Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 225



Bab 225

0Ketika Chu Qiao kembali ke kereta kudanya, Mei Xiang menunggunya dengan bahagia. Chu Qiao duduk diam, hatinya masih berdebar-debar dari sebelumnya. Apakah dia terlalu gegabah?     

"Nona," Mei Xiang tertawa sambil berbicara, "beberapa hal di dunia ini tidak dapat ditangani dengan rasional. Saya merasa bahwa sebelumnya Anda terlalu tenang. Bersikap impulsif sesekali juga bukan hal yang buruk."     

Chu Qiao berbalik dan menatap Mei Xiang dengan kagum, jelas terkejut dengan kemampuan pengamatannya yang jeli.     

Mei Xiang terus tertawa dan berkata, "Nona, Anda tidak tahu? Anda sedang memperlihatkan semuanya melalui ekspresi di wajah Anda sekarang. Dibandingkan dengan diri Anda di masa lalu, saya merasa Anda lebih menyenangkan sekarang."     

Ketika kereta kuda mulai bergerak, Ping An berjalan mendekat dan bertanya, "Kakak, apakah kita akan mengikuti orang-orang itu?"     

"Tentu saja kita akan pergi bersama mereka!" Jing Jing membuka tirai dan menyela. "Kita bukan hanya mengikuti mereka saja. Kita akan hidup bersama di masa depan! Haha!"     

Mei Xiang menuangkan secangkir teh ginseng untuk Chu Qiao sambil mendesah pelan. "Nona, tidak semua orang akan menunggu orang lain sampai tahun demi tahun. Untuk beberapa hal, kalau Anda tidak meraih kesempatan itu sekarang, Anda akan menyesalinya jika keadaan berubah di masa depan."     

Angin hangat bertiup ke dalam kereta itu dan sedikit mengangkat tirainya, tampak seperti sentuhan jari hangat seorang ibu. Langit biru; elang berputar-putar di langit di atas awan, jauh dari kejadian di dalam dunia manusia.     

Chu Qiao duduk di tangga batu dan menatap langit di atas cakrawala. Bunga-bunga di halaman sedang mekar penuh, tampak merah tua dan kuning cerah, yang menenangkan untuk dipandang.     

Pelayan di penginapan itu, seorang anak lelaki berusia sekitar 13 hingga 14 tahun, duduk di bangku kecilnya sambil menyiapkan teh dengan rajin. Jing Jing dan Ping An duduk di samping sambil mengobrol dengannya. Chu Qiao mendengar mereka berbicara tentang berbagai topik, mulai dari pemandangan di dataran padang, jalan kuno Qiu Ling di sepanjang perbatasan selatan, rumah pedang Xia, Gunung Wu Ya di Tang, dan akhirnya sampai ke Pegunungan Hui Hui di Yan Bei. Saat pembicaraan mulai memanas, Jing Jing mengeluarkan sebungkus manisan buah dan mulai mengunyahnya sambil berbicara.     

Mei Xiang duduk di bawah pohon kamper di samping sambil mencoba membuat karangan bunga. Tangannya merangkai dengan ahli dan dengan gesit, memikat perhatian siapa pun yang memandang ke arahnya.     

Saat langit menjadi gelap, halaman itu diselubungi oleh selimut cahaya ketika panas siang hari perlahan menghilang. Jing Jing meminta beberapa mangkuk buah dingin dari dapur, yang terlihat sangat lezat.     

Hujan lebat sebelumnya telah merusak jembatan di depan Kota Qiu Feng. Jadwal Chu Qiao dan rombongannya tertunda, memaksa mereka untuk tetap di Kota Qiu Feng selama dua hari lagi sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke utara. Saat ini, mereka berada di sebuah penginapan kecil di dekat bukit dan danau. Penginapan itu dibangun di atas bukit tersebut. Karena permukaan bukit itu naik turun, tempat itu terlihat seperti daerah hutan karena rimbunnya pepohonan.     

Kamar Chu Qiao berada di atas tebing batu yang tinggi, menghadap ke arah barat. Pemilik penginapan itu mungkin juga seorang pria yang terpelajar; tempat ini berada di sebelah Gunung Matahari Terbenam, oleh karena itu dinamakan 'Halaman Matahari Terbenam'. Setiap petang, pemandangan matahari terbenam sangat indah.     

Zhuge Yue tinggal di Penginapan Gui Cang, yang terletak di sebelahnya. Pada sore hari sebelumnya, ia mengirimkan beberapa orang untuk membantu pekerjaan perbaikan jembatan dan penyeberangan, bersama dengan para pejabat. Dia memiliki urusan yang mendesak yang harus ditangani, maka dia menunjukkan itikad baik.     

Hujan terus turun sejak pagi hingga sore. Pepohonan di sana rimbun; kelopak bunga melayang di langit ketika mereka jatuh ke tanah. Pemandangan itu sangat menawan.     

Chu Qiao mengenakan gaun putih yang sederhana, dengan jepit rambut kayu di atas kepalanya. Rambutnya yang panjang dan hitam dikepang longgar, memberinya tampilan yang menyegarkan. Malam itu sedang bulan purnama. Chu Qiao menatap bulan itu dengan diam dan tiba-tiba dia menyadari bahwa Festival Pertengahan Musim Gugur sudah dekat. Namun, perayaan ini belum ada di era ini. Periode sekitar Festival Pertengahan Musim Gugur disebut "Festival Bulan Putih". Nama itu diciptakan dari sebuah lagu yang pernah didengar Chu Qiao ketika dia dulu menjadi tentara. Lagu itu menceritakan seorang pria yang pergi berperang selama bertahun-tahun, naik pangkat dari seorang prajurit biasa menjadi seorang jenderal. Akhirnya, ketika dia pulang ke rumah setelah perang itu, dia menyadari bahwa rumahnya telah roboh; istrinya kawin lari dengan pria lain, orang tuanya dan anak-anaknya mati kelaparan, jasad mereka tersebar ke tempat-tempat yang tidak diketahui tanpa kuburan yang layak sebagai tempat peristirahatan terakhir. Chu Qiao ingat kalimat terakhir dari lagu itu dengan jelas: Cahaya bulan menyinari jiwaku, memintamu untuk segera pulang ke kampung halaman kita …. Sejak saat itu, festival ini menganjurkan gagasan keluarga yang berhubungan erat - perayaan ini menyarankan orang untuk menghargai keluarga mereka, dan tidak mengabaikan kekerabatan di saat sudah berprestasi, hanya untuk menyesali ketika situasinya tidak dapat diselamatkan lagi.     

Cahaya bulan menyinari jiwaku, memintamu untuk segera pulang ke kampung halaman kita ….     

"Lagunya bagus." Mei Xiang meletakkan karangan bunga yang dipegang di tangannya. Dia berbalik dan menatap Chu Qiao, tertawa, dan berkata, "Saya belum pernah mendengar Anda bernyanyi sebelumnya."     

Chu Qiao tertegun dan dia baru menyadari bahwa dia mulai menyenandungkan lagu itu tanpa sadar.     

"Ini lagu yang sangat bagus. Nona, apakah anda mengerti makna di balik lagu ini sekarang?"     

Chu Qiao memiringkan kepalanya sedikit ke samping dan berkata, "Mei Xiang, sepertinya belakangan ini kamu tertarik tentang mendidik orang mengenai prinsip-prinsip kehidupan."     

"Saya tidak berpendidikan. Saya hanya tahu prinsip hidup yang paling sederhana. Bagaimana saya bisa dibandingkan dengan Anda, Nona?" Mei Xiang tertawa kecil sambil terus berkata, "Namun, kadang-kadang, semakin banyak yang Anda tahu, Anda menjadi semakin bingung dengan prinsip-prinsip yang kelihatannya sederhana itu."     

"Hari demi hari, tahun demi tahun, aku duduk di atas atap, menatap jalanan desa mencari suamiku.     

Ketika dia menjaga perbatasan, orang lain mencuri dari kami, meninggalkan anak-anak tanpa pakaian untuk dipakai, dan orang tua tidak punya makanan untuk dimakan.     

Sang kaisar jauh dari sini; para prajurit tak ada di sini. Tetua desa yang jahat memerintah tempat ini.     

Saat badai dan salju menghancurkan rumahku, Cahaya bulan menyinari jiwaku, memintamu untuk segera pulang ke kampung halaman kita …."     

Wajah Mei Xiang terlihat tenang ketika dia bersandar di pohon, melontarkan lirik lagu tersebut saat beberapa kelopak bunga mendarat di karangan bunga di tangannya. Cahaya putih dari sinar bulan menyinari jari-jarinya, membuatnya tampak seperti sayap kupu-kupu. Tiba-tiba, dari kejauhan mulai terdengar suara seruling. Suara itu hampir tidak terdengar karena terlalu jauh, tetapi suara tersebut tetap melayang di udara untuk waktu yang lama, tidak kehilangan pesonanya. Suara itu terdengar riang dan luas; rasa kebesaran hati dapat terdengar dari dalam melodi seruling itu. Ping An dan yang lainnya masih berbincang-bincang. Namun, saat mendengar suara seruling itu, mereka semua berhenti berbicara. Bahkan Jing Jing, yang tidak pandai musik, menjulurkan telinganya dengan sungguh-sungguh untuk mendengarkan dengan tenang.     

Mei Xiang berdiri dan kembali ke kamar untuk mengambil sebuah mantel putih, lalu menyampirkannya di bahu Chu Qiao. Gadis itu tertawa sambil berkata, "Nona, Anda telah sibuk menjalani hidup Anda dengan gelisah selama beberapa hari terakhir. Sudah waktunya untuk beristirahat. Halaman belakang penginapan ini memiliki pemandangan yang bagus. Sinar bulan malam ini sedang bagus. Mengapa Anda tidak berjalan-jalan di sana?"     

Chu Qiao berbalik dan melihat Mei Xiang sedang menatapnya sambil tersenyum, menyemangati Chu Qiao untuk melakukan apa yang baru saja disarankan olehnya.     

"Mei Xiang …." Chu Qiao ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.     

Mei Xiang terus berbicara, "Nona, saya tidak mengerti apa pun tentang prinsip-prinsip kesetiaan. Keyakinan-keyakinan itu … saya tidak mengerti apa-apa. Saya hanya berharap agar Nona bisa menjalani hidup yang bahagia. Anda adalah orang yang baik. Lagu itu bukan dimaksudkan untuk Anda."     

Cahaya bulan menyinari wajah Chu Qiao saat dia melamun. Lirik bagian kedua lagu tersebut melintas di dalam benaknya:     

"Seiring berlalunya tahun, salju terus turun. Suamiku tidak tahu jalan pulang; masa depan terlihat suram.     

Ketika anak-anak gugur karena wabah dan orang tua kelaparan, aku terpaksa menjual tubuhku untuk makanan agar kami bisa tetap hidup.     

Dia ambisius dan membenci kehidupan yang miskin. Rambutku telah memutih setelah menanti kepulangannya selama sepuluh tahun.     

Hidup ini sulit. Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi mendambakan kekayaan, melainkan sebuah tempat yang pantas untuk tidur …."     

"Mei Xiang, ambilkan aku mantel hijau muda." Mei Xiang menatap Chu Qiao dengan curiga karena dia sedikit terkejut. Namun, Chu Qiao mulai tertawa ketika dia berdiri dan berkata, "Kamu tidak memakai warna lain selain putih dan hitam sepanjang hari. Seperti mau pergi ke pemakaman saja."     

Saat cahaya bulan terus bersinar, Chu Qiao berjalan di sepanjang jalan setapak dengan tenang, sementara pikirannya mengembara di ingatan masa lalu. Kenangan-kenangan itu bagaikan elang, dan mereka terbang melintasi latar belakang yang seperti potret dan bertempat di sebuah danau yang indah. Semua emosi gadis itu bercampur aduk dan menenggelamkan diri ke dasar hati gadis itu, berubah menjadi genangan air dan perlahan-lahan membeku menjadi es.     

Permusuhan, pengekangan, kebencian, keterikatan, kebaikan, persatuan, hidup dan mati, perjumpaan kembali, perjuangan, kegembiraan, perpisahan, dan penghinaan …     

Dengan setiap langkah yang diambil Chu Qiao, sebuah pemandangan baru melintas di benaknya, yang seringkali terlalu berat untuk ditanggung olehnya. Hal itu mengingatkannya pada perselisihan keluarga dan rumah tangga, perselisihan pribadi, penganiayaan, kekecewaan, pengabdiannya yang keras kepala, dan penindasan selama bertahun-tahun yang harus ia tanggung. Sering kali, semua itu membuatnya merasa kewalahan.     

Dia telah mengubur perasaan-perasaan ini di dalam lubuk hatinya begitu lama. Namun, lagu yang kontroversial ini menyentuhnya, memancing keluar perasaan-perasaan ini melalui ujung jarinya, lirik demi lirik. Gadis itu adalah danau di dalam gambar, menggunakan akal sehat dan ketenangannya untuk membekukan dirinya sendiri dan mengubur perasaannya.     

Satu tahun, dua tahun, bertahun-tahun sekaligus.     

Di dekat bagian belakang pegunungan, sebuah paviliun kecil dibangun di atas sebuah kolam kecil. Kayu yang digunakan dalam pembangunannya sudah sedikit rusak, tetapi si pemilik dengan penuh perhatian menanam beberapa bunga linduang rimbo dan wisteria di bawah paviliun untuk mempertahankan keindahannya. Bunga-bunga itu menempel pada pilar kayu dan tumbuh ke atas perlahan-lahan, menambahkan unsur berkelas dan tenang ke pemandangan itu.     

Cahaya bulan menyinari kolam hijau tersebut. Bulan sabit mencetak bayangannya ke atas permukaan air, tampak putih pucat. Zhuge Yue mengenakan pakaian ungu saat dia duduk di tangga menuju paviliun. Dia menekuk satu kaki dan meluruskan kakinya yang lain, menyandarkan punggungnya ke pilar yang sudah usang. Beberapa helai rambut yang terlepas menjulur keluar dari garis rambutnya, bersandar di dahinya. Dia masih tampan seperti dulu, sambil memegang seruling hijau di tangannya dia memainkan nada yang merdu. Tanpa kebencian, pengabdian, dan ambisi yang ditonjolkan melalui musiknya, lagu itu terdengar seperti seorang pemuda biasa yang memainkan lagu rakyat dalam pertunjukannya—santai dan menenangkan. Aroma dari bunga-bunga melayang di sekitar hidungnya.     

Chu Qiao berdiri di sana dengan diam, tidak mengatakan sepatah kata pun. Angin berembus melintasi mantel hijaunya dan membuatnya berkibar di udara, tampak seperti ranting pohon willow di pagi hari. Chu Qiao belum pernah melihat pria itu seperti ini sebelumnya. Melalui perubahan selama bertahun-tahun, gadis itu menyesali nasibnya berulang kali. Ketika dia berdiri di sini saat ini, Chu Qiao mulai menghargai kenyataan bahwa keadaan dia jauh lebih baik daripada jenderal di dalam lagu yang menyayat hati itu. Rumahnya belum runtuh; keluarganya belum mati. Sedangkan orang yang dia cintai, pria itu berdiri tepat di depannya, menunggu untuk menggandeng tangannya kapan pun dia memutuskan untuk kembali.     

Meskipun mereka terpaksa terpisah jauh karena keadaan, pria itu terhuyung-huyung di sepanjang jalan yang sulit ini, langkah demi langkah, sampai hari ini tiba di sini. Dengan perasaan keteguhan dan keras kepala, yang jarang ada di dunia ini, pria itu telah berhasil menentang semua perkiraan sambil melindungi gadis itu, membantunya untuk bertahan melalui rumitnya kehidupan.     

Lapisan es di permukaan danau dalam benak gadis itu mencair dalam sekejap. Dia seolah mendengar keruntuhan Kekaisaran Xia yang rasional dengan suara keras, saat dia berkata pada dirinya sendiri: Mungkin, aku juga bisa keras kepala untuk sesekali juga. Lagi pula, gadis ini sudah bertahun-tahun tidak bersikap keras kepala.     

Ketika suara seruling berhenti, pria itu memiringkan kepalanya ke samping, menatap wanita berpakaian hijau yang sedang berdiri di bawah pohon. Pada saat itu, pria itu terkesima untuk sesaat.     

"Mengapa kamu ada di sini?"     

"Memangnya hanya kamu satu-satunya yang boleh kemari?" Chu Qiao tertawa sambil menendang kaki Zhuge Yue. "Minggir." Gadis itu dengan santai duduk di sana setelah pria itu menarik kakinya. Cahaya putih dari bulan menyinari wajah gadis itu, membuatnya terlihat seperti potongan giok yang pecah namun masih dalam keadaan yang cukup bagus.     

"Zhuge Yue, apakah kamu akan pulang ke Xia setelah jembatan diperbaiki besok?"     

Zhuge Yue mengangguk dan menatap gadis itu dengan ekspresi aneh di wajahnya. "Ada apa?"     

"Kalau begitu kapan kamu akan menemuiku?"     

Sedikit rasa terkejut melintas di mata pria itu. Dengan bingung, dia memandang gadis itu, seolah-olah sedang berusaha mencari niat terselubung yang disembunyikan gadis tersebut.     

"Apakah kamu akan menunggu sampai Kaisar Xia mati? Atau ketika Zhao Che naik takhta? Pada saat itu, apakah kamu dapat melepaskan diri sepenuhnya?" Chu Qiao bertanya sambil menekuk lututnya, dan duduk di anak tangga. Dia mengenakan topi di atas mantelnya, menutupi lehernya yang putih. Chu Qiao menyandarkan dagunya di lutut, menatap ke arah kolam di depan. Tiba-tiba berputar, gadis itu berkata, "Zhuge Yue, biarkan aku menyanyikan sebuah lagu untukmu."     

Ekspresi wajah gadis itu cerah—sangat bertolak belakang dengan dirinya yang dulu, yang mudah depresi. Gadis itu menatap Zhuge Yue dengan tenang sambil tersenyum, adegan yang terulang-ulang dalam mimpinya akhirnya kini menjadi kenyataan. Mata gadis itu menyaring segala hal di latar belakang dan bayangan lainnya, hanya menyisakan pria itu sebagai satu-satunya hal yang ada di garis pandangnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.