Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 227



Bab 227

0Kecurigaan Chu Qiao akhirnya terbukti. Kekacauan di Tang akhirnya pecah di makam kekaisaran di Mei Shan setelah sepuluh tahun yang damai. Hal itu datang tiba-tiba, seperti sepanci air dingin. Sebelum orang-orang di dalamnya sempat bereaksi tepat waktu, panci air dipanaskan hingga titik didihnya, dan melibatkan semua orang di dalamnya.     

Di Han Shui, masalah telah menjadi semakin parah. Setelah beberapa kelompok pasukan kavaleri menginjak-injak tempat itu, kota itu telah hancur. Rumah-rumah dibakar; tanah subur itu salam sekejap sudah berubah menjadi gurun tandus. Kemakmuran kota sirna menjadi asap. Di kedua sisi jalan, mayat-mayat warga sipil berserakan di tanah. Bau darah yang tajam bisa tercium di antara mayat-mayat yang membusuk itu.     

Raja Luo telah memulai pemberontakan di Mei Shan. Para penduduk di sana, yang tidak ingin dicap sebagai pemberontak, membawa keluarga mereka dan bermigrasi ke Han Shui, hanya untuk menyadari bahwa Xu Su, salah satu saudara ipar Raja Luo, telah mengambil alih komando di Jalur Han Shui. Jalur air yang mengarah ke timur telah ditutup rapat. Pasukan Tang yang terletak di sebelah barat Jalur Han Shui tidak teratur dan dikalahkan dengan telak oleh Raja Luo di kota Hong. Keselamatan Kekaisaran Tang bergantung pada seutas benang.     

Perjalanan Chu Qiao dan rombongannya tertunda karena itu. Di sepanjang distrik Han Shui, warga sipil berkumpul dalam jumlah besar. Karena saat itu sedang di tengah musim panas, penyakit merajalela di dalam kota. Dalam waktu kurang dari setengah bulan, mulai terjadi wabah di sana. Para bangsawan bersembunyi di dalam rumah mereka, mengirimkan pelayan mereka untuk berjaga-jaga dan berpatroli di sekitarnya. Penginapan dan restoran tutup, membuat persediaan makanan menjadi terbatas. Chu Qiao dan rombongannya tidak punya pilihan selain menuju ke pinggiran kota. Untungnya, mereka telah mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh; ransum dan tenda sudah mereka persiapkan dengan memadai.     

Ketika hari-hari berlalu, mereka mendengar segala macam desas-desus yang berbeda. Ketika Ping An dan yang lainnya pergi ke kota untuk mencari informasi, upaya mereka tidak membuahkan hasil.     

Kabar yang beredar sangat beragam. Sebagian orang bilang kalau Li Ce telah mengumpulkan 800.000 pasukan kavaleri elite di timur, dan ia sedang menuju ke Han Shui untuk mengamuk. Sebagian orang mengatakan kalau Raja Luo telah membantai Pasukan Nan Huai di Jun Shan beberapa hari yang lalu. Daerah di sekitar Jiang Zhe, Kota Fei, Nan Wang, Provinsi An Xi dan Gunung Matahari Terbenam telah sangat terpengaruh. Pasukan dari ibu kota kekaisaran telah menderita banyak korban, sementara yang selamat sudah menyerah. Dalam waktu kurang dari lima hari, pasukan Raja Luo akan menaklukkan Han Shui. Yang lainnya mengatakan bahwa keluarga-keluarga besar di barat daya memberikan dukungan terhadap pemberontakan Raja Luo dalam bentuk sumbangan uang dan ransum untuknya, karena ketidaksenangan mereka dengan penguasa bodoh saat ini. Mereka mengirimkan pasukan pribadi mereka untuk bergabung dengan Pasukan Mei Shan, sehingga pasukan Raja Luo menjadi berjumlah hampir 1.000.000 orang. Teori yang lebih tidak masuk akal lagi menyatakan bahwa Li Ce sudah tidak berada di Tang Jing lagi, dan bahwa dia telah melarikan diri ke Xia bersama para selirnya. Kekaisaran Song telah membangun sebuah kapal untuknya, agar dia bisa melarikan diri ke laut.     

Orang-orang di sekitar Han Shui menunggu dengan napas tertahan. Meskipun kabar itu tidak sepenuhnya benar, setiap hari pasukan Raja Luo perlahan-lahan semakin mendekati Han Shui. Ketika jumlah pengungsi yang memasuki kota mulai berkurang, itu berarti pasukan Raja Luo sudah mulai mengepung Han Shui. Pertempuran besar akan segera terjadi.     

Setelah tujuh hari, pasukan Raja Luo akhirnya tiba di Lereng Qi Bai, kurang dari 40 kilometer dari Han Shui. Namun, mereka berhenti di sana, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bertemu langsung dengan Jenderal Xu Su. Di sisi lain, Han Shui juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan membelot kepada Raja Luo. Perang tiba-tiba menemui jalan buntu.     

Tiba-tiba, Pasukan Xi Shuo dari ibu kota kekaisaran mendeteksi bahwa ada sesuatu yang janggal. Jenderal Xu Su adalah seorang jenderal pasukan kekaisaran, yang telah mengikuti sang jenderal tua Mu Rong di tahun-tahun awalnya. Jika dia memihak kepada Li Ce, harapan mereka untuk menang akan meningkat sangat tinggi.     

Setelah empat hari, komandan dari Pasukan Xi Shuo, Lu Bing Kuan, memimpin 30.000 pasukan menuju Lereng Qi Bai, dan terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Raja Luo. Meskipun mereka menderita banyak korban, mereka berhasil menembus garis pertahanan musuh mereka untuk maju menuju Han Shui. Jelas, mereka memihak pasukan Han Shui—mereka ingin melindungi ibu kota kekaisaran Tang.     

Namun, terjadi perubahan lain dalam kisah itu pada malam itu. Tiba-tiba, sebuah pembantaian, yang mengguncang seluruh benua Meng Barat, terjadi di Han Shui. Seluruh prajurit Lu Bing Kuan sebanyak 13.000 orang dibantai oleh Xu Su pada malam itu, darah mereka menodai Sungai Han Shui. Noda darah bahkan terlihat di arus bawah sungai, yang terletak lebih dari 15 kilometer jauhnya. Gunung mayat sudah cukup untuk membentuk sebuah bendungan yang tinggi.     

Burung bangkai berkumpul di distrik Han Shui. Di tengah malam, mereka mengeluarkan pekikan tajam sambil menikmati mayat-mayat yang membusuk. Itu adalah pemandangan yang mengerikan.     

Tiga hari kemudian, Raja Luo, yang tampaknya sudah yakin akan kesetiaan Xu Su terhadapnya, memasuki Han Shui bersama pasukannya yang berjumlah 150.000. Sehari setelahnya, dengan dukungan dari pasukannya, Raja Luo menyatakan dirinya sebagai penguasa tempat itu dan dia melakukan ritual untuk naik takhta. Dia dikenal sebagai Raja Jing Heng.     

Dua hari kemudian, Pasukan Mei Shan, yang terdiri dari 200.000 prajurit, tiba di Han Shui untuk berpihak kepada Raja Luo. Bersama dengan pasukan Xu Su yang berjumlah 180.000 prajurit, pasukan militer Raja Luo sudah mendekati 600.000 orang. Dengan ini, Kekaisaran Tang telah terbagi menjadi dua, dengan masing-masing bagian dikuasai oleh penguasa yang berbeda.     

Sepuluh hari kemudian, Kaisar Tang, Li Ce, tidak tahan lagi atas penghinaan semacam ini yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia akhirnya menyatakan deklarasi perang, dengan banyak pernyataan pedas yang tertulis di dalamnya. Dia akan memimpin pasukannya secara pribadi untuk pergi berperang. Pasukannya terdiri dari Pasukan Pusat (90.000 orang), Pasukan Tenggara (110.000 orang), dan pasukan provinsi setempat (200.000 orang). Setelah mengumpulkan mereka semua di satu tempat, dengan cepat dia menuju ke Han Shui. Pertempuran besar sudah semakin dekat.     

Pada hari ke-9 bulan kedelapan, Raja Luo berdiri di puncak Panggung Zhao Yang dan memberi penghormatan kepada para leluhur. Setelah itu, ia memimpin pasukannya dan 150.000 prajurit lainnya dari Pasukan Mei Shan untuk menyeberangi sungai, meninggalkan 50.000 prajurit dari Pasukan Mei Shan dan Xu Su di belakang untuk menjaga Han Shui. Pasukan Li Ce tetap tinggal di perkemahan mereka sendiri, tidak berani bertarung secara langsung. Selama lima hari, hanya terjadi pertempuran-pertempuran kecil, lebih menyerupai kerusuhan kecil daripada pertempuran antar pasukan. Pada saat itu, Li Ce menjadi bahan tertawaan di Tang. Sang Kaisar Tang takut pada Raja Luo, dan dia tidak berani bertarung secara langsung. Berita ini menjadi tersebar di seluruh dunia.     

Ketika semua orang berpikir bahwa Li Ce akan kehilangan kekaisarannya, Chu Qiao menginstruksikan Mei Xiang untuk berkemas dan bersiap untuk memasuki Tang Jing. Mei Xiang menjadi bingung dan mempertanyakan niat gadis tersebut.     

Chu Qiao memandangi perkemahan Xu Su di arah timur, pandangannya tiba-tiba menjadi sedikit buram saat dia memikirkan pembantaian yang telah terjadi kepada Pasukan Xi Shuo beberapa malam lalu. Dia ingat jeritan-jeritan kesakitan tanpa henti itu dengan jelas.     

"Perang ini akan segera berakhir."     

Pada hari ke-17 bulan kedelapan, pasukan Tang menepis semua perasaan pengecut mereka, dan akhirnya terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Raja Luo di Dataran Hu Lin. Pertempuran itu berlangsung selama satu hari dan satu malam, dengan kedua pihak tidak menunjukkan niat untuk mengalah. Kedua belah pihak tahu bahwa ini adalah pertempuran untuk kekuasaan atas seluruh kekaisaran; masa depan yang cerah menanti sang pemenang. Sedangkan bagi yang kalah, seluruh keluarganya akan dimusnahkan.     

Saat pertempuran memasuki masa-masa kritis, Jenderal Xu Su tiba-tiba muncul di medan perang. Pasukan Raja Luo bersorak saat mereka mengecap rasa kemenangan. Namun, sebelum sorakan mereka berakhir, Jenderal Xu Su justru menyerang pasukan Raja Luo, melakukan serangan diam-diam dari belakang!     

Pada hari ke-20 bulan kedelapan, pasukan Raja Luo dikalahkan. Lebih dari 40.000 pasukannya tewas, sementara yang masih hidup menyerah. Di bawah pengawalan 2.000 pasukan elite, Raja Luo melarikan diri ke Han Shui, hanya untuk menemukan bahwa 50.000 tentara yang ditinggalkannya di sana telah dibunuh. Selain itu, tidak ada lagi jalur air yang keluar dari Han Shui. Karena putus asa, akhirnya dia bunuh diri di tepi Sungai Han Shui.     

Dengan demikian, Raja Jing Heng, yang naik takhta hanya selama 11 hari, menghilang dari panggung politik Tang. Hilangnya dia sangat tiba-tiba, seolah-olah dia tidak pernah muncul sebelumnya.     

Pada hari ke-21 bulan kedelapan, pasukan kekaisaran melacak sisa-sisa keluarga Raja Luo, memusnahkan lebih dari 300 keluarga di barat daya. Para wanita ditangkap sebagai pelacur, sementara para pria dieksekusi. Dalam satu malam, seluruh keluarganya di barat daya tumbang; wilayah itu menjadi tanah tak bertuan yang sepi.     

Pada hari ke-27 bulan kedelapan, Kaisar Tang kembali ke istana, membawa kemenangan. Dia membiarkan Jenderal Xu Su, yang telah mengumpulkan jasa besar dalam menghentikan pemberontakan, untuk terus memimpin upaya menyingkirkan para pemberontak yang tersisa. Pertumpahan darah terus menyebar di tanah Tang, keluar dari Mei Shan.     

Pada hari ke-4 bulan kesembilan, Kaisar Tang menyatakan bahwa setengah dari harta yang disita di barat daya akan disumbangkan secara merata ke berbagai provinsi dan kabupaten yang menderita akibat perang. Selain itu, dia juga menurunkan pajak di wilayah barat daya selama lima tahun, agar mereka bisa membangun kembali setelah perang. Pada saat itu, reputasi Li Ce melonjak ke tingkat yang lebih tinggi. Orang-orang, yang kehilangan rumah dan keluarga mereka, mengucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya karena memberi mereka jalan untuk bertahan hidup.     

Pada hari ke-9 dari bulan kesembilan, Chu Qiao dan rombongannya naik perahu melintasi Han Shui menuju Tang Jing. Keadaan normal telah dipulihkan di Tang. Langit masih tetap biru; angin masih tetap memesona. Satu-satunya hal yang berbeda adalah bahwa para pejuang yang sudah meninggal tidak akan bisa dihidupkan kembali.     

Bulan purnama bersinar terang di langit seperti batu giok halus pada hari ke-15 bulan kesembilan. Kerumunan besar kunang-kunang berkerumun di sekitar pohon ara di luar istana, berpendar biru sambil berputar-putar. Istana kekaisaran dingin dan sepi. Tirai putih digantung di semua tempat, sementara lilin putih pucat menggantikan lampu-lampu istana yang terang.     

Gadis itu mengikuti di belakang para pelayan dan berjalan perlahan. Istana Jin Wu masih besar seperti dulu, tetapi sekarang istana itu tidak lagi memiliki alunan nada merdu yang bertahan hingga larut malam dan para penari dengan tubuh yang indah. Istana megah ini tiba-tiba menjadi lebih luas.     

Pola panah di lengan baju gadis itu menggesek dua lapisan pakaian yang dia kenakan, membuat suara gemerisik. Malam itu damai; hanya burung gagak yang terbang di atas langit yang bisa terlihat meringkuk di atap yang tinggi. Warna senja menyebar ke seluruh negeri; aroma dupa yang kental melayang keluar dari pepohonan pinus dan cemara yang lebat. Chu Qiao melihat ke kejauhan, mendengar suara para biksu melantunkan sutra mereka dari jauh. Perasaan hampa memenuhi hati gadis itu.     

Kediaman Mihe masih sama. Pohon-pohon ara menghiasi latar belakang bersama dengan kolam teratai, sementara jangkrik mengerik dari waktu ke waktu. Cahaya pucat dari bulan bersinar menembus jendela. Beberapa jendela dibiarkan terbuka sedikit di bagian barat tempat itu, menyebabkan angin lembap memasuki bangunan tersebut. Tirai putih kehijauan terbang di udara sementara lonceng angin kuno di depan jendela berbunyi. Suaranya masih renyah, terdengar seperti seseorang yang sedang menggedor lapisan es.     

Li Ce duduk di meja di antara tirai-tirai itu, dengan dua alas duduk di sisinya. Sebuah teko dari giok hijau dan dua cangkir arak putih diletakkan di atas meja.     

Tirai-tirai hijau itu menari bersama angin ketika angin menyapu istana besar yang kosong tersebut. Rambut Li Ce terurai dan menggantung di sampingnya. Dia sedang mengenakan pakaian berwarna ungu gelap, dengan lapisan demi lapisan awan hijau yang disulam di atas pakaiannya, dengan rasa keagungan yang khusus dari para bangsawan. Wajahnya bersinar putih pucat saat dia duduk di sana di bawah sinar bulan, tampak seperti sosok di dalam lukisan.     

Chu Qiao berdiri di pintu dan bersandar pada sebuah pilar hijau, tidak tahu harus bagaimana mendekati pria tersebut.     

Angin malam mengangkat tirai itu dengan lembut. Li Ce berbalik, cahaya bulan masih menyinari wajahnya. Dia masih tetap tampan; saat matanya menyipit, dia mengeluarkan penampilannya yang seperti biasa, mirip rubah. Dengan lembut, dia berkata, "Kamu sudah sampai." Suaranya tenang, tetapi suara itu membangkitkan kesedihan di hati Chu Qiao saat dia menatap pria tersebut. Pria itu masih orang yang sama seperti ketika Chu Qiao pergi—nakal dan suka main-main, tapi jauh lebih bijak dari usianya.     

Waktu berlalu dengan cepat. Banyak hal yang telah terjadi, yang telah membuat gadis itu kewalahan. Pada saat ini, ketika dia menatap pria itu, dia merasakan adanya sebuah jarak dan hatinya merasa sedikit sakit.     

Chu Qiao berjalan ke depan dan berjongkok di depan Li Ce. Matanya berkaca-kaca dan dia cemberut. Li Ce tersenyum dan membelai rambut gadis itu, dengan sengaja mengacak-acaknya seperti yang pernah dilakukannya sebelumnya. Sambil tertawa, Li Ce berkata, "Mengapa wajahmu sedih? Aku masih hidup." Pria ini selalu begitu ceria. Chu Qiao merasa semakin sedih. Sambil memaksakan diri untuk tersenyum, gadis itu mengangguk dan menjawab, "Untung kamu baik-baik saja."     

Jendela itu setengah terbuka; bunga teratai yang terakhir bisa terlihat sedang mekar.     

Li Ce menundukkan kepalanya sambil menyapukan jarinya ke pola bunga di cangkir. "Dia seorang pemberontak. Dia tidak bisa dimakamkan di makam kekaisaran. Aku mengubur tubuhnya di Pegunungan Luo Fu."     

Embusan angin bertiup ke dalam istana, menyebabkan lonceng angin mengeluarkan serangkaian suara. Ketika mereka mendongak ke atas, mereka melihat pola-pola indah yang terukir di lonceng angin tersebut. Di tepinya, pola bunga-bunga yang indah dapat terlihat, dihiasi dengan lapisan bubuk emas di atasnya. Warnanya masih segar meskipun telah bertahan melewati gelombang waktu.     

Li Ce meneguk satu cangkir arak. Dengan ekspresi tenang di wajahnya, dia berkata dengan datar, "Fu Er dimakamkan di sana juga." Dia mendongak, pandangan yang dalam di matanya. Dengan pandangan filosofis di matanya, ia melanjutkan, "Mereka tidak dilahirkan pada hari yang sama, tetapi kini mereka dikuburkan bersama. Kematiannya tidaklah sia-sia."     

Istana menjadi sunyi. Chu Qiao duduk di samping Li Ce, menemaninya saat pria itu menenggak cangkir demi cangkir arak. Chu Qiao tidak duduk di hadapan Li Ce, karena dia tahu kursi itu bukan disediakan untuk dirinya. Di bawah sinar bulan yang kesepian, pria itu sedang menunggu seseorang yang tidak akan pernah bisa dia temui lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.