THE RICHMAN

The Richman - Second Chance



The Richman - Second Chance

0Tiga hari kemudian Christabell dipindahkan ke ruang perawatan, dan ajaibnya Christabell justru terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Dokter bahkan menggelengkan kepala, ini benar-benar salah satu keajaiban seperti yang dikatakan dokter Mark. "Aku sudah bergelut di bidangku lebih dari tigapuluh tahun dan ini pertama kali aku melihat keajaiban dari seorang cadasil survivor."     

Christabell setengah terduduk di ranjang perawatannya di ruang VVIP dan Richard sedang menyuapinya sarapan paginya, bubur agar dia lebih mudah menelan.     

"Bagaimana perasaanmu pagi ini?" Tanya Richard.     

"Baik." Jawab Christabell, "Aku merasa lebih baik dari hari kemarin." Imbuhnya. "Apa Ben dan Adrianna kemari?" Tanyanya.     

"Mereka berjaga semalaman, Adrianna dan suaminya tidur di sofa semalaman. Aku tidur di sampingmu." Jawab Richard.     

"Bagaimana dengan Ben? Aku bahkan tak ingat kapan dia menikah." Sesal Christabell. Sekarang ini seperti terbalik, beberapa memorry memang benar-benar hilang terutama saat Christabell terjebak dalam penyakit lupanya itu.     

"Dia menikahi gadis yang baik. Namanya Leah Wisley, sebelum menikah dengan Ben, dia merawatmu beberapa waktu." Ujar Richard menjelaskan.     

"Aku benar-benar ingin menemuinya." Ujar Christabell.     

"Dia akan datang, tapi dua hari ini dia sedang mengunjungi ayahnya di Nevada karena dia mendapat kabar ayahnya sakit dan masuk rumahsakit."     

"Gadis malang." Bell tampak berempati.     

"Hal apa yang terakhir kau ingat?" Tanya Richard, dan itu membuat Christabell menatap jauh kedepan, bahkan dia sempat menyipitkan matanya untuk benar-benar mengingatnya.     

"Aku bertemu dengan ibuku." Jawabnya, itu terjadi pada saat Chrsitabell mengalami koma untuk beberapa jam. Beberapa orang percaya bahwa seseorang yang sedang mengalami koma, jiwanya melayang-layang, dan itu mungkin yang terjadi pada Christabell.     

"Kapan kau bertemu ibumu?" Tanya Richard.     

Bell menghela nafas dalam, "Aku merasa tiba-tiba mengulang semua kejadian dari awal saat pemilik The Ritz datang ke panti untuk membawaku." Christabell tersenyum sekilas. "Aku mengulang pertemuan pertama kita dengan begitu nyata, tatapanmu malam itu, hanya bedanya aku sudah sangat yakin bahwa kau akan memilihku." Senyum Christabell dan Richard dibuat terkekeh olehnya.     

"Sangat tidak adil ketika kau bisa merasakan itu dan aku tidak." Senyumnya, tangan keriput Richard menyentuh wajah Chrisatabell. "Kau sangat cantik malam itu, aku masih bisa mengingat dengan jelas betapa lugunya kau malam itu." Ujar Richard dan Christabell tersenyum malu.     

"Ya, aku mengulang beberapa kejadian manis denganmu, tapi kali ini lebih singkat. Lalu tiba-tiba ibuku datang dan mengajakku pergi." Ujar Christabell berusaha mengingat detailnya.     

"Lalu?" Tanya Richard.     

"Aku mendengar tangisan Adrianna dan Ben, seperti ketika mereka sedang bertengkar saat usia mereka masih sangat kecil." Jawab Christabell.     

"Mereka memang menangis di luar ruang perawatanmu di ICU." Jujur Ben.     

"Apa kau menangis untukku?" Tanya Christabell dan Richard menggeleng.     

"Kau tak menangisiku?" Alis Christabell berkerut.     

"Kau tahu, . . ." Richard menelan ludah dengan susah payah. "Saat itu aku merasa bahwa aku memiliki dua sayap besar yang tumbuh di balik punggungku dan satu bagian sayap di potong paksa, sangat sakit hingga aku tak lagi bisa menangis. Aku sekarat." Richard berkaca dan Christabell juga menjadi berkaca, suasana mengharu biru di antara mereka.     

"Aku ingin hidup." Christabell bergetar, solah menahan tangisnya. "Aku tidak ingin mati Rich."     

"Ya, lihatlah dirimu. Kau semakin sehat sekarang." Richard memberikan penghiburan.     

"Jangan bercerita lagi jika kau tak ingin." Cegah Richard, dia tidak ingin kondisi Bell memburuk karena pikirannya terganggu.     

"Tidak, aku ingin mengatakannya. Semua yang kuingat. Saat itu ibuku memelukku dan mengajakku pergi, aku sempat bertanya padanya, anak-anakku menangis, dan ibu mengatakan bahwa kau bisa mengurus mereka. Tapi entah mengapa aku tidak bisa membiarkanmu sendiri mengurus anak-anak, jadi aku tidak mengiyakan ajakannya. Dia pergi meninggalkanku melalui pintu dan saat itu aku sangat sedih harus berpisah dengannya, padahal aku sangat merindukannya." Ujar Christabell, di sela-sela ceritanya dia menghela nafas dalam. "Aku berbalik dan berusaha menemukan jalan lain, tapi tembok itu seperti kegelapan pekat yang semakin kudekati semakin jauh dan tak terbatas. Sampai aku menemukan setitik cahaya putih dan suara anak-anak terdengar semakin jelas. Aku mengikuti suara itu terus hingga aku menemukan cahaya terang dan aku siuman."     

"Aku berdoa semoga kau siuman sayang." Ujar Richard sebelum mengecup kening Christabell.     

"Bisa kau ceritakan bagaimana caramu menghadapiku saat aku kehilangan banyak memoriku?" Tanya Christabell.     

"Kau menanyakan siapa aku setiap hari, setiap kau bangun dari tidur menatapku tanpa menganaliku." Ujar Richard dan itu membuat Christabell tampak trenyuh.     

"Kau sangat sedih karenaku?" Tanya Bell.     

"Tidak, aku menceritakan kisah kita setiap hari meski beberapa menit setelah aku menyelesaikan ceritaku, kau akan bertanya siapa Richard dan Christabell itu?"     

"Pasti sangat berat bagimu." Sesal Bell.     

"Tidak sayang, aku menikmatinya sejauh kita masih bisa bersama, bagiku itu tidak jadi masalah." Jawab Richard.     

"Terimakasih karena sudah mencintaiku dengan begitu tulus."     

Richard menyuapkan sesuap terakhir dan memberikan minum pada isterinya itu melalu sedotan. "Aku selalu menemukan cara untuk mencintaimu dalam berbagai situasi."     

"Terimakasih." Christabell tersenyum, tangannya yang kurus menyentuh wajah Richard. "Tak banyak pria sepertimu di dunia ini Rich."     

"Mungkin aku satu-satunya." Seloroh Richard, dia bahkan terkekeh di ujung kalimatnya dan Christabell juga dibuat tersenyum lebar karenanya.     

"Untungnya aku memilikimu, satu-satunya pria seperti itu di dunia ini." Ujar Christabell.     

"Bisakah kau berjanji padaku untuk satu hal?" Tanya Richard.     

" Apa?" Tanya Bell.     

"Berhenti membuatku takut seperti kemarin." Ujar Richard, dan hanya dijawab dengan sebuah senyuman oleh Christabell. "Kuharap aku bisa bertahan lebih lama, menghabiskan banyak tahun kedepan bersamamu dan anak-anak juga cucu-cucuku.     

" Ya, kita akan menjadi tua bersama sayang, kita akan menghabiskan banyak waktu bersama, berdua." Richard mengecup jemari Christabell lagi.     

***     

Sementara itu di rumah Adrianna tengah muntah-muntah sejadinya saat Aldric tengah bersiap di walking closetnya. Hari ini Aldric berencana untuk datang ke kantor setelah selama tiga hari praktis dia tidak datang ke kantor karena harus menunggu ibu mertuanya yang sedang kritis di rumahsakit bersama dengan isteri, ipar dan ayah mertuanya. Ibunda Aldric juga sempat mengunjungi besannya yang kala itu tengah di rawat di ICU meski tidak bisa melihat Christabell secara langsung tapi dia benar-benar berempati pada keluarga besannya itu.     

Aldric yang mendengar Adrianna muntah parah segera berlari ke arah kamar mandi dan melihat isterinya itu muntah di closet. Aldric segera menepuk-nepuk dengan lembut punggung isterinya untuk memberikannya kelegaan.     

"Keluarlah ini menjijikkan." Adrianna meminta suaminya pergi setelah flash otomatis menarik semua kotoran itu masuk kedalam saluran pipa pembungan bersama air pembasuhnya. Sejatinya tak banyak makanan yang dimuntahkan oleh Adrianna karena pagi ini dia baru meminum susu saja dan belum memakan apapun.     

"Aku akan mengelepon ayahmu dan mengatakan bahwa kau tidak bisa ke rumahsakit hari ini karena kau terus muntah."     

"Tidak, aku harus tetap ke rumahsakit." Tolak Adrianna.     

"Sayang, lihatlah dirimu. Kau terlihat begitu lemah." Aldric akhirnya membawa isterinya itu ke kamar dengan cara menggendongnya. Dia membaringkan Adrianna di ranjang dan mengambil air putih hangat untuk diminum isterinya.     

"Ini biasa terjadi di kehamilan awal." Ujar Adrianna setelah Aldric memberikannya air minum hangat dan sebutir pil anti mual yang diresepkan dokter dan bisa di konsumsi jika terjadi mual dan muntah yang berlebihan.     

"Tolong antar aku ke rumahsakit sebelum kau ke kantor." Adrianna meminta pada sudaminya, setengah memohon.     

"Aku pikir aku akan menunda ke kantor hari ini." Ujar Aldric, dia melonggakan kembali dasinya dan melepas dasi yang baru saja dia pasang sebelum menolong isterinya di kamar mandi tadi.     

Adrianna tersenyum, tangannya menyentuh wajah Aldric, "Kau bisa membuat perusahaan bangkrut jika tidak pernah datang ke kantor."     

Aldric menghela nafas, "Dan kau juga bisa membuatku jantungan jika tetap keras kepala dan bersikukuh dengan pendirianmu."     

Adrianna tertunduk sekilas, "Ok, aku akan menelepon ayah dan mengatakan padanya kalau aku akan ke rumahsakit setelah kau kembali dari kantor, kita akan pergi bersama." Ujar Adrianna memberikan win-win solution dan Aldric tersenyum lebar karenanya.     

"Itu pilihan yang bijak nyonya Bloom." Puji Aldric. "Aku akan meminta Sarah menemanimu dan menyiapkan semua kebutuhanmu sementara aku ke kantor." Ujar Aldric.     

"Ok." Adrianna mengangguk setuju, Aldric memasang kembali dasinya dan setelah itu mengecup kening Adrianna sebelum akhirnya keluar dari kamar untuk berangkat ke kantor. Sarah yang tanggap segera masuk ke kamar majikannya itu.     

"Anda butuh sesuatu?" Tanya Sarah.     

"Bisa buatkan aku juice berry?" Tanya Adrianna.     

"Mix berry?" Tanya Sarah.     

"Ya, yang ada di kulkas saja." Jawab Adrianna.     

"Ok." Sarah keluar dari kamar dan beberapa saat kemudian datang dengan segelas kecil juice berry dicampur susu. Sarah menyodorkan gelas itu, mata Adrianna berbinar saat melihat gelas berwarna ungu muda dan tampak segar karena Sarah menambahkan potongan es.     

"Em . . . sempurna." Keasaman dan juga creamy dari susu membuat perpaduan itu benar-benar bisa di nikmati oleh Adrianna. Adrianna menghabiskan juice mix berry buatan Sarah, setelah itu dia sempat menghubungi ayahnya.     

"Hi dad." Sapa Adrianna.     

"Halo sayang." Richard melambaikan tangan ke kamera karena mereka berbicara melalui video call.     

"Ibumu mencarimu pagi ini." Richard mengarahkan kameranya pada Christabell dan Adrianna berkaca-kaca saat melihat ibunya tersenyum dan melambai padanya sambil menyebutkan namanya.     

"Adrianna sayang, bagaimana keadaanmu?" Tanya Christabell lirih.     

"Mommy . . ." Air mata Adrianna justru berlinangan, semalam saat dia berjala Christabell masih belum bisa diajak bicara meski dia sudah sadarkan diri dan dokter mengatakan progress perkembangan kondisinya cukup baik. Dia sempat mendapatkan pesan singkat dari sang ayah jika ibunya mulai menemukan kembali memorynya dan bisa di ajak komunikasi. Dan sekarang menyaksikan ibunya mengenali siapa dirinya membuat Adrianna sesenggukkan.     

"Sayang, hei, jangan menangis." Richard berusaha menenangkan puterinya itu. "Kapan kau akan datang?" Tanya Richard mengalihkan pembicaraan.     

"Em . . ." Christabell menyeka air matanya. "Setelah Aldric pulang, pagi ini aku merasa sedikit mual karena kehamilanku dad."     

"Oh, ok sayang. Istirahatlah hari ini. Jaga dirimu baik-baik dan jaga calon cucuku."     

"Ok dad, aku akan menghubungimu lagi nanti, sampaikan salamku untuk mommy."     

"Ok." Richard melambai dan dibalas dengan lambaian oleh Adrianna. Saat Richard mengarahkan kamera ke arah Cristabell, tangan lemahnya juga membalas lamaian tangan Adrianna.     

***     

Sementara Aldric menempuh perjalanannya menuju kantor untuk mengadakan beberapa rapat setelah semua perintahnya selama beberapa hari ini hanya diberikan melalui telephone atau email pada staf-stafnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.