THE RICHMAN

The Richman - Fix the Past



The Richman - Fix the Past

0Sheina menggeliat malas saat matahari sudah merangkak naik dan menembus tirai kamar Marcus yang sebagian sudah dibuka.     

"Morning." Sapa Marcus, dia sudah tampak rapi dengan setelan setelah sempat olahraga pagi dan menyantap sarapannya juga mandi.     

"Morning." Sheina mengusap-usap matanya.     

"Kau menikmati tidurmu tampaknya." Marcus membawa baki berisi makanan ke atas ranjang. "Sarapan setelah itu kau akan mandi." Lebih terdengar sebagai perintah dibandingkan permintaan.     

Shine baringsut duduk dan menatap Marcus, "Tunggu, kita akan pergi kemana?" Tanyanya.     

"Kau akan tahu segera." Ujar Marcus. "Pakaianmu ada di walking closet, aku memilih beberapa, kuharap kau suka." Ujarnya sebelum meninggalkan kamarnya.     

"Really?" Sheina menatap juice di tangannyalalu meminumnya dua teguk. Dia menyobek roti gandum dan mengunyahnya sebelum beringsut turun dan membuka walking closet yang sempat di tunjuk oleh Marcus. Sebuah pintu yang ternyata di baliknya terdapat koleksi barang-barnag milik Marcus, sepatu, setelan, kemeja, ikat pinggang, jam tangan dan dometnya. Semua tertata rapi di masing-masing raknya. Sementara itu kemeja, setelan, jaket, coat dan pakaian lainnya tertata rapi di gantungan.     

Di situ terdapat space untuk bebrapa potong gaun yang dipilih Marcus untuknya. Dari kesemua warna, Sheina menyukainya dan entah mengapa dia melihat sebuah gaun bergaya bohemian yang mirip dengan gaun yang ada di mimpinya. warnanya juga putih dan terkesan casual, Sheina memilih itu untuk dikenakan meski dia masih bertanya-tanya dalam hati. Apa Marcus bisa membaca mimpinya?     

Sheina masuk ke dalam kamar mandi milik Marcus dan terbersit di benaknya tentang mimpinya semalam. Dia mendongak dan melihat shower, sesaat Sheina bergidik. "Only a dream." Gumamnya. Dia segera mandi dan merapikan dirinya. Bohemian Dress berwarna putih itu. Dengan sepatu bertali hingga kelutut, Sheina turun ke lantai satu.     

Hiruk pikuk yang terjadi setiap malam ternyata sangat berbeda jika pagi datang. Suasana menjadi hening dan bersih. Ruangan besar itu terlihat seperti rumah besar dengan bar yang tak kalah besar.     

Marcus yang sebelumnya tengah menikmati minuman dalam gelasnya menoleh dan menatap Sheina dengan tatapan kekaguman.     

"Nice choice." Puji Marcus, dia meletakkan gelas kristal di atas meja lalu bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiri Sheina.     

"Kau punya banyak pilihan, tapi mengapa kau memilih gaya bohemian?" Bisik Marcus di dekat telinga Sheina.     

"Entahlah, aku hanya merasa seksi dengan pakaian ini." Jawab Sheina dengan ekspresi manjanya.     

"No way." Marcus menggeleng. "Tidak jika tanpa pakaian dalam kali ini." Marcus meremas pantat Sheina dengan lembut. "Pakai pakaian dalam atau kita tidak aka pergi kemanapun."     

Sheina mendengus, dia naik lagi ke lantai atas dan memenukan sepasang pakaian dalam, satu-satunya tampaknya yang disediakan oleh Marcus untuknya. Sheina tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya, karena dia sangat penasaran dengan tujuan mereka pergi.     

Seheina turun lagi dan menghambur ke pelukan Marcus, pria itu melumat lembut bibirnya untuk sesaat. "Anda siap nona?" Goda Marcus.     

"Ya." Angguk Sheina.     

Marcus menekuk sikunya dan Sheina melilitkan lengannya pada lengan Marcus. Mereka menuju mobil yang sudah terparkir dan siap membawa mereka berkendara keliling kota Paris nan indah. Cuaca hari itu begitu cerah, dan pilihan pertama mereka adalah mengunjungi sebuah caffee.     

Lebih tepatnya di Place St-Germain-des-Pres, kawasan trendi dan ceria di distrik ke-6 Paris. Selama bertahun-tahun, Les Deux Magots menjadi tempat nongkrong populer bagi penyair dan filsuf Prancis seperti Paul Verlaine, Arthur Rimbaud, Simone de Beauvoir, dan Jean-Paul Sartre. Dan itu salah satu alasan Marcus mengajak Sheina ke tempat itu. Selain memang letaknya yang strategis dan nyaman untuk menikmati kopi di pagi hari sekaligus menemani Sheina sarapan pagi, Marcus tahu benar bahwa dia tidak menikmati sarapan paginya dengan benar di rumah Marcus tadi.     

Sheina memilih secangkir late panas sebagai minuman sementara makannya dia memilih Croque Monsieur. Croque Monsieus ini berupa sandwich yang berisi ham dengan lelehan keju yang menggoda selera makan di pagi hari. Sementara itu Marcus memilih espreso, karena dia sudah sarapan sebelum pergi.     

"Ini kali pertama kau ke Paris?" Tanya Marcus.     

"Yap." Angguk Sheina.     

"Kau punya banyak uang untuk kau habiskan berkeliling dunia, tapi kau justru memilih liburan di Albania, mengapa tak pergi ke Paris?" Goda Marcus.     

Sheina tersenyum, dia menyipitkan matanya pada Marcus sebelum memasukkan potongan Croque Monsieur ke mulutnya. Sesaat kemudian mata Sheina berbinar. "Kau tahu, liburan ke Albania tidak akan pernah menjadi penyesalan dalam hidupku, meski aku hampir mati tertembak di sana." Senyumnya.     

Tatapan Marcus berubah kelam saat Sheina melontarkan candaan tentang penembakan yang dilakukan Karim padanya.     

"Itu salahku." Sesalnya.     

"No." Sheina meraih tangan pria itu. "Aku memilih untuk tidak berhubungan baik dengan pria dimasalaluku hanya karena rasa bersalahku untuk apa yang menimpanya, yang dia lakukan untukku." Ujar Sheina. "Dan aku tidak ingin kau memperlakukanku sama seperti itu." Imbuhnya.     

Marcus menatap Sheina, "Itu tidak sama." jawabnya.     

"Menjadi sama jika kau memperlakukanku seolah-olah kau menginginkanku, padahal yang sedang kau lakukan hanyalah berusaha menebus rasa bersalahmu padaku." Sheina menatap pria itu. "Jangan lakukan itu." Sheina menegaskannya sebelum dia menyesap kopi dari cangkir di tangannya.     

Rahang Marcus mengeras sekilas, "Apa kau berpikir apa yang kulakukan untukmu adalah karena rasa bersalahku?" Tanyanya pada gadis di hadapannya.     

"Mungkin." Jawab Sheina singkat.     

Marcus melipat tangannya di dada, "Nikmatiah jika kau merasa demikian."     

Suasana hati Sheina mendadak buruk setelah obrolan pagi ini. Dia bahkan sempat berpikir bahwa mungkin karena sebuah keajaiban, maka mimpinya akan menjadi kenyataan. Namun ternyata tidak, realita yang terjadi pada dirinya baru saja begitu berbeda dengan apa yang dia pikirkan dan dia harapkan, bagian dari mimpinya semalam.     

Setelah tak banyak mengobrol, Sheina dan Marcus memilih untuk meninggalkan cafe itu tentunya setelah Marcus membayar bill-nya. Mereka berkendara menuju menara Eifel dan menikmati berfoto. Lebih tepatnya Marcus yang asik mengambil foto Sheina, dan semua kekusutan pagi ini terbayar karena begitu bahagiaanya Sheina menikmati berfoto di tempat itu. Mereka bahkan naik ke atas menara Eifel bersama untuk menikmati landscape kota paris dari ketinggian.     

"Ini gila." Sheina bedecak kagum, dia menatap ke bawah, kemudian mengalihkan pandanganya pada Marcus. "Kau tahu, aku tidak pernah suka kota ini meski aku belum pernah datang." Ujarnya.     

"Why?' Marcus menatapnya dengan antusias.     

"Kota ini identik dengan sesuatu yang sangat romantis menurut orang-orang yang pernah berkunjung. dan itu membuatku jengah." Jujurnya.     

"Dan setelah kau menikmatinya?"     

"Not bad." Sheina tersenyum.     

"Cobalah untuk tidak menolak sesuatu sebelum kau merasakannya." Marcus tersenyum, dia mengulurkan tangannya dan mereka berjalan keluar dari area menara Eifel. Mereka menuju ke Pont De Arts Bridge, namun sejak bebrapa tahun lalu, gembok-gembok cinta itu dilepas oleh pemerintah agar jembatan itu tidak rusak. Meski tak ada lagi gembok cinta yang jumlahnya ribuan itu, tapi jembatan itu tetap menawarkan pemandangan yang romantis di senja hari.     

Menutup hari dengan menaiki kapal pesiar di kanal sungai Shine menjadi penutup hari yang sempurna. . Mereka menaiki kapal pesiar secara privat yang tak hanya menawarkan pemandangan kota paris malam hari dari dalam kapal mewah dengan pemandangan menara Eifel yang menakjubkan, ditambah makan malam romantis bersama pasangan. Kali ini Marcus menyewa sebuah kapal khusus untuk mereka berdua.     

"Aku ingin menebus kesalahanku terakhir kali." Marcus membuka suara begitu mereka bersiap untuk bersantap.     

"Jangan memulainya lagi." Sheina menatap Marcus.     

"Ini bukan soal penembakan. Aku hanya menyesal karena tidak bisa memperlakukanmu dengan baik selama kau berada di Albania. Kuharap ini bisa memperbaiki hal buruk yang terjadi lima tahun lalu." Marcus menjelaskan panjang lebar.     

"Em . . ." Sheina menatap Marcus. "Paris sangat indah, tapi bagiku Albania yang terbaik." Jawabnya. "Aku akan selalu memilih tempat yang mempertmukanku denganmu untuk pertamakalinya sebagai tempat terbaik." Imbuhnya.     

"Dan tempat dimana aku bisa menghabiskan waktu bersamamu, adalah yang paling sempurna." Pungkas Sheina.     

"Makanlah." Entah mengapa Marcus begitu sulit melibatkan dirinya dalam romantisme verbal seperti yang coba dilakukan Sheian barusan. Meski demikian semua yang dilakukan oleh Marcus hari ini ribuan kali lebih romantis dibandingkan dengan romantsime verbal yang bisa ungkapkan seorang pria pada pasangannya tanpa menunjukan dalam bentuk tindakan. Marcus Durant sebaliknya, dia begitu sulit mengungkapkan perasaanya secara verbal meski secara tindakan semua sudah jelas.     

Namun sebagai seorang perempuan, makhluk yang membutuhkan pengakuan dari pasangannya, membutuhkan deklarasi tentang perasaan pasangan dan juga menantikan cincin sebagai tanda bahwa pasangannya benar-benar ingin berkomitmen, tentu saja dia ingin sekali mendengar dari bibir Marcus, bagaimana perasaan pria itu sesunggunya.     

Sheina menikmati mengunyah makannya sembari menikmati romantisme di kapal pesiar itu. Lampu-lampu malam di paris, menara Eifel yang bersinar, makanan yang menggoyang lidah dan sekarang musik yang begitu mendukung suasananya.     

"Apa semalam kau bermimpi?" Tanya Marcus memecah keheningan, dan itu membuat Sheina hampir tersedak makannya. Dengan sigap Marcus menyodorkan gelas berisi air mineral untuk pertolongan pertama, Sheina meneguknya dan mengusap-usap dadanya.     

"Mengapa kau bertanya?" Tanya Sheina.     

"Aku melihatmu tersenyum dalam tidurmu." Jujurnya, dan pernyataan jujur dari Marcus itu membuat Sheina sesak nafas matanya membulat.     

"Apa aku mengatakan sesuatu?" Tanya Sheina.     

"No." Geleng Marcus.     

Sheina menyipitkan matanya menatap pria di hadapannya itu "Kau sedang berbohong padaku bukan?"     

"I swear, aku melihatmu tersenyum beberapa saat kau tidur. Kau hanya bergumam dan tersenyum, tapi aku mendengar apapun." Terang Marcus. Pria itu berbohong, karena Sheina tak hanya bergumam dalam tidurnya, dia benar-benar bicara.     

"Em, ya kupikir mimpi buruk." Bohongya.     

"Kau tersenyum menghadapi mimpi buruk?" Alis Marcus bertaut.     

"Sometimes." Bohongnya.     

"Ok." Anggu Marcus. "Sedikit aneh, tapi kuharap mimpi itu tidak cukup buruk."     

"Em, aku bahkan tak mengingat apapun." ujar Sheina berbohong lagi untuk menutupi kebohongannya yang sebelumnya.     

"Baguslah, mimpi bruk memang tak layak di ingat sama sekali. " Marcus tersenyum dan Sheina menjadi kikuk. Sepanjang sisa malam mereka menikmati pemandangan dari dalam kapal sampai Sheina mengajak Marcus pulang karena besok pagi dia harus terbang ke New York untuk sidangnya minggu ini.     

"Bisakah kita pulang sekarang?" Tanya Sheina yang mulai gelisah.     

"Mengapa terburu-buru?"     

"Aku harus merapikan barangku, besok aku terbang dengan penerbangan paling pagi menuju New York."     

"Ok." Marcus mengalah dan mengantar Sheina pulang ke hotelnya malam itu. Sheina bahkan tak berniat untuk kembali ke penthouse Marcus dan bermalam di sana. Bukan tanpa alsan, dia jelas tak ingin Marcus mendengarnya bergumam dalam tidurnya, apalagi saat dirinya memimpikan Marcus. Itu jelas menjadi rahasia besar yang harus dia jaga untuk dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.