Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 231



Bab 231

0"Ibu Suri, Yang Mulia sudah tidak apa-apa. Dia hanya perlu memulihkan diri."     

Ibu Suri membentak dengan air mata mengalir di wajahnya. "Kalian semua! Apa saja yang kalian kerjakan? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Yang Mulia, kalian semua akan mati bersamanya!" Saat dia menyelesaikan kalimatnya, sang Ibu Suri berjalan menuju Istana Yi Xin.     

Para pelayan berlutut ketakutan di tanah, tidak berani mendongak. Tidak ada orang yang berani menghadang jalan wanita itu. Chu Qiao mengikutinya dari belakang, sepanjang jalan sampai ke Istana Yi Xin. Li Ce sedang tertidur lelap; saat Ibu Suri melihat Li Ce, air mata mengalir di wajahnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berusaha menyentuh wajah Li Ce.     

Salah satu pelayan Ibu Suri berjalan ke depan Chu Qiao, mengerutkan keningnya, dan bertanya, "Siapa kamu? Mengapa kamu di sini? Sang Ibu Suri sedang mengunjungi Yang Mulia. Orang luar segera menyingkir."     

Mei Xiang cemberut. Saat dia bersiap untuk mendebat, Chu Qiao menarik lengan bajunya, mengangguk, dan berkata, "Saya mengerti." Setelah selesai berbicara, dia melangkah keluar dari Istana Yi Xin bersama Mei Xiang dan yang lainnya.     

"Nona? Yang Mulia meminta anda untuk menemaninya."     

Chu Qiao menjawab dengan menghela napas panjang. "Ibunya sudah pulang. Apa hak kita untuk tetap di dalam sana?"     

Qiu Sui menambahkan dari samping, "Sang Ibu Suri sangat menyayangi Yang Mulia."     

Tiba-tiba, Jenderal Sun Di mendekati mereka dari depan. Saat pria itu melihat mereka, dia tercengang dan bertanya, "Nona, mengapa Anda tidak berada di dalam?"     

Mei Xiang menyela dan berkata, "Ibu Suri sudah pulang. Dia mengusir Nona keluar!"     

"Ibu Suri?" Sun Di terperangah saat mendengar kabar ini, dan melangkah lebar ke arah Istana Yi Xin sambil berteriak dengan suara rendah, "Siapa yang mengundang Ibu Suri pulang? Tidak ada orang yang tahu tentang usaha pembunuhan terhadap Yang Mulia. Mengapa dia pulang?"     

Tiba-tiba, sebuah jeritan pilu yang memekakkan telinga terdengar dari dalam Istana Yi Xin. Sun Di dan Chu Qiao terkejut saat mereka mendorong paksa pintu Istana Yi Xin sampai terbuka!     

Sang Ibu Suri sedang memegang sebuah belati di tangannya, di wajahnya yang sedih ada noda darah. Dia tidak lagi terlihat seperti seorang wanita yang hangat dan lembut. Dia tampak seperti seorang iblis saat dia berdiri di depan jendela, berteriak tanpa henti, "Kubunuh kamu! Kubunuh kamu! Aku akan membalaskan dendam Luo Er!"     

Pikiran Chu Qiao menjadi kosong.     

Sinar matahari memasuki istana dari gerbang. Cahayanya terang dan menyilaukan. Lingkungan sekitar kacau balau; beberapa orang berteriak dengan panik, berteriak minta tolong, sementara yang lain bergegas memanggil tabib kekaisaran. Pengawal kekaisaran bergegas maju sambil memegang pedang mereka, yang mengeluarkan cahaya perak yang terang, membuat pantulan-pantulan putih di atas tanah.     

Gadis itu berdiri di sana, terpaku di tempat, matanya merasa terganggu oleh cahaya yang terlalu terang. Pada saat itu, matahari seakan berubah menjadi dingin. Saat cahaya matahari menyinari gadis itu, dia merasakan kedinginan di ujung jarinya, perlahan-lahan menyelimuti seluruh tubuhnya. Jantungnya mulai berdebar; seolah-olah bisa melompat keluar dari mulutnya kapan saja. Dia mulai merasa tercekik, dan perlahan-lahan menjadi semakin sulit untuk bernapas.     

Pakaian Ibu Suri telah berwarna merah karena darah. Wajah pucatnya yang sakit-sakitan menampilkan kegilaannya pada saat itu. Matanya terang; raut wajahnya buas. Meskipun sedang ditahan oleh para penjaga, dia tidak memberontak. Dengan kebencian yang luar biasa dalam suaranya, dia menyatakan dengan dingin, "Dasar kalian binatang. Kalian semua pantas untuk mati. Aku sudah membunuhnya. Sekarang, aku akan membunuh kalian semua untuk membalaskan dendam suami dan anakku."     

Pada saat itu, Chu Qiao melihat tatapan di mata pria tersebut.     

Untuk pertama kalinya seumur hidup, gadis itu merasa seolah dia bisa melihat hati pria itu melalui matanya, tidak seperti di masa lalu di mana raut wajah pria itu selalu sulit ditebak. Pada saat itu, Chu Qiao melihat berbagai perasaan di dalam mata pria itu dengan jelas—perasaan yang diredam dan rasa kecewa.     

Pria itu berbaring di sana, darah mengalir keluar dari lukanya, membuat jubahnya yang hijau menjadi merah. Dia terdiam menatap ibunya tanpa ada rasa terkejut ataupun kebencian di dalam matanya. Yang dia rasakan hanyalah lelah yang luar biasa.     

Angin bertiup lalu, menyebabkan tirai-tirai tipis berayun. Darah segar di tanah terus mengalir dan bercabang ketika sekelompok orang berlari ke depan untuk menghentikan darah. Teriakan panik para pelayan terdengar sekali lagi di luar istana. Segalanya tampak tak bersuara bagi Chu Qiao—dia tidak bisa melihat atau mendengar apa pun. Pandangan gadis itu hanya terpaku pada mata Li Ce, sementara rasa dingin menjalar di sepanjang kulitnya, sedikit demi sedikit, sampai ke dasar hatinya.     

Gadis itu tiba-tiba teringat akan acara berburu di dataran tinggi Yan Bei beberapa tahun yang lalu. Seekor induk serigala sedang kelaparan saat hujan salju yang lebat sedang menerpa pegunungan. Dengan susah payah induk serigala itu berhasil menangkap seekor rusa. Induk serigala tersebut sedang menikmati daging rusa itu dengan lahap ketika anaknya menyelinap ke samping dan menggigit sesuap kecil. Induk serigala itu sangat marah dan dia mengangkat cakarnya untuk menyerang anaknya, melukainya. Serigala kecil itu mundur ke ranting-ranting pohon yang jauh, gemetar ketakutan dan menangis sambil memandangi induknya, tidak berani melangkah maju. Ekspresi matanya sedih, seperti anak kecil yang telah ditelantarkan.     

Beberapa orang berusaha menarik gadis itu menjauh, tetapi Chu Qiao menolak untuk pergi.     

Tiba-tiba Chu Qiao merasa begitu ketakutan hingga darahnya menjadi dingin. Jari-jarinya gemetar tak terkendali. Dia tidak ingin keluar. Darah itu telah mencolok kedua matanya. Dia takut kalau dirinya tidak akan bisa masuk ke tempat itu lagi begitu dia melangkah keluar.     

Semakin banyak orang berkerumun di sekelilingnya, berteriak di samping telinganya. Pakaian gadis itu yang tipis tidak bisa menahan tarikan yang penuh tenaga, dan mulai robek. Tiba-tiba, gadis itu berteriak keras dan berlari ke arah istana dalam, meronta lepas dari pegangan semua orang.     

"Tangkap dia!" seorang pengawal berteriak dan semakin banyak pelayan berlari ke arah gadis itu. Chu Qiao melangkah mundur, dan dia semakin merinding.     

"Lepaskan dia!" sebuah suara rendah yang serak tiba-tiba terdengar. Li Ce berusaha untuk duduk, luka di dadanya masih berdarah, saat dia menunjuk ke arah gadis itu.     

"Yang Mulia! Yang Mulia! Jangan bergerak dulu!"     

Sederetan teriakan tiba-tiba menggema. Tubuh pria itu roboh ke atas kasur dan seteguk darah dimuntahkan dari mulutnya.     

Sinar matahari membentuk garis-garis bayangan di dinding sementara suasana hati gadis itu merosot ke jurang yang dalam. Gadis itu berdiri di luar kerumunan, tidak bisa melihat wajah pria tersebut. Hanya ada sebuah tangan yang putih pucat, tanpa warna apa pun, menggantung keluar dari tempat tidur.     

Saat matahari terbit dan terbenam, bulan memanjat melewati pepohonan dan naik di atas langit, membentuk lapisan putih berkilau di luar Istana Yi Xin. Pasir di dalam jam pasir mengalir butir demi butir, menyerupai kehidupan yang terisap keluar dari tubuh tersebut.     

Tiba-tiba terdengar suara tercekat dari seorang tabib tua yang berambut putih. Bayangan gadis itu tampak tembus di balik tirai-tirai yang tipis. Mata gadis itu tidak terlihat dari balik lapisan tirai tersebut. Hanya ada pemandangan samar-samar cahaya lilin merah yang berkelap-kelip di dalam kamar itu.     

Ketika gadis itu bangun, ada keheningan di mana-mana. Pada saat itu, gadis itu berpikir bahwa dirinya berada di dalam mimpi. Namun, ketika dia melihat ekspresi terkejut Mei Xiang, hatinya mulai terasa sakit. Bahkan sebelum dia memakai sepatunya, gadis itu melemparkan selimutnya ke samping dan melompat turun dari tempat tidurnya.     

"Di mana Nona Chu?"     

Terdengar suara seorang pria yang tergesa-gesa dari luar. Gadis itu berlari keluar, wajahnya pucat.     

Sun Di menatap gadis itu dan raut wajahnya menjadi sedih. Pria itu menunduk dan berbisik, "Yang Mulia ingin bertemu dengan Anda."     

Di dalam Istana Yi Xin sangat sunyi. Gadis itu berjalan ke dalam sambil mendorong tirai-tirai ke samping, selapis demi selapis, sepanjang jalan hingga tempat tidur pria itu. Pada saat itu, gadis itu merasa seakan-akan pria itu dan istana ini akan segera menjadi satu.     

Gadis itu berlutut di sisi tempat tidur, mengulurkan jari-jarinya yang dingin. Saat dia menyentuh lengan pria tersebut, Chu Qiao menarik tangannya karena tubuh pria itu ternyata lebih dingin daripada jari-jari gadis itu. Rasanya seperti salju yang turun sepanjang tahun di dataran tinggi Yan Bei.     

Napas dan suara gadis itu sangat ringan dan menggema di dalam istana tersebut.     

"Li Ce, aku di sini untuk menemuimu."     

Alis Li Ce sedikit berkedut saat dia membuka matanya untuk melihat gadis tersebut. Tatapan mata pria itu tenang dan damai, namun menunjukkan banyak pikiran dan kata-kata yang ingin diucapkan olehnya. Pria itu mengulurkan tangannya dengan susah payah dan melambai pada gadis itu sambil tertawa dan berbisik, "Qiao Qiao …."     

Air mata mulai mengalir turun di wajah Chu Qiao saat dia meraih tangan pria tersebut. Baru lewat beberapa hari saja, tetapi berat badan pria itu telah turun cukup banyak sampai tonjolan tulang-tulangnya terlihat. Gadis itu mulai terisak dan suaranya menjadi tidak terdengar jelas.     

Pria itu sedikit mengernyit dan menjulurkan jari-jarinya untuk membelai wajah gadis itu. "Jangan menangis …."     

"Ini semua salahku," gadis itu berkata sementara air matanya terus mengalir. Ujung jari gadis itu sangat dingin.     

"Aku sudah berjanji akan berada di sisimu. Tidak seharusnya aku keluar."     

Li Ce tertawa sambil berbaring di atas kasur, menatap ke arah pola berbentuk bunga yang rumit di atas kasur dan tulisan kaligrafi. Suara pria itu tenang dan tidak mengandung sedikitpun kebencian saat dia berkata, "Bagaimana mungkin kamu yang disalahkan untuk ini? Dia adalah ibuku. Siapa …."     

Pria itu mulai terengah-engah dan suaranya menjadi lemah. Chu Qiao terkejut dan berusaha untuk berlari keluar untuk memanggil tabib namun ditahan dengan kuat oleh pria itu. Sulit membayangkan kalau pria tersebut sedang terluka parah.     

"Siapa … siapa yang akan menyangka?"     

Betul, siapa yang akan menyangka?     

Angin bertiup ke dalam kamar itu melalui jendela, membuat suara melolong. Dari kejauhan, suara-suara para pelayan istana yang tertahan samar-samar terdengar.     

"Aku ingin menikahkanmu secara pribadi. Tetapi … sayangnya aku sudah tidak bisa."     

"Tidak," Chu Qiao berkata dengan lantang dan keras kepala, suaranya menggema di istana yang kosong itu. Gadis itu menggenggam tangan pria itu dengan kuat, seakan-akan ingin merebut pria itu dari seseorang. "Tidak ada yang akan terjadi padamu!"     

Li Ce menatap gadis itu dan tersenyum dengan lemah; senyuman pria itu seolah menusuk jantung Chu Qiao bagaikan pisau yang tajam. Gadis itu tidak pernah merasa begitu ketakutan sebelumnya. Saat air mata gadis itu mengalir turun dari pipinya dan memasuki mulutnya, rasa pahitnya sangat sulit ditelan.     

"Li Ce, jangan pergi. Jangan pergi, kumohon." Gadis itu menggoyang lengan pria tersebut perlahan-lahan, dan bersikap seolah-olah dia adalah anak kecil yang kesepian.     

"Apa yang akan terjadi padaku kalau kamu tidak ada? Siapa yang akan menolongku saat aku dalam masalah? Aku tidak akan punya tempat tinggal lagi. Siapa yang bisa aku tumpangi dengan gratis?"     

Kenakalan yang aneh muncul di mata Li Ce. Berpura-pura marah, pria itu marah dengan main-main, "Oh. Jadi aku membeli babi dalam karung lagi."     

Bertahun-tahun telah berlalu dalam sekejap mata. Chu Qiao menatap Li Ce tanpa daya dan hati gadis itu terasa sakit. Suara pria itu setenang mata air saat dia bergumam, "Aku telah mengirim orang untuk mengabari Zhuge Yue. Akan ada orang yang mengantarmu kepadanya. Pergi saja bersamanya dan hiduplah dengan baik."     

Saat gadis itu menggigit bibir bawahnya, pria itu terus tergagap dengan jeda yang terputus-putus, "Jangan … jangan berpura-pura kuat dan bersikap keras kepala di masa depan."     

Malam itu dingin. Pria itu mengerutkan kening dan menatap gadis itu dengan tajam. Tiba-tiba, dia meminta, "Qiao Qiao, bantu aku bangun."     

Chu Qiao terkejut dan dia menggelengkan kepalanya. Namun, sebelum dia sempat berbicara, dia melihat tatapan keras kepala di mata pria tersebut yang membawa tekad yang luar biasa di dalamnya.     

Hati gadis itu kembali terasa sakit saat dia membantu pria itu bangun dengan hati-hati, membantu pria tersebut bersandar di kursi di dekat jendela. Li Ce sedang mengenakan pakaian berwarna merah cerah, disulam dengan pola naga. Penampilan pria itu kesepian, sama seperti ketika mereka bertemu pertama kali.     

"Qiao Qiao, rambutku berantakan."     

Chu Qiao mengerti maksud pria tersebut dan dia mengambil sebuah sisir giok putih, dan merapikan rambut Li Ce. Gigi sisir menyapu rambut pria itu ketika tangan gadis itu yang putih pucat membelai pelipis pria itu, helai demi helai. Pada saat itu, mereka seolah-olah menjalani kembali kenangan dan pengalaman yang telah mereka lalui bersama selama ini. Tangan gadis itu mulai gemetar, tetapi pria itu tampaknya tidak tahu karena dia tidak menoleh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.