Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 171



Bab 171

0Nyonya Yu memang orang yang pandai. Tuan Wu dan dia dibimbing langsung oleh Tuan Wolong. Tuan Wolong adalah seorang petapa, yang dikabarkan sudah berusia lebih dari 100 tahun. Pengaruhnya tersebar lebar sampai ke mana-mana, mulai dari anggota kekaisaran dan para bangsawan yang berstatus tinggi hingga para budak dan para pedagang yang berstatus rendah. Pria ini sangat terpelajar; dia menerima murid tanpa memandang status mereka. Lalu dia akan memberikan pengetahuan kepada mereka berdasarkan keahlian mereka. Murid-muridnya termasuk cendekiawan, bangsawan, komandan perang, pembunuh yang lincah, dan bahkan pedagang yang kaya ….     

Tuan Wolong memiliki banyak murid, sebagian baik dan sebagian jahat. Beberapa muridnya termasuk Cheng Wen Jing, perdana menteri Tang saat ini, yang sudah berusia lebih dari 70 tahun. Ditambah lagi, Yue Shao Cong,si pengkhianat yang membiarkan orang-orang Quan Rong memasuki wilayah Xia, juga di bawah Tuan Wolong. Para pemimpin muda di Serikat Da Tong, Wu Daoya dan Zhong Yu, juga mengabdi kepadanya. Terlebih lagi, tuan muda keempat dari keluarga Zhuge, Zhuge Yue, juga murid darinya. Nama itu tersangkut di dalam pikiran Chu Qiao.     

Zhao Che akan segera menyerang. Apakah pria itu juga akan datang? Chu Qiao mendesah perlahan, lalu meminum mangkuk berisi obat itu dengan satu tegukan. Medan perang adalah tempat yang berbahaya. Pedang tidak memiliki mata. Tidak, aku harap tidak, Chu Qiao berpikir kepada dirinya sendiri.     

Chu Qiao merasa segar setelah dia tidur siang tadi. Setelah terkurung di dalam rumah selama beberapa hari, dia ingin pergi keluar. Dia memakai gaun katun berwarna biru. Ada pola bunga magnolia yang disulam di mantelnya, yang melekat pada kulitnya. Membungkusnya seperti sebuah lampion, menonjolkan sosoknya yang mungil. Para pelayan memasangkan jepitan rambut padanya, bersama beberapa aksesori berwarna merah. Jepit rambut dari giok itu berwarna agak kebiruan. Barisan rumbai berkibar-kibar dan menyapu daun telinganya yang putih. Chu Qiao sangat jarang memakai pakaian feminin seperti ini. Dia memandangi cermin cukup lama untuk menikmati penampilan barunya, dan merasa bahagia di dalam hatinya.     

Angin di luar sangat kencang. Para pelayan ingin mengikutinya, namun Chu Qiao menolak mereka. Gadis itu memegang sebuah lentera kecil, yang berbentuk seperti domba, dan berjalan keluar sendirian.     

Di Yan Bei sedang musim dingin. Ada keindahan di dalam kesepian ini, berupa kepingan salju yang melayang ke sana kemari. Cuaca sedang dingin; untungnya dia memakai berlapis-lapis pakaian ditambah sebuah mantel di luar. Bulan sabit menggantung di langit. Cahaya bulan menerangi lantai dengan warna putih pucat. Selama beberapa hari terkurung di dalam rumah, dia hanya mencium aroma obat dan asap, yang membuatnya sakit kepala. Begitu dia melangkah keluar, dia merasa segar; penyakitnya seperti perlahan mulai sirna. Sinar bulan malam ini sangat indah. Seperti cahaya lilin yang menembus kain tipis, terlihat seperti sedang berkabut. Angin meniup pepohonan, membuat bunyi gemerisik. Chu Qiao berjalan perlahan. Dia berdiri di bawah jendela ruang belajar Yan Xun dan menatap ke kejauhan. Yan Xun baru saja kembali dari kamp militer. Dia belum tidur karena ruangannya masih terang, dan menampilkan bayangannya. Ada orang lain di dalam ruangan itu. Tampaknya mereka sedang berdiskusi panjang lebar, tetapi Chu Qiao tidak bisa mendengarnya karena suara angin yang kencang.     

Tiba-tiba gadis itu merasa hatinya damai. Rasanya seperti bangun di pagi hari dan membuka jendela lalu melihat lingkungan yang bersih di luar. Sinar matahari menghangatkan wajahnya. Di langit yang biru, elang putih terbang ke sana kemari, merentangkan sayap mereka. Ada secangkir teh hangat di meja, dan uap air naik dari atas cangkir, melayang seperti seekor naga.     

Dia sudah lama tidak bisa memastikan perasaannya kepada Yan Xun. Awalnya, ketika dia datang ke masa ini, dia melihat ketidakadilan dunia ini dari sudut pandang zaman modern. Setelah itu, dia terseret ke dalam dunia ini, merasakan berbagai macam emosi seperti kesedihan, kemarahan, kebencian, rasa bersyukur dan rasa berterima kasih …. Dia sudah tidak bisa lagi mempertahankan sudut pandang yang netral dan tidak melibatkan dirinya dalam hal duniawi. Mengenai Yan Xun, pada awalnya dia membenci pria tersebut. Perasaan itu perlahan berubah menjadi rasa terima kasih, rasa iba, dan menjadi ketergantungan terhadap satu sama lain. Saat mereka tumbuh, perasaan mereka terhadap satu sama lain berubah. Hal-hal yang sebelumnya tidak bisa mereka katakan kepada satu sama lain mulai muncul secara tidak sadar, menciptakan sebuah ikatan yang baru dan semakin kuat di antara mereka. Setelah melalui masa sulit, pertempuran berdarah, dan situasi hidup dan mati, ikatan mereka sudah menjadi semakin rumit. Seperti sebuah pohon raksasa yang memiliki akar yang stabil, tetapi saat mendongak, dedaunan yang rimbun begitu tebal dan dia tidak bisa melihat melalui semua itu. Dia memang selalu pendiam dan keras kepala seperti ini. Hal ini tidak pernah berubah.     

Pintu-pintu ruang belajar itu terbuka. Seseorang berjalan keluar dari pintu tersebut. AhJing dengan cepat menyadari Chu Qiao, yang sedang berdiri di bawah pohon palem. Dia berteriak, dan mengejutkan Yan Xun yang langsung bergegas keluar dari dalam pintu. Saat melihat gadis itu, Yan Xun langsung berseru, "Mengapa kamu berdiri sendirian di sana? Apa kamu tidak tahu kalau kamu sedang sakit?"     

Chu Qiao tersenyum, membiarkan Yan Xun menggenggam tangannya. Pria itu melihatnya dengan tatapan yang marah, sambil menggenggam tangannya dengan erat. "Di sini dingin. Sudah berapa lama kamu di sini?"     

"Baru sebentar."     

Saat mereka memasuki ruangan, sebuah aroma harum menyambut mereka. Chu Qiao menghirupnya dan bertanya, "Aroma harum apa ini?"     

Saat Yan Xun mendengar ucapan gadis itu, wajahnya langsung berubah. Dia segera mendorong Chu Qiao keluar, dan mengambil teko teh lalu menyiramkannya ke tempat dupa. Asap putih keluar dari tempat dupa itu saat dia dengan kikuk membuka jendela.     

Chu Qiao merengut dan bertanya, "Yan Xun, apa yang kamu lakukan?"     

Yan Xun mengibaskan tangannya dan berjalan keluar. Dengan suara rendah, dia berkata, "Kita tidak bisa berada di sini lagi. Ayo pergi." Setelah selesai berbicara, dia menarik Chu Qiao ke dalam kamarnya.     

Ruangan Yan Xun tidak berasap, membuat Chu Qiao merasa segar. Gadis itu masih bingung saat dia melihat seorang pelayan, Lan Xiang, memberikan handuk kepada Yan Xun untuk menyeka wajahnya. Chu Qiao bertanya, "Yan Xun, ada apa dengan ruang belajar tadi?"     

"Itu adalah pewangi yang baru dikirimkan. Aku menyalakan setengah potong. Ia mengandung jebat[1]."     

"Jebat?" Chu Qiao tidak terlalu paham mengenai tanaman. Sambil merengut, dia bertanya, "Ada masalah apa dengan jebat?"     

Pelayan itu tertawa dan berkata, "Nona, perempuan tidak boleh menghirup aroma jebat. Itu bisa mencegah kehamilan. Tentu saja, Yang Mulia akan menjadi gugup."     

Saat Lan Xiang selesai berbicara, Chu Qiao tersipu malu. Para pelayan lain ikut tertawa. Yan Xun tidak marah. Dia berpura-pura tidak peduli, tetapi diam-diam dia memperhatikan ekspresi Chu Qiao dari sudut matanya.     

Chu Qiao tertegun. Bagaimanapun dia masih seorang wanita. Dia mulai tersipu, wajahnya menjadi merah seperti kelopak bunga apel liar. Cahaya lilin menyinari gaunnya yang berwarna biru muda, membuatnya terlihat seperti air mengalir.     

Suara tawa yang rendah terdengar di dekat telinganya. Napas pria itu hangat, seperti air laut. "AhChu, malam ini sangat indah."     

Chu Qiao mendongak dengan riang. Ruangan ini besar. Karpet yang halus diletakkan di lantai. Lapisan tirai sutra memisahkan bagian-bagian di dalam kamar itu, memberinya nuansa yang megah. Kasurnya disulam dengan sutra ungu, dan dikelilingi oleh lis hijau. Selimutnya terlihat begitu hangat sampai-sampai orang bisa merasakan kehangatannya bahkan sebelum menutupi diri mereka dengan selimut itu. Yan Xun mengulurkan tangannya agar para pelayan bisa membantunya mengganti pakaiannya. Chu Qiao sedikit terkejut dan berbalik badan. Yan Xun tertawa sementara wajah gadis itu semakin memerah.     

Kalau menjumlahkan usianya dari kedua kehidupan yang sudah dia jalani, Chu Qiao sudah tidak muda lagi. Dia sudah melewati cukup banyak kejadian yang serupa. Selama bertahun-tahun bersama dengan Yan Xun, mereka tidak benar-benar mengikuti tradisi dengan ketat. Namun, hari ini, gadis itu benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan.     

Para pelayan meninggalkan kamar tersebut. Lapisan tirai ditutup. Napas hangat Yan Xun mendekatinya dari belakang. Dengan suara serak, pria itu berkata sambil tertawa, "AhChu-ku sudah tumbuh besar. Dia sudah bisa merasa malu."     

Kepandaian berbicara gadis itu tiba-tiba meninggalkan dirinya. Yan Xun mengulurkan tangannya dari belakang dan melingkarkannya di perut Chu Qiao. Bibirnya menekan lembut di telinga gadis itu. Pria itu mendesah perlahan dan berkata, "Aku tidak melihatmu seharian."     

Chu Qiao agak takut. Pada saat itu, dia tidak tahu harus menjawab apa. Dengan panik, dia berkata, "Apakah perang di timur akan segera dimulai? Bagaimana persiapanmu?"     

"Hah …." Yan Xun mendesah tak berdaya. "AhChu, apakah kamu harus merusak suasana seperti itu? Kamu tidak mengerti maksudku?"     

Pasir di pot penghitung waktu perlahan mengalir turun butir demi butir, sesekali membuat suara. Angin di luar berembus perlahan. Sesekali, salju yang sudah menumpuk di atap jatuh ke tanah, membuat kepingan salju beterbangan di udara. Yan Xun memeluknya dengan diam, aroma tubuh pria itu melayang di udara. Dengan suara yang hangat dan menenangkan, ia bertanya, "Apakah kamu masih batuk hari ini?"     

Chu Qiao menggeleng kepala. "Sudah jauh lebih baik."     

"Baguslah. Apakah kamu minum obat dengan rutin?"     

"Iya, obatnya pahit sekali. Sulit untuk ditelan."     

Yan Xun menjawab, "Tentu saja. Obat apa yang tidak pahit? Apakah kamu diam-diam membuangnya?"     

"Demi hatiku." Chu Qiao mengangkat tiga jari dan berkata, "Aku bahkan menelan sisa ampasnya."     

"Ada apa?" Yan Xun mengangkat alisnya. "Apakah di sini pengap?"     

"Aku khawatir. Perang akan segera meletus di timur. Sedangkan aku sakit terus. Bagaimana aku bisa membantumu?"     

Sebuah perasaan hangat muncul di dalam hati Yan Xun. Bibirnya menyentuh leher Chu Qiao. Dengan lembut, pria itu berkata, "Asalkan kamu cepat sembuh, kamu sudah membantuku."     

Yan Xun memakai pakaian yang tipis. Chu Qiao hampir bisa merasakan lekukan otot tubuh pria tersebut. Gadis itu bersandar di pelukan Yan Xun, sambil memiringkan kepalanya. Tubuh gadis itu perlahan mulai menjadi hangat. Dia berbisik, "Aku berharap aku bisa lebih berguna."     

"Kamu sudah sangat berguna," Yan Xun menjawab dengan hangat. "Bertahun-tahun ini, kamu mengikuti aku dengan sepenuh hati. Kamu tidak memikirkan dirimu sendiri. Saat ini, Yan Bei telah stabil. Kamu harus membuat rencana untuk dirimu sendiri."     

"Untuk diriku sendiri?" Chu Qiao penasaran. Ini memang sebuah pertanyaan yang baru. Di dalam hatinya, Chu Qiao tahu kalau dia tidak sekuat apa yang dia tampilkan di luar. Dia telah terbiasa bergantung kepada orang lain, terbiasa mengikuti perintah, dan terbiasa untuk mengejar satu sasaran. Saat masih di masa modern, dia seperti itu. Sejak dia mengikuti Yan Xun, dia tetap seperti itu. Gadis ini tidak tahu bagaimana cara membuat rencana untuk dirinya sendiri. Untuk dirinya sendiri? Untuk dirinya sendiri? Apa yang bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri?     

"Iya." Suara Yan Xun rendah. Sambil tertawa, dia melanjutkan, "Ketika seorang gadis tumbuh dewasa, dia harus membuat rencana untuk dirinya sendiri. Contohnya, mencari pria yang baik untuk dinikahi, membesarkan anak dan menjalani hidupnya dengan bahagia dan damai selamanya …."     

Chu Qiao sedikit mengoceh dan menjawab, "Di mana aku bisa mencari pria yang baik di dunia yang kacau ini?"     

"Kamu benar," Yan Xun berkata sambil tertawa. "Kita bisa mengenal seseorang, namun tidak tahu kepribadiannya. Butuh waktu yang lama untuk mengenal seseorang sepenuhnya. Kalau kamu salah mengambil keputusan, bukankah kamu akan menunda kebahagiaanmu?"     

Chu Qiao berbalik dan menjawab sambil tertawa, "Kalau begitu, menurut kamu apa yang harus aku lakukan?"     

"Aku harus mengalah kalau begitu." Yan Xun terkekeh-kekeh. Matanya menyipit, menjadi tipis dan panjang. Bibirnya sedikit tersenyum.     

Chu Qiao melihat pria itu dari sudut matanya. "Tampaknya kamu sangat terpaksa untuk mengalah!"     

"Tidak juga." Suara Yan Xun menggema dengan hangat di dalam ruangan. "Tetapi, tetap saja aku sedikit rugi." Saat dia melihat wajah gadis itu mulai berubah, Yan Xun memeluknya dengan erat sambil tertawa. "Bangsawan lain memiliki banyak istri dan selir, tetapi aku harus setia kepada satu. Bukankah aku yang dirugikan?"     

Chu Qiao mencibir dan menjawab, "Silakan cari selir. Tidak ada yang menghalangi kamu."     

Yan Xun memeluknya erat. Sambil mendekat ke telinga gadis itu, dia berkata, "Aku tidak punya tenaga untuk itu, dan aku juga tidak ingin membuat kamu menderita."     

Lilin merah bersinar terang di ruangan itu, dan menerangi seluruh ruangan. Chu Qiao merasa seluruh tubuhnya lemas. Yan Xun menambahkan lagi dengan suara yang hangat, "AhChu, menikahlah denganku."     

Tubuh gadis itu terasa hangat. Air mata mulai menggenang di matanya. Perjalanan ini sangat berat. Saat memikirkan kejadian di lapangan berburu kekaisaran delapan tahun lalu, dia tiba-tiba menyadari kalau waktu sudah berlalu begitu lama.     

[1] Cairan kental yang harum baunya; kesturi; dedes     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.