Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 196



Bab 196

0Suara katapel perang yang menggelegar terdengar dari belakang. Gadis itu memutar kepalanya, dan bertemu dengan tatapan marah dari Yan Xun. Tangan pria itu mengambang di depan dadanya dengan mengancam, seperti sebuah golok yang siap menumpahkan darah, siap diayunkan ke bawah kapan saja untuk memberi aba-aba menembakkan panah.     

Chu Qiao diliputi ketakutan. Hal itu membungkus seluruh dirinya, dan semua kebanggaan, harga diri, dan martabat yang sebelumnya oleh dimiliki gadis itu sudah dibuang jauh-jauh. Dia ambruk ke tanah dan bersujud berulang-ulang, dan tak lama kemudian dahinya sudah merah oleh darah. Air matanya mengalir dan kedua tangannya direntangkan, gadis itu memohon dengan keras, "Jangan! Kumohon, Yan Xun, jangan …."     

Yan Xun melirik sosok putus asa gadis itu dengan hati yang sakit. Gadis ini adalah satu-satunya orang yang tetap menemani di sisinya saat Yan Xun putus asa dan tidak memiliki apa pun. Gadis itu tetap bertahan selama delapan tahun penuh penderitaan bersamanya di Ibu Kota Kekaisaran. Yan Xun pernah bersumpah untuk merawat Chu Qiao; melindunginya; tetapi akhirnya pria itu yang ingkar janji. Dia yang melanggar semua janji yang dibuatnya pada gadis itu. Sebuah senyuman tipis muncul di bibir pria itu. Ekspresi itu tidak terlalu berbeda dengan ekspresinya bertahun-tahun lalu, ketika gadis itu pulang dan melihat pria itu di mejanya, sedang menulis. Wajah pria itu berkedip dengan kehangatan yang sama di bawah cahaya lilin di masa itu.     

AhChu, sebenarnya aku tidak pernah berubah. Hanya saja kamu tidak pernah tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Hari ini akan menjadi hari di mana aku akan berbagi denganmu, keyakinanku, ambisiku, dan semuanya. Satu per satu.     

"Tembak!" Dunia tenggelam ke dalam keheningan, dan angin pun mereda. Satu-satunya suara yang bisa dikenali adalah dengungan seekor lalat kecil, tampaknya dia adalah satu-satunya makhluk hidup yang tidak terjebak di dalam konflik penuh kebencian ini.     

Kavaleri Pasukan Elang Hitam yang berjumlah 20.000 orang itu melepaskan tembakan beruntun mereka yang mematikan. Kerumunan panah yang besar menutupi langit, menghalangi matahari yang biasanya mendominasi langit. Hari berubah menjadi malam saat hujan logam turun dari atas. Panah-panah yang terbang menuju Zhuge Yue itu memiliki kait yang berkilau dan tali yang panjang terikat di ekor panah-panah tersebut.     

"Lindungi sang Jenderal!" Yue Da, yang sudah tertusuk banyak panah dan kehilangan sebelah kaki, melompat ke depan Zhuge Yue. Para Pengawal Yue yang tersisa terus bertahan dengan keras kepala, walaupun sudah berdarah, babak belur, dan kehilangan anggota tubuh mereka. Panah-panah itu tidak mengenai pasukan itu, melainkan menancap dengan erat di atas es di permukaan danau yang membeku itu bagaikan sarung tangan besi.     

Yan Xun memberikan aba-aba, dan 20.000 ekor kuda itu berbalik dengan tiba-tiba dan memacu pergi menjauh. Tali yang terikat pada panah-panah itu tertarik hingga tegang, dan dengan suara berderak, lempengan es yang menutupi sungai beku itu pecah, dan air dingin dari bawah pun naik. Chu Qiao menoleh dengan putus asa, dan melalui darah dan tanah yang menutupi matanya, gadis itu melihat Zhuge Yue jatuh ke dalam arus yang mematikan. Potongan es yang tajam menusuk tubuh pria itu dan darah pun mengalir. Tetapi, wajah pria itu tetap tabah dan tidak berekspresi,seakan memungkiri kekacauan di medan perang. Mata pria itu bertemu dengan mata Chu Qiao, dan pada saat itu yang dilihat oleh gadis itu hanyalah ketenangan: tidak ada kebencian, tidak ada permusuhan, tidak ada kebahagiaan, dan tidak ada keputusasaan. Persis seperti bertahun-tahun lalu, ketika Zhuge Yue memandang Chu Qiao dengan mata tanpa ekspresi itu dari kejauhan, melihat gadis itu meninggalkan dirinya, melihat gadis itu menghunuskan senjatanya dan mengayunkan pedangnya ke arah dahi Zhuge Yue.     

Ah, betapa cepatnya waktu berlalu. Chu Qiao membuka matanya lebar-lebar, dia masih berlutut di tanah dan air matanya mengalir lagi. Gadis itu melangkah maju dua langkah, bagaikan boneka yang kebingungan, menonton tragedi yang terjadi di depan matanya dengan tak berdaya. Mata mereka bertemu, dan perlahan, pria itu tenggelam. Angin melolong, seolah-olah itu adalah pekikan perang seekor binatang buas, sambil membuat badai salju di antara kedua orang itu, mengaburkan semua pandangan. Air yang dingin itu menelan sosok pria tersebut, dan sepasang mata tanpa ekspresi itu menghilang dari pandangan. Sudah tidak bisa terlihat lagi wajah pria itu yang selalu diangkat tinggi dengan sombong dan rambutnya yang hitam pekat juga menghilang ke dalam air itu. Chu Qiao membuka mulutnya, ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar, dan angin yang membekukan itu bertiup masuk ke dalam mulut gadis itu. Chu Qiao mulai terbatuk-batuk, dan berusaha keras untuk berdiri, namun terhuyung-huyung. Dengan suara berdebur yang kencang, gadis itu melompat ke dalam air es yang dingin itu.     

Dingin sekali. Rasa dingin itu menusuk hingga ke tulang-tulangnya, dan seluruh tubuh gadis itu dengan cepat menjadi mati rasa. Dengan sekuat tenaga, dia berenang ke sekeliling sambil membuka matanya lebar-lebar untuk mencari. Dengan cahaya matahari yang bersinar masuk dari atas, gadis itu bisa melihat banyak bayangan yang memberontak lewat di depan matanya, dan aroma besi mengisi mulutnya. Bukan Zhuge Yue, masih bukan dia, dan masih bukan dia. Gadis itu mulai menangis dengan putus asa dan air matanya bercampur dengan air es dan darah segar di sekelilingnya. Bibir gadis itu mulai menjadi biru, dan tubuhnya mulai membeku dan sudah tidak lagi lincah. Dia berasa ada sesuatu yang menarik-narik pinggangnya berusaha untuk menarik dirinya ke atas.     

Tidak, dia masih tidak mau naik dulu. Gadis itu mencabut belatinya dan baru hendak memotong apa pun itu yang sedang memaksa menariknya ke atas walaupun dia tidak mau. Namun, pada saat ini sepasang tangan yang dingin menekan pinggang gadis itu. Begitu kuat, namun begitu dingin, tangan itu berhasil menghentikan gerakan gadis itu.     

Seakan ada kontak batin, Chu Qiao langsung tahu kalau ini pasti Zhuge Yue. Saat berbalik badan, sebuah wajah tampan muncul di hadapannya. Mata hitam pekat pria itu, bibirnya yang pucat, dan hidungnya yang mancung. Kedua mata pria itu menatap Chu Qiao sambil bersinar dengan semangat, dan pria itu menggenggam tangan gadis tersebut. Darah meresap keluar dari luka Zhuge Yue, dan masuk ke mulut Chu Qiao. Karena sangat gembira, Chu Qiao berusaha memeluk pria itu, dan menariknya dengan sekuat tenaga, ingin membawanya ke atas. Zhuge Yue merebut belati gadis itu, dan menarik tangan Chu Qiao. Dengan ujung jarinya, Zhuge Yue menulis di atas telapak tangan Chu Qiao berulang-ulang: Teruslah hidup … teruslah hidup … teruslah hidup …. "Ikut denganku!" Gadis itu membuka mulutnya dan berusaha berteriak, tetapi hanya bisa mengembuskan gelembung saja.     

Pria itu menggeleng perlahan sambil terus menuliskan hal yang sama berulang-ulang.     

Air mata gadis itu mulai mengalir dengan deras, dan dia menggelengkan kepalanya serta berusaha menarik pria itu lagi.     

Ayo ikut bersamaku! Teruslah hidup bersamaku!     

Aku tidak mau naik sendirian. Aku tidak mau terus hidup dan tahu kalau aku akan berutang kepadamu. Aku tidak ingin kamu mati! Tidak!     

Gadis itu merasakan tenaga di pinggangnya mulai mendorongnya ke atas perlahan-lahan. Tenaga gadis itu sudah terkuras, dan hanya tangannya yang terus menarik pria tersebut. Chu Qiao tidak pernah menyangka kalau kematian Zhuge Yue akan membuat dirinya begitu gelisah; bahwa pria itu sudah memiliki tempat yang begitu penting di dalam hatinya; bahwa semua kebencian dan dendam itu hanyalah alasan untuk menghindari perasaannya yang sebenarnya; bahwa dirinya akan merasa begitu sakit saat melihat pria itu pergi.     

Zhuge Yue, Zhuge Yue, kumohon, jangan begitu kejam terhadapku. Jangan biarkan aku hidup dengan rasa sakit ini selamanya. Kalau aku tidak bisa membalas kebaikanmu, biarkan aku mati bersamamu.     

Sinar matahari menjadi semakin terang saat gadis itu mendekati permukaan. Chu Qiao terus menangis, dan pandangannya mulai menjadi kabur karena air matanya, hanya mata lembut pria itu yang terukir di retina gadis tersebut. Jari-jari gadis tersebut menarik lengan pria itu dengan putus asa, seakan-akan semua perasaan yang tidak bisa diungkapkan itu telah disampaikan melalui genggaman erat gadis itu. Chu Qiao masih terus memberontak dan menggelengkan kepalanya, memohon kepada pria itu untuk berhenti mendorongnya ke atas. Tiba-tiba, gadis itu merasa begitu bersalah. Kalau saja dia tidak memberi tahu Yan Xun apa yang dia rasakan selama satu tahun terakhir. Kalau saja dia tidak membuat Yan Xun marah. Kalau saja dia lebih cepat memohon kepada Yan Xun. Kalau saja begitu, mungkin Zhuge Yue tidak perlu mati.     

Rasa sakit dan takut bagaikan jurang tanpa dasar, menelan gadis itu, saat dia terus berpegangan pada Zhuge Yue, menolak untuk melepaskannya.     

Zhuge Yue terlihat begitu tampan, saat dia menatap seseorang dengan begitu lembutnya untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun, impiannya akhirnya mendapat sebuah jawaban. Dengan segenap tenaga, Zhuge Yue berenang, dan perlahan memeluk gadis itu. Di ujung mulut gadis itu, Zhuge Yue menempelkan bibirnya yang dingin.     

Pada saat itu, air mata mengalir deras dari mata gadis itu, bercampur dengan air di sekeliling mereka. Seolah-olah rasa putus asa telah membuat sebuah lubang di dalam hatinya dan air di sekelilingnya telah mulai menyerbu masuk dengan kencang ke dalam lubang itu untuk mengisi kekosongan di dalamnya.     

Setelah kehabisan seluruh sisa-sisa tenaganya, gadis itu mulai mengambang ke atas, didorong oleh tenaga di pinggangnya. Lengan gadis itu, masih berpegangan pada lengan baju pria tersebut, direntangkan hingga lurus saat tubuhnya mulai menjauh dari pria tersebut. Zhuge Yue membuka cengkeraman gadis itu, satu jari demi satu jari, dan tak lama kemudian tangan mereka akhirnya berpisah, dan jarak antara mereka menjadi semakin jauh. Chu Qiao merentangkan tangannya, namun hanya bisa melihat Zhuge Yue mulai tenggelam, semakin lama semakin dalam. Mata pria itu masih tetap jernih meskipun dia perlahan ditelan oleh kegelapan di kedalaman.     

Hati gadis itu tercabik-cabik, pandangannya menjadi kabur. Mata pria tersebut yang lembut namun penuh tekad telah membekas di dalam benak gadis itu, seakan-akan masih terus mengulang beberapa kata itu: Teruslah hidup … teruslah hidup … teruslah hidup, kamu masih memiliki banyak impian yang belum tercapai.     

Dulu, Chu Qiao pernah mengucapkan itu kepada seseorang. Tetapi dia tidak tahu kalau ada orang lain yang diam-diam mendoakan keselamatan dirinya.     

Begitu Chu Qiao keluar dari air, dia merasa seakan-akan dirinya telah mati. Saat merasakan cahaya matahari menyinari kulitnya, gadis itu melamun. Bahkan ketika Yan Xun memanggilnya dengan keras, Chu Qiao tidak bisa mendengar apa-apa. Seolah-olah dia telah mati di dalam danau itu, dan hanya tubuhnya yang keluar dari dalam air.     

Angin sudah melambat dan menjadi sepoi-sepoi, burung-burung putih melayang di angkasa. Matahari mulai terbenam, dan hujan salju sudah berhenti. Matahari yang terbenam itu memancarkan cahaya yang menyilaukan dan menyirami seluruh dunia dengan kemilau merah yang lembut. Sungguh indah.     

Namun, pria itu tidak akan pernah melihat ini lagi.     

Gadis itu mulai panik, dia secara ajaib kembali bertenaga, dan mendorong Yan Xun ke samping. Sambil terhuyung-huyung, gadis itu berlari ke arah lubang di lapisan es itu. Awalnya Yan Xun terkejut, lalu mengejarnya dan memeluk gadis itu dengan erat-erat. Chu Qiao hanya berjarak lima meter dari lubang yang menganga itu, namun dia sudah tidak bisa mendekat lagi. Keputusasaan menyelimuti hati gadis itu bagaikan air banjir dan dia sudah tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Berlutut di atas tanah, Chu Qiao berteriak, "Keluar! Keluar dari dalam sana!"     

Seteguk darah menyembur keluar dari mulut gadis itu ke dalam tangan Yan Xun, dan gadis itu terjatuh ke atas tanah bersalju dengan putus asa, dia gemetaran bagaikan daun yang rontok.     

"AhChu!" Yan Xun meneriakkan namanya di telinga gadis itu, namun suara pria itu terasa begitu menusuk telinga.     

Gadis itu memutar kepalanya dan menghadap Yan Xun, Chu Qiao sudah berhenti menangis, dan menatap pria itu dengan perasaan yang campur aduk.     

Emosi macam apa yang ada di dalam tatapan gadis itu?     

Kemarahan, kebencian, kekecewaan, dan kesedihan melintas satu demi satu, lalu bercampur dengan rasa putus asa yang tak bernyawa. Saat melihat pria itu, air mata gadis tersebut mulai mengalir lagi. Semua harapan gadis itu telah menghilang bagaikan kabut di bawah matahari siang hari, dan semua impian dan cita-cita yang mereka miliki bersama telah hancur bagaikan abu di tengah angin yang mengamuk.     

Semua kekhawatiran, rasa takut, dan rasa sakit hati yang sebelumnya dimiliki oleh Yan Xun. mulai membeku di bawah tatapan dingin gadis itu. Sambil mengendurkan cengkeramannya pada gadis itu, Yan Xun berdiri dan menatap gadis itu.     

Angin mulai berembus lagi, potongan kecil benda putih menempel di bulu mata gadis itu, menghalangi pandangannya. Kesadaran gadis itu mulai hanyut, dan di dalam lamunannya gadis itu seolah-olah melihat sepasang mata itu lagi.     

Teruslah hidup, teruslah hidup, teruslah hidup …. Seolah-olah ada suara yang mulai terngiang-ngiang di samping telinga gadis itu. Saat menutup matanya dengan putus asa, Chu Qiao jatuh ke tanah dan pingsan. Dia hanya bisa berharap kalau semua ini hanya sebuah mimpi buruk.     

Angin terus berkecamuk, kepingan salju jatuh ke dalam sungai, dan lubang yang terbuka itu perlahan membeku kembali. Di dalam keheningan dan ketidakbernyawaan, rasanya seakan-akan sungai itu adalah perwujudan dari alam baka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.