Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 170



Bab 170

0Setelah menempuh perjalanan selama lima hari dan lima malam, dia sangat lelah, dan mungkin kini akhirnya dia bisa beristirahat.     

Tiba-tiba, semua rasa frustrasi gadis itu menghilang. Bagaimana satu kalimat bisa menjelaskan kalau sesuatu itu benar atau salah? Darah merah yang mengalir di atas Panggung Jiu You masih membekas di benak mereka, dan dia telah menemani pria itu melalui semua bahaya yang mengintai di dalam istana. Kebencian dan permusuhan tersebut. "Terus hidup! Bunuh mereka semua!" Sumpah pria itu masih menggema di telinga Chu Qiao. Suara tawa yang mengejek, berbagai rencana untuk menyerang mereka, dan berbagai penghinaan yang telah ditanamkan di dalam hati mereka sejak lama bagaikan benih. Bagi pria itu, keinginan untuk menghancurkan gerbang Istana Sheng Jin dan untuk merobohkan tembok Kota Zhen Huang lebih kuat dari siapa pun. Tetapi, hanya karena kata-kata gadis ini, dia memutar balik. Bagaimana mungkin gadis ini tidak mengerti perasaan pria itu?     

Keyakinan yang selama ini membuatnya bertahan telah menciptakan pergumulan di dalam hatinya. Ada kebencian, penyesalan, kegembiraan, kesedihan. Ada suka dan duka, dan kini dia terjepit di antara dua perasaan yang saling bertentangan. Hingga kini, ketika pria itu menunjukkan kekhawatirannya pada dirinya, barulah Chu Qiao menyadari konflik di dalam hatinya.     

Perang telah menelan segalanya—petang hari, kuda perang, persenjataan, raungan para pejuang, jeritan warga sipil, dan semua keyakinan dan moral. Tetapi pada akhirnya, perang tidak bisa merenggut perasaan mereka pada satu sama lain.     

Dia tidak mendapatkan kepercayaan dari pria itu walaupun dia sudah bersumpah setia kepada pria tersebut, dan sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertahankan kota. Saat melakukan itu, banyak pejuang yang meninggal, dan darah mereka mengalir ke sungai, dan tulang mereka tersebar di seluruh daratan. Sebagai komandan mereka, seharusnya gadis ini menjadi sasaran kebencian dan amarah, tetapi sebagai seorang wanita, dia justru menerima begitu banyak kasih sayang. Di antara wilayah kekuasaan dan gadis ini, di antara ambisi pria itu dan perasaan gadis ini, pria itu telah memberikan jawabannya tanpa ragu-ragu. Bagaimana mungkin Chu Qiao masih berhak untuk marah?     

Ketika Yan Xun terbangun, dia melihat Chu Qiao sedang tidur di sampingnya, tubuh mungil gadis itu meringkuk seperti bola dan tangannya menggenggam erat tangan Yan Xun. Di luar jendela masih gelap. Setelah mengenakan jubah longgar, Yan Xun berdiri di depan jendela dan memandang keluar ke arah pegunungan bersalju. Inilah keadaan tanah Yan Bei. Seluruh wilayahnya kekurangan sumber daya dan sangat dingin. Tampaknya tempat ini selalu menghadapi masalah yang sama sejak dulu. Bahkan selama pemerintahan ayahnya yang bijaksana, tempat ini juga tetap seperti ini. Lantas mengapa dirinya selalu menganggap kalau Yan Bei adalah tempat yang indah dengan bunga-bunga yang selalu bermekaran?     

Mungkin, memang seperti yang dikatakan Nyonya Yu. Dirinya telah berubah, dan dia tumbuh besar dan melihat banyak hal di dunia ini. Bersama dengan itu, ambisinya pun berkembang. Selain membalas dendam, ada beberapa keyakinan yang sudah mengakar di dalam hatinya, dan dia belum menyadari masalah itu hingga sekarang. Pengalamannya selama bertahun-tahun membuatnya menyadari pentingnya kekuatan dan kekuasaan. Tanpa hal itu, tidak ada hal yang bisa dicapai. Ibarat burung yang sayapnya dipotong tidak akan bisa terbang. Tetapi sekarang, tiba-tiba dia menjadi takut dengan pikiran seperti itu. Tindakannya hampir menyebabkan kematian Chu Qiao. Kapan pun dia mengingat hal ini, dia merinding.     

Menatap ke jendela yang hitam pekat, sekali lagi dia diingatkan terhadap padang rumput hijau di tanah di sisi timur dari Chi Shui. Dia masih mengingat jelas bagaimana dia memimpin pasukannya menuju Jalur Yan Ming, hatinya telah dipenuhi ambisi dan darahnya mendidih oleh gairah. Sayang sekali dia tidak berhasil menaklukkan ibu kota pada akhirnya. Bagaimanapun, Kekaisaran Xia akan selalu berada di sana untuk dia taklukkan, tetapi jika dia terlambat pulang bahkan satu hari saja, apa yang akan terjadi kepada AhChu? Yan Xun menghela napas lega. Untungnya, semua baik-baik saja.     

Saat merasakan tangannya dingin, Chu Qiao terbangun. Melihat sosok Yan Xun yang berdiri di depan jendela, gadis itu merasa bayangan pria itu terlihat begitu jauh.     

"Yan Xun?" dia memanggil, suaranya terdengar masih mengantuk.     

Pria itu berbalik dan bertanya, "Kamu terbangun?"     

"Iya. Apa yang sedang kamu pikirkan?"     

Yan Xun berjalan mendekat dan memeluknya, lalu perlahan ia berkata, "Bukan apa-apa."     

Chu Qiao bersandar di dada pria itu. Melalui piyama tipis Yan Xun, dia bisa mendengarkan detak jantung pria itu yang kuat. Rasanya seperti, pada saat ini, dia baru yakin kalau pria ini telah kembali.     

"Yan Xun, apakah kamu menyesal?"     

Sambil menatap gadis itu dengan tegas, dia memeluknya lebih erat. "Tidak."     

"Apakah kelak kamu akan menyesalinya?"     

Yan Xun terdiam. Melihat itu, hati Chu Qiao menciut dan dia menjadi tegang. Setelah cukup lama, akhirnya dia mendengar pria itu menjawab, "Aku menyesal karena aku terlambat kembali."     

Tiba-tiba Chu Qiao merasa pandangannya menjadi kabur. Sambil membenamkan wajahnya ke dalam dada Yan Xun, Chu Qiao menutup matanya dan menggigit bibirnya. Apa lagi yang bisa dia harapkan? Dia tahu kalau dirinya tidak bisa terlalu egois. Bahkan jika dia terus menemani Yan Xun setiap saat, berapa banyak masalah pria itu yang bisa dia bantu? Berapa banyak kesedihan pria itu saat kehilangan seluruh keluarganya yang bisa dia mengerti? Asalkan pria itu masih mengingat dirinya, memikirkan dirinya, dan memperhatikan dirinya, itu sudah cukup.     

"Yan Xun, kamu tidak boleh menyembunyikan apa pun dariku lagi."     

"Iya. Tentu saja," jawab Yan Xun.     

Chu Qiao kembali tertidur lelap. Mimpi itu begitu hangat dan manis. Seseorang menggenggam erat tangannya seolah-olah selamanya tidak akan pernah melepaskannya. Masih mengantuk, dia berusaha mengingat di mana dia pernah melihat mimpi ini sebelumnya. Betul, pada saat di Kekaisaran Tang, tempat indah yang penuh sinar matahari dan kehangatan. Tetapi, Chu Qiao merasa tempat itu tidak sehangat Yan Bei. Berdiri di tempat ini, hatinya dipenuhi kehangatan dan kelembutan walaupun ada begitu banyak gunung dan salju yang tak pernah berhenti.     

Salju akhirnya berhenti dan cahaya matahari yang pucat bersinar melalui ranting pohon yang gundul. Setelah Yan Xun pulang, seakan-akan cuaca pun mulai membaik. Dengan langit yang biru dan matahari yang hangat, padang bersalju yang luas ini terlihat begitu berwarna-warni.     

Beberapa pertempuran terakhir bukan saja membuat Yan Bei porak poranda, tetapi juga memaksa Chu Qiao melampaui batasan tubuhnya. Begitu dia bersantai, dia langsung sakit parah. Setelah masuk angin yang cukup parah, dia demam tinggi, dan terus menerus batuk di malam hari. Walau sudah minum begitu banyak obat, penyakitnya tidak membaik. Para tabib datang satu per satu seperti komedi putar. Walaupun pintu kamarnya selalu tertutup, dia masih bisa mendengar Yan Xun memarahi para tabib itu dengan galak. Namun, setiap kali mereka bertemu, pria itu sangat tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sesekali, Yan Xun akan menenangkannya, "Jangan khawatir, ini hanya masuk angin. Kamu akan membaik setelah beristirahat."     

Sepertinya dia tidak pernah sakit separah ini untuk waktu yang lama. Dalam ingatannya, satu-satunya waktu lain adalah ketika mereka berdua masih sangat muda. Yan Xun jatuh sakit, dan Chu Qiao pergi mencuri obat untuknya. Setelah tertangkap, gadis itu dihukum dengan cukup parah. Sayangnya, obat yang susah payah dia dapatkan tidak berguna dalam menyembuhkan Yan Xun. Tidak hanya itu, tetapi demi menyelamatkan gadis itu dari hukuman, Yan Xun terkena cuaca dingin lagi, dan mulai demam tinggi di tengah malam, sampai-sampai dia mulai mengigau. Tidak bisa menuangkan air dingin langsung padanya, karena itu pasti membuat keadaannya semakin buruk, jadi gadis itu menggunakan tubuhnya sendiri. Dia berlari ke luar di tengah cuaca dingin, lalu membiarkan tubuhnya membeku sebelum berlari kembali dan memeluk pria itu dengan tubuhnya yang membeku. Setelah melakukan itu sepanjang malam, Yan Xun akhirnya membaik. Tetapi, justru Chu Qiao yang sakit parah. Mulai sejak itu, gadis ini tidak tahan dengan cuaca dingin. Walaupun dia berada di depan kobaran api, tangan dan kakinya masih terasa dingin. Tetapi, tekanan hidup dan perjuangan untuk bertahan hidup, bersamaan dengan pertarungan dan peperangan tiada akhir yang terus memacunya untuk maju. Memaksa dirinya untuk menahan rasa sakit, gadis ini selalu bisa menahan rasa tidak nyamannya hanya dengan mengandalkan tekadnya saja. Jadi tidak mengherankan kalau ketika dia akhirnya jatuh sakit, semua masalah itu muncul bersamaan.     

Mengingat tahun-tahun yang penuh kewaspadaan dan menyakitkan itu, rasanya sudah jauh sekali dari mereka. Rasa sakit dan kebencian saat itu begitu nyata sampai mereka bersumpah kalau suatu hari mereka akan keluar dari keadaan yang begitu putus asa dan memastikan semua orang yang pernah mengganggu mereka akan membayarnya. Tetapi, dia merindukan tahun-tahun yang sederhana itu, di mana rasanya seperti di dalam dunia ini hanya ada mereka berdua saja. Dia merindukan hari-hari di mana mereka tidak memiliki orang lain yang bisa diandalkan selain satu sama lain.     

Ketika Nyonya Yu datang, hari sudah siang. Cahaya bersinar menembus jendela kertas, membuat bayangan bercak-bercak di lantai. Nyonya Yu terlihat seperti biasa, dengan alisnya yang tipis dan matanya yang gelap, leher yang kurus dan dagu yang tajam. Wajahnya sedikit pucat seperti biasa. Dengan memakai baju putih, dia masuk dengan perlahan dan hanya bersandar di pintu. Tanpa membuat suara apa pun, dia hanya mengamati.     

Saat tiba-tiba melihat wanita itu, Chu Qiao agak terkejut. Sambil berpegangan pada ujung kasur, dia duduk. Dengan suara serak, dia bertanya, "Nyonya Yu, kapan anda datang? Mengapa anda tidak memberi tahu saya?"     

Nyonya Yu berjalan mendekat dan tersenyum. "Saya baru sampai. Saya hanya ingin mengunjungi kamu."     

"Silakan duduk."     

Nyonya Yu duduk di seberangnya, dan dia mengamati Chu Qiao dengan saksama untuk sejenak lalu mengernyit dan bertanya, "Mengapa kamu tiba-tiba sakit begitu parah?" Sambil mengambil sebuah mantel, Nyonya Yu memakaikannya kepada Chu Qiao.     

Chu Qiao bersandar di sebuah bantal, dengan kulit yang sangat pucat, dia tersenyum. "Saya rasa saya terlalu lama terkena cuaca dingin."     

Nyonya Yu menatapnya, dan mendesah. Dengan lembut, wanita itu berkata, "Kamu sejak dulu memang anak yang keras kepala. Di usia yang begitu muda, kamu sudah menderita penyakit kronis?"     

Nyonya Yu baru berusia 26 atau 27 tahun, dan itu jelas bukan usia yang tua. Namun, sikapnya selalu membuat orang merasakan kedewasaan, dan rasanya seperti Chu Qiao memang hanya anak-anak baginya.     

"Tidak apa-apa. Saya hanya perlu beristirahat."     

"Itu benar. Penyakit datang seperti tsunami, tetapi pergi seperti sungai. Kamu harus beristirahat, dan jangan memikirkan apa pun. Terlalu banyak pikiran juga bisa merusak kesehatanmu."     

Chu Qiao mengangguk. Tiba-tiba, dia teringat akan sesuatu. "Nyonya, apakah anda sudah bertemu para petugas dari Garnisun Utusan Barat Daya?"     

Pandangan Nyonya Yu sedikit berubah, lalu dia menjawab dengan tenang, "Bukankah saya baru saja berkata kamu jangan berpikir terlalu banyak? Apa kamu sudah lupa?"     

Chu Qiao menggeleng dan menjawab, "Saya hanya sedikit khawatir."     

"Kalau Yang Mulia bersedia untuk mundur dari Jalur Yan Ming untuk kamu, apakah menurut kamu beliau tidak bisa memaafkan pasukan seperti itu?"     

Karena hal yang dia pikirkan tiba-tiba terbongkar semua, Chu Qiao merasa canggung. Setelah diam cukup lama, dia perlahan menjawab, "Saya hanya khawatir mereka akan bersikap kasar dan sembrono, dan kalau dia sampai marah karena sikap kasar mereka …."     

Nyonya Yu tersenyum dan menenangkannya, "Tenang saja. Semua orang tahu batasan mereka masing-masing."     

Chu Qiao merasa lega. Sambil menengadah, dia bertanya, "Apakah anda akan tinggal di Bei Shuo?"     

Cahaya matahari yang berlimpah menyinari mata mereka melalui jendela-jendela. Dengan lembut, Nyonya Yu menjawab, "Perang akan segera mulai di Timur. Saya tidak bisa tinggal lama di sini. Mungkin dalam beberapa hari, saya akan menuju Jalur Yan Ming."     

Chu Qiao berubah menjadi serius, dan bertanya, "Kekaisaran Xia akan membalas dengan begitu cepat?"     

"Yang Mulia sudah menduduki seluruh wilayah barat laut. Bagaimana mungkin Kekaisaran Xia menerima kekalahan begitu saja? Saya dengar mereka sudah mulai mengumpulkan pasukan."     

"Begitu cepat? Siapa yang akan memimpin? Zhao Che?"     

Nyonya Yu tersenyum. "Selain dia, tidak ada calon lain lagi. Meng Tian sudah tua, dan pria di Istana Sheng Jin itu pasti tidak memercayai orang lain untuk memimpin. Dia mungkin masih sedikit keberatan untuk mengirim putranya itu keluar."     

Chu Qiao mengangguk. Saat ini, ruangan itu terasa hangat, dan aroma dupa mulai membuat Chu Qiao mengantuk. Dia memperingatkan Nyonya Yu, "Nyonya, anda harus berhati-hati. Zhao Che berbeda dari Zhao Qi, dan dia tidak akan mudah untuk dihadapi."     

"Tidak perlu khawatir. Daoya akan menemani saya." Nyonya Yu tersenyum. Matanya terlihat ceria dan ekspresinya terlihat bebas dari kekhawatiran.     

Di dalam hatinya, Chu Qiao mengerti perasaan Nyonya Yu, tetapi dia tidak berkata banyak. "Kalau Tuan Wu juga akan pergi, itu akan jauh lebih baik."     

"Sebaiknya kamu beristirahat lagi. Saya masih ada urusan lain lagi. Saya permisi dulu."     

Chu Qiao mengangguk, lalu berterima kasih kepadanya, "Nyonya, mengenai hal sebelumnya, terima kasih banyak."     

Langkah kaki Nyonya Yu sedikit membeku. Dia berbalik badan, pandangannya tenang walau pun diwarnai dengan sedikit keceriaan. "AhChu, kamu adalah orang yang pintar."     

Karena penyakitnya, Chu Qiao hanya mengangguk, dan mengantarnya. "Nyonya, sampai jumpa lagi."     

Setelah Nyonya Yu pergi, para pelayan masuk untuk mengantarkan obat Chu Qiao. Gadis itu mengangkat mangkuk tersebut, lalu dia menenggak obat yang pahit itu dalam satu tegukan.     

Sebenarnya, tidak terlalu sulit untuk ditebak. Dengan kecerdasan Yan Xun, bagaimana mungkin dia tidak memiliki jalan keluar untuk setiap masalah yang dia perkirakan? Satu-satunya alasan dia meninggalkan Nyonya Yu adalah untuk memastikan Chu Qiao akan menjauh dari medan perang. Tetapi, di Bei Shuo, Nyonya Yu tidak berusaha untuk membawa Chu Qiao ke Kota Lan. Selanjutnya, dia berulang kali membiarkan Chu Qiao bertindak semaunya. Pada akhirnya, dia membeberkan rencana Yan Xun untuk menyerang Kekaisaran Xia. Semua hal ini membuat niat sebenarnya terlihat jelas. Yan Xun telah memercayainya dan memberinya tugas ini. Tetapi sayang sekali, walaupun Zhong Yu sangat setia, ketika posisi Yan Bei dan Yan Xun bertentangan, kesetiaannya kepada Yan Xun akan kalah. Ini adalah hal yang sangat dimengerti baik oleh Yan Xun maupun dirinya sendiri. Karena itu, bahkan ketika Yan Bei menghadapi perang di dua sisi, di sisi Timur dan Jalur Mei Lin, Yan Xun tetap mengirim Wu Daoya bersama Nyonya Yu. Dengan demikian, wanita itu tidak akan memegang seluruh kekuasaan itu sendiri. Nyonya Yu mungkin juga mengerti hal ini, hanya saja dia tidak membahasnya. Mungkin dia memang tidak keberatan. Dibandingkan dengan kekuasaan dan wewenang, mungkin dia lebih bahagia bisa bersama dengan Tuan Wu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.