Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 195



Bab 195

0Tidak ada gunanya untuk berbicara lebih banyak. Chu Qiao berbalik badan dengan dingin dan hendak pergi, namun Yan Xun mencengkeram lengan gadis itu. Raut wajah yang dingin, dan bagaikan kaisar di wajah pria itu sudah hilang saat dia mengamuk, "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa kamu mau pergi mencari dia? Apa kamu sudah jatuh cinta padanya?"     

Chu Qiao berbalik dan menatap wajah Yan Xun yang sudah tidak asing. Pada saat ini, pemuda di tepi sungai itu tampaknya muncul di hadapan gadis itu lagi. Chu Qiao menggeleng perlahan dan menjawab dengan suara rendah, "Yan Xun, aku tidak tahu apakah ini termasuk cinta. Aku hanya tahu kalau aku peduli tentang kamu. Aku tidak tega jika kamu disakiti oleh orang lain. Impianmu adalah impianku juga. Aku mengikuti langkah kakimu. Apa pun yang aku lakukan, aku mendahulukan dirimu. Kalau kamu bahagia, aku bahagia. Kalau kamu sedih, aku juga sedih. Aku bisa memaafkan kesalahanmu, kegagalanmu, aku bahkan bisa membantu kamu menebus kesalahan-kesalahan itu. Harapan terbesarku adalah melihat kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Aku hanya seorang pengembara tanpa sanak saudara. Selama bertahun-tahun, kamu adalah alasan bagiku untuk tetap hidup. Kamu adalah orang yang paling penting di dalam hidupku."     

Yan Xun tersentuh saat dia mendengar kata-kata itu; tangan pria itu menjadi hangat. Dia menggenggam erat lengan Chu Qiao, sedikit gemetaran dan tampak agak gelisah.     

Setelah itu, Chu Qiao melanjutkan, "Namun, sekarang aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah yang aku lakukan sekarang ini sepadan? Apakah aku salah menilai kamu? Yan Xun, kamu sudah menjadi budak kekuasaan. Sejak kamu kembali ke Yan Bei, kamu mulai meragukan semua orang di sekelilingmu. Aku, Tuan Wu, Nyonya Yu, Garnisun Utusan Barat Daya, Serikat Da Tong, semua orang yang mungkin mengancam kekuasaanmu. Aku tidak percaya kalau kamu tidak menyadari kesetiaanku padamu, betapa Tuan Wu melindungi kamu. Kamu hanya takut kalau keberadaan kami akan mengancam posisimu. Maka, kamu mencari berbagai macam alasan untuk menjauhkan kami. Kebencian dan kekhawatiran kamu adalah hasil dari keegoisan kamu, dan sebagai alasan untuk menutupi apa yang telah kamu perbuat. Kalaupun hari ini tidak ada Zhuge Yue, kamu tetap akan mencari-cari kesalahanku. Yan Xun, aku tidak menyalahkan kamu untuk membunuh Zhuge Yue. Aku hanya membenci cara kamu yang terlalu hina. Seharusnya kamu tidak menginjak-injak kesetiaanku kepadamu, dan hubungan kita. Seharusnya kamu tidak menggunakan taktik yang rendah seperti ini terhadapku." Chu Qiao menaiki kuda perangnya. Saat dia pergi, gadis itu menatap mata Yan Xun dan berkata dengan tegas, "Sekarang, sesuai keinginanmu, aku akan pergi mencarinya. Ini adalah peringatan terakhir dariku. Kalau dia mati di Yan Bei, aku tidak akan memaafkanmu seumur hidupku."     

Angin terus berkecamuk dan mengangkat mantel Chu Qiao ke udara. Gadis muda itu berteriak, dan kuda perangnya mulai berpacu. Para prajurit dari Pasukan Xiuli mengikuti di belakangnya dan menghilang di dalam salju yang lebat.     

Yan Xun berdiri di tempat semula dengan wajah yang dingin. Untuk waktu yang lama, dia tidak bisa bergerak, bagaikan patung batu. Tiba-tiba pria itu merasa sebagian dari hatinya pecah; dia seakan-akan bisa mendengar hatinya itu hancur berkeping-keping. Pada saat itu, sebuah aura membunuh yang tak terkendali meletus dari dalam dirinya, membuat matanya menjadi merah.     

Seseorang mendekati pria itu dari belakang dan berbisik, "Yang Mulia, Jenderal Cheng telah mengirimkan seorang pembawa pesan. Dia berkata kalau mereka tertahan di sisi seberang Sungai Mo Li, dan itu karena Jenderal Chu. Apa yang harus kami lakukan sekarang?"     

Angin dingin meniup lengan baju Yan Xun. Pada saat ini, dia seakan melihat wajah orang tuanya, dan para bangsawan yang berdiri di depan Panggung Jiu You ….     

"Kabari Cheng Yuan untuk membawa pasukannya ke Gunung Min Xi. Kita harus menjebak Zhuge Yue di danau es."     

Pria itu sedikit bimbang dan bertanya, "Bagaimana jika Jenderal Chu berhasil bergegas ke sana?"     

Sebuah tatapan tajam melintas di mata Yan Xun. Setelah cukup lama, dia mengucapkan beberapa kata dengan dingin, "Kita harus membunuh Zhuge Yue, apa pun harganya."     

Elang perang mengeluarkan pekikan yang panjang. Di bawah langit gelap, cahaya yang haus darah mulai berkilau. Suara pertarungan dan pembunuhan yang tragis terdengar dari depan. He Xiao, dengan mata yang merah, bergegas ke belakang dan berteriak, "Jenderal, pasukan Cheng Yuan ditempatkan di depan Gunung Min Xi. Pasukan Yang Mulia sedang bergegas kemari. Jenderal Zhuge berada di permukaan Danau Qian Zhang."     

Hembusan angin dingin terus berlalu berturut-turut; lolongannya yang buas bisa terdengar berulang-ulang. Chu Qiao menegangkan bibirnya dan menundukkan kepalanya untuk melihat ke He Xiao, yang sudah berlumuran darah. Perlahan, gadis itu berkata, "He Xiao, bisakah kamu membukakan jalan untukku?"     

"Jenderal," He Xiao berlutut dengan tatapan yang penuh tekad dan berkata dengan tegas, "nyawa kami adalah milik anda. Pergilah. 2.000 orang prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya tidak akan mengecewakan anda."     

Chu Qiao merasa sangat tersentuh. Melihat wajah-wajah penuh tekad para prajurit di belakang He Xiao, gadis itu merasa seakan-akan hatinya telah melepuh karena minyak yang terbakar. Dia hanya menyelamatkan mereka satu kali karena dia takut Yan Xun akan kehilangan kepercayaan orang-orangnya. Setelah itu, mereka mengikutinya tanpa keluhan ataupun penyesalan, menyelamatkan dirinya beberapa kali. Asalkan gadis itu memberikan perintah, mereka akan melaksanakannya biarpun itu benar ataupun salah. Mereka adalah bawahannya, senjatanya, keluarga terdekat baginya. Apa pun yang dilakukan gadis itu, mereka tidak akan meninggalkannya, berdiri di sisinya dengan kesetiaan yang tak pernah pudar, mengarahkan pedang mereka kepada siapapun yang mengancam gadis itu. Kebaikan ini menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggung oleh gadis itu, membuat gadis tersebut tergencet di bawah beratnya. Chu Qiao melompat turun dari punggung kudanya dan meraih tangan He Xiao. Sambil menahan air matanya, gadis itu mengucapkan beberapa kata yang tulus, "He Xiao, terima kasih."     

"Jenderal, di mata kami keselamatan anda lebih penting dari seluruh Benua Meng Barat. Langit dan bumi bisa dilenyapkan; kekaisaran bisa tumbang. Asalkan Jenderal masih ada di sini, kami memiliki kepercayaan diri untuk terus bertahan. Maka dari itu, demi kami, jaga diri anda."     

Chu Qiao mengangguk dengan diam dan melihat ke arah wajah-wajah para prajurit, yang tidak pernah pandai merangkai kata-kata. Akhirnya, gadis itu melihat ke arah Gunung Min Xi dengan tatapan penuh tekad. Sebuah kuil suci berada di puncak gunung itu, dengan dua patung dewi yang didirikan berdampingan, berdiri saling memunggungi. Mereka mengawasi seluruh wilayah Yan Bei, bagaikan dua mercusuar di tengah kegelapan.     

Chu Qiao menaiki kuda perangnya dan berkata dengan tegas, "Semuanya! Saya bergantung pada kalian!"     

Para prajurit itu menjawab dengan serempak, "Jaga diri anda, Jenderal!"     

Angin dingin meniup mantel mereka. Chu Qiao berteriak, membuat kuda perang itu memacu pergi menjauh, sementara He Xiao memimpin pasukannya ke arah tanah bersalju itu.     

Suara terompet berkumandang di seluruh tempat tersebut. Cheng Yuan, bersama dengan prajurit dari Pasukan Elang Hitam, sedang berdiri di sebuah bendungan di sisi luar Danau Qian Zhang, mengepung pasukan Zhuge Yue yang jumlahnya tidak sampai 10.000 orang. Hujan panah yang lebat, bagaikan gunung berapi yang meletus, mendarat di permukaan danau es yang sudah membeku sampai padat. Panah-panah itu sudah diubah dan ditingkatkan oleh Chu Qiao. Kekuatan panah tersebut sangat mengerikan. Yue Da memimpin para pengawalnya dan melindungi Kepala Marsekal mereka. Orang yang berada di depan menjadi seperti saringan saat begitu banyak panah menembus tubuhnya, menyisakan begitu banyak lubang. Jeritan kesakitan menggema di sekeliling tempat itu. Yue Jiu berlari maju dengan pedangnya dan meneriakkan pekikan perang. Cheng Yuan mengabaikan pemuda tersebut dengan jijik dan terus memberikan perintah untuk menembakkan panah berapi.     

Para Pengawal Yue tumbang bagaikan jerami layu, baris demi baris. Menghadapi pasukan sekuat itu, mereka tidak memiliki ruang untuk melawan. Namun, meski demikian, para pejuang itu menyerbu maju tanpa membawa perisai atau alat pelindung apa pun, menggunakan tubuh mereka sebagai perisai daging untuk mengulur waktu agar Kepala Marsekal mereka bisa selamat.     

Darah yang menyebar di atas padang es itu membuat permukaan danau tersebut menjadi merah menyala. Karena informasi dari Huo An, Pasukan Elang Hitam, yang berjumlah 20.000 orang, sudah menunggu di sana sebelumnya untuk menyergap. Ini sudah bukan lagi sebuah perang, yang terjadi adalah pembantaian yang haus darah. Panah-panah melesat ke arah pasukan Zhuge Yue seperti lebah; suara saat panah-panah itu membelah udara bisa terdengar. Perbedaan kekuatan dan penguasaan medan membuat para Pengawal Yue berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Aura kematian menghinggapi mereka sementara tumpukan mayat semakin menggunung. Mereka yang masih hidup namun terluka, mengeluarkan jeritan kesakitan saat keberadaan mereka diketahui oleh pasukan musuh lagi.     

Cheng Yuan menjilat bibirnya perlahan dan berbalik menghadap ke Yan Xun, yang sedang berdiri di tengah kerumunan. Sebentar lagi dia akan meraih prestasi yang tidak mungkin. Kepala Marsekal pasukan Xia, yang telah membuat badai di Meng Barat, sudah hampir tewas di tangannya. Saat memikirkan hal ini, telapak tangannya mulai berkeringat.     

Tiba-tiba, sebuah suara kuda-kuda perang yang meringkik keras terdengar dari arah tenggara. Formasi mereka telah ditembus; prajurit-prajurit itu menyerbu masuk sambil mengayunkan pedang-pedang mereka. Mereka berpakaian hitam. Betul, mereka adalah para prajurit dari Pasukan Xiuli.     

"Garnisun Utusan Barat Daya!"     

Suara napas tersentak terdengar dari dalam pasukan. Tatapan mata Cheng Yuan menjadi dingin saat dia berseru, "Mereka lagi!"     

Saat Cheng Yuan baru mau memberikan perintah agar para pemanah mengurus Pasukan Xiuli, sebuah suara rendah terdengar di samping telinganya. Yan Xun, yang tanpa diketahui telah berjalan ke samping Cheng Yuan, memerintahkan dengan perlahan, "Kepung mereka, tetapi jangan bunuh mereka."     

Cheng Yuan menurut dan menjawab, "Baik, Yang Mulia."     

"Berhenti!" Terdengar sebuah suara tajam. Semua orang mendongak dengan terkejut, dan melihat seekor kuda maju sendirian dari arah tenggara. Kuda itu melompat tinggi di udara, melayang melewati kepala para prajurit yang sedang terlibat dalam pertempuran. Saat kuda itu mendarat di tanah, gadis muda itu melompat turun dari punggung kuda dan berlari ke ruang yang memisahkan kedua pasukan, sambil berteriak, "Hentikan!"     

Para prajurit dari Pasukan Elang Hitam mengenali gadis itu. Mereka berhenti karena takut akan menyakitinya, lalu melihat ke arah Yan Xun dengan panik.     

"Yan Xun! Hentikan!" Chu Qiao berdiri di tengah dan berteriak, sambil menatap pria itu dengan wajah yang tegas.     

Wajah Yan Xun serius. Setelah cukup lama, dia berkata dengan tenang, "AhChu, minggir!"     

Chu Qiao merentangkan kedua tangannya dan memelototi pria itu sambil membalas, "Bunuh aku dulu."     

"Xing Er, menyingkirlah." Sebuah suara rendah menggema dari belakang gadis itu. Chu Qiao berbalik badan, dan melihat Zhuge Yue berdiri di tengah kolam darah. Luka di dadanya sudah diperban, tetapi darah masih terus merembes keluar tanpa henti. Pria itu menatap Chu Qiao dengan tenang; wajahnya tidak menunjukkan kemurahan hati sebelum mati, ataupun kemarahan karena disergap. Pria itu berdiri dengan dengan bangga di tengah rombongannya yang terluka, menatap para prajurit Yan Bei tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut di matanya.     

Mata gadis itu menjadi merah saat dia menggeleng dengan keras kepala sambil berkata dengan lembut, "Aku telah mengecewakan kamu."     

Salju menyelimuti seluruh tempat itu, dengan warna merah terang mewarnai pemandangan di sana. Tampak seperti bunga yang sedang mekar, walaupun cuaca sedang sangat dingin. Angin melolong dekat di telinga gadis itu. Sebuah panah melesat menembus lapisan kabut. Saat gadis itu berbalik, dia melihat Yan Xun yang melepaskan panah tersebut. Panah emas itu terbang ke arah gadis itu dengan kecepatan penuh; suara saat panah itu membelah udara bisa terdengar dengan jelas. Gadis itu tidak bisa menghindar, dan juga tidak bisa menghentikannya. Angin dingin meniup lengan bajunya, membuat hatinya menjadi dingin bagai es. Gadis itu hanya bisa melihat saat Yan Xun melepaskan panah yang mengutuk takdir pria itu ke jalan yang tidak bisa kembali lagi; tangan takdir telah bergerak di tengah badai salju itu.     

Kejadian itu seolah terjadi di depan mata gadis itu dalam gerak lambat, membakar matanya dengan setiap gerakan. Panah itu menyapu leher gadis itu dan meninggalkan jejak darah di atasnya, lalu menancap di luka pada dada Zhuge Yue, yang baru saja diperban. Darah kembali muncrat keluar ke udara dengan spektakuler; pipi gadis itu terasa hangat walaupun darah itu tidak menyentuhnya. Napasnya berhenti saat itu juga. Gadis itu berdiri di sana, terperangah, sementara pandangannya terpaku ke bayangan Zhuge Yue yang sendirian dan terpencil. Mata gadis itu mulai menjadi merah, dan begitu juga semua kejadian di depannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.