Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 211



Bab 211

0Sudah empat bulan. Ini sudah cukup.     

Pria itu tersenyum sedikit, lalu mengambil serulingnya untuk memainkan lagu perpisahan yang ceria untuk gadis tersebut. Lagu itu jernih dan bergema melintasi istana yang mewah itu, mengikuti bayangan gadis itu saat dia melangkah keluar dari deretan pintu-pintu istana, melewati kusen pintu emas, lorong-lorong tinggi, tembok-tembok istana yang berwarna merah, dan akhirnya ke dataran yang luas.     

Kekaisaran Tang telah membantu pria itu saat dia ditolak oleh keluarganya, hampir menghancurkan masa depannya yang cerah yang dia miliki ke depannya. Sejak pertempuran di Yue Gong, pria itu telah menentang segala rintangan demi bertahan hidup. Pria itu telah didorong ke dalam keputusasaan, sampai titik puncak di mana dia hampir kehilangan nyawanya. Dia telah dihina dan dijauhi oleh keluarga dan negaranya, berubah menjadi musuh semua orang dan diludahi oleh ribuan warga sipil. Bahkan jika dia meninggal, pria tersebut tidak dapat masuk ke dalam catatan leluhur keluarganya. Ia menjadi pemberontak nomor satu di ibu kota kekaisaran. Ketika dia bangkit dari abu kematian, pria tersebut membangun kembali reputasinya sendirian dan dia mulai dikenal sebagai Raja Qing Hai, mengguncangkan Meng Barat. Waktunya belum tiba, tetapi dia menggunakan pasukannya untuk melakukan serangan di timur, memberikan bantuan kepada gadis tersebut.     

Kekaisaran Xia mengincar Kekaisaran Tang; Yan Bei mengirim pasukan ke timur untuk membalas dendam atas diculiknya istri kaisar mereka. Mereka rela menyerahkan kekaisaran mereka, yang telah mereka bangun dengan susah payah, untuk kembali ke tanah bekas penyiksa mereka. Mereka menggunakan satu juta pasukan mereka sebagai taruhan, berharap untuk mencapai sebagian dari keinginan mereka.     

Zhuge Yue, aku pikir aku adalah orang yang paling gila. Namun, ketika aku dibandingkan dengan kamu, aku bukan apa-apa. Li Ce mengejek dirinya sendiri dalam hati. Bagaimana dia bisa bersaing dengan orang gila?     

Kita semua ditugaskan untuk berkeliaran di jalan yang sejak awal telah ditentukan oleh surga. Aku tidak bisa membebaskan diri, dan Yan Xun juga tidak bisa. Hanya kamu yang cukup berani untuk membebaskan diri berulang kali dan melompat ke tengah pusaran air lagi. Pada akhirnya, aku kalah dari kamu, dan aku menerima kekalahan ini dengan anggun.     

Lagu itu penuh semangat dan cepat, tampak lucu dibandingkan dengan para pejabat yang menangis di bawah sana.     

Sun Di berdiri di tangga istana dan menatap ke arah bayangan yang menantang itu. Saat nada gembira meresap di telinganya, ia justru merasakan kesepian. Jalan-jalan di dalam istana panjang dan dingin, karena dikelilingi oleh tembok-tembok istana yang tinggi di kedua sisi. Aroma harum dari luar tercium samar-samar.     

Pada hari yang begitu cerah dan hangat, riak-riak mulai muncul dari dalam hati pria itu, mengiris kabut kesepian di dalam hatinya dan menyapu lapisan tipis debu di istana yang sunyi tersebut. Dia selalu seperti ini, mengamati kejadian di dunia ini melalui tatapan yang sedikit mabuk di matanya.     

Saat malam tiba, para pejabat sudah menangis sampai suara mereka serak. Beberapa orang pejabat yang lebih tua sampai terserang penyakit, dan dibawa pergi dengan tandu.     

Lapisan cahaya yang mewah menyelimuti seluruh Istana Jin Wu dan meresap melalui ribuan pintu. Ingatan pria itu kabur. Bagaikan seutas benang tipis yang terlepas dari selembar kain, satu sentakan sudah cukup untuk menyebabkan potongan kain itu hancur.     

Li Ce berjalan menuruni anak tangga sementara para pejabat merangkak ke arahnya, menangis meminta padanya untuk menjaga kesehatannya dan jangan main-main. "Kalian semua benar-benar setia padaku. Aku sudah merapikan pikiranku. Silakan cepat bangkit," katanya.     

Semua yang hadir berseru kegirangan, menghargai kenyataan bahwa sang kaisar telah sadar.     

"Untuk merenungkan tindakanku, aku telah memutuskan untuk menunda sesi pertemuan selama tiga hari. Kalian semua harus pulang, berpikir keras, dan meneliti cara-cara untuk membuat negara kita makmur." Saat Li Ce menyelesaikan kata-katanya, dia berjalan menuju kejauhan sementara para pejabat kebingungan. Sebelum dia berjalan keluar dari istana, dia memerintahkan pelayan-pelayannya, "Adakan perjamuan selama tiga hari berikutnya. Bawa semua wanita ke Istana Rou Fu."     

Para hadirin sekali lagi tidak dapat berkata-kata saat kaisar pergi menjauh.     

Begitu seseorang melangkah keluar dari Gerbang Bai Zhi, dia akan tiba di wilayah Xia. Meskipun saat itu sedang musim dingin, cuaca masih hangat di arah barat daya dari Xian Yang. Ketika Chu Qiao melangkah keluar dari gerbang itu, hujan sedang turun. Ketika gadis itu berdiri di lorong yang menuju ke Kota Xian Yang, dia merasa ragu-ragu, tidak tahu apakah dia harus masuk. 11 tahun terakhir hidupnya penuh peristiwa penting. Delapan tahun pertama hidupnya dipenuhi dengan masa-masa kelam, sementara tiga tahun terakhir telah disiram dengan pertumpahan darah. Sekarang setelah akhirnya memutuskan rantai nasibnya, gadis itu tidak tahu harus pergi ke mana.     

Rasa senang yang semula dirasakan gadis itu telah mereda; ketenangan dan akal sehat kini telah mengambil alih. Kalau itu memang benar, sekarang dia sudah menjadi orang seperti apa? Bagaimana mungkin pria itu bergaul dengan seseorang dengan status seperti gadis itu? Gadis itu telah menyebabkan pria tersebut hampir mati beberapa kali. Apakah dia akan menghancurkan segala hal yang kini dimiliki pria itu, lagi? Jika pikiran Chu Qiao terbukti salah, kata-kata Li Ce akan berarti bahwa Yan Xun telah membiarkan dirinya pergi karena kasihan. Kalau begitu, bagaimana gadis itu akan menanggapi masalah ini? Saat ini, dia tidak lagi memiliki keberanian untuk bertanya tentang hal lain. Oleh karena itu, Chu Qiao tinggal di dalam Kota Xian Yang. Dia menyewa sebuah rumah kecil dengan satu pintu dan satu halaman di tempat terpencil. Dua ranting willow tergantung di depan pintu kamarnya, tetapi sudah layu.     

Tujuh atau delapan hari berlalu dalam sekejap. Saat Kota Xian Yang menyambut tahun baru, dekorasi dipasang di mana-mana. Suasana meriah di kota itu menyenangkan. Pemilik yang tinggal di seberang, melihat bahwa Chu Qiao tinggal sendirian, mengundangnya berulang kali untuk menghabiskan tahun baru bersama. Namun, gadis itu menolak tawaran si pemilik rumah.     

Beberapa hari telah berlalu lagi. Ketika Festival Lentera tahunan mendekat, hujan salju turun saat fajar. Namun, sebelum kepingan salju menyentuh tanah, mereka telah meleleh. Sisa-sisa dari salju itu menumpuk di cabang-cabang pohon. Di kejauhan, pegunungan putih bersalju bisa terlihat; sungai mengalir di kakinya. Kota itu ditutupi oleh pohon ara, memberikan pemandangan yang menakjubkan.     

Pemilik rumahnya adalah seorang wanita gemuk berusia tiga puluhan. Wanita itu tampak ramah dan memiliki dua orang anak; seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Suaminya adalah seorang guru di sekolah swasta di dalam kota; rumah tangga mereka termasuk cukup kaya. Anak gadis itu sepertinya sangat menyukai Chu Qiao. Ketika dia melewati pintu rumah Chu Qiao, dia sering menatap ke dalam rumah tersebut. Kakaknya, melihat adiknya itu penasaran, mengangkat anak gadis itu di pundaknya dan membantu gadis itu mengintip ke dalam rumah tersebut.     

Di malam hari, Chu Qiao pergi sendirian karena dia tidak ingin diundang lagi oleh si pemilik rumah. Langit belum gelap; pasar lentera juga belum dibuka, tetapi jalanan penuh dengan keramaian. Ada banyak orang di mana-mana; kios pinggir jalan didirikan dalam barisan rapi di sepanjang jalan utama. Pedagang yang menjual berbagai barang seperti arak, makanan, dan kosmetik berserakan di jalanan. Chu Qiao, merasa suasananya terlalu ramai, menghindari jalan ini.     

Karena acara yang meriah, para wanita dari keluarga kaya, yang biasanya tidak meninggalkan rumah mereka, keluyuran di jalan-jalan. Ada tandu dan kereta kuda di mana-mana, dan mereka melewati Chu Qiao. Suara tawa sesekali melayang keluar dari kereta kuda saat mereka bercampur bersama dengan angin hangat. Itu adalah sebuah pemandangan yang damai dan harmonis.     

Dibandingkan dengan orang-orang yang berpakaian semarak, Chu Qiao mengenakan pakaian yang cukup sederhana. Namun, karena pakaian tersebut berasal dari istana Kekaisaran Tang, pakaian tersebut tampak lebih megah dan indah dibandingkan dengan pakaian rakyat biasa. Kain itu berwarna abu-abu merah muda pucat; gaun itu berwarna biru pucat dan putih. Bunga magnolia disulam di sisi gaun itu, dari kejauhan tampak seperti bunga teratai yang baru mekar. Ditambah dengan sikapnya yang lembut dan tenang, gadis itu menarik tatapan yang tak terhitung dari para pelajar dan tuan muda bangsawan saat dia berjalan sendirian di sepanjang jalan yang panjang itu. Beberapa dari mereka mencoba mendekati gadis itu untuk memulai percakapan, tetapi tidak bisa berkata-kata ketika mereka semakin dekat dengannya. Mereka merasa bahwa ketenangannya tidak seperti gadis biasa; gadis itu memancarkan aura yang terlihat seolah-olah dia mengabaikan mereka. Ketika mereka ragu-ragu, gadis itu sudah pergi.     

Saat malam tiba, bulan purnama naik ke atas langit. Bintang-bintang berjauhan dan sangat jarang, dan sinar bulan menyinari bahu gadis itu. Ini bukan pertama kalinya ia datang ke Kota Xian Yang. Tiga tahun yang lalu, ketika Chu Qiao memimpin pasukannya keluar dari Kota Zhen Huang, dia bertemu Zhao Chun Er dan saudara lelakinya yang sedang dalam kesulitan. Setelah Chu Qiao mengantar mereka pulang, Zhao Chun Er mengirim pasukan untuk mengejarnya. Ketika dia melarikan diri dari sana, Chu Qiao menginjakkan kaki di kota ini.     

Waktu berlalu dengan cepat. Tidak ada yang mendengar kabar dari Zhao Song selama beberapa tahun ini. Pangeran yang dulu sangat berpengaruh dan berkuasa itu mungkin telah diusir dari panggung politik Xia, karena kecacatannya. Sedangkan Zhao Chun Er, gadis itu tampaknya menghilang ke udara. Tidak ada orang yang tahu keberadaannya.     

Sudut mulut Chu Qiao naik. Senyuman itu sangat tipis, menghilang bahkan sebelum mencapai sisi wajahnya. Itu bagaikan lapisan kabut tipis yang telah dibuyarkan oleh angin dingin. Mungkin, Li Ce benar. Di dunia ini, orang-orang yang terlalu cerdas tidak akan pernah bahagia.     

Sepetak besar cahaya menyala di kejauhan. Cahaya itu warna-warni dan tampak megah. Suara kembang api bergema, bersama dengan suara tawa anak-anak dan teriakan para penjual yang menjajakan dagangan mereka. Suara-suara itu terbawa angin melintasi danau dan mencapai telinga gadis itu. Baginya, seolah-olah sebuah api yang terang telah menyala, tetapi tidak menimbulkan kehangatan. Suara-suara itu seakan-akan berasal dari dunia lain.     

Sudah lama sejak terakhir kali Chu Qiao merayakan Festival Lentera.     

Chu Qiao mendongak, seolah-olah dia terbawa kembali ke hari itu. Ada kuda poni kecil berwarna merah, dan seorang anak mengenakan jubah putih memegang lentera kelinci putih. Ketika anak itu mengikuti pemuda itu, pemuda itu berbalik dan menatap dengan dingin. Gadis itu selalu berpikir bahwa tatapan itu menonjolkan kekejaman, dan bahwa pemuda itu memandang rendah makhluk hidup di bawah derajatnya dengan jijik.     

Saat ini, ketika gadis itu mengenang masa lalu, dia tampaknya bisa melihat dasar mata pemuda itu dengan jelas. Kalau mereka tidak berjalan melalui lentera-lentera pada hari itu … kalau petasan dari anak-anak tidak mengejutkan kuda Chu Qiao dan membuatnya berlari keluar kota, menghabiskan malam bersama dengan Yan Xun, akankah segala sesuatu berjalan dengan cara yang berbeda?     

Mungkin tidak. Mungkin segalanya masih akan tetap sama. Pedang yang akan diangkat masih akan diangkat. Kata-kata pengkhianatan masih akan diucapkan. Segalanya sudah direncanakan sebelumnya, sesuai kehendak para dewa. Tidak ada yang bisa keluar dari roda takdir. Namun, paling tidak, kalau bukan karena perpisahan itu, dia tidak akan membayangkan bahwa pemuda itu masih hidup saat ini, karena Chu Qiao menghubungkan ingatannya tentang Festival Lentera di masa lalu dengan pria itu.     

Tanpa sadar gadis itu sudah berjalan cukup jauh sekarang. Sebuah pohon elm yang tebal dan tinggi, usia pohon itu kira-kira berumur sekitar 30 hingga 40 tahun, berdiri di tepi danau. Potongan-potongan kain merah berserakan di mana-mana, bersama dengan kertas berwarna. Itu adalah takhayul yang dipegang erat oleh para penduduk desa, karena mereka percaya bahwa seorang dewa tinggal di dalam pohon elm ini. Mereka percaya bahwa semakin tebal pohon itu, semakin tinggi kemungkinan ada kekuatan supranatural yang tinggal di dalamnya. Seiring waktu, para penduduk desa yang mengalami masa-masa sulit akan mengunjungi pohon itu untuk berdoa bagi kedamaian, dengan berharap mereka bisa menemukan cahaya di ujung terowongan.     

Chu Qiao berdiri di bawah pohon dan sebuah emosi yang tidak dikenal melonjak dari dalam hatinya. Dia tidak tahu apa yang ada di dalam pohon itu. Gadis itu mendongak dengan tenang dan memicingkan matanya, terpaku di tempat yang sama untuk waktu yang lama tanpa perasaan apa pun. Pandangannya seolah-olah melampaui waktu seperti air jernih.     

Chu Qiao tidak tahu apa yang terjadi di sini tiga tahun lalu. Ketika gadis itu dibeli oleh keluarga Zhan, satu orang telah melewati tempat ini. Hari itu, sinar matahari cerah. Pria itu berdiri diam di bawah pohon ketika mereka gagal bertemu satu sama lain walau sudah sangat dekat.     

Chu Qiao merogoh ke dalam sakunya dan merasakan sebuah liontin giok di dalamnya. Ketika gadis itu memegang liontin itu dalam genggamannya, dia mulai melamun.     

Liontin ini adalah liontin yang dia ambil dari Zhuge Yue ketika mereka bertarung di kediaman Wali kota Tian di Kota Wu Peng. Setelah itu, Chu Qiao menyamar menjadi seorang penari dan ketahuan oleh Zhuge Yue. Pria itu meminta liontin giok itu dari gadis tersebut, namun Chu Qiao masih kesal pada saat itu. Dalam keadaan marah, gadis itu mengatakan bahwa dia telah membuangnya ke danau, membuat para pelayan di kediaman Wali kota Tian menggali danau tanpa hasil.     

Pada hari di mana gadis itu meninggalkan Yan Bei, Chu Qiao tidak membawa apa pun selain liontin ini.     

Seiring waktu berlalu, ingatan itu menempel dekat di hatinya, semakin diperkuat oleh liontin giok tersebut. Chu Qiao mendongak, merasakan rasa pahit di kedua matanya.     

Setelah berbagai kelokan dan belokan, mereka tetap ditakdirkan untuk berpisah. Keadaan berbeda sekarang karena waktu telah berlalu. Mereka telah dipisahkan dan ditempatkan berjauhan, tetapi pertikaian tentang negara mereka masih tetap ada di antara mereka. Selain itu, mengingat keadaan gadis itu saat ini, apa haknya untuk mendekati Zhuge Yue? Dari mana Chu Qiao akan mendapatkan keberanian?     

Chu Qiao menutup matanya dan melemparkan liontin giok itu ke atas. Dalam sekejap itu, ribuan perasaan yang rumit muncul dalam benaknya. Para dewa telah membodohi mereka. Bagaimanapun juga, mereka tidak ditakdirkan untuk bersama.     

Plonk! Ketika gadis itu berbalik dan hendak pergi, sebuah suara renyah bergema dari belakangnya. Suara itu terdengar seperti jari yang menggesek senar kecapi. Suara itu halus di telinga, dan menembus tulang punggungnya. Chu Qiao berbalik badan dengan panik, hanya untuk melihat bahwa dua liontin giok telah jatuh dari pohon, mendarat dengan sempurna di masing-masing tangannya.     

Kedua liontin itu berwarna putih dan berkilau. Bentuk mereka mirip; bahkan sebenarnya kedua liontin itu pasangan yang sama persis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.