Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 130



Bab 130

0Walau demikian, mungkin pada waktu itu bahkan Raja Yan Bei saat itu tidak menyangka reaksi drastis seperti itu dari kekaisaran, sehingga mungkin dia masih tidak menyadari kesalahannya sampai waktu dia meninggal.     

Mendesah perlahan, suara lembut Chu Qiao perlahan menghilang di kejauhan. Apa yang tidak dia ketahui adalah, bagaimana ucapannya yang aneh ini telah selamanya mengubah kehidupan beberapa orang. Terkadang, keberadaan gadis ini seperti seorang petani yang dengan santai menebar benih, dan benih-benih ini tertinggal di bawah lapisan salju, dengan sabar menanti musim semi tiba saat salju mencair dan benih itu akhirnya bisa bertunas.     

"Qiao Qiao," Li Ce berbalik menghadap gadis itu, masih mengernyit, seakan-akan dia sedang berpikir keras, dan bertanya, "bisakah kamu memberi tahu aku, kenapa kamu terlihat begitu yakin dengan hasil itu? Kamu berbeda dari anggota Serikat Da Tong yang sudah dicuci otak. Apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Apakah karena … Yan Xun?"     

"Bukan itu." Chu Qiao menggeleng perlahan dan menjawab, "Karena aku sudah melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri."     

Terkejut dengan jawaban ini, Li Ce bertanya, "Kamu apa?"     

"Kamu tidak akan mengerti." Menatap ke danau yang hijau kebiruan, Chu Qiao tiba-tiba tersenyum.     

Tidak ada yang akan mengerti, memang, dia sudah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dia tahu masa depan dari dunia ini, saat peraturan lama dengan perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan. Bersama dengan itu, sebuah tatanan baru akan bangkit dari abu kekaisaran kuno. Dan yang dibutuhkan agar semua itu terjadi hanyalah seseorang yang memberikan sedikit dorongan ke arah yang tepat.     

"Li Ce, apakah kamu akan mengerti? Ini adalah kepercayaan aku, keyakinan aku."     

Hujan gerimis mulai turun, dan sudut keperakan dari bulan sabit itu berkilau di lapisan awan tipis, menerangi wajahnya yang tenang.     

Kerumunan tabib kekaisaran meninggalkan kediaman Mihe, dan terlihat berderet-deret payung hijau, dengan jubah longgar mereka menyeret di sepanjang jalan, dan alas kaki biru muda mereka menginjak genangan air hujan, menciptakan percikan-percikan kecil. Murid-murid para tabib itu mengekor di belakang para mereka, sambil membawa kotak-kotak besar berisi obat-obatan. Warna-warna hijau muda itu bergerak-gerak di tengah hujan, seperti daun yang tertiup angin.     

Bunga teratai yang tersisa akhirnya berserakan di tengah hujan ini, dan terlihat para pelayan bergegas di lorong-lorong. Seorang gadis kecil memasuki ruangan luar, rambutnya menempel di dahi karena hujan. Qiu Sui memanggilnya, dan kedua gadis muda itu mulai berbisik di lorong. Walaupun suara mereka halus, tetapi masih bisa terdengar dari ruangan dalam.     

"Teratai yang tersisa telah tercerai berai karena hujan. Bibi Xia bilang Putra Mahkota mencintai bunga teratai itu, dan menyuruh kita untuk memayungi bunga teratai itu."     

Qiu Sui mendesah. "Apa yang bisa kita lakukan meskipun kita memegangi payung? Yang akan layu tetap akan layu juga. Orang-orang dari Istana Jin Se berusaha terlalu keras untuk menyenangkan Putra Mahkota."     

"Betul, sekarang sudah bulan kesembilan, kita sudah mulai memasuki musim gugur."     

Sambil berbincang, kedua pelayan itu pergi, dan suara mereka menjadi tidak terdengar lagi. Di luar jendela, cahaya bulan yang dingin tetap cerah dan bersih.     

Kamar ini telah dikosongkan bertahun-tahun, dan kekosongan itu memberikan ilusi seakan-akan ruangan ini sangat luas. Di sisi utara kamar tersebut, sebuah kasur dari kayu cendana ditutupi dengan lapisan tudung hijau muda yang disulam dengan phoenix berwarna emas. Saat angin bertiup, tudung hijau tersebut bergoyang bagaikan daun teratai yang terlihat di danau. Jendela yang menghadap selatan terbuka lebar, dan di luar pagarnya, bisa terlihat danau yang dipenuhi teratai. Dengan angin yang mengamuk dan hujan yang lebat, daun-daun teratai tertiup ke sana kemari seperti boneka; pertanda jelas kalau mereka akan segera layu. Para pelayan yang ingin menyenangkan tuan mereka, mendayung perahu kecil mereka ke dalam hujan dan mengangkat baris demi baris payung untuk melindungi sepetak teratai yang masih bertahan di dalam hujan.     

Li Ce duduk di kursi dengan muram, dan jarinya menggosok-gosok sandaran tangan di kursi tersebut. Cat merah di kursi sudah mulai terkelupas. Kursi ini dibawa dari gudang ke kamar ini dengan terburu-buru, jadi para pelayan tampaknya tidak sempat mengecat ulang atau pun memilih kursi yang lebih baik. Sambil terus menggosok permukaan sandaran tangan yang tidak rata, Li Ce tidak memperhatikan hal kecil itu. Matanya tampak tertutup, namun sebenarnya masih terbuka, dia hanya memicingkannya sampai tersisa segaris tipis, memusatkan pandangannya kepada wanita yang terbaring di atas kasur.     

Kondisi Chu Qiao kembali memburuk. Tabib kekaisaran baru saja memberikan ceramah panjang mengenai aspek teknis penyakitnya, yang membuat Li Ce mengamuk, karena sejak semula dia sudah tidak sabar. Pangeran yang biasanya tenang dan damai itu tiba-tiba menerkam tabib itu ke lantai sebelum akhirnya para tabib lainnya menjelaskan dengan lebih sederhana.     

Tampaknya selama di sana, istirahat yang memang sangat dia butuhkan telah membantu tubuh Chu Qiao mengeluarkan sebagian besar racun tersebut, dan luka-lukanya juga sudah hampir pulih semua. Alasan dia masih tetap begitu lemah dan sakti adalah karena terlalu sering memaksakan diri sehingga stres mulai terbentuk di dalam dirinya. Semua itu bisa disembuhkan dengan beristirahat, namun bagi Chu Qiao, waktu adalah hal yang sangat terbatas.     

Mengenakan jubah berwarna biru, dengan baju dalam berwarna putih, sulaman sekuntum chrysanthemum yang tampak mekar dengan indah menghiasi baju Chu Qiao. Namun ekspresinya tidak menunjukkan perasaan mekar seperti itu, karena alisnya yang mengerut menghiasi kulitnya yang sangat pucat, memancarkan aura kesepian dan penderitaan.     

Para tabib kekaisaran telah pergi, dan walaupun kata-kata jaminan mereka masih terngiang di dalam keempat tembok ini, suasana gelisah tetap menghantui.     

Cahaya bulan yang keperakan menerangi kamar itu, membuatnya terlihat semakin luas lagi. Tanpa perabot ataupun hiasan apa pun, ruangan itu hanya berisi sebuah ranjang besar dan sebuah kursi. Lantai kayu hitam terasa kokoh saat dipijak, walaupun bangunan ini sudah berumur. Tempat seperti ini pasti akan bergema ketika seseorang berbicara di dalam ruangan ini. Hal ini membuat tempat tersebut terasa semakin kesepian; rapi, namun terpencil.     

Tempat ini, bagaimanapun, paling dekat dari istana Putra Mahkota Li Ce. Bertahun-tahun lalu, Li Ce tumbuh besar di sini. Kediaman Mihe pernah mengalami masa kejayaan, namun karena suatu alasan, pada suatu hari, tempat ini disegel dan dikunci. Kertas merah dengan lambang mawar kekaisaran ditempelkan di semua pintu. Sejak itu, tidak ada orang yang masuk ke sini.     

Kembali lagi ke hari ini, dalam sekejap, enam tahun sudah berlalu. Chu Qiao menggeser posisinya sedikit. Karena angin malam, dia mulai merasa dingin. Li Ce berdiri. Sepatu sutra miliknya menginjak di lantai yang lembap. Setelah menutup jendela, dia kembali ke sisi ranjang gadis itu. Mengulurkan jarinya yang kurus, dia menyibak lapisan tudung, memperlihatkan sang wanita di dalamnya. Dia bisa melihat bulu mata wanita itu yang lentik, hidungnya yang kecil namun mancung, bibirnya yang merah, telinganya yang menggemaskan, lehernya yang ramping, ….     

Li Ce mengulurkan tangannya ke depan wanita itu, tampaknya dia hendak menaikkan selimutnya, namun hujan badai di luar mendadak semakin deras. dan bunyi rintik hujan yang menerpa kosen jendela semakin berisik. Cahaya bulan, yang bersinar samar melalui jendela-jendela, menerangi rambut halus Chu Qiao, menciptakan pantulan yang agung namun dingin. Samar-samar ia memancarkan aura kesepian. Jari pria itu berhenti dua sentimeter dari tubuh Chu Qiao lalu gerakannya mulai melambat, dan akhirnya terhenti. Cahaya bulan membuat bayangan pria itu memanjang di lantai yang kosong, terlihat semakin kurus, dengan sedikit rasa kesepian.     

Suara genderang bisa terdengar, menunjukkan berlalunya waktu. Di dalam Ibu Kota Tang yang bagai lukisan ini, bahkan dentang penanda waktu pun dalam bentuk nada yang indah, terdengar begitu nyaring, dan menyatu dengan angin.     

Setelah waktu berlalu entah berapa lama, bulan terbit dan akhirnya turun lagi. Pria itu akhirnya menarik pandangannya yang beku dan perlahan berbalik badan, melangkah keluar dari pintu terlarang itu. Saat membuka pintu, dia melihat Sun Di bersandar di salah satu pilar di lorong. Melihat dia keluar, Sun Di mendongak dan tersenyum lebar.     

Li Ce berpura-pura tidak melihat pria itu, dan langsung berjalan lurus melewatinya.     

"Yang Mulia, Nyonya Yu Shu dari Paviliun Yu Shang datang dua kali saat mendengar Yang Mulia kehujanan. Dia secara khusus mempersiapkan sup jahe dan sedang menanti anda di dalam istana."     

Masih diam. Li Ce terus berjalan, seakan-akan dia tidak mendengar kata-kata itu.     

Langkah Sun Di semakin cepat, dia tersenyum dan berkata, "Nyonya Liu Liu dari Paviliun Liu Fu juga mengirimkan pelayannya untuk membawakan banyak obat berharga untuk Nona Chu agar dia gunakan untuk memulihkan dirinya. Nyonya Bai dari Istana Tang Ran kabarnya pergi ke Kuil Buddha Utara untuk mendoakan kesehatan Yang Mulia dan Nona Chu. Beberapa orang nyonya dari istana lain juga pergi bersamanya. Saat ini para biksu tua di dalam kuil itu mungkin sedang kebingungan karena kuil itu tiba-tiba dibanjiri oleh para nyonya. Dan juga …."     

Angin malam meniup kedua pria tersebut, hujan gerimis akhirnya berhenti. Jauh di belakang mereka berdua, serombongan pelayan mengikuti, mereka berhati-hati agar tidak terlalu dekat.     

Seakan dia baru saja teringat akan sesuatu, Sun Di menepuk dahinya sambil berseru, "Oh iya, putri Tuan He juga berada di dalam istana saat ini. Setelah mendengar apa yang terjadi, dia memaksa untuk tetap di kediaman tuan putri keempat, dan bersikeras kalau dia akan menunggu Yang Mulia untuk berkunjung saat anda senggang."     

"Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?" suara yang suram akhirnya menjawab, tanpa nada malas dan riang yang biasanya.     

Sedikit terkejut, Sun Di segera tersenyum, dan menjawab, "Pelayan ini sedang mencoba menyampaikan, ada banyak hal menarik yang sedang terjadi. Apakah Yang Mulia tidak tertarik untuk memeriksanya?"     

Li Ce tidak menjawab. Alis Sun Di berkedut. "Yang Mulia, anda berbeda dari biasanya."     

"Diriku yang biasa?" Li Ce tertawa kecil mengejek dirinya sendiri, tanpa sedikitpun rasa kebahagiaan. "Aku sendiri sudah tidak ingat seperti apa aku sebelumnya."     

Sun Di tertawa, seakan-akan dia baru saja mendengar lelucon paling lucu. "Sikap menyerah seperti ini, pastinya bukan sesuatu yang akan Yang Mulia katakan. Anda bahkan pernah mengkritik para Buddha, dan hidup sembrono sepanjang hidup anda, Yang Mulia, sejak kapan anda menjadi begitu linglung dan sengsara?"     

Dalam embusan angin sepoi-sepoi, beberapa bunga apel liar yang sudah jatuh bergoyang-goyang di atas tanah. Berdiri di bawah pohon itu, Li Ce menatap ke kejauhan. Sesekali ada pergumulan dalam matanya, dan terkadang ada kedamaian. Akhirnya, dia berbalik dan perasaan sengsara itu sudah hilang sepenuhnya dari wajah pria itu, dan dia sudah kembali menjadi Pangeran Tang yang sembrono yang terkenal itu. Dengan tawa lepas, dia berkata, "Memang, saat masih hidup, seseorang harus menikmati hidupnya tanpa penyesalan. Sun Di, beri tahu semua nyonya tersebut untuk menuju Istana Putra Mahkota untuk menunggu dan melayani aku. Mereka yang pergi sembahyang juga harus hadir! Suatu hari, kita perlu membongkar kuil itu, dan membangun kuil baru untuk menyembah … menyembah Dewa Kesenangan! Hahaha!"     

"Menikmati hidupnya tanpa penyesalan, Pangeran memang sangat bijaksana," Sun Di mengulang sepotong dari monolog Li Ce tadi, lalu menyanyikan pujiannya.     

Membalas dengan tersenyum santai, Li Ce menerima pujian itu tanpa malu-malu.     

Tidak lama kemudian, Istana Putra Mahkota mulai ramai dengan suara musik dan tarian, bersama dengan suara tawa malu-malu dari para wanita. Aroma arak dan makanan juga tercium dari dalam sana.     

Tampaknya ini merupakan malam perayaan dan kenikmatan.     

Di dalam ruangan kecil di Kediaman Mihe, dua orang tabib kekaisaran yang sudah tua sedang bertugas berjaga. Salah satu dari mereka sedang berdiri di pinggir jendela dan dia memandang ke arah Istana Putra Mahkota. Dia mendesah, "Awalnya aku pikir sang Pangeran benar-benar perhatian terhadap Nona Chu, melihat bagaimana dia membuka kembali Kediaman Mihe dan memanggil seluruh tabib kedokteran untuk merawat gadis itu. Namun sekarang kelihatannya itu hanya iseng saja!"     

Tabib tua yang satunya sedang memegang penghangat tangan, dan terlihat bahwa dia memakai berlapis-lapis pakaian tebal. Dengan mata terpejam, dia bahkan tidak mengangkat kepalanya saat mendengar perkataan rekannya itu. Dia menjawab dengan tenang, "Apa kamu masih berharap beliau akan melakukan hal itu? Berhentilah bermimpi. Sejak Tuan Putri Fu meninggal, hah …."     

Tabib di sisi jendela tampaknya juga mendesah saat mendengar komentar tabib yang satunya itu.     

Angin malam mengacak-acak lapis demi lapis sutra dan hiasan yang berbulu halus. Namun di dalam istana yang indah dan makmur ini, berapa banyak kekhawatiran dan masalah orang-orang yang dikuburkan?     

Hujan mulai turun lagi, dan rencana Chu Qiao untuk pindah keluar kembali terganggu oleh penyakitnya. Pada hari ini, Chu Qiao telah di angkat ke halaman belakang untuk mendapat sedikit cahaya matahari. Luka-lukanya telah lama disembuhkan, namun dia masih tetap lemah dan rapuh, tidak sanggup mengumpulkan tenaga di otot-ototnya. Pelayannya, seperti Qiu Sui, patut disalahkan, karena mereka selalu membuat keributan setiap kali Chu Qiao terlihat memaksakan dirinya, dan mereka bahkan tidak mengizinkannya untuk berjalan sendiri. Hasilnya, dia merasa mengantuk sepanjang hari dan berat badannya juga sudah bertambah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.