Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 237



Bab 237

0Sun Di menatap Tie You dan berkata dengan tenang, "Jika Anda ingin melihat seluruh Kekaisaran Tang hancur menjadi debu, jika Anda ingin menjadi pendosa Tang untuk selamanya, Anda dapat memberi tahu orang lain apa yang baru saja saya katakan kepada Anda. Bagaimanapun juga, kita adalah rekan seperjuangan. Saya tidak akan menyalahkan Anda kalau Anda berpikiran sempit. Ini salah saya karena pikiran saya tidak bisa dipahami oleh semua orang."     

"Tapi, apakah Anda ingin Jenderal Chu … Bukankah Anda sedang merusak kebahagiaannya?"     

Sun Di menggelengkan kepalanya dan tertawa sambil menepuk bahu Tie You. "Meskipun saya yakin bahwa Jenderal Chu tidak memiliki ambisi, saya tetap harus mewaspadai dirinya. Jika Zhuge Yue menikah dengannya di masa depan, apakah saya mengharapkan istri Raja Qing Hai untuk mengawasi masalah negara ini?" Cahaya bulan bersinar terang di langit ketika pria itu berbalik untuk pergi. Suaranya yang pasrah melayang dari kejauhan, membawa beberapa nada yang muram. "Bagaimana mungkin kekaisaran diperintah oleh seorang wanita yang baik hati? Jurang ini dalam, tidak ada yang mau pergi ke sana. Biarkan saya berkeliaran sendiri saja di sana …."     

Bulan sabit menggantung tinggi di langit saat angin musim gugur menyapu tanah, menebarkan daun ara ke atas tanah—itu adalah pemandangan yang sepi.     

Kediaman Mihe masih dingin seperti biasanya. Namun, tempat itu telah menjadi bagian yang paling ramai dari seluruh Istana Jin Wu. Masih ada orang yang berjalan ke sana kemari. Kabarnya, bahkan burung pun tidak mau berhenti di tempat lain di dalam Istana Jin Wu. Istana Jin Wu telah menjadi tempat yang sunyi. Tidak ada lagi perayaan, pesta-pesta, penari Dong Hu bermata biru, ataupun nyanyian sepanjang malam. Istana jatuh ke dalam keadaan yang terpencil; bahkan burung bulbul pun sudah meninggalkan istana itu. Orang bahkan bisa mendengar suara napasnya sendiri saat sedang berjalan melintasi istana tersebut.     

Semua orang melanjutkan hidup mereka dengan tenang, tampaknya berusaha untuk tidak mengejutkan jiwa yang masih gentayangan dengan suara yang terlalu keras. Potongan-potongan kain putih menutupi seluruh istana, menutupi keelokan dan kemewahan yang dulu dimiliki tempat ini. Setiap hal di tempat ini seolah merindukan orang itu, termasuk pohon ara, air jernih, setiap bangunan, halaman, dan juga gunung buatan.     

Sang Kaisar baru saja tertidur di tempat tidur Chu Qiao. Pada kejadian itu, anak itu telah menyaksikan ibunya, Permaisuri Yuan, bunuh diri. Sejak saat itu, dia tidak bisa tidur nyenyak. Dia mengerutkan keningnya saat dia tidur, tampaknya dalam kondisi yang ketakutan, bahkan dalam mimpinya. Raja Rong berbaring di tempat tidur bayi yang terpisah dan dia tidur nyenyak, ada sebuah senyum di ujung bibirnya. Bayi itu sangat mirip ayahnya.     

Chu Qiao duduk di depan jendela karena dia tidak merasa lelah. Lilin putih menyala di belakang, menyediakan sumber cahaya yang redup. Sebuah semburat merah terlihat di bawah cahaya lilin. Gadis itu sedang memegang setumpuk tebal surat yang belum dibuka di tangannya. Begitu saja, Chu Qiao telah duduk di sana selama lebih dari empat jam.     

Kata-kata Sun Di sekali lagi terlintas di benak gadis itu. Chu Qiao berbalik dan memandangi dua wajah anak-anak muda yang sudah tidak asing itu, dan dia merasa tertegun. "Sungguh orang yang licik," Chu Qiao bergumam pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Dia memikirkan ekspresi pria itu saat pria tersebut mengatakan kata-kata itu sebelumnya. Orang ini memang cerdas dan mampu membaca pikiran siapa pun. Namun, mengapa pria itu tidak bisa membaca pikiran Chu Qiao? Apakah Zhuge Yue akan marah padanya? Apa yang tertulis di dalam surat-surat itu? Apakah pria itu akan memarahinya? Membencinya? Atau menggerutu? Mungkin, pria itu akan melakukan semua itu. Tiba-tiba, gadis itu teringat kata-kata yang dikatakan pria itu padanya pada malam itu. Di bawah sinar bulan, ketika pohon-pohon bergoyang, pria itu berbalik, memandangnya dengan wajah tampan dan bertanya perlahan, "Perjalanan ini masih belum berakhir. Mungkin akan ada perubahan di sepanjang jalan. Apakah kamu takut?"     

Dulu, angin bertiup dengan lembut dan cuaca terasa hangat. Lengan baju gadis itu tampak seperti kupu-kupu yang beterbangan di udara saat tersapu oleh angin. Gadis itu mengesampingkan semua perasaan khawatir, menertawakan pria itu, dan mengatakan bahwa dia tidak takut. Lalu, pria itu tersenyum lembut. Itu adalah sikap yang jarang terlihat dari pria itu—tidak ada kecanggungan, tidak ada dengki, dan tidak ada niat untuk bertengkar. Itu adalah sebuah senyuman yang tulus. Di bawah cahaya bulan, pria itu menundukkan kepalanya dan mencium sisi bibir gadis itu sambil meletakkan tangannya di punggung gadis itu, menghirup seluruh aroma harum gadis itu dan menikmati saat indah yang telah dia impikan selama bertahun-tahun.     

Waktu adalah hambatan abadi yang terus menghalangi mereka. Namun, hubungan mereka telah bertahan melewati ujian waktu dan tetap kuat selama ini.     

Gadis itu mengulurkan tangannya dan meremas surat-surat itu, lalu meletakkannya di atas lilin. Percikan api menelan surat-surat dan mereka berubah menjadi tumpukan abu. Masih ada terlalu banyak pasang mata di istana yang terlantar ini.     

Ketika Sun Di tiba pada hari berikutnya, Chu Qiao telah berdandan cantik. Gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah dan emas, dihiasi oleh aksesori dengan warna yang sama. Gadis itu adalah gambaran dari kemilau cahaya. Sun Di menatap Chu Qiao, dan tercengang. Setelah beberapa saat, pria itu tersenyum dan berkata, "Nona, sepertinya Anda sudah menata pikiran Anda."     

Gadis itu sedang duduk di kursi utama aula utama. Sinar matahari yang menyilaukan menyinari tubuh gadis itu. Meskipun mengenakan pakaian yang semarak, tatapan serius di matanya tidak berkurang. Chu Qiao menatap Sun Di dengan tegas, dan berkata dengan nada dingin, "Lumayan. Kurasa aku tidak mengecewakanmu."     

Sun Di sedikit terguncang, tetapi dia mempertahankan ketenangannya saat dia menundukkan kepalanya. "Saya tersanjung dengan ucapan Anda, Nona."     

Chu Qiao tidak mengatakan apa pun lagi dan dia melambaikan tangannya. "Aku pikir kamu sudah tahu harus bagaimana menangani situasi ini. Terserah kamu yang putuskan saja."     

"Baik, hamba tidak akan mengecewakan Anda."     

Dalam sekejap, sebutannya pun telah berubah. Gadis itu berbalik badan, merasa sulit bahkan untuk sekadar tersenyum.     

Sun Di ragu-ragu untuk sementara lalu dia melanjutkan, "Upacara akan dilaksanakan tiga hari lagi."     

"Tiga hari?" Chu Qiao mengangkat alisnya. "Apakah itu terlalu terburu-buru?"     

"Tidak apa-apa. Hamba akan menyuruh departemen upacara dan ritual untuk bergegas."     

"Bagaimana dengan titah kekaisaran dan surat pernyataan resmi?"     

Sun Di tersenyum dan menjawab secara alami, "Nona, apakah Anda lupa? Surat yang diberikan oleh almarhum kaisar untuk memberi Anda gelar tuan putri belum diisi dengan gelar lengkap. Dengan beberapa penyesuaian, semuanya akan terselesaikan. Kerangka waktunya juga sudah tepat. Bagaimanapun juga, itu adalah surat yang ditulis secara pribadi oleh almarhum kaisar. Para pejabat akan mempercayai isinya. Selanjutnya, dengan pengaruh Anda saat ini, hamba pikir tidak ada yang akan keberatan dengan hal ini juga."     

"Hmm, rencana kamu memang sudah sangat lengkap," kata Chu Qiao dengan datar.     

Sun Di merasakan punggungnya merinding dan dia berkata dengan nada berat, "Hamba akan pergi dan mempersiapkan hal ini sekarang juga."     

"Baiklah," Chu Qiao mengangguk dengan ekspresi lelah di wajahnya.     

Sun Di buru-buru berbalik untuk pergi. Ketika dia melangkah keluar dari pintu, suara wanita itu menggema di belakangnya. "Ini untuk yang terakhir kalinya."     

Sun Di berhenti berjalan dan berbalik, tetapi Chu Qiao sudah melangkah ke istana bagian dalam. Apakah itu hanya halusinasi? Pria itu mengerutkan kening. Sun Di tertawa terbahak-bahak dan mendongak ke arah langit biru. Pada saat itu, dia seolah melihat sang almarhum kaisar, yang merupakan teman baginya, sedang menatap dirinya dengan seringai lebar di wajahnya.     

"Dengan melakukan ini, aku rasa kamu akan merasa bahagia. Bahkan jika kamu tidak terlihat seperti itu, aku rasa kamu pasti sedang meledak dengan rasa sukacita di dalam hati," Sun Di mengambil napas dalam-dalam dan menutup matanya dengan tenang.     

Tidak apa-apa jika kamu membenciku. Asalkan aku bisa mempertahankan garis keturunan keluarga Li dan Kekaisaran Tang, semuanya sepadan.     

Pada hari ke-5 bulan kesepuluh, menurut titah kaisar almarhum, Jenderal Xiuli diumumkan sebagai selir kekaisaran Tang. Gadis itu bersumpah di bawah cap kekaisaran bahwa jika dia memiliki anak di masa depan, dia akan menjadi permaisuri Tang.     

Karena titah ini telah dibuat tiga bulan lalu ketika Li Ce masih hidup, Chu Qiao menjadi satu-satunya wanita yang diberi gelar selir kekaisaran meskipun baru saja diangkat. Seluruh dunia tahu pernikahan macam apa ini sebenarnya. Selir Xiuli ini tidak mungkin hamil anak Li Ce, karena itu dia hanya bisa tetap menjadi selir kekaisaran sepanjang hidupnya.     

Upacara penobatan dijadwalkan tiga hari kemudian. Tirai hitam menutupi seluruh kota Tang Jing, sementara Departemen Ritual menyiapkan jubah kerajaan berwarna hitam untuk pertama kalinya dalam sejarah seribu tahun. Pejabat dari berbagai tempat bergegas untuk mempersiapkan hadiah mereka; pemandangan kuda-kuda yang berderap di sepanjang lorong-lorong kota menuju ke arah ibu kota menjadi lazim.     

Semua orang menanti pernikahan anumerta yang akan diadakan dalam tiga hari ini dengan penuh harap. Perhatian dari berbagai kekaisaran terpaku pada peristiwa ini karena sekali lagi dunia telah diguncang oleh gadis ini. Semua orang tahu bahwa Chu Qiao tidak hanya akan menjadi selir, tetapi dia akan menjadi orang yang memerintah Tang selama sepuluh tahun ke depan, setidaknya. Wanita ini, yang lahir sebagai budak di Xia, telah naik ke puncak kekuasaan, dikenal sebagai legenda hidup dengan seluruh pengalamannya.     

Ketika Yan Xun mendapat berita itu, dia sedang menghibur beberapa tamu penting di istananya. Feng Zhi berjalan ke sisinya dan menggumamkan beberapa kalimat di telinganya. Ekspresinya berubah drastis dan dia menumpahkan anggurnya ke jubah hitamnya.     

Tamu yang agak kasar itu tersenyum dan bertanya tanpa basa-basi, "Yang Mulia, ada apa?"     

Yan Xun tertawa meminta maaf, menggelengkan kepalanya, dan menjawab, "Seekor elang yang telah saya pelihara selama bertahun-tahun baru saja terbang pergi. Maaf mengganggu Anda."     

"Oh, ternyata seekor burung," tamu itu tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan, "Yan Bei adalah tempat yang luas. Jika Yang Mulia menaklukkan Xia di masa depan, Anda akan memiliki seluruh dunia, dan segala hal lainnya ada di dalam genggaman Anda. Namun, karena Anda suka elang, saya akan mengirim orang untuk menangkap satu ekor untuk Anda. Saya mendoakan semua yang terbaik dalam penaklukan Anda!"     

Suara tawa terbahak-bahak kembali menggema dari dalam Istana Shuo Fang, bergema melintasi dataran luas di dataran tinggi Yan Bei. Dunia itu besar. Takdir benar-benar seperti anak panah. Setelah dilepaskan, tidak akan bisa kembali lagi.     

Malam itu, Yan Xun mendaki Gunung Luo Ri dan mencapai Istana Na Da, bersama dengan beberapa orang bawahan. Istana itu masih menakjubkan seperti biasa. Pria itu duduk di sana untuk waktu yang lama, dan matahari pun terbenam, mewarnai sekelilingnya dengan warna merah cerah seperti bunga Huo Yun di Dataran Huo Lei.     

Saat arak menetes turun di tenggorokannya, penglihatannya pun menjadi buram. Sorot matanya tidak lagi tegas, dan pria itu mulai tampak bingung. Karena tidak ada seorang pun di sisinya, pria itu memiliki ruang untuk membiarkan pikirannya beristirahat sejenak.     

"AhChu, menikahlah denganku."     

"Iya …."     

"Aku akan selalu memperlakukanmu dengan baik."     

"Aku akan selalu memercayaimu."     

"AhChu, begitu pertempuran di timur berakhir, mari menikah."     

….     

"AhChu, semua badai telah berlalu, tetapi kita masih tetap bersama."     

Segala hal akan berubah, kecuali kita.     

Kita tidak akan pernah berubah ….     

Sebuah suara tawa yang rendah terdengar dari dalam istana, mengejutkan Feng Zhi. Pemuda itu berbalik dan dia mencium aroma arak.     

Yang Mulia dulu tidak biasa minum arak. Sejak orang itu pergi, arak telah menjadi sebuah kebutuhan baginya.     

Saat Feng Zhi memikirkan orang itu, dia pun mulai merasa sedih. Pada akhirnya, mereka berdua adalah dua jiwa sedih yang telah dipisahkan dari satu sama lain. Mereka menjalani hidup mereka dalam penderitaan, kedua pihak tidak bisa menemukan kedamaian.     

Angin Yan Bei mulai terasa semakin dingin saat musim dingin kembali mendekat sekali lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.