Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 123



Bab 123

0"Paman! Ada tulisan di sini!"     

Zhuge Yue berlari ke sisi api unggun, melihat beberapa kata yang diukir di tanah. Goresannya penuh tenaga, menunjukkan kalau orang yang menulis kata-kata itu menyimpan beragam emosi yang rumit.     

Aku pergi, tidak perlu mencariku. Aku tidak akan kembali untuk membalas dendam. Jaga Mo Er baik-baik.     

Di bawah kata-kata itu, ada satu baris kata-kata yang digoreskan dengan terburu-buru.     

Terima kasih, Zhuge Yue.     

Berterima kasih padaku? Untuk apa? Untuk tidak membunuhmu? Untuk semua bantuan selama perjalanan? Atau untuk merawat anak ini?     

Zhuge Yue tiba-tiba berteriak marah, lalu menendang tumpukan kayu bakar. Mo Er terkejut, dan langsung mundur ke samping dengan ketakutan, tidak berani mendekati pria itu.     

Zhuge Yue mengambil langkah besar, ingin bergegas keluar dari gua itu.     

"Paman!" anak itu, takut dirinya akan ditinggalkan, memanggilnya, "Kamu mau ke mana?"     

Benar, dia mau ke mana? Mengejar gadis itu? Apa dia berhak melakukan itu?     

Zhuge Yue tiba-tiba tertawa lalu melemparkan benda-benda yang dia pegang di tangannya. Dia berdiri di dalam gua yang kosong, mendongak, menarik napas dalam-dalam, dan bergumam kepada dirinya sendiri, "Zhuge Yue, dasar kamu bodoh!"     

Hujan di luar sangat deras, cukup untuk menyebabkan banjir di sungai-sungai. Kuda Chu Qiao berpacu di tengah hujan yang deras itu. Pikiran gadis itu kosong. Semua kejadian mulai terhubung dalam benaknya. Dia memarahi dirinya sendiri karena begitu bodoh, sampai harus menyaksikan semua yang terjadi untuk mengerti segalanya. Darah gadis itu mendidih. Pandangan di matanya sangat jernih, dan napasnya menggebu-gebu. Kuda itu terus melaju di sepanjang pegunungan.     

Langit sudah gelap dan dingin. Setelah cukup lama, lembah itu muncul kembali dalam pandangan Chu Qiao. Dia merasa lemas, duduk di atas punggung kuda. Menatap ke lembah yang kini sudah kosong itu, dia mulai menenangkan diri. Gadis itu melompat turun dari punggung kudanya, melangkah melalui air berlumpur selangkah demi selangkah. Seperti yang dia duga, Chu Qiao melihat jasad mungil Xing Xing di tempat semula dia menemukannya.     

Empat jam kemudian, sebuah makam baru telah dibuat di tempat itu. Di bawah makam itu, terbaring tiga jiwa tak berdosa yang telah gugur. Chu Qiao berdiri di depan makam itu, menancapkan pedangnya ke tanah di sampingnya. Dia berlutut di atas tanah, tidak memedulikan tanahnya yang kotor.     

"Xing Xing, aku minta maaf," Chu Qiao bergumam pelan dengan suara yang sedih. "Kakak tidak bisa membalaskan kematianmu lagi." Dia bersujud di tanah dengan keras, membuat air berlumpur itu memercik ke sekitar.     

Gadis itu berlutut di tanah dengan diam. Banyak yang ingin dia katakan, namun semuanya akan terdengar sangat ironis. Dia mencengkeram jerami kering di tanah. Pandangannya penuh tekad, namun air mata mengalir turun di pipinya. Dia tidak tahu apakah dia sedih karena kematian anak itu atau karena hal lain.     

"Maafkan aku! Aku tidak bisa melakukannya!" Suaranya tersedak. Gadis itu berdiri, naik ke punggung kudanya, dan memacu cepat menuju ke arah Tang Jing.     

Hari masih sore, namun langit sudah gelap. Awan gelap melayang di langit, membuat perasaan menjadi sesak. Angin bertiup ke arah hutan, membuat suara gemerisik. Semuanya terpusat kepada bayangan yang menghilang di kejauhan, termasuk makam yang baru dibangun itu. Badai sangat lebat, membuat dedaunan jatuh ke tanah. Kapankah cuaca yang suram ini akan berakhir?     

Di waktu yang bersamaan, sekitar seratus enam puluh kilometer dari sana, gerbang kota Tang Jing terbuka. Sebuah kereta kuda yang megah meluncur keluar dengan cepat. Kusir kereta kuda itu berusia sekitar 18 atau 19 tahun. Dia terlihat murung, dan berkata kepada pria di dalam kereta kuda itu, "Yang Mulia, saya tidak bisa lebih cepat lagi. Kuda ini sudah hampir kehabisan napas!"     

"Cepat, cepat!" pria di dalam kereta mencaci, memperlihatkan wajahnya yang jahat. Dia memakai jubah merah, seperti pakaian untuk menikah. Pria itu melebarkan matanya dan memberi perintah, "Kalau aku masih tertangkap kali ini, aku akan memerintahkan agar kedua saudarimu dikirimkan ke istana untuk menjadi selir."     

Pemuda itu terkejut saat mendengar kata-kata ini. Dengan lonjakan tenaga, dia mencambuk bokong kudanya. Kuda itu meringkik panjang, lalu memacu lebih cepat lagi ke depan.     

Puncak Yu Ping, Danau Po Nan.     

Setelah badai, bunga-bunga teratai di permukaan telah tenggelam ke dasar danau, hanya menyisakan ranting-ranting hitam yang mengambang di permukaan. Sesekali ada burung yang hinggap di permukaan, membuat riak kecil. Angin dingin berembus di permukaan danau itu. Ada jembatan kayu panjang yang dibangun melintasi danau, dikencangkan dengan tali dan papan-papan kayu. Walaupun terlihat dirancang dengan tergesa-gesa, namun jembatan itu tampak alami, memberikan perasaan bagaikan dalam syair puisi.     

Angin bertiup sepoi-sepoi; bunga-bunga putih di tepi danau sedang bermekaran. Ikan-ikan berenang di dalam air, ekor mereka mengibas perlahan, penasaran dengan apa yang sedang terjadi di atas permukaan air. Langit berwarna biru, tanpa sedikitpun awan setelah badai. Matahari bersinar terang di angkasa, begitu terang hingga hampir membutakan. Hari sudah menjelang senja, tetapi pemandangan di sekitar sana masih terang.     

Jembatan kayu itu menuju ke sebuah paviliun yang dibangun di atas permukaan danau, tepat di tengah danau. Seorang pria yang berpakaian merah berdiri sendiri di tengah paviliun tersebut. Angin berembus, membuat lengan bajunya berkibar di udara bersama dengan rambutnya yang hitam dan panjang. Mawar-mawar besar disulam di atas pakaiannya, terlihat seperti mawar asli yang mekar di tengah angin.     

Wajah pria itu bagai lukisan. Hidungnya mancung, alisnya sedikit terpisah dan postur tubuhnya sangat terpelajar. Matanya mengamati orang-orang di luar paviliun, dengan pandangan yang tiga puluh persen terpelajar, tiga puluh persen ningrat, tiga puluh persen dingin, dan sepuluh persen dalam.     

"Menyingkir dari hadapanku, kalau tidak aku akan bunuh diri!" terdengar sebuah suara tajam, merusak suasana yang bagaikan lukisan itu. Pria berpakaian merah itu memegang pisau di lehernya, sambil gemetar ketakutan. Namun, dia tidak sanggup. Tangannya gemetar sangat lama, namun dia tidak berhasil mengangkat pisau itu.     

"Yang Mulia, kami tidak sedang peduli apakah anda hidup atau mati. Sang Paduka telah memerintahkan. Beliau ingin melihat anda baik hidup maupun mati. Kalau anda tidak pulang bersama kami, kami akan menghadap dewa di neraka," seorang pelayan muda berpakaian hijau mengoceh sambil bersandar di salah satu tiang di luar paviliun. Wajahnya terlihat kesal.     

Pria berpakaian merah itu berbalik dan berkata dengan kasar, "Baiklah, Lu Yun Xi. Sia-sia aku menjagamu selama ini. Kamu berani menyerang seseorang yang sedang kesulitan. Kalau aku sudah kembali ke ibu kota, aku akan menangkap saudari-saudarimu dan mengirim mereka ke istana."     

"Baik, Yang Mulia," Lu Yun Xi berkata dengan sedih. "Ketika aku dengan sial diberi tugas ini, saudari tertua aku membawa ketiga saudariku yang belum menikah ke Biara Nian An. Begitu anda memasuki Tang Jing dengan hidup-hidup, mereka akan menjadi biarawati. Pisau untuk mencukur rambut mereka sudah disiapkan."     

"Apa?" Pria itu terpaku, dengan tampang marah di wajahnya. "Mereka lebih memilih menjadi biarawati dibandingkan menghabiskan waktu bersamaku? Konyol sekali!" pria itu berteriak. Saat dia menyelesaikan kalimatnya, pria itu berbalik dan berkata kepada seorang pria berpakaian cokelat, "Tie You, apakah kamu juga mau menentang aku?"     

"Yang Mulia …." Pria besar itu berjongkok di atas jembatan kayu dengan lemas. Dia menjepit kepalanya dengan kedua tangan, hampir tertidur. Dengan nada buram, dia menjawab, "Saya tidak memiliki saudari."     

"Aku tahu itu!" kata pria itu dengan kasar. "Tetapi kamu memiliki seorang putri!"     

Tie You mendesah lagi, tatapannya tetap kosong. Tak berdaya, dia berkata, "Yang Mulia, putri saya baru berumur satu bulan kemarin. Bukankah masih terlalu cepat untuk mengancam saya?" Setelah menyelesaikan kalimatnya, Tie You menggeleng, lalu menambahkan, "Saya bahkan belum merayakan satu bulanan Nannan, dan anda sudah mau menangkap dia."     

"Baiklah, kurasa kalian semua sudah mau memberontak!" Pria itu mulai melihat sekeliling dengan putus asa. Dia melihat ke seorang pemuda tampan lainnya, dan merajuk, "Sun Di! Apakah kamu juga mau menentang aku?"     

Sun Di tersenyum licik dan menjawab, dengan tatapan cerah di matanya, "Yang Mulia, walaupun saya tidak memiliki saudari, ibu saya memberi saya empat orang selir. Saya menanti kesempatan untuk membawa mereka ke dalam istana untuk memuaskan anda. Itu akan menjadi kehormatan besar dalam hidup saya."     

"Yang Mulia," sebuah suara yang letih berbicara. Seorang pria yang berotot, berusia sekitar 17 atau 18 tahun, menguap dan berkata, "Apakah anda sudah selesai? Kalau kita turun dari gunung sekarang, kita akan bisa mencapai kota sebelum gerbang ditutup. Dan juga masih ada tempat di rumah bordil saat kita tiba di sana."     

"Rumah bordil apa?" pria itu menjawab dengan marah. "Aku beritahu kalian semua, kali ini aku benar-benar bertekad untuk melarikan diri."     

Semua orang melihat dia dengan tak berdaya. Ejekan di mata mereka sudah cukup untuk mengirim Kaisar Xia bersujud di hadapan kuburan Yan Shicheng dengan malu. Pesan yang tersirat sudah sangat jelas: Memangnya sebelum ini kapan anda tidak benar-benar bertekad?     

Tetapi, pria itu tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Dia merengut dan berkata, "Aku tidak akan tunduk pada ancaman hina dari Ayah!"     

Tie You mendesah. Sebagai seorang yang lebih tua, dia menganjurkan, "Yang Mulia, tuan putri dari Xia sudah memasuki kota. Utusan diplomatis dari berbagai daerah sudah tiba. Kalau Kaisar Xia sampai tahu bahwa anda melarikan diri, dia pasti sangat marah."     

"Betul sekali. Utamakan kepentingan bersama. Setidaknya, setelah anda menikahinya, anda bisa mengabaikannya saja."     

"Itu betul! Tahan saja sebentar. Lebih baik anda menurut. Yang Mulia, jangan berpikiran sempit."     

"Diam!" pria itu membentak, lalu melihat ke langit. "Aku sudah memiliki orang yang aku suka. Aku harus menyimpan tempat di dalam hatiku untuknya, menunggu kedatangannya."     

Keempat orang lainnya merengut dengan meremehkan. Dia memiliki orang yang dia suka? Kecuali Xia mau menurut dengan sukarela.     

Lu Yun Xi melihat ke arah matahari dan mendesah. "Yang Mulia, sudah semakin larut. Mari jangan membuang waktu lagi."     

Pria berpakaian merah itu melangkah mundur dengan waspada dan berkata, "Apa yang mau kamu lakukan? Aku beri tahu kalian, aku adalah orang yang pegang omongan. Jangan memaksa."     

Tie You menepuk tangan dua kali dan berdiri. Dia berjalan maju dengan malas dan berkata, "Ayo mulai bekerja. Begitu kita selesai, kita bisa menikmati makan malam lebih cepat."     

Sun Di mengeluarkan tali yang panjang, menggeleng dan berkata dengan tak berdaya, "Tampaknya kita hanya bisa melakukan ini."     

"Apa yang kalian semua lakukan? Jangan lupakan siapa yang menerima kalian semua. Lu Kecil, ketika kamu kehilangan uang di tempat judi, aku yang menebus kamu keluar! Baiklah, walau aku akui aku menjebakmu, tetapi aku tidak menyuruh siapa pun untuk memotong tanganmu!"     

"Dan kamu, Sun Di! Apakah kamu sudah lupa ketika ibumu tidak mengakuimu sebagai anak lagi? Kamu berutang banyak kepada rumah bordil! Semua wanita di seluruh kota meremehkanmu! Kalau bukan karena aku, kamu masih dikurung di ruang bawah tanah Gedung Yihong …. Walaupun alasan kamu sampai tidak diakui oleh ibumu adalah karena aku memaksamu untuk mengaku sebagai ayah dari anak Qiu Tao … tapi kamu juga diuntungkan! Qiu Tao adalah wanita yang cantik, dan sekarang dia adalah istrimu …."     

Teriakan kesakitan tiba-tiba menggema, menembus langit. Semua burung dan binatang dalam radius 30 kilometer kabur karena terkejut. Li Ce, sang Putra Mahkota kesayangan dari Tang, berteriak kesakitan di puncak Gunung Yu Ping. "Kumpulan orang tidak tahu terima kasih! Bajingan! Aku sudah memperlakukan kalian dengan begitu baik, tetapi kalian menyerang aku di saat aku mendapat masalah! Tunggu dan lihat saja nanti! Cepat atau lambat, aku akan menangkap semua wanita di dalam keluarga kalian!"     

Dengan beberapa gerakan, Li Ce sudah ditundukkan dan diikat. Saat semua orang menghela napas lega, seekor kuda berjalan mengikuti jalan setapak ke atas gunung. Kuda itu terus berjalan namun berhenti saat melihat mereka. Kuda itu menatap aneh pada kumpulan orang itu, tampak penasaran tentang mereka. Hal yang lebih penting adalah ada orang di punggung kuda itu. Semua orang terkejut dan menatap orang itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.