahwa kau benar-benar berbakat." George meyakinkan sekali lagi.     

"Andai aku punya lebih banyak waktu bersama dengan kakekku, mungkin aku akan menjadi cheff sepertinya." Senyum Claire.     

George menghela nafas, "Aku ingin membiacarakan sesuatu, sebenarnya." Ujarnya ragu.     

"Katakan." Claire menatap George.     

George tertunduk seklias sebelum mengungkapkan apa yang ada di dalam hati dan kepalanya. "Claire, aku tahu hubungan kita ini cukup singkat. Dan aku tidak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini di awal kita kenal." Ujar George terpotong. "Tapi semakin mengenalmu, aku semakin tidak bisa lepas." Tuturnya, Claire mendengarkan semuanya dengan seksama tanpa menyela atau menjeda.     

"Aku berpikir mungkin aku kehilangan diriku, prinsipku, bahkan keyakinanku yang selama ini kuanggap paling benar." George masih menatap Claire dengan lekat.     

"Kau mengubah semuanya."George bangkit dari tempatnya duduk dan memutar ke arah Claire, begitu berada di hadapan Claire, dia mengambil sesuatu dari saku celananya dan berlutut seraya membuka sebuah kotak perhiasan. George menyodorkan sebuah cincin berlian pada Claire. "Aku ingin kau menjadi bagian hidupku." Pintanya. "Maukah kau menikah denganku Claire Parker?"     

Claire mengkerutkan alisnya, "Kau melamarku?" Tanyanya.     

"Ya, marry me." Angguk George.     

"Sangat tidak romantis." Geleng Claire. "Tapi aku akan mengatakan ya, meski kau tidak romantis sama sekali Mrs. George Bloom."     

"Thank you." George terlihat malu, meski kemudian Claire mengulurkan tangannya dan George memasangkan cincin untuk Claire.     

"Tapi bisakah kita bertemu dengan orangtuamu?" Tanyanya dan itu membuat binar di wajah Claire yang sebelumnya berpendar tampak menyurut.     

"Kau terburu-buru?" Tanya Claire.     

"Soal pernikahan?" Alis George bertaut.     

"Ya." Angguk Claire.     

"Tidak sayang, takes your time. Aku tidak terburu-buru sama sekali. Aku ingin membuatmu merasa senyaman mungkin." Ujar George.     

"Ok." Angguk Claire. "Aku akan memikirkan kapan waktu yang tepat untuk menemui mereka." Claire menghela nafas dalam.     

"Aku ingin mereka datang di pesta pernikahan kita." Ujar George.     

"Aku tahu." Angguk Claire.     

"They are your family."     

"Ya."     

George mengangkat alisnya, "Maaf jika aku mengacaukan moodmu." Sesalnya.     

"Tidak, ini memang harus terjadi. Cepat atau lambat aku harus bicara pada ayah dan ibuku." Claire mengkoreksi ekspresinya dan mereka kembali menyantap makan malam mereka.     

"Apa kau terbiasa dengan sesuatu yang to the point George?" Tanya Claire.     

"Aku sudah memikirkannya sejak beberapa minggu lalu." Jawabnya.     

Claire menatap George dengan mengigit bibirnya, "Mengapa kau begitu yakin padaku?" Tanyanya lagi.     

George menghentikan aktifitas makannya, dia meletakkan alat makan di atas piring dan melipat tangannya di bawah dagu. "Sejak malam itu, kau datang padaku dan mengajakku bicara, aku tidak pernah bisa melupakan sorot matamu." Jujurnya.     

"Really?" Alis Claire berkerut.     

"Yep." Angguk George.     

Claire menatap George dalam-dalam, "Ibumu tahu soal ini?" Claire mengangkat tangannya dimana tersemat cincin berlian pemberian George di jari manisnya.     

"Ya." Angguk George. "Cincin itu diberikan kakekku pada nenekku saat hendak menikahinya. Dan saat nenekku meninggal, dia memberikan cincin itu pada ibuku, dan sekarang ibuku memberikannya padaku. Dia mengatakan siapapun gadis yang ingin kunikahi, aku harus melamarnya dengan cincin ini." Ujarnya.     

Mata Claire berkaca-kaca. "Keluargamu sungguh hangat dan penuh cinta George."     

"Ya, dan kau akan jadi bagian dari keluargaku." George meraih tangan Claire dan mengecupnya. "Kita akan menemui ayah dan ibumu berdua. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri menghadapi mereka." Ujar George.     

"Kau yakin bisa mengatasi ayahku?"     

"Sangat yakin." Jawab George.     

"Thank you." Claire berbisik. Sejurus kemudian mereka saling menatap, "Selesaikan makanananmu." Ujar Claire. Setelah itu Claire membawa piring kotornya ke wastafel dan berniat mencucinya, tapi George menyusul dan melilitkan tangannya di pinggang Claire.     

"Aku ingin kau pindah ke rumahku." Bisik George.     

"Why?" Claire balik berbisik.     

"Di rumahku ada banyak kamar, dan di kamarku ada tempat tidur yang sangat luas, jadi mengapa kau harus membayar sewa rumah?" George meyakinkan, dan Claire berbalik.     

"Beri aku waktu." Bisiknya, dan pria itu mengangguk. Claire berjinjit untuk mengecupnya, dan George merunduk untuk memudahkan Claire menciumnya, begitu juga sebaliknya. Ciuman mereka semakin menghangat dan penuh gairah hingga mereka berakhir di kamar Claire. Pertama kali saat George Bloom bercinta dengan wanita yang benar-benar mencintainya, juga benar-benar dia cintai pada akhrinya setelah begitu banyak petualangan dia lewatkan di luar sana. Pernah mengejar dan pernah dikejar, atau bahkan saling meninggalkan dan itu manusiawi. Tapi toh semua kapal akan menemukan dermaga terbaik untuk berlabuh dan menatuhkan jangkar, dan Claire Parker adalah orang yang tepat bagi George saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.