Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 126



Bab 126

0Aroma makanan tercium, pria muda itu membawakan mi mereka. Pria itu membuat suara yang tidak jelas, tampaknya menyuruh mereka untuk makan. Sepertinya pria tersebut bisu. Pemilik muda kedai itu mengikuti di belakang pria itu dan melihat dengan aneh ke arah Chu Qiao dan Li Ce. Terkejut, Chu Qiao menatap balik ke arah wanita itu. Seakan-akan bisa merasakan tatapannya, nyonya bos itu tersenyum, dan berkata, "Nona, anda tidak salah, saya memang buta."     

Begitu mi diletakkan di meja, Li Ce mulai menyantap makanan itu.     

Chu Qiao menjadi canggung dan dia menjawab, "Oh, maafkan saya."     

"Tidak apa-apa," nyonya bos itu menjawab, lalu berbisik, "Aku sudah buta sejak masih kecil, dan tidak terlalu mengganggu kecuali kesulitan untuk berbelanja bahan masakan."     

Chu Qiao mulai memakan mi tersebut, namun tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Kalau anda tidak bisa melihat, bagaimana anda tahu untuk memanggil saya 'nona'?"     

"Aku mencium aroma magnolia. Magnolia yang baru saja dipetik, lebih tepatnya."     

"Oh, ternyata begitu." Chu Qiao mengangguk, dan terkagum, "Indra penciuman anda sangat tajam."     

"Aku buta, jadi aku harus mengimbanginya dengan indraku yang lainnya."     

Pada saat ini, terdengar suara genderang. Tampaknya rombongan drama telah memasang panggung di sudut jalan. Pada saat sang aktor mulai menyanyi, rombongan anak-anak mengerubunginya, langsung memenuhi area itu.     

Anak dari kedai mi ini juga termasuk, dia berlari keluar dari kedai untuk menonton pertunjukan itu. Sebelum Chu Qiao bisa melihatnya dengan saksama, anak itu sudah masuk ke dalam kerumunan. Sayangnya, dia masih terlalu muda, dan tubuhnya yang mungil dengan cepat terdorong keluar dari kerumunan itu. Setelah terjatuh, dia mulai menangis meraung-raung.     

Saat mendengar suara tangisan itu, si pemilik kedai menepuk punggung suaminya. Menyadari anak yang menangis itu, pria itu berjalan mendekatinya dan menggendong anak itu kembali. Dengan lengan bajunya, dia menyeka air mata anak itu. Lalu menaruh buah di tangan anak itu, dan kembali bekerja. Anak itu terus menangis, seakan-akan dia telah diperlakukan tidak adil oleh para dewa. Sambil mengamati anak itu, Chu Qiao bertanya, "Li Ce, apakah kamu mempunyai anak?"     

"Tentu saja! Bagaimana mungkin aku tidak punya anak kalau aku begitu populer dengan para wanita?" Li Ce menjawab sambil terus makan.     

Seakan-akan tidak mendengar pria itu, Chu Qiao terus berbicara, "Menjadi seorang anak-anak itu sangat enak. Ketika dia sedih, dia tinggal menangis. Ketika dia bahagia, dia tinggal tertawa. Semua begitu sederhana dan apa adanya."     

"Kamu juga bisa seperti itu." Li Ce meminum seteguk supnya dan mengangkat kepalanya lalu menatap mata Chu Qiao, sebelum berkomentar, "Oi, Qiao Qiao, kita sedang makan, bisakah kita jangan membahas tentang hidup dulu sekarang? Bahkan supnya menjadi terasa tidak enak."     

Chu Qiao memelototi pria itu dan kembali melanjutkan makannya. Di tengah pukulan simbal dan genderang dari pertunjukan, bisa terdengar seorang pemain drama mulai menyanyi. Nadanya indah, dan suaranya mantap, satu-satunya masalah adalah semua ini dinyanyikan dalam dialek Kekaisaran Tang, sehingga Chu Qiao tidak bisa mengerti sama sekali. Li Ce, di lain pihak, memperhatikan sepenuhnya. Namun bahkan sebelum satu segmen selesai, dia tiba-tiba menoleh dan menyemburkan seteguk teh!     

Karena Li Ce menoleh ke arah lain, Chu Qiao beruntung karena tidak kena sembur. Tetapi lain ceritanya dengan anak itu yang sedang duduk di belakang Li Ce. Wajahnya sekarang dipenuhi teh. Anak itu begitu kebingungan sampai-sampai dia berhenti menangis.     

Li Ce segera mendekati dan menyeka wajah anak itu. Sambil menyeka, tidak lupa dia memberikan beberapa pujian. "Cukup melihat ibumu aku tahu kamu pasti akan menjadi wanita cantik. Maafkan aku ya."     

Chu Qiao melihat pria itu dengan penasaran. "Apa yang terjadi padamu?"     

Li Ce hanya mengibaskan tangannya dan berkata, "Tidak ada apa-apa."     

Anak itu, berjalan mendekat dan duduk di samping Chu Qiao. Dia menjulurkan tangannya yang putih dan montok, lalu berkata, "Beri aku uang."     

Terkejut, Chu Qiao bertanya, "Uang?"     

Anak itu mengangguk, dan menjelaskan, "Dia mengotori pakaianku. Biayanya dua koin untuk mencucinya."     

Tertarik, Li Ce mendekat dan bertanya, "Kamu butuh uang itu untuk apa?"     

Tampak sangat serius, anak itu menjawab, "Aku ingin pergi menonton pertunjukan!"     

"Qian Er, jangan sembarangan!" Sambil merengut, pemilik kedai itu memanggil anaknya kembali, "Kemari, jangan mengganggu para tamu!"     

"Tidak apa-apa, kami juga tidak terlalu lapar." Sambil melambai, Li Ce tidak mempermasalahkan hal itu.     

Chu Qiao sudah lama tidak makan, jadi tentu saja dia kelaparan. Mendengar Li Ce menyatakan kalau mereka tidak lapar, dia melawan dengan memakan satu suapan besar mi.     

Sambil memegang dagunya, anak itu tampak tertarik dengan Chu Qiao saat dia bertanya, "Apakah kamu bisa menyanyi?"     

Chu Qiao menggeleng dan menjawab, "Aku tidak bisa. Bagaimana denganmu?"     

Tampak kecewa, anak itu bersungut-sungut. "Aku juga tidak bisa."     

"Tetapi kamu mengerti nyanyian tadi?"     

"Tentu saja aku mengerti." Anak itu menatap Chu Qiao dengan aneh. "Memangnya kamu tidak mengerti?"     

Chu Qiao mengangguk.     

Anak itu berbinar dengan sangat tertarik. "Kalau begitu, biar aku ceritakan kisahnya." Tanpa menunggu jawaban dari Chu Qiao, anak itu mulai menceritakan kisah yang baru saja dinyanyikan dalam pertunjukan tadi.     

"Bagian ini adalah kisah mengenai seorang pangeran dan seorang wanita cantik."     

Sambil cemberut, Li Ce menyahut, "Bagian pangerannya betul, tetapi bagian wanita cantiknya belum tentu benar."     

"Kamu kurang berwawasan!" gadis kecil itu menjawab. "Sang pangeran tentu saja dikelilingi oleh wanita-wanita cantik! Ambil contohnya, putra mahkota kita. Istananya dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Kalau aku sudah dewasa dan menjadi cantik, aku akan tinggal di dalam istananya juga."     

Mendengar itu, Li Ce tertawa kecil dan mengacungkan jempol untuk anak itu. "Ya, kamu memang sangat berwawasan! Teruskan, aku akan mendukungmu."     

Mendengar itu, Chu Qiao memelototi Li Ce.     

Gadis kecil itu melanjutkan ceritanya, "Suatu hari, negeri sang pangeran dihancurkan oleh seseorang. Kedua orang tua dan semua saudaranya dibunuh, dan dia menjadi gelandangan dan tidak berdaya. Kemudian pangeran itu bertemu dengan wanita cantik yang menolongnya, dan mereka saling jatuh cinta."     

Menatap tajam ke arah Chu Qiao, gadis kecil itu melanjutkan kisahnya dengan serius, "Pangeran itu mencintai wanita tersebut, dan wanita itu juga mencintai sang pangeran. Mereka bersumpah untuk tetap bersama untuk selama-lamanya, tidak pernah meninggalkan satu sama lain."     

Di dalam pandangan tajam anak itu, bisa terlihat kepolosan dan keluguannya. Saat Chu Qiao menatap balik gadis kecil itu, dia merasa hatinya tertusuk jarum, sedikit menyakitkan.     

Suara penyanyi itu menjadi semakin dalam dan serak. Seakan-akan tangan seseorang dicelupkan ke dalam air yang sedingin es, membuat para pendengar merasa sedikit melankolis.     

Anak itu kemudian berkata, "Tetapi sang pangeran tidak bahagia. Dendamnya belum terbalaskan. Karena itu, wanita cantik itu memutuskan untuk membantu sang pangeran mendapatkan kembali kekuasaannya."     

Li Ce memotong lagi, "Dia hanya seorang wanita yang tidak memiliki uang atau pun kekuasaan, bagaimana dia bisa membantu?"     

"Kita sudah bilang dia wanita yang sangat cantik!" Gadis kecil itu menjelaskan dengan tidak sabar, "Kecantikan adalah uang, kecantikan adalah kekuatan, kecantikan adalah senjata. Masa kamu tidak mengerti hal yang begitu sederhana?"     

Mendengar itu, Li Ce tertawa terbahak-bahak. Saat itu musik semakin tegang, dan suara nyanyian terdengar semakin keras dan jelas, memberikan kesan seperti matahari terbit yang muncul dari kaki langit!     

"Setelah itu, sang wanita cantik bertemu dengan sang jenderal. Jenderal ini adalah musuh bebuyutan sang pangeran, tetapi dia juga jatuh cinta kepada sang wanita cantik. Melihat wanita itu sedih, jenderal itu juga menjadi sedih. Di saat yang sama, seorang pangeran muda dari negara lain juga bertemu dengan wanita itu. Dia juga jatuh cinta kepadanya. Namun sayangnya, wanita tersebut tidak menyukainya."     

Sambil bercerita dengan serius, anak itu mencelupkan jarinya yang gemuk ke dalam teh dan menggambar empat orang-orangan di atas meja, dan berkata, "Dipenuhi dengan kebencian, sang pangeran mengirim orang untuk menyiapkan jebakan, dan meminta sang wanita untuk mengundang jenderal tersebut datang untuk bernegosiasi. Wanita itu tidak tahu mengenai jebakan tersebut, tetapi sang jenderal tahu, namun dia tetap datang, dan pada akhirnya, dia dibunuh oleh sang pangeran."     

"Apa?" Chu Qiao terkejut oleh perubahan ini karena penantiannya yang semakin memuncak telah pupus.     

Sambil menghapus gambar satu orang di meja, anak itu melanjutkan, "Dengan kematian sang jenderal, pangeran itu berhasil memulihkan kekuasaannya dan menjadi kaisar agung. Wanita cantik itu sedih karena dia telah diperalat, sehingga dia meninggalkan kaisar ini dan pergi bersama pangeran muda dari negara lain itu. Murka karena hal ini, sang kaisar menyerbu tanah pangeran muda itu. Setelah perang yang sengit, pasukan pangeran muda itu lebih lemah dan dikalahkan, dan pangeran muda tersebut gugur dalam pertempuran."     

Anak itu menghapus gambar satu orang lagi, menunjukkan kalau satu orang lagi telah tewas.     

"Wanita itu menjadi sangat sedih, jadi dia berjalan pergi menjauh. Akhirnya dia jatuh sakit karena kelelahan, dan tidak lama kemudian, dia juga meninggal."     

Wanita itu juga dihapuskan dari atas meja, dan hanya tersisa gambar satu orang di meja tersebut. Anak itu kemudian berkata, "Dengan demikian, hanya tersisa sang kaisar di dunia ini."     

Li Ce menyengir konyol dan bertanya, "Tamat?"     

Anak itu menjawab dengan biasa, "Iya, tamat."     

"Cerita macam apa ini?"     

Gadis kecil itu menjawab, "Ini sebuah tragedi."     

Saat ini, Chu Qiao tidak sedang ingin mengamati Li Ce berdebat dengan gadis kecil itu. Melihat gambar orang-orangan yang tersisa di atas meja, dia menjadi tertegun. Saat angin malam berembus, pertunjukan itu telah berakhir. Pimpinan mereka melangkah keluar dari belakang panggung dan meminta uang tips dari para penonton. Tetapi kebanyakan penontonnya adalah anak-anak. Tidak mungkin mereka punya uang untuk diberikan kepada para pemain drama itu. Tidak lama kemudian, kerumunan penonton sudah bubar, hanya menyisakan panggung yang kosong. Di layar, terlihat bayangan sebuah boneka. Sambil memegang pedang, ia terlihat galak dan kuat. Namun dengan sekilas pandang, panggung itu kosong sepenuhnya, dan bahkan para prajuritnya tidak lagi berada di sekitarnya.     

Setelah makan, Chu Qiao dan Li Ce melanjutkan berkeliaran di jalan-jalan itu. Kisah yang diceritakan anak itu membuat Chu Qiao agak sedih. Dia menjadi bingung dengan perasaannya sendiri, dan walaupun dia merasakan sedikit kesedihan, dia tidak mengerti kenapa.     

Sepanjang jalan ini, ada banyak orang dan kuil-kuil. Kekaisaran Tang adalah negara yang cukup terbuka, dan memiliki banyak agama dan aliran. Di sana ada sang buddha gemuk, dewa air yang cantik, dan bahkan ada dewa sesat yang dahinya ditutupi dengan kertas jimat. Sangat bagus kalau penduduk setempat berpikiran terbuka seperti ini, dan mereka tidak akan saling bertengkar karena kepercayaan masing-masing. Saat berjalan di jalan ini, Chu Qiao menerima banyak plakat kayu, mirip seperti brosur ketika dia masih di masa modern.     

Di jalan itu, ada sebuah pohon apel liar yang sedang mekar. Saat Chu Qiao dan Li Ce berjalan melintasinya, angin berembus, dan kelopak bunga jatuh bagaikan hujan di atas mereka berdua.     

Li Ce dengan riang mengagumi pohon itu dan berseru, "Pohon ini terlihat bagus. Aku akan mengutus orang untuk membawanya pulang."     

Seorang pejalan kaki lewat dan tidak sengaja mendengar ucapannya lalu menatap Li Ce dengan aneh. Orang itu mungkin berpikir kenapa pria ini bisa begitu sombong dan mau memindahkan pohon milik warga.     

"Lihat, ada orang yang berakrobat di depan sana!" Li Ce berseru lagi. Sambil menarik Chu Qiao, dia berlari ke pertunjukan tersebut. Sayangnya, pertunjukan itu dikelilingi oleh banyak orang, dan mereka berdua tidak bisa menonton.     

Dengan cerdas, Li Ce mengambil sejumlah uang perak dan menukarkannya dengan banyak koin di toko di dekat sana. Dengan kikuk dia memanjat tangga di dekat pertunjukan itu, dia berteriak, "Uang gratis! Datang dan ambillah!" lalu dia menebarkan koin-koin itu.     

Awalnya kerumunan hanya tertegun, tetapi saat melihat bahwa benar ada orang yang sedang melemparkan uang, mereka segera berkumpul di sana.     

Melihat itu, Li Ce melemparkan uang koin yang tersisa dan menarik Chu Qiao ke arah pertunjukan tadi. Tetapi saat mencapai tengah kerumunan, mereka kehabisan kata-kata. Ternyata para pemain akrobat itu juga ikut pergi memungut koin! Kini, di seluruh area tersebut, hanya mereka berdua yang berdiri diam seperti orang bodoh yang tidak mau uang gratis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.