THE RICHMAN

The Richman - 5 Years Latter



The Richman - 5 Years Latter

0Lima tahun berlalu, kehidupan berjalan mengikuti kemana takdir membawanya. George memiliki seorang puteri kecil yang diberi nama Emanuella Nichole Anthony, sementara ibunya Claire bahkan tak tahu dari mana asal nama Emanuella itu. Meski begitu kehidupan keluarga mereka tetap harmonis hingga saat ini.     

Adrianna dan Javier pun akhirnya tinggal bersama setelah selama lima tahun terakhir Adrianna meyakinkan dirinya bahwa memulai hubungan lagi dengan pria lain bukan berarti dia menghianati mendiang suaminya Aldric. Pernikahan mereka digelar dengan sangat sederhana, mereka bahkan hanya mencatatkannya secara sipil tanpa menggelar pesta. Makan malam keluarga menjadi pilihan untuk merayakan pernikahan Jav dan Adrianna. Mereka tinggal di rumah Javier, sementara kediaman Anthony ditinggali George, Claire dan putera mereka.     

Selain itu Ben dan Kety memilih tak memiliki anak lagi, mereka membersarkan si kembar yang kini sudah berusia sepuluh tahun dan tumbuh menjadi dua gadis cilik yang cantik. Kety dan Ben juga dikenal sebagai pasangan paling romantis di dalam keluarga karena mereka selalu harmonis dan tak pernah terdengar percekcokan yang berarti. Ben membanjiri kedua puteri tirinya itu dengan kasih sayang yang begitu luar biasa hingga mereka bahkan tak merasa bahwa ayahnya adalah ayah tiri. Ben pria yang penuh cinta dan tanggung jawab.     

Perusahaan yang dipimpin oleh George dan Ben berkembang dengan sangat pesat tanpa pernah ada dualisme kepemimpinan didalamnya. Keduanya saling mendukung untuk menjaga legacy keluarga dan menikmati hasilnya bersama.     

Menyisakan Sheina yang hingga ditahun kelimanya setelah memulai karirnya sebagai pengacara di kota New York, dia belum juga menemukan tambatan hatinya. Oliver, pria yang pernah begitu mencintainya pada akhirnya berlabuh pada wanita lain setelah mereka memutuskan untuk tetap menjadi teman, bahkan setelah Sheina harus melewati liburan mematikan di Albania.     

Oliver menikahi Patricia Rochie yang kini tengah hamil muda, dan setelah pernikahan itu, demi menjaga perasaan Patricia, Sheina memilih untuk resign dari tempatnya bekerja di lembaga hukum milik Oliver Hawkins dan berpindah ke lembaga hukum lainnya. Dia menjalani hari-harinya dengan bahagia sebagai seorang single. Rupanya nama Marcus masih menghuni hatinya hingga kini.     

***     

Tok Tok     

Emilia, sekretaris andalan Sheina mengetuk pintu ruangan bosnya itu. Selama ini Emilia dan Sheina bekerjasama dengan sangat baik. Emilia adalah gadis cekatan, periang dan pekerja keras, olehkarenanya dia menjadi kesayangan Sheina. Beberapa waktu terakhir mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar minum kopi atau olahraga bersama. Mereka membagi waktu "Girls time" bersama karena terdapat beberapa kesamaan dan mereka menjadi akrab.     

"Hi boss." Emilia tersenyum dan masuk ke dalam ruangan Sheina dengan mata berbinar-binar. Aura kebahagiaannya bahkan berpendar hingga membuat Sheina ikut tersenyum.     

"Wow . . . kau tampak begitu bahagia hari ini." Sheina menyipitkan matanya ke arah Emilia.     

"Yap." Angguk Emilia. "This is your coffee first." Emilia meletakkan satu cup coffee late dengan almond Milk kesukaan Sheina di atas meja.     

"Thank you." Sheina mengambilnya lalu menyesapnya. "Kau tahu kesukaanku." Puji Sheina.     

"As always boss." Emillia terus mengumbar senyumnya.     

"Jadi setelah kau membelikanku kopi, sekarang katakan apa yang kau inginkan?" Sekali lagi Sheina menyipitkan alisnya ke arah Emilia.     

"Rencana pernikahanku dan Dave akan dilaksanakan lusa, di Paris. Dan aku ingin kau menjadi pendamping pengantin perempuan." Emilia menunjukan cincin di jari manisnya, kemudia menyodorkan undangan di atas meja Sheina. Mata Sheina membulat, dia cukup terkejut karena "As that fast?" Sheina tampak kesulitan mengelola rasa keterkejutannya. "Oh, wow. Congratulation by the way." Dia tersenyum kikuk.     

"Yap." Angguk Emilia. "Jangan menolak please." Emilia justru mulai terlihat cemas saat menunggu jawaban Sheina, apakah dia akan menolak atau mengiayakan untuk menjadi pendamping pengantin baginya.     

Sheina menautkan bibirnya sekilas, "Em . . . " Dia mencoba mencari jawaban yang tepat, atau alasan yang tepat "I'll think about it." Dia tersenyum lebar meski senyumnya jelas tak menyentuh mata sama sekali.     

Emilia meraih tangan Sheina, "Maafkan aku." Gadis itu mengukur ekspresi Sheina yang tampak semakin bingung. "Dave dan aku sudah merencanakan pernikahan sejak tiga bulan lalu, tapi kami tak berani melibatkanmu. Aku tahu kau sulit menghadapi hal semacam ini." Jujur Emilia.     

Sheina memaksakan dirinya untuk tersenyum sekali lagi. "Maafkan aku, seharusnya aku sangat bahagia untukmu saat ini. Aku hanya tidak terbiasa." Sheina menatap Emilia , kemduian bangkit berdiri memuka tangannya untuk memberikan pelukan selamat bagi gadis itu. "Congratulation."     

"Thank you." Emilia bahkan berkaca mendapatkan pelukan dari bos sekaligus teman baginya itu.     

"Jadi kau akan datang?" Mata Emilia yang masih berkaca menatap Sheina.     

"Of course." Jawab Sheina. Dia benar-benar tidak tega menolak permintaan orang yang cukup dekat dengannya itu. Bahkan Emilia terbilang sangat dekat mengingat tak ada orang lain yang benar-benar bisa dekat dengan Shiena pada akhirnya setelah dia memutuskan untuk menutup diri bagi semua orang.     

"Really?" Emillia begitu girang mendengar apa yang dikatakan oleh Sheina barusan. Mereka berpelukan singkat dan Emilia keluar dari ruangan Sheina, membiarkan seniornya itu mencerna semua informasi dan mempertimbangkannya. Sebenarnya Emillia tak berharap banyak tentang kehadiran Sheina, tapi setidaknya dia mencoba.     

Setelah menyibukkan diri dengan pekerjaannya hingga larut malam, Sheina berniat untuk pulang. Dia meletakkan berkas di atas mejanya, matanya tertuju pada sebuah undangan pernikahan yang tadi siang diberikan Emillia untuknya.     

Sheina menyandarkan dirinya ke sandaran kursi belakang dan membuka undangan itu lalu membacanya. Terkenang dalam benaknya, beberapa tahun lalu dia mendapatkan undangan dari Oliver Hawkins secara mendadak setelah mereka berteman seperti biasa selama satu tahun pasca tertembak peluru Karim di Albania.     

Oliver tak menunjukkan gelagat aneh padanya, dia juga tak pernah mengatakan apapun tentang perempuan lainnya. Oliver bahkan tak pernah mengatakan bahwa dia sedang mengencani seorang gadis lainnya. Mereka tetap bekerja bersama di kantor itu, akrab layaknya teman, hanya saja mereka memang tak lagi berbagi ranjang seperti yang dulu pernah mereka lakukan. Dan tiba-tiba setahun kemudian Oliver mengundangnya makan malam bersama dengan seorang gadis lainnya dan memperkenalkannya sebagai calon isteri.     

Selain sempat shock, Sheina juga bingung dengan posisinya saat itu. Meski dia turut bahagia untuk kebahagiaan Oliver, tapi tetap berada di satu tempat yang sama meski untuk urusan pekerjaan bukanlah pilihan bijak setelah apa yang sempat terjadi diantara mereka. Sheina memilih untuk resign dan sekarang sudah hampir empat tahun dia bekerja di kantornya yang sekarang.     

Emilia memasukkan undangan itu kedalam tas, lalu mematikan laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas laptop. Dia menenteng semu barangnya keluar dari ruangan kerjanya dan bergegas pulang. Sheina selalu menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor itu sejak hari pertama dia menginjakkan kaki di sana dan semua orang sudah tahu bahwa gadis itu masuk dalam kategori workaholic.     

***     

Mengurungkan niatnya untuk langsung pulang kerumah, Sheina memilih untuk mampir ke rumah orang tuanya. Selain untuk bertemu dengan sikembar, Sheina juga menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Kety. Beberapa waktu terakhir Kety juga menjadi teman curhat baginya yang cukup baik.     

Mereka sudah mengobrol beberapa lama dan Kety menyinggung tentang hati Sheina. "Jadi kau masih mengingat pria itu?" Tanya Kety.     

"Ya." Angguk Sheina.     

"Mengapa tak mencoba hubungan lainnya?" Kety menatap Sheina.     

Gadis itu menghela nafas dalam. "Beberapa kali aku berpikir tentang kembali ke tempat itu dan menemuinya."     

"But you know the answer as well." Meski Sheina tak teruka pada ayahnya, tapi pada ibu tirinya itu dia justru terbuka dan mengungkapkan semuanya layaknya seorang teman. Kety tahu bagaimana cerita tentang Sheina ketika di Albania dan memilih untuk tak mengatakan apapun pada Ben karena dia juga khwatir Ben akan menentang keputusan puterinya itu jika suatu saat Sheina nekat dengan pilihannya.     

"Kau pernah mencoba menghubunginya?" Tanya Kety lagi.     

"Beberapa kali di tahun pertama, dan tidak pernah lagi, karena dia tak pernah menjawab panggilanku." Sheina tersenyum getir, tapi dia segera mengkoreksi mimik mukanya saat melihat ayahnya masuk ke ruangan itu. Tampaknya Ben juga baru saja kembali dari kantor.     

"Hai dad." Sapanya saat sang ayah masuk ke dalam rumah dan menemukannya mengobrol dengan Kety, ibu tirinya.     

"Hai sayang, sejak kapan kau datang?" Ben memeluk singkat puterinya itu, setelah memberikan pelukan yang sama pada isterinya.     

"Aku baru saja berniat untuk pulang." Senyum Sheina. "Oh ya, aku akan ada urusan keluar kota beberapa waktu." Ujarnya.     

Ben merebahkan diri di sofa dan duduk di sebelah Kety sembari menatap ke arah puterinya. "Keluar kota?" Tanya Ben bingung.     

"Teman kantorku menikah dan dia memintaku untuk menjadi pendamping pengantin." Senyum Sehina terlihat getir.     

"Dan kau menyetujuinya?" Alis Ben bertaut. Selama lima tahun terakhir Sheina tampak sibuk menghindari segala sesuatu yang berbau pernikahan. Bahkan di pernikahan bibinya, Adrianna dengan Javier, Sheina hadir terlambat karena persidangannya.     

"Aku tak memiliki pilihan lainnya." Shiena mengangkat bahunya.     

"Mungkin kau harus mulai memikirkan dirimu sendiri sayang, pernikahan tidak selalu seburuk yang kau bayangkan." Kety merai tangan Sheina dan meyakinkannya.     

Ben masih memiliki rasa penasaran, "Dimana pernikahan temanmu akan di adakan?" Tanya Ben.     

"Em . . . bukan luar kota. Luar negeri lebih tepatnya. Emilda akan menikah di Paris." Akhirnya Sheina berkata jujur.     

"Nice place." Ben tersenyum dan menoleh ke arah Katy sebelum akhirnya mereka berpegangan tangan.     

"Yap, aku akan terbang besok. Jadi aku harus pulang dan packing." Sheina berpamitan.     

"Take care." Ben memeluknya begitu juga dengan Katy. "Have fun." Katy memberikan semangat untuk Sheina dan gadis itu tersenyum sekilas sebelum meninggalkan rumah orang tuanya itu.     

Dengan mengendarai mobilnya Sheina kembali ke apartmentnya. Setibanya di apartment dia segera menarik koper dan membukanya lalu memasukkan barang-barang satu persatu ke dalam koper terutama pakaian dan make up juga perlengkapan pribadinya. Setelah memasukkan semuanya, Sehina memilih gaun lain yang akan dia kenakan selama berada di sana meski dia tak yakin untuk acara apa. Sheina memasukkan gaun bertali satu dengan potongan backless itu kedalam kopernya. Setelah memeriksa sekali lagi akhirnya Sheina menutup kopernya. Dia berjalan ke arah kamar mandi untuk membasuh wajahya, bersiap untuk beristirahat sebelum penerbangannya besok pagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.