Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 232



Bab 232

0Setelah menyisir rambutnya, pria itu berbalik badan, dan sambil menyengir lebar, dia bertanya, "Bagaimana penampilanku?" Mata pria itu gelap dan kosong, saat cahaya bulan menerangi wajahnya dengan lapisan putih yang tipis. Pria itu terlihat tampan seperti biasanya dengan matanya yang panjang dan sipit dan hidungnya yang mancung, beserta wajahnya yang bagaikan porselen. Dia memancarkan aura bangsawan, namun secercah kematian menyebar dari tengah matanya, dan warna kulitnya menjadi pucat tidak alami, bagaikan giok putih yang tertutup debu.     

Chu Qiao memaksakan diri untuk tersenyum. "Kamu sangat tampan."     

Li Ce mengerutkan keningnya dan bertanya, "Apakah kamu sedang memujiku?"     

Melihat Chu Qiao mengangguk, pria itu lalu tersenyum bahagia, seperti saat dia pertama kali bertemu gadis itu.     

"Li Ce," Chu Qiao berusaha menekan rasa sedih di dalam hatinya sambil bertanya dengan lembut, "apakah kamu memiliki harapan di dalam hatimu?"     

"Harapan?" Li Ce mengerutkan dahinya dan berpikir sesaat lalu tertawa ringan, "Tidak ada." Napasnya tiba-tiba menjadi pendek dan terburu-buru. Mengulurkan tangannya ke arah gadis itu, Li Ce bertanya dengan ringan, "Qiao Qiao, biarkan aku memelukmu."     

Angin di luar tiba-tiba menjadi kencang dan meniup jendela kecil sampai terbuka. Bulan mewarnai aula besar itu dengan warna putih susu, dan sekeliling mereka semuanya telah dipoles; putih bagaikan salju. Angin bertiup dari Kolam Tai Qing di kejauhan, membawa serta aroma teratai. Tenggorokan Chu Qiao terasa seperti telah digigit oleh seseorang dan sangat sakit. Berlutut di lantai, Chu Qiao bersandar di dada Li Ce tersebut, dan air mata mengalir turun di wajah gadis itu, membasahi pakaian pria tersebut. Napas dari atas kepala gadis itu perlahan menghilang, bagaikan kelopak sakura yang telah berguguran, tanpa menyisakan suara apa pun. Dengan bulan yang bersinar dari samping, seakan-akan waktu berjalan mundur, saat pria tampan dalam pakaian merah, dengan rambut hitam pekatnya, mendarat di belakang gadis itu, bertanya padanya, "Masih tidak mau berhenti?"     

Waktu bagaikan mimpi, dan saat segala kemewahan memudar, hanya kehampaan yang luas yang tersisa.     

Mata Chu Qiao bagaikan sebuah batu amber yang berkilau sendirian, bersinar dengan cahaya yang memudar. Dengan matanya yang kosong, gadis itu duduk dan menoleh. Pria itu hanya duduk diam di sana dengan kepalanya dimiringkan seakan-akan dia telah tenggelam ke dalam mimpi yang dalam.     

Kepingan-kepingan kenangan mulai jatuh menyerpih, saat pria yang selama ini ditutupi oleh topeng kebangsawanan dan kekayaan telah melepaskan lapisan-lapisan samarannya. Baik itu para wanita cantik yang dia rayu, atau segala kemewahan yang dia nikmati, semuanya selain kesepian, telah menghilang bagaikan cahaya terakhir matahari terbenam, memudar ke dalam gelapnya malam.     

Pintu ke dalam ruangan itu tiba-tiba terbuka, dan cahaya bulan yang pucat menerangi sosok gadis itu. Bisa terlihat rombongan para pejabat dan para nyonya yang berlutut di kejauhan.     

Sun Di menatap gadis itu, dengan pertanyaan di dalam matanya yang gemetaran. Gadis itu menatap balik padanya, tanpa nyawa di matanya, dan seluruh tubuhnya terasa mati rasa. Pada akhirnya, gadis itu perlahan mengangguk.     

"Sang Kaisar telah meninggal …."     

Kericuhan suara tangisan menembus langit dan mengguncang istana. Suara terompet berkabung menembus kabut malam.     

Mengangkat kepalanya, pakaian tipis Chu Qiao berkibar di tengah angin. Di langit yang kosong, dia seolah-olah melihat sebuah wajah yang bersih dengan sepasang mata yang panjang tersenyum licik padanya bagaikan seekor rubah.     

Seorang pelayan bergegas mendekat dari sebuah lorong dan perlahan melapor kepada Sun Di. Mereka terlalu jauh, namun angin masih meniupkan beberapa kata-kata mereka ke dalam telinga Chu Qiao.     

"Ketika terompet berkabung dibunyikan … menghantamkan kepala ke sudut meja … penuh dengan darah, tidak bisa diselamatkan … pada akhirnya … adalah ibu dari sang kaisar …."     

Di tengah sinar bulan yang dingin, darah Chu Qiao seakan telah membeku, dan satu aliran air mata yang jernih bergulir turun di pipinya lagi, menetes ke atas lantai istana ini yang telah menyaksikan begitu banyak kehidupan dan kematian.     

Jalanan di Ibu Kota Tang tampak indah seperti biasa, dan aroma teratai yang menyegarkan terbawa oleh angin dan bercampur ke dalam udara. Pepohonan bergoyang di tengah angin bagaikan pinggang para penari. Dengan tibanya senja, burung-burung terbang kembali ke dalam sarang mereka, dan dunia yang berwarna merah tua itu terasa seperti telah diwarnai oleh darah.     

Dengan kematian tragis dari Kaisar Tang tersebut, semua orang memakai pakaian berkabung yang sederhana, bahkan lentera-lentera yang digantung ditutupi dengan kain putih. Saat berjalan di jalanan kota, bisa tercium aroma kesepian. Saat langit meredup dan cahaya memberi jalan kepada kegelapan, bulan yang bundar terbit di langit yang jauh.     

Sudah satu bulan sejak Li Ce meninggal, dan saat ini sedang ada festival yang dikenal sebagai Festival Bulan Putih. Zhuge Yue telah berulang kali mengirimkan orangnya untuk menjemput gadis itu, namun dia tetap tinggal dengan keras kepala. Ada sebuah pikiran yang masih menggantung di benak gadis itu, membuatnya tidak bisa pergi dengan tenang. Sesekali, Chu Qiao akan terbangun di tengah malam dibasahi oleh keringat dingin. Dengan kepergian Li Ce, pria itu membawa serta musik dan pesta-pesta di dalam istana, dan istana yang luas itu tenggelam ke dalam keheningan. Saat berjalan di lorong-lorong yang panjang dan sempit di dalam istana, seseorang bisa terdengar suara jantungnya sendiri. Dentuman berirama itu akan terus mengingatkan gadis itu pada kenyataan bahwa beberapa orang telah tiada, dan masih ada sebagian orang yang masih hidup, dan bahwa masih ada beberapa hal yang belum dia lakukan.     

Gadis itu pernah berjalan melalui jalur ini bersama Li Ce sebelumnya. Malam itu, saat gadis itu terbangun dari koma, pria itu seperti seorang bocah yang besar, saat dia menggenggam tangan gadis itu, dan melintasi sembilan lapis gerbang, begitu banyak taman, dan bahkan melewati lapisan gunung-gunung hiasan, mereka keluar dari istana. Berbagi satu kuda, pria itu duduk di belakangnya, tertawa sambil menunjukkan jalan. Bukan hanya itu, sesekali pria itu menoleh ke belakang untuk menertawakan para penjaga yang khawatir seperti cacing kepanasan.     

Dalam sekejap mata, keadaan telah berubah, dan beberapa hal, beberapa orang, telah menghilang ke dalam sungai waktu. Jalanan pada hari ini jauh berbeda dengan kesibukan pada waktu itu, dan keheningan ada di mana-mana; hanya beberapa toko yang tetap buka. Di tengah berkabungnya seluruh negara, semua perayaan telah dibatalkan, dan rakyat tidak lagi keluar dari rumah mereka. Tanpa pelanggan, tentu saja, toko-toko tidak akan buka. Jalanan yang biasanya ramai berubah menjadi kota hantu, dengan hanya dedaunan layu yang melayang di udara, sesekali jatuh di atas pakaian gadis itu yang putih bersih.     

Setelah berjalan cukup lama, dia mencapai toko mi di mana Li Ce makan bersama dengannya. Cukup mengejutkan, mereka masih tetap buka, namun tidak ada pelanggan. Sang pria sedang duduk di sebuah kursi dan tampak seperti hampir ketiduran. Saat melihat Chu Qiao berjalan memasuki toko, pria itu melompat berdiri, dan setelah mengamati gadis itu, dia membersihkan sebuah meja dan mempersilakan gadis itu untuk duduk. Istrinya masih terlihat sama, dan waktu tampaknya tidak meninggalkan jejak apa pun di wajah wanita itu. Dia tetap memancarkan aura rajin yang sama. Setelah berjalan ke depan Chu Qiao, matanya tetap tidak fokus, namun wanita itu tersenyum dan menyapanya, "Nona, sudah lama sekali."     

Chu Qiao terkejut, dan bertanya, "Anda masih ingat saya?"     

"Dia bisa mengenali anda, dan memanggil saya keluar." Wanita itu tersenyum tulus dan menunjuk ke arah suaminya yang berdiri di belakangnya. Sedikit tersipu, pria itu tersenyum, memperlihatkan sederet gigi putih yang rapi.     

"Di mana Tuan itu? Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia datang kemari."     

Wanita itu tiba-tiba bertanya, masih tersenyum dengan kedua mata yang terlihat seperti dua bulan baru. Angin bertiup dari sisi lain jalan tersebut. Pria itu segera melangkah maju, menghalangi debu dari istrinya. Gerakan itu terlihat begitu alami.     

Chu Qiao agak terkejut oleh tindakan pria itu, dan untuk sesaat dia lupa menjawab sang wanita pemilik toko. Wanita itu terus bertanya, "Nona? Nona?"     

Chu Qiao berbalik padanya, dan tersenyum ringan. "Oh, dia menuju ke suatu tempat yang jauh."     

"Oh." Wanita itu mengangguk. "Kalau begitu, kapan dia akan kembali?"     

Saat angin musim gugur terus berembus, dan dedaunan menumpuk di sudut, hati Chu Qiao membeku sedikit demi sedikit. Wajahnya menjadi pucat, dan dia merasa tercekat di tenggorokannya. Setelah berpikir sejenak, gadis itu menjawab dengan lembut, "Dia sudah pindah, dan mungkin dia tidak akan pernah kembali."     

Wanita itu tidak bisa melihat raut wajah Chu Qiao dan ingin terus bertanya, namun dia disenggol oleh suaminya. Wanita yang cerdas ini segera mengerti, dan berbalik badan dan pergi. Tidak lama kemudian, semangkok mi yang masih berasap disajikan, bersama satu piring daging sapi dan setengah piring pangsit udang. Bahkan dari jauh, bisa tercium aroma cuka.     

Chu Qiao mengambil sumpitnya, dan setelah membersihkannya dengan sapu tangan, dia mulai makan. Mi tersebut sangat panas dengan potongan bawang ditaburkan di atasnya, memberikan aroma yang menyenangkan. Chu Qiao makan dengan perlahan. Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia makan dengan benar, dan perutnya bergejolak karena asam, seolah-olah dia bisa muntah kapan saja.     

"Pangsit itu akan segera dingin," sebuah suara nyaring terdengar. Chu Qiao berbalik dan melihat seorang anak perempuan yang berusia sekitar sepuluh tahun, wajah anak itu terlihat sangat akrab. Saat melihat sang wanita pemilik toko, Chu Qiao segera teringat dengan anak ini, dan dia memanggilnya, "Qian Er?"     

Anak itu mengerutkan keningnya, dan dengan sangat serius, dia bertanya kepada Chu Qiao, "Anda kenal saya?"     

Chu Qiao tersenyum dan tidak banyak bicara. Anak itu duduk di kursi di samping Chu Qiao dan bertanya, "Anda pernah datang dan makan di sini sebelumnya?"     

"Betul." Chu Qiao mengangguk.     

Terdengar suara sebuah suara alat musik yang tak asing lagi. Chu Qiao mendongak, dan melihat pertunjukan wayang di sudut jalan sedang memulai pertunjukan mereka.     

"Apakah Anda suka mendengarkan pertunjukan itu?" anak itu bertanya.     

Chu Qiao tidak bisa menahan senyum lembut ketika dia membelai rambut anak itu sambil bertanya, "Kamu masih tertarik dengan pertunjukan itu?"     

"Saya di sini bersama orang tua saya setiap hari, dan tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan. Mendengar aksen Anda, Anda pasti bukan orang sini. Apakah Anda mengerti apa yang mereka katakan?"     

Chu Qiao menggelengkan kepalanya.     

Anak itu segera menyarankan, "Kalau begitu biar saya jelaskan ceritanya kepada anda."     

"Aku sudah pernah mendengar kamu menceritakan kisahnya sebelumnya."     

"Ini pertunjukan baru!" Anak itu menjelaskan, "Ini sebuah pertunjukan dari bulan yang lalu, lalu, lalu, lalu, lalu, sebuah pertunjukan baru!"     

Melihat semangat anak itu, Chu Qiao tidak punya pilihan. "Silakan, ceritakan kisahnya padaku."     

Nyanyian dimulai, dan memang itu terdengar berbeda dari lagu yang dulu. Bukan hanya itu, tetapi kini ada lebih banyak penyanyi dan lebih banyak alat musik, namun bisnis mereka terlihat seperti mulai gagal. Di sekitar sana kosong, hanya ada dua anak kecil yang sedang berguling-guling di depan panggung, tanpa satu pun penonton yang sesuai. Mereka tetap menjalankan pertunjukan dengan profesionalisme sepenuhnya. Bayangan yang hidup muncul di layar. Bahkan dari jauh, bisa terlihat desain rumit dari raut wajah di bayangan itu.     

"Dia adalah sang Pangeran." Pembukaannya masih sama, hanya saja sang pangeran kini berbeda dengan sebelumnya, terlihat dari keterampilan yang rumit dari wayang tersebut, bersama dengan alat-alat musik yang lebih lengkap. Dilihat dari sisi manapun, bisa terlihat kalau kelompok ini sudah bukan kelompok yang miskin lagi.     

Pada saat ini, sebuah bayangan lain muncul.     

"Itu adalah seorang gadis," anak itu menjelaskan dengan serius. "Pada suatu waktu sang pangeran keluar dari negerinya dan bertemu gadis ini. Gadis ini menguasai bela diri dan menghajar sang pangeran. Sang pangeran marah dan ingin membalas dendam, tetapi kemudian, terjadi sesuatu, dan sang pangeran jatuh cinta kepada gadis itu."     

Dalam beberapa tahun ini, kemampuan anak ini bercerita terlihat jelas telah meningkat. Sambil mendongak ke arah Chu Qiao, anak itu bertanya, "Apakah Anda ingin tahu apa yang terjadi?"     

Tangan Chu Qiao yang sedang memegang sumpitnya membeku, dan dia mengangguk dengan kaku.     

Dengan bangga, anak itu tersenyum dan melanjutkan, "Pada suatu waktu mereka bertemu dengan orang jahat, dan gadis yang baik itu menyelamatkan sang pangeran beberapa kali. Sang pangeran menganggap gadis ini sangat terhormat, dia ingin membawa gadis itu pulang sebagai istrinya. Sayangnya, gadis itu tidak menyukai sang pangeran melainkan orang lain. Setelah itu, gadis itu pergi bersama orang itu."     

Pada saat ini, ada sosok lain yang muncul di layar. Sosok ini berbeda dengan dua orang sebelumnya, dan bonekanya terbuat dengan jelek, bahkan tidak memakai pakaian, dan di tangannya, ada sebuah tongkat kayu.     

"Tetapi pria itu adalah orang jahat. Bukan saja dia semena-mena, tetapi dia juga jelek dan miskin, dan suka menindas orang lain. Pada akhirnya, gadis itu tiba-tiba sadar, jadi gadis itu meninggalkan pria tersebut."     

Pada saat ini, muncul sosok lain di layar.     

"Gadis itu jatuh cinta dengan orang lain. Tetapi pria ini juga tidak baik. Bukan saja dia sombong, tetapi dia juga seorang penindas, dan sangat jelek. Dia mungkin juga ada kelainan karena pria itu sangat dekat dengan salah satu pangeran dari negaranya. Pokoknya, bisa jadi pria baru ini adalah orang yang gila."     

Dan dengan demikian, anak itu mendesah panjang dan melanjutkan, "Pada akhirnya, gadis itu tumbuh besar, dan akhirnya dia menyadari kesalahannya lagi, dan dengan tekad yang bulat, dia meninggalkan pria kedua itu juga dan kembali untuk mencari sang pangeran. Sang pangeran sudah naik ke tampuk kekuasaan dan telah menjadi seorang Kaisar. Bukan saja dia tampan, tetapi dia juga kaya dan sangat berwibawa. Pangeran itu sangat baik dan tulus. Gadis itu menyesal dan menangis sambil berlutut di depan rumah sang kaisar, memohon untuk menikah dengan sang Kaisar. Pada akhirnya, sang Kaisar dengan terpaksa menyetujuinya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.