Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 168



Bab 168

0Chu Qiao berdiri tegak di menara pengawas saat dia memandangi Bei Shuo yang sedang bergembira. Melihat masih ada harapan untuk menang, semua orang bergegas ke tembok kota. Membawa katapel tempur yang sederhana namun kasar, mereka mempertahankan kota dengan keras kepala.     

Kumpulan panah hitam ditembakkan gelombang demi gelombang dan para prajurit musuh tumbang bagaikan rumput di bawah mesin pemotong rumput. Dengan memakai mantel putih, wajah Chu Qiao tidak berekspresi. Ribuan nyawa melayang setiap detik, dan hanya karena sebuah gerakan aba-aba darinya. Darah mengalir seperti sungai, dan di beberapa tempat, sudah mulai membentuk kubangan besar. Tiba-tiba, di medan perang ini, seolah-olah nyawa manusia sudah tidak lagi berharga, mereka hanya seperti semut, saat iblis peperangan membuka mulutnya dan menelan mereka.     

Chu Qiao perlahan mulai kehilangan perasaannya, dan tidak lagi merasa takut, atau jijik. Bahkan, dia sudah tidak lagi merasa lelah. Perang telah menumpulkan indranya, dan sekarang gadis itu hanya merasa kaku karena cuaca yang dingin.     

Pada akhirnya, perang tetap tidak memiliki belas kasihan. Dua hari kemudian, panah di dalam kota telah habis. Satu hari setelahnya, batu dan batang pohon juga habis. Pada saat ini, pasukan Xia telah mengorbankan sekitar tujuh puluh ribu nyawa. Di dalam medan perang yang gersang, mayat-mayat bersimbah darah membentuk karpet merah tua, dan banyak senjata dan panah berceceran. Para prajurit Bei Shuo sangat kelelahan, tetapi sebelum mereka sempat makan, kerumunan hitam itu sekali lagi mendekati mereka.     

Chu Qiao mendesah dengan muram. Walaupun mereka sudah melemparkan batu terakhir mereka, dan menembakkan semua anak panah, dan menimbulkan kerugian yang begitu besar di pihak musuh, tetapi musuh mereka dengan cepat bisa mengatur ulang pasukannya dan menyerbu lagi. Baik gadis ini maupun Zhao Yang tahu kalau terkadang perang itu hanyalah adu ketahanan. Siapa pun yang bisa bertahan lebih lama akan menjadi pemenang akhir. Menghadapi kekalahan sebesar itu, Zhao Yang berencana untuk mengerahkan semuanya untuk bangkit dari kekalahannya yang parah.     

"Nona, apa yang harus kita lakukan?" Seorang anak buah berlari masuk. Dengan mata penuh harapan, dia menatap gadis itu. Bagaimanapun, jenderal wanita ini selalu bisa mengeluarkan sebuah senjata rahasia untuk menyelamatkan mereka, jadi seluruh Pasukan Kedua sangat mendukungnya. Namun, Chu Qiao menggeleng dan menjawab dengan tenang, "Kita tidak memiliki cara lain lagi. Mari bertarung."     

Pertempuran jarak dekat akhirnya dimulai. Dengan lolongan yang mengerikan, bahkan bumi pun terasa bergetar. Formasi pasukan Xia seperti lautan tak bertepi yang terus menerpa tembok kota Bei Shuo ombak demi ombak. Perbedaan jumlah mereka memang sangat mengenaskan. Selama pertempuran berlangsung, tembok kota sudah berulang kali jatuh ke tangan lawan, dan setiap kali, dengan serangan balik yang berdarah, mereka merebut kembali kendali atas tembok tersebut. Garnisun Utusan Barat Daya memperlihatkan kemampuan bertarung yang sangat hebat. Dengan hanya 3.000 prajurit, mereka menjaga setengah dari tembok. Setengah yang lainnya dijaga oleh lebih dari 60.000 prajurit, tetapi Garnisun Utusan Barat Daya sering kali masih harus membantu mereka mengusir musuh.     

Dua hari kemudian, Zhao Yang mengirim orang untuk menggali parit di dekat sisi Timur tembok. Hal ini membuat sebagian kecil dari tembok tersebut runtuh. Walaupun Chu Qiao bereaksi dengan cepat, 2.000 prajurit Xia tetap berhasil menerobos ke dalam kota. 2.000 orang ini adalah pasukan elite dari Xia, dan butuh 4 jam untuk mengusir mereka, dan meninggalkan tumpukan mayat selama pertarungan itu.     

"Jenderal! Batalion ketiga telah musnah sepenuhnya! Kamp pemanah dan pasukan wajib militer Kelompok Keempat menyerbu keluar kota di bawah pimpinan Jenderal Yu. Mereka memukul mundur para prajurit Xia yang sedang menggali di bawah tembok kita, tetapi kita kehilangan mereka semua! Kamp Xiao Lin dan Kelompok Kesebelas sudah sepenuhnya dikalahkan di tembok kota sisi Timur …."     

"Jenderal, kita sudah tidak bisa menahan musuh lebih lama lagi. Paling lama kita hanya bisa bertahan empat jam lagi. Kita harus mundur!"     

He Xiao berjalan mendekat. Sudah tidak terhitung jumlah luka di tubuh pemuda itu, dan dia sudah basah kuyup oleh darah. Dengan suara serak, dia meminta, "Nona, seluruh Garnisun Utusan Barat Daya meminta agar anda mundur. Kami bisa menjadi pasukan barisan depan untuk membuka jalan bagi anda di gerbang Selatan."     

Wajah Yin Liang Yu pucat. Pria yang hanya merupakan seorang petugas administrasi beberapa hari lalu itu kini sedang memakai seragam perang untuk para jenderal. Sambil merengut, dia berjalan maju, "Jenderal, bala bantuan tidak akan tiba tepat waktu. Kita sudah tidak memiliki waktu lagi. Tolong pimpin Garnisun Utusan Barat Daya, bersama dengan para wanita dan anak-anak, keluar dari kepungan ini. Pergilah ke Kota Lan, dan asalkan anda bisa menemui Nyonya Yu, kita masih ada kesempatan untuk membalikkan keadaan. Anak buah ini bersedia tinggal di sini di Bei Shuo untuk terus menghalau musuh."     

Chu Qiao menggelengkan kepalanya. Hanya dia yang tahu kalau tidak ada satu orang pun di dalam Kota Lan. Bahkan jika dia kabur ke sana, dia hanya akan menarik pasukan Xia untuk maju ke daratan bagian dalam. Dengan tegas dia menjawab, "Saya tidak akan mundur."     

"Kumohon! Jenderal, anda harus memikirkan jauh ke depan! Sekarang bukan saatnya bagi anda untuk keras kepala!"     

Chu Qiao mendongak dan menatap ke kejauhan, lalu dengan percaya diri berseru, "Bala bantuan pasti akan tiba."     

"Nona!" Saat ini, He Xiao sudah menjadi agak histeris, dan dia langsung membantah, "Walaupun bala bantuan sedang menuju kemari, kita mungkin tidak bisa bertahan selama itu! Kalau kita tidak pergi sekarang, mungkin kita tidak akan memiliki kesempatan untuk melakukannya lagi nanti."     

Chu Qiao mengulang kalimatnya, masih dipenuhi kepercayaan diri yang sudah hampir mendekati keyakinan yang menggila, "Bala bantuan akan tiba."     

Orang-orang itu mundur tak berdaya, dan mereka meneruskan perintah untuk terus bertarung sampai titik darah penghabisan. Dengan perintah itu, seluruh kota meledak dengan raungan yang menggila. Chu Qiao tidak tahu emosi apa itu. Apakah kemarahan? Kesedihan? Rasa takut? Nafsu membunuh? Kengerian? Kebencian? Keputusasaan? Atau mungkin, itu hanya teriakan kematian?     

Saat hari menjelang petang, dan matahari mulai berubah menjadi merah darah, pertempuran itu mendekati puncaknya. Komandan dari bagian ketujuh, peleton kedelapan, yang juga seorang koki, memegang pisau dagingnya dan memotong-motong para prajurit Xia yang memanjat tembok. Selusin prajurit Xia menyerbunya bersamaan, tetapi koki gemuk itu hanya menerkam mereka dan menjatuhkan diri ke dalam lubang api bersama mereka. Saat api membakar mereka, para prajurit Xia itu berguling-guling dengan panik, berusaha memadamkan api yang membakar mereka, tetapi koki itu justru menyerang prajurit Xia yang lainnya. Api yang membakar tubuhnya membuatnya terlihat semakin menyeramkan, dan para prajurit Xia menjadi panik dan berusaha menghindarinya seperti wabah. Pada akhirnya, bahkan tanpa mengerang, dia meraih tangga yang digunakan pasukan Xia untuk memanjat tembok, dan dengan tubuhnya yang besar, dia berguling turun, membawa serta dengannya lebih dari 20 orang prajurit Xia. Akhirnya dia jatuh di bebatuan di bawah tembok kota.     

Pada hari itu, ratusan prajurit menyaksikan kesetiaan dan keberanian seorang koki.     

"Nona! Peleton Kedelapan sudah terbantai!"     

"Bala bantuan akan datang."     

"Nona! Tembok Timur di sektor dua runtuh! Lebih dari 300 musuh sudah menyerbu masuk. Batalion Kesembilan dan Kesepuluh sedang menuju ke sana untuk mencegat mereka!"     

"Bala bantuan akan datang."     

"Nona! Cepat pergi! Sisa formasi pasukan Xia sudah ikut terjun ke dalam pertempuran!"     

"Bala bantuan akan datang."     

"Nona! Akan terlambat jika anda tidak pergi sekarang! Bala bantuan tidak akan datang! Tolong berikan perintah untuk mundur!"     

"Bala bantuan akan datang."     

"Nona …."     

….     

Semua orang menjadi putus asa. Mereka mengira Chu Qiao sudah memutuskan untuk mempertahankan kota ini sampai titik darah penghabisan. Seiring dengan pertempuran yang semakin sengit, jeritan penuh derita memenuhi kota. Seolah-olah mereka adalah orang gila, para prajurit Yan Bei mengerahkan seluruh kemampuan mereka, dan menyerbu ke arah musuh sambil menghunuskan pedang mereka.     

Menurut aturan, komando tertinggi tidak boleh ikut bertempur, tetapi pada saat ini, Chu Qiao mencabut pedangnya. Bahkan di saat seperti ini pun, sebuah keyakinan menjerit di dalam benaknya. Setiap waktu itu berguna. Sambil berjalan keluar dari tenda utama, dia tiba di titik tertinggi di tembok kota. Dengan pedangnya yang terhunus, cahaya dari matahari terbenam memantul di baja dingin itu dengan cahaya yang samar-samar.     

He Xiao tiba-tiba bergegas mendekat, wajahnya terkejut. Sangat sulit untuk tahu apakah dia senang atau sedih, dan dia memanggil dengan gelisah, "Nona!"     

"Tidak usah bilang apa-apa lagi!" Chu Qiao menyela pria itu dan memberi tahu dengan tegas, "Saya tidak akan mundur. Bala bantuan pasti akan tiba."     

"Nona," He Xiao menjilat bibirnya yang pucat lalu dia melanjutkan dengan perlahan, "bala bantuan sudah tiba."     

Sosok lemah Chu Qiao membeku saat dia berbalik menoleh ke arah yang ditunjuk oleh jari He Xiao. Di ujung Dataran Huo Lei, muncul sebuah bayangan hitam, dan kepulan debu melayang di udara. Pada saat ini, Pasukan Xia membunyikan terompet berulang-ulang, tetapi suara ini sangat berbeda dengan tanda yang menunjukkan kemenangan. Pembawa pesan Xia bergegas di medan perang dengan putus asa, sementara para petugas mereka terus berteriak satu sama lain. Semua orang panik, panik total. Pasukan Xia mundur bagaikan air banjir, dan para prajurit Xia mundur saat mendengar isyarat dari terompet tersebut, tetapi mereka kebingungan dengan hal-hal yang sedang terjadi.     

Bumi berguncang! Bum! Bum! Bum! Semua gerakan di dalam Kota Bei Shuo terhenti. Para penjaga yang sudah mempersiapkan diri untuk mati itu, menengadah dan melihat ke arah Timur. Garis hitam yang tipis itu perlahan berubah menjadi seperti aliran air, lalu menjadi seperti sungai. Setelah itu, seperti elang hitam yang menonjolkan kepalanya keluar dari balik awan, tiba-tiba, barisan samping muncul. Seperti kedua sayap elang yang lebar, sungai hitam itu berubah menjadi lautan!     

Dengan formasi yang rapi, para penyusup itu tampak tidak terkalahkan! Bendera hitam berkibar di udara di atas lautan yang serba hitam, dan elang perang di dalam bendera-bendera itu menatap musuh mereka tanpa ampun. Sambil mengendalikan kuda mereka hanya dengan menggunakan kaki, para pejuang itu mencabut pedang mereka dan memegangnya tegak lurus di hadapan mereka. Dengan raungan yang menggemuruh, mereka berteriak, "Demi kemerdekaan!"     

Aba-aba untuk menyerbu dari terompet menggema di langit, dan bersama dengannya, Kota Bei Shuo bersorak dengan gembira!     

"Itu bendera elang hitam! Itu Yang Mulia! Yang Mulia sudah tiba!"     

"Bala bantuan kita sudah tiba di sini!"     

Suara sorakan para prajurit bercampur dengan air mata bahagia mereka. Hanya beberapa hari sebelumnya, kota ini telah melihat begitu banyak kematian baik dari pihak kawan maupun lawan, dan saat secercah sinar harapan menyinari mereka, mereka dipenuhi oleh rasa sukacita.     

Berbeda dengan sorakan mereka, mulai terdengar teriakan panik di dalam pasukan Xia. Zhao Yang merasa tidak percaya, dan dia berteriak, "Bagaimana mungkin? Bagaimana mereka bisa memutari kita!"     

"Yang Mulia! Yang Mulia!" Seorang pembawa pesan berlari mendekat. Anehnya, prajurit ini memakai seragam yang hanya terlihat di dalam Kota Zhen Huang. Dengan muram dan penuh debu, pembawa pesan itu berteriak, "Perintah dari ibu kota kekaisaran! Anda harus segera kembali untuk membantu ibu kota! Si pemberontak Yan Xun telah membawa 500.000 pasukan masuk ke dalam wilayah kekaisaran. Seluruh wilayah Barat Laut telah dibumihanguskan. Saat ini, dia sedang berbalik untuk mengepung pasukan anda!"     

Dengan suara berdebam, Zhao Yang menendang prajurit itu dari kudanya, dan dia membentak dengan marah, "Kenapa tidak sekalian tunggu sampai mereka sudah membunuh kita semua baru kamu lapor?"     

"Pelayan ini sudah terus menempuh perjalanan siang dan malam. Semua rekan saya sudah terbunuh oleh pasukan Yan Bei. Saya tidak punya pilihan dan harus lebih berhati-hati …." Prajurit itu segera berusaha menjelaskan keterlambatannya, tetapi sebelum dia selesai, dia ditendang oleh Zhao Yang lagi. Pangeran Keempat Belas segera memerintahkan, "Semua pasukan bersiap! Tidak boleh ada yang mundur. Hanya dengan mempertahankan formasi baru kita bisa menghadapi musuh!"     

Namun, bahkan sebelum kata-katanya selesai, Pasukan Barat Daya, Koalisi Utara, dan Pasukan Batuha sudah tercerai berai dan melarikan diri dengan penuh kekacauan. Hanya Pasukan Barat Laut yang tetap tegar di hadapan pasukan Yan Bei yang mendekat.     

Zhao Yang menutup matanya dengan putus asa. Apakah para dewa benar-benar menginginkan kehancuran Kekaisaran Xia?     

Kekalahan pasukan Xia terjadi dalam sekejap, dan segala bentuk pertahanan sudah dikoyak oleh pasukan elite Yan Bei. Saat ini, dengan keuntungan dari segi jumlah, kemampuan bertarung, semangat dan juga elemen kejutan, pasukan Yan Bei sudah hampir pasti mendapatkan kemenangan yang telak. Hanya dalam empat jam, pasukan Xia sudah sepenuhnya hilang dari Dataran Huo Lei, kabur ke dalam Pegunungan He Lan. Untuk mengejar musuh yang melarikan diri, 100.000 prajurit dikirimkan dalam pengejaran!     

Hari itu adalah hari pertama bulan kesebelas, tahun 775 dalam Kalender Bai Cang. Pasukan Elang Hitam yang sudah masuk jauh ke dalam wilayah Xia tiba-tiba berbalik arah. Dengan kecepatan yang menakjubkan, mereka bergegas sepanjang malam, dan bahkan makan dan tidur di atas kuda. Tanpa beristirahat sama sekali, mereka langsung terjun ke dalam perang, menyerang pasukan Xia yang tidak siap, dan memukul mundur mereka hingga seluruh pasukan melarikan diri!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.