Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 201



Bab 201

0"Saya tahu waktuku sudah habis." Nyonya Yu mengembuskan napas ringan dan melanjutkan dengan suara rendah, "Saya tahu bahwa hari ini akan tiba. Hanya saja saya tidak mengira hari ini tiba begitu cepat." Sebuah wajah hangat dan lembut muncul di depan Nyonya Yu, tapi dia tidak bisa melihat orang itu karena pandangannya kabur. Nyonya Yu tersenyum sementara darah mengalir tanpa henti dari lukanya dan meresap melalui perban. Wanita itu mengulurkan tangannya dengan susah payah untuk membelai wajah tersebut, sambil memikirkan pertemuan pertama mereka bertahun-tahun yang lalu. Mereka masih muda pada saat itu; gadis itu dibawa ke jalanan untuk dihukum karena berusaha melarikan diri. Dia dipukuli sampai babak belur tetapi tidak berteriak. Pemuda itu melewati jembatan bersama gurunya, dan berjongkok untuk memberikan sebotol salep. Pemuda itu berkata sambil mengerutkan kening, "Oleskan sekali pada pagi hari, dan sekali pada malam hari. Ingatlah untuk pulih dengan baik."     

Nyonya Yu mempertahankan senyumnya, lalu dia berkata dengan suara yang lelah, "AhChu, saya akan tidur sebentar. Ingatlah untuk membangunkan saya jika Daoya datang."     

Chu Qiao menggigit bibir bawahnya dan mengangguk dengan paksa. Nyonya Yu menutup matanya saat dia telah merasa tenang. Ekspresinya lelah. Dengan lembut, dia berbisik, "Saya akan tidur sebentar. Saya terlalu lelah. Hanya sebentar." Bulu matanya yang panjang membentuk bayangan tipis di wajah cantik wanita itu sementara detak jantungnya perlahan-lahan melambat dan berhenti. Tangannya merosot tak bernyawa ke tanah, mendarat di antara lekukan lengan Chu Qiao.     

Angin di luar menjadi semakin kencang dan hujan bertiup ke dalam gubuk jerami kecil itu. Tubuh Chu Qiao menjadi kaku. Gadis itu menunduk saat dia meneteskan air mata ke wajah Nyonya Yu yang dingin membeku. Tetesan air itu mengalir turun dan bercampur dengan kolam darah di bawah.     

"Jenderal!" He Xiao berlari ke dalam gubuk itu. Saat dia melihat tubuh tak bernyawa Nyonya Yu, pria itu tiba-tiba tertegun.     

Chu Qiao mendongak ke arah pria itu dengan diam, lalu menjawab dengan suara serak, "Ada masalah apa?"     

He Xiao berpikir cukup lama sebelum menjawab dengan perlahan, "Tuan Wu sudah tiba."     

Langit masih terus hujan ketika mereka melihat Tuan Wu. Chu Qiao mengenakan mantel hujan saat dia dikawal oleh He Xiao dan yang lainnya ke perbatasan Dataran Qiu Lan. Para prajurit menyalakan obor dengan minyak pinus, menerangi sepetak tanah yang gelap gulita tersebut. Mayat yang telah memutih karena badai berserakan di mana-mana. He Xiao berdiri di bawah pohon poplar gurun, sambil memegang sebuah payung besar. Tuan Wu berlutut di sana, menghadap Chu Qiao dan orang-orangnya. Ada tiga panah yang tertancap di punggung Tuan Wu; salah satu dari panah itu terbenam di dalam jantungnya. Wajahnya pucat sementara darah mengalir turun dari mulutnya. Pria itu sudah tak bernyawa, tetapi matanya masih terbuka; dia terlihat sedang mencari sesuatu karena pria itu tidak jatuh ke tanah. Alisnya mengerut erat dan dia mempertahankan pandangannya yang teguh.     

"Ketika kami sampai di sini, Tuan Wu sudah meninggal." Suara He Xiao bergema dari samping telinga Chu Qiao. Malam itu gelap gulita, tanpa secercah cahaya pun. Chu Qiao menegakkan punggungnya dan duduk di atas kudanya. Matanya kering; gadis itu tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali.     

"Setiap orang memiliki keinginannya sendiri. Kalau saya, saya ingin menjadi lebih dekat dengan kepercayaan saya sendiri. Demi hal ini, saya bersedia melepaskan kebebasan dan cinta saya, karena saya merasa itu sepadan."     

Pada detik itu, Chu Qiao seolah-olah mendengar kata-kata yang dikatakan Tuan Wu satu tahun yang lalu di Pegunungan Hui Hui. Angin malam menderu ketika hujan terus turun. Chu Qiao menutup matanya saat dia melihat ke atas, menyebabkan hujan memerciki wajahnya seperti pisau tajam.     

Nyonya Yu, anda harus menunggu. Orang yang anda tunggu akhirnya datang. Dalam kehidupan ini, kalian berdua sudah sangat lelah. Dalam kehidupan anda berikutnya, jangan mengambil terlalu banyak tanggung jawab. Kalian berdua harus tetap bersama dan hidup bahagia selamanya. Jangan memikirkan hal lainnya.     

Langit dan bumi menjadi sunyi senyap saat angin menerjang melintasi wilayah itu. Malam panjang baru saja dimulai ….     

Awan gelap menggantung rendah di atas langit malam. Angin terus berkecamuk, mengeluarkan suara-suara bernada rendah.     

"Tembak!" sebuah suara rendah mengeluarkan perintah berulang kali. Para prajurit berpakaian merah, yang dikepung di dalam lembah, ditembak jatuh satu per satu sementara darah berceceran di mana-mana dan jeritan kesakitan mulai terdengar. Suara jam bergema keras, bersamaan dengan lebih dari 20 sinyal bahaya yang ditembakkan. Ini terjadi di lereng selatan Dataran Huo Lei, yang berjarak kurang dari setengah jam perjalanan dari Kota Bei Shuo dengan naik kuda. Mereka tidak mengerti mengapa pasukan dari Bei Shuo tidak menyelamatkan mereka. Apakah mereka dikepung? Siapa musuh yang menyerang mereka?     

"Siapa ini?" Sebuah panah menancap di bahu Xiao He, menyebabkan darah mengalir keluar dari tubuhnya. Rekan-rekannya, yang bertarung di sampingnya, roboh satu per satu seperti jagung yang siap dipanen. Matanya memerah saat dia berusaha keras untuk memahami situasi di hadapannya. Dia tidak mengerti. Dia telah menerima perintah dari Yan Xun untuk kembali ke Bei Shuo untuk penghargaan yang akan diberikan pada dirinya. Mengapa dia disergap oleh musuh yang tidak dikenal?     

Xiaohe menyaksikan kegilaan yang berlangsung di hadapannya, bagaikan mimpi buruk yang nyata. Situasi itu seolah-olah ada sebuah batu besar yang jatuh menuruni lereng. Tidak ada yang bisa menghentikannya agar tidak menjadi semakin parah. Orang-orang yang mencoba melawan digilas dengan mudah.     

Mereka tidak bertukar pukulan langsung dengan musuh. Karena mereka berada di dalam wilayah Yan Bei, dan karena mereka sedang dalam perjalanan menuju upacara penghargaan, mereka tidak membawa senjata apa pun yang mampu melakukan serangan jarak jauh. Mereka tidak memiliki perisai atau panah. Pasukan berisi 5.000 orang itu terjebak di lembah ini, dikelilingi oleh musuh di mana-mana. Panah melesat ke arah mereka, tidak menyisakan ruang bagi mereka untuk membalas. Para prajurit yang cukup berani untuk mencoba dan menerobos ditembak jatuh tanpa ampun, dan darah mulai menodai tanah. Tumpukan mayat berserakan di tanah sementara para prajurit yang selamat berteriak, "Siapa di sana? Mengapa kalian menyerang kami?"     

"Mengapa tidak ada yang datang untuk menyelamatkan kita? Di mana para penjaga dari Bei Shuo?"     

"Mereka menggunakan teknik tembakan beruntun! Itu pasukan kita sendiri!"     

"Siapa sebenarnya mereka? Siapa yang ingin membunuh kita?"     

Mata Xiao He memerah. Wakil jendralnya memegang pedang miliknya dan melindunginya sambil berteriak, "Lindungi jenderal! Lindungi jenderal!" Saat dia menyelesaikan kata-katanya, sebuah panah tajam menembus tenggorokannya, membuat suaranya memudar seperti kotak angin yang kempes. Darah menyembur ke wajah Xiao He.     

Xiao He memegang tubuh wakil jendralnya di tangannya. Pria berbadan tegap itu, yang berusia sekitar 30 tahun, membuka matanya lebar-lebar dan meraih jubah Xiao He. Darah mengalir keluar dari mulutnya tanpa henti saat dia berhasil mengucapkan beberapa kata dengan susah payah dan terbata-bata, "Siapa … siapa … yang ingin membunuh kita?"     

Mayat dengan bagian tubuh yang hilang bertebaran saling menimpa, membentuk gunung kecil di bawah kaki Xiao He. Pria itu sudah tidak lagi merasakan sakit di lukanya. Waktu saat itu antara pukul 11:00 malam dan 1:00 dini hari berikutnya. Hujan mulai mengguyur mayat-mayat itu. Para prajurit bertahan dengan gagah berani ketika mereka melangkah di antara lautan tubuh rekan-rekan mereka, menggunakan mereka sebagai perisai manusia untuk menangkis panah yang menyerbu. Teriakan kesakitan, cacian, dan sumpah serapah memenuhi udara. Setelah beberapa lama, gelombang serangan mereda. Panah yang beruntun pun berhenti, tetapi pasukan musuh masih menunggu dengan tenang, tetap mengepung mereka.     

Regu kedua Pasukan Huo Yun hampir musnah. Orang-orang yang masih berdiri dan hidup sama saja seperti sudah mati. Mereka tidak lagi memiliki kekuatan untuk menahan serangan musuh, dan mereka terengah-engah seperti anjing liar.     

Sunyi, sunyi senyap.     

Tiba-tiba, terdengar suara rendah dari mesin yang mulai digunakan. Para prajurit melebarkan mata mereka dengan ketakutan dan mendongak untuk melihat panah-panah lain yang sedang terbang ke arah mereka. Wush! Panah-panah itu luar biasa tajam dan menembus perisai manusia yang sudah tak bernyawa itu dengan mudah.     

"Ah!"     

"Bed*bah, aku akan …."     

Suara orang-orang yang mengutuk menggema sekali lagi. Namun, sebelum mereka menyelesaikan kalimat mereka, suara mereka terpotong oleh panah-panah tersebut. Tiga atau empat panah telah menancap di tubuh Xiao He, dan darahnya mengalir tanpa henti. Wajah pria itu sudah tidak bisa dikenali lagi karena noda darah. Dia terus menyerang dengan pedangnya, ketika satu panah tajam menembus bahunya, membuat pria itu menjadi menempel dengan simbol Pasukan Huo Yun di bahunya.     

"Jenderal!" seorang prajurit berteriak dan berlari ke sisinya. Ketika prajurit itu mendekat, sebuah panah lain menembus bagian belakang jantungnya, membuat pupil mata prajurit tersebut melebar. Prajurit itu menunduk, terlihat bingung. Dia mengulurkan tangannya untuk merasakan panah itu dan mengerutkan keningnya. Seperti anak yang polos, dia berlutut di tanah, ditopang berdiri oleh busur dan anak panahnya. Begitu saja, prajurit itu meninggal tepat di depan mata Xiao He.     

Air mata jenderal muda itu mengalir dan dia meraung dengan buas.     

"Lindungi sang jenderal!" para prajurit menyerbu maju. Para musuh, yang melihat pergerakan mereka, mengubah arah tembakan mereka ke kelompok orang-orang itu. Seorang prajurit yang tidak pernah Xiao He lihat sebelumnya menoleh ke belakang untuk menatapnya, tatapan prajurit itu sangat cerah. Sambil tertawa, prajurit itu berkata, "Selamatkan Jenderal. Saya akan pergi mendahului kalian." Setelah itu, prajurit tersebut berbalik badan dan berlari ke arah hujan panah tersebut. Tak terhitung jumlah panah yg menembus dada dan otak prajurit itu. Dia masih berdiri di sana tak bernyawa, di posisinya semula, saat dia berubah menjadi sasaran tembak.     

Rasa sakit yang memilukan melonjak di sekujur tubuhnya. Xiao He berlari ke depan, meraung keras saat tubuhnya menahan dampak dari panah yang tak terhitung jumlahnya. Jenderal muda itu maju ke depan dengan pedangnya, saat lebih banyak panah menembus tubuhnya. Musuh-musuh yang bersembunyi di kegelapan sangat terkejut; beberapa dari mereka berhenti menembak ketika mereka melihat tentara yang berlumuran darah itu berlari ke arah mereka.     

Tiba-tiba, pada saat ini, sebuah pedang terbang keluar dan menghantam kaki Xiao He. Xiao He kehilangan keseimbangan dan berlutut di tanah dengan satu lutut. Dia melihat perkemahan musuh yang tidak jauh dari sana, matanya merah. Tatapan matanya menjadi perwujudan dari penghinaan dan kemarahan yang didorong oleh keputusasaan dan kegilaan. Matanya melihat ke arah pasukan musuh yang berpakaian hitam saat ia meludahkan seteguk darah. Jenderal muda itu berdiri lagi, didorong oleh tekad yang kuat. Dia berteriak dengan keras, "Siapa ini? Siapa yang mencoba membunuh kami?"     

Hujan panah yang lebat terbang lagi menuju Xiao He, mengisap kehidupan darinya dan menghancurkan wajahnya. Tanah bergetar bersamaan dengan guntur saat hujan deras turun ke tanah, menyirami mayat-mayat yang dingin dan tak bernyawa. Darah mengalir mengikuti aliran air saat seluruh pasukan dilenyapkan.     

"Bakar mereka," terdengar sebuah suara rendah. Para prajurit berlari ke depan dengan ember kayu mereka yang berisi minyak pinus di dalamnya. Mereka menuangkannya di atas mayat para prajurit; aroma memuakkan muncul dari tempat itu saat minyak pinus tersebut bercampur dengan aroma darah yang menyengat. Tubuh-tubuh itu segera disulut dan dibakar; bahkan hujan tidak mampu memadamkan api tersebut. Para prajurit berpakaian hitam berdiri di sana dan menyaksikan api menelan semua penghinaan di hadapan mereka.     

Ya, pembantaian tidak dapat menghapuskan mimpi, tetapi mereka dapat membasmi para pembawa mimpi itu.     

Malam itu masih gelap dan dingin. Para prajurit mengalihkan pandangan mereka ke Kota Bei Shuo, saat mereka kehilangan minat pada apa yang terjadi di belakang mereka. Langit mulai cerah ketika pasukan pembawa pesan mendekati para prajurit dengan berita berikut, "Putri Huan Huan telah tiba di gerbang kota bersama pasukannya. Yang Mulia memerintahkan Jenderal untuk memimpin pasukan Anda ke sana."     

Ternyata pembantaian itu belum berakhir.     

Pembantaian itu baru akan berlanjut.     

"Jenderal, ada sekitar 300 orang di depan. Mungkin itu pengintai dari Bei Shuo. Kuda perang mereka cepat. Apakah kita menghindari mereka?"     

Chu Qiao mengangkat alisnya. Hujan baru saja berhenti; awan gelap perlahan-lahan menyebar, meninggalkan lapisan tipis kabut putih yang menggantung di udara. Gadis itu mengerutkan kening dan menatap tajam ke arah kelompok orang-orang itu.     

"Jenderal! Pasukan Huo Yun. Mereka dikejar-kejar oleh sebuah pasukan besar. Sepertinya ada 5.000 orang!" Pembawa pesan itu buru-buru berlari kembali dan mengabari. Chu Qiao mengangkat alisnya dan memerintahkan dengan tegas, "He Xiao, bawa beberapa orang bersamamu untuk menyelamatkan Putri Huan Huan. Hentikan pasukan yang mengejar mereka."     

"Siap!" He Xiao menurut dan mengatur pasukannya yang berjumlah 4.000 orang, sebelum maju ke medan perang.     

Chu Qiao mengikuti di belakang bersama pasukannya. Kaki para kuda menginjak tanah berlumpur, dan terlihat sedikit jejak cairan kemerahan di antara air berlumpur.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.