Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 218



Bab 218

Suara itu tampaknya memudar di kejauhan saat tubuhnya sudah kehilangan suhunya sejak tadi. Seolah-olah semua darahnya sudah dikuras, dan seluruh tenaga kaki tangannya telah dihisap. Tiba-tiba, sebuah ledakan menggema. Saat dia mendongak, dia melihat kalau Yue Jiu sedang menggunakan seluruh tenaganya untuk menghantam lapisan es di atas dengan kepalanya.     

Bum! Bum! Bum! Suara itu bagaikan guntur, menyerang hati Zhuge Yue. Darah mengalir turun dari pengawal muda itu, dengan cepat bercampur dengan air di sekitarnya.     

Saat ini, wajah Yue Jiu lebih pucat daripada salju, dan tidak ada sisa warna sedikit pun di bibirnya. Pemuda itu bagaikan hantu yang baru saja merangkak keluar dari kuburan. Dengan sisa-sisa tenaganya, Yue Jiu terus berenang. Bahkan saat tangan dan kakinya mulai mati rasa, dia terus mengulang gerakan itu. Satu kali, dua kali, lagi …. Tiba-tiba, seakan-akan ada secercah cahaya yang mendadak menembus awan di atas dan masuk ke dalam hati Zhuge Yue. Pria di hadapannya ini adalah bawahannya, dan dia telah mengikuti Zhuge Yue sejak dia berusia empat tahun. Selama ini, Zhuge Yue berpikir bahwa wajar saja jika mereka mengikutinya. Namun, pada saat ini, dia tiba-tiba teringat akan kata-kata yang disampaikan seorang gadis padanya. Dengan kecantikannya yang dingin, gadis itu dengan tegas menyatakan tanpa ragu-ragu, "Tidak ada orang yang terlahir sebagai budak."     

Tidak ada orang yang terlahir sebagai budak ….     

Diiringi dentuman lain, darah kembali menyembur ke dalam air. Bahkan di air yang sangat dingin itu, dia bisa merasakan darah yang mendidih. Tubuhnya tiba-tiba dipenuhi energi lagi saat Zhuge Yue berenang naik. Mendorong tubuh penuh darah Yue Jiu ke samping, dia mulai menggali di lapisan es itu dengan belati milik Chu Qiao.     

"Aku tidak boleh mati!" dia berkata pada dirinya sendiri. "Aku belum boleh mati! Aku masih punya banyak keinginan yang ingin aku capai." Bahkan ketika paru-parunya terasa seolah-olah akan meledak karena kekurangan oksigen, dan bahkan ketika tubuhnya membeku kaku, bersama dengan luka-lukanya yang perih menyengat, pria itu terus berjuang untuk bertahan hidup seperti robot.     

Aku tidak boleh mati! Aku tidak boleh mati! Aku tidak boleh mati!     

Krak! Lapisan es itu pecah, dan dia mengambang naik. Sinar matahari menusuk matanya, dan udara segar menyambutnya. Sambil menarik napas cepat-cepat, dengan putus asa dia mengisi paru-parunya dengan udara.     

"Yue Jiu! Kita sudah aman!" dia berteriak. Menatap ke sekelilingnya, dia tidak bisa menemukan sosok Yue Jiu lagi. Zhuge Yue kembali menyelam, akhirnya dia menemukan tubuh Yue Jiu di kedalaman danau. Pendekar pedang muda itu dipenuhi luka, dengan wajah yang benar-benar pucat. Matanya terbelalak lebar, rambutnya berantakan dan dipenuhi noda darah.     

Dengan seluruh kekuatannya, Zhuge Yue menarik Yue Jiu ke atas, dan dengan kuat menekan-nekan dada pelayan ini, dan menggosok tangan dan wajah Yue Jiu berharap bisa menghangatkannya. Dengan lantang, Zhuge Yue berteriak, "Bangun! Aku memberimu perintah! Bangun!" Sepanjang hidupnya, Zhuge Yue tidak pernah menangis sekeras itu. Pada hari itu, dia menangis untuk seorang budak. Di dataran yang luas, dia menangis seperti seekor serigala yang melolong ke bulan.     

Tiga hari kemudian, dia menemukan Yue Qi yang untungnya berhasil lolos dari kematian. Pelayan ini telah mengumpulkan sisa-sisa Pengawal Yue dan telah mencari Zhuge Yue selama tiga hari penuh. Ada lebih dari dua puluh orang pengawal yang mati beku karena mereka telah berulang kali menyelam ke dalam air yang sangat dingin untuk mencari Zhuge Yue. Setelah itu, mereka membawanya ke Gunung Wolong. Setelah setengah tahun kemudian baru dia pulih sepenuhnya, namun dia dihadapkan dengan masa depan yang kelam. Pada hari yang menentukan itu, dia menatap informasi yang dibawakan oleh Yue Qi dan Pengawal Yue lainnya, mulai dari matahari terbit hingga terbenam.     

Gurunya berjalan masuk, dan melihat peta Benua Meng Barat yang digantung di hadapan Zhuge Yue, lalu dengan tenang dia bertanya, "Ke mana Anda ingin pergi?"     

Zhuge Yue merasakan perasaan tersesat yang tidak pernah dia rasakan selama bertahun-tahun. Sambil mendongak, dia menjawab, "Guru, saya tidak punya tempat untuk pergi."     

Pria tua itu, yang rambutnya telah berubah menjadi warna perak yang indah, tersenyum dengan lembut sebelum dia mengulurkan telapak tangannya yang kurus. Dengan satu sentakan yang cepat, dia menghancurkan Benua Meng Barat yang ada di peta, mengubah bagian peta itu menjadi lubang raksasa, hanya menyisakan wilayah Quan Rong, laut di arah Tenggara, dan tanah tandus di Barat.     

"Anakku, akan selalu ada orang yang lebih hebat daripada kamu, dan akan selalu ada dunia yang lebih luas daripada dunia kita. Siapa yang bilang kalau dunia ini hanya sebesar peta itu saja?"     

Pada keesokan harinya, Zhuge Yue menerima lebih banyak kabar lagi. Meng Feng telah dihukum oleh dewan, dan telah diasingkan ke Qing Hai. Saat ini, gadis itu mungkin sudah mencapai Jalur Cui Wei.     

Seiring berlalunya waktu, kabut masa depan seakan-akan mulai menjadi cerah. Di hari-hari yang kelam ini, pedang dalam genggamannya telah diayunkan berulang kali, memancarkan pantulan, menebas ke arah leher dari wujud yang disebut sebagai takdir, saat dia berjuang. Dengan darah mendidih yang menutupi matanya, pria itu merasakan makna kehidupan dalam cairan kental yang panas itu.     

Satu hari kemudian, ada pembawa pesan dari Zhen Huang yang bergegas memasuki kediaman Zhuge Yue di Xian Yang. Wajah prajurit itu terlihat kering karena debu yang terus menerpa kulitnya selama beberapa hari, dan bibirnya pecah-pecah. Saat dia menepuk-nepuk mantelnya, bisa terlihat kalau mantel itu penuh dengan debu.     

Wajah semua orang tidak terlihat bahagia, dan Chu Qiao langsung mengerti dan dia diam-diam meninggalkan tempat itu.     

Setelah satu jam, Zhuge Yue tampaknya akan pergi. Chu Qiao mengikuti pria itu sepanjang jalan hingga jalan utama yang menuju keluar dari Gerbang Utara. Cuaca agak dingin, dan Chu Qiao mengenakan mantel biru yang tebal. Sebuah lingkaran bulu putih membungkus di sekeliling wajahnya yang bersih dan tanpa riasan. Dalam kesederhanaan itu, gadis tersebut memancarkan kecantikan yang polos. Saat mereka mencapai paviliun yang menandakan kalau mereka sudah berjarak lima kilometer dari kota, Yue Qi dan pengawal lainnya menyingkir agar mereka bisa berbincang berduaan. Zhuge Yue perlahan turun dari kudanya, dan Chu Qiao mengikuti di belakangnya dengan patuh. Di sekitar paviliun tersebut, ada banyak rumput liar, dan cat dari pilar bangunan itu sudah mulai terkelupas. Tampaknya seluruh tempat itu amat terlantar.     

"Aku pergi dulu." Zhuge Yue berbalik dan menatap gadis itu dengan diam.     

"Oh, hati-hatilah dalam perjalanan." Chu Qiao mengangguk.     

Zhuge Yue sedikit cemberut. Ini sepertinya sudah menjadi semacam kebiasaan, setiap perjumpaan mereka selalu terasa begitu penuh semangat, namun semakin lama mereka bersama, perlahan-lahan mereka semakin menjauh. Seakan-akan mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa terhadap satu sama lain, dan hanya bisa bertukar sapa seadanya.     

"Setelah aku pergi, kamu mau pergi ke mana?"     

"Aku? Mungkin aku akan menuju ke Kekaisaran Tang terlebih dahulu."     

"Setelah itu?"     

"Setelah itu?" Chu Qiao mengerutkan keningnya dan merenung. Gadis itu tertawa kecil. "Aku juga belum tahu. Mungkin aku akan berkeliling dan mengembara. Menikmati makanan dari seluruh dunia, mengagumi pemandangan, dan berkelana. Entahlah."     

Saat angin sepoi-sepoi berembus, ada bunyi dentingan yang nyaring. Mereka berdua mendongak bersamaan, dan melihat ada sebuah lonceng yang tergantung di atas paviliun yang bobrok ini. Walaupun warnanya sudah memudar karena usia, suaranya masih nyaring dan jelas, berbunyi tiap kali angin berembus lewat.     

"Apakah kamu akan pergi ke Yan Bei?"     

Sambil tersenyum, Chu Qiao menjawab, "Aku sudah tinggal di sana bertahun-tahun. Pemandangan yang ada di sana, aku sudah lihat cukup banyak. Sejak semula, kesehatanku tidak begitu baik, dan aku tidak tahan dinginnya Utara. Mungkin, aku tidak akan bisa pergi ke Kota Zhen Huang kalau seperti ini."     

Zhuge Yue mengangguk seolah-olah dia mengerti sesuatu. Dengan perasaannya yang agak mati rasa, kata-kata yang telah tersangkut di dalam hatinya pada akhirnya tetap dipendam di dalam benaknya. Hari-hari kebahagiaan itu pada akhirnya hanyalah sebuah bayangan. Setelah waktu berlalu, mimpi itu sudah ditakdirkan untuk dihancurkan. Segala sesuatu harus terjadi dengan orang yang tepat pada waktu yang tepat, tetapi, bahkan dengan berdiri di sini saja, mereka sudah berusaha mengubah takdir agar sesuai keinginan mereka. Banyak hal dalam hidup ini yang sudah digariskan sejak awal, dan bagaikan pasir halus yang digenggam di pantai, semakin keras seseorang ingin mempertahankan sesuatu, semakin cepat benda itu akan lolos dari sela-sela jari mereka.     

Saat pria itu mengangkat kakinya, bersiap untuk pergi, wajahnya terlihat dingin dan sombong seperti biasa. Dengan gayanya yang biasa, dia terlihat seakan-akan tidak ingin mengucapkan satu patah kata pun lagi.     

"Zhuge Yue!" Sebuah suara yang tergesa-gesa terdengar dari belakang pria itu. Tangan gadis itu begitu kecil, begitu dingin, namun gadis tersebut menarik pakaian pria itu sekuat tenaga, menunjukkan sifat keras kepalanya.     

"Terima kasih," perlahan, gadis itu berbisik. Dari suaranya, bisa terdengar kalau gadis itu sedang menahan isak tangisnya, dan dia melanjutkan, "Aku pikir aku tidak akan pernah bisa mengucapkan itu kepadamu lagi seumur hidup. Tetapi, dengan berkah dari para dewa, kamu masih aman sentosa." Dengan senyuman tipis di wajahnya, gadis itu terus berbicara, "Zhuge Yue, aku telah terikat oleh berbagai macam ikatan dalam hidupku, dan telah menjalani hidup yang keras. Aku telah melakukan banyak hal, dan melalui banyak pasang surut. Beberapa hal yang aku lakukan benar, dan sebagian itu salah, tetapi aku tidak pernah menyesali apa pun. Aku sangat sadar akan pikiran dan perasaanku sendiri, dan tidak akan pernah berutang budi kepada siapa pun. Tetapi, hanya kepadamu saja, aku sudah berutang begitu banyak dan tidak mungkin aku lunasi.     

Lonceng angin itu terus berdenting, namun waktu seakan-akan berhenti pada saat ini. Karma seolah-olah sedang menampilkan senyuman mengejek pada mereka saat ia menatap betapa tidak berdayanya orang-orang ini.     

Chu Qiao merentangkan kedua tangannya, dan mendekati pria itu dari belakang. Dengan kedua tangannya menyelip di antara lengan dan pinggang pria itu, kulit putih bersih gadis itu bergesekan dengan sutra halus di tubuh pria itu dan sulaman emas pada pakaian pria itu menggesek pergelangan tangan putih gadis itu. Dalam semilir angin yang sunyi, tangan gadis itu saling mengait dan memeluk tubuh pria itu dengan erat, lalu Chu Qiao berjalan maju dengan langkah kecil dan membenamkan wajahnya di punggung pria itu. Setetes air mata turun dari sudu     

"Zhuge Yue, aku minta maaf." Suara gadis itu terdengar begitu sedih, seperti seorang anak kecil yang ditinggalkan di luar saat badai salju sedang mengamuk.     

Salju mulai turun. Hujan salju itu sangat ringan, bahkan, sebelum mendarat di tanah, kepingan salju itu sudah meleleh. Namun salju itu menumpuk dan membentuk lapisan tipis di bahu kedua orang itu. Dengan kulit mereka saling bersentuhan, mereka bahkan bisa merasakan napas satu sama lain. Ini adalah pertama kalinya gadis itu yang memeluk Zhuge Yue terlebih dahulu. Sungai waktu seolah mengalir dalam pikiran mereka, dan kenangan-kenangan mereka melintas sekilas dan menghilang dengan cepat. Seakan-akan takdir telah membodohi mereka sejak semula. Setelah begitu banyak tikungan dan belokan, mereka akhirnya tiba di panggung ini, namun ketika debu sudah reda dan mereka menjauhkan diri dari medan perang, mereka masih tetap dibebani oleh takdir.     

Sederetan burung terbang melewati mereka di atas langit. Berbaris menjadi satu garis lurus, burung-burung itu melayang ke arah Selatan. Perlahan, mereka semakin menjauh, dan menghilang dari pandangan. Gadis itu akhirnya melepaskan pelukannya. Chu Qiao menarik kedua tangannya. Baju pria itu sangat dingin, sampai-sampai jari-jari gadis itu menjadi mati rasa karena terlalu dingin. Punggung pria itu masih tetap tegak, seolah-olah tidak ada hal di dunia ini yang bisa menjatuhkan dirinya. Dia terlihat tampan seperti biasa, dengan aura dingin yang memancar dari sosoknya, seolah-olah dia ingin membekukan sekelilingnya.     

Tidak ada apa pun kecuali udara kosong di antara kedua lengannya, Chu Qiao menggigit bibirnya sebelum memaksakan diri senyum. "Jaga dirimu."     

Dengan bunyi menderu, ada sebuah gelombang angin dari jauh. Lonceng angin mulai mengeluarkan dentingan nyaring yang tiba-tiba mewarnai suasana dengan kehidupan.     

Zhuge Yue berjalan keluar dari paviliun tersebut. Dengan sepatunya yang mahal, dia menginjak rumput liar yang sudah layu, tanaman itu bengkok dan terbaring di tanah tanpa kehidupan. Dengan satu tiupan angin lagi, rumput itu patah dari akarnya dan tertiup hingga jauh.     

Zhuge Yue menaiki kudanya, bersama dengan para Pengawal Yue, mereka mencambuk kuda mereka dan suara kuda perang berpacu terdengar hingga kejauhan. Dengan bunyi berderap, keheningan di jalan utama pun terusik ketika mantel-mantel berkibar di tengah angin, dan bendera perang melambai menuju ke arah utara. Pada akhirnya, dia tidak berbalik bahkan untuk mencuri satu pandangan lagi ke arah gadis tersebut. Dia masih orang yang sama tampan dan sombongnya seperti dulu, dengan punggungnya yang tidak membungkuk yang duduk di atas kuda, bersama dengan mantel mewah dan rambutnya yang hitam legam, berlari di dalam angin dingin dan perlahan menghilang ke kejauhan di antara debu yang beterbangan. Tak lama kemudian, bahkan sosoknya pun sudah lenyap.     

Kabut pagi masih belum menyebar dan jalan di depan seolah-olah tertutup oleh sebuah tirai. Saat rumput liar terbawa oleh angin di sekitarnya, rumput-rumput itu berputar melingkar, tidak tahu harus ke mana. Chu Qiao tiba-tiba teringat akan Dataran Tinggi Yan Bei di mana dia disabotase oleh Cheng Yuan dan jatuh ke dalam perangkap oleh prajurit Xia. Malam itu, Chu Qiao hanya diam memandangi sosok pria itu dengan cara yang sama ketika pria itu menghilang ke dalam dataran bersalju yang luas. Saat itu, pria itu juga tidak berbalik, namun dia berjalan sangat cepat sambil menuntun kudanya dan dia mengenakan mantel yang tebal. Pada hari itu, ada salju tebal yang turun dari langit, dan ketika kepingan salju mendarat di bulu mata Chu Qiao, dia merasa sangat dingin sehingga dia ingin menangis. Namun, hanya dalam satu kedipan mata, bertahun-tahun telah berlalu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.