Legenda Chu Qiao: Tuan Putri Agen Divisi 11

Bab 182



Bab 182

1Wajah Yan Xun menjadi muram. Dia sudah mengalah dan meminta maaf, tetapi gadis itu hanya mengesampingkannya dengan bersikap pasif agresif. Dengan frustrasi, pria itu berkata, "AhChu, apakah dulu aku terlalu memanjakan kamu? Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya."     
0

Chu Qiao hanya merasa ingin tertawa. Memanjakan dirinya? Seumur hidupnya, bahkan di kehidupannya yang dulu, dia tidak pernah mengira dirinya akan dihubungkan dengan kata ini. Sambil menyeringai, dia bahkan tidak yakin apakah dia sedang menertawakan Yan Xun atau dirinya sendiri. Aku tidak pernah seperti ini? Apakah kamu dulu seperti ini? Sebenarnya siapa yang sudah berubah?     

"Dengan perang yang semakin dekat, saat ini Yan Bei sangat membutuhkan sumber daya manusia. Ini adalah masa yang sangat penting, dan kita harus memikirkan cara untuk balas menyerang Pasukan Xia, bukan tentang dendam pribadi kamu. Kamu harus meluangkan waktu untuk merefleksikan dirimu!" Sambil mengibaskan jubahnya, Yan Xun meninggalkan tenda tersebut. Chu Qiao berdiri terpaku di tanah, dan tatapannya membeku. Semua kemarahan di dalam hatinya selama beberapa hari terakhir telah berubah menjadi lautan yang membeku.     

Apakah saat ini benar-benar masa di mana Yan Bei sangat membutuhkan sumber daya manusia? Kalau memang begitu, mengapa para jenderal Pasukan Pertama diganti? Para petugas yang telah dibimbing oleh Tuan Wu selama bertahun-tahun kini ditugaskan ke barisan belakang, dan sebagian bahkan dibubarkan. Mengapa Nyonya Yu diberikan tugas yang begitu santai? Mengapa AhJing dipindahkan? Dan untuk Chu Qiao sendiri, mengapa dia hanya diberikan informasi yang tidak terlalu penting, dia bahkan tidak tahu kalau Zhuge Yue adalah petugas yang bertanggung jawab atas logistik lawan.     

Pasukan Yan Bei akhirnya tergabung di bawah satu bendera. Tetapi Yan Xun, sejak kapan kamu mulai meragukan aku?     

Chu Qiao merasa hatinya begitu sakit, yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Kenyataan bahwa dirinya telah diasingkan adalah sesuatu yang membuatnya merasa sedih. Duduk di atas kursi, gelombang demi gelombang rasa dingin menyerbu tubuhnya. Apakah Zhuge Yue mengikuti pasukan musuh? Kalau memang begitu, ini kabar yang sangat buruk bagi pasukan Yan Bei. Kemahiran militer pria itu tidak kalah dari Zhao Che, dan pria itu juga merupakan salah satu murid terdekat dari Tuan Wolong, guru yang sama dengan Tuan Wu dan Nyonya Yu. Didukung oleh kemampuan keuangan dari keluarga Zhuge, seluruh klan Zhuge menyokong di belakang Zhuge Yue. Keberadaan pria itu juga mengirimkan pesan mengenai sikap dari berbagai keluarga Xia tentang perang ini. Akankah kedatangan Zhuge Yue di medan perang menjadi pertanda adanya campur tangan dari para keluarga besar di dalam perang ini?     

Sisi baiknya, ini berarti Zhuge Yue sudah tidak diasingkan lagi oleh keluarganya. Walaupun Yan Bei dan Kekaisaran Xia sedang berperang, beberapa kabar dari Kota Zhen Huang masih sesekali terdengar oleh Chu Qiao. Zhuge Yue telah kehilangan banyak pengaruh di dalam keluarga Zhuge karena kejadian di Kekaisaran Tang, dan sudah ditekan secara besar-besaran oleh Dewan Tetua Agung dan keluarga kekaisaran. Pria itu tidak hanya dicopot dari jabatan dan pangkatnya, dia juga dikenakan tahanan rumah, tidak bisa meninggalkan Kota Zhen Huang. Zhuge Muqing menambahkan perintah agar dia tidak meninggalkan kediaman Zhuge, dan untuk sesaat, Zhuge Yue telah menjadi lelucon bagi para bangsawan Xia.     

Chu Qiao telah mencoba sebisa mungkin untuk tidak memikirkan masalah ini, karena dia tahu, tidak peduli apa pun yang dia lakukan, tidak akan ada gunanya. Dia tidak akan pernah bisa berbaikan dengan pria itu, atau menunjukkan rasa terima kasihnya kepada pria itu. Gadis ini memang selalu dengan keras kepala menempuh jalan yang telah dia tentukan, walaupun jika jalan itu ternyata penuh dengan kesulitan dan bahaya. Tetapi, sesekali, gadis itu masih teringat dengan sepasang mata yang penuh keyakinan, bersama dengan suara serak pria tersebut. "Apa kamu masih belum menyadarinya? Aku juga membutuhkan kamu!" Alangkah baiknya jika tugas pria itu dalam peperangan kali ini hanya untuk mengawasi urusan logistik, dan mereka berdua tidak perlu bertemu. Semoga, memang benar seperti itu.     

Chu Qiao sudah sangat lelah, dan tidak berminat untuk membaca informasi tidak berguna itu. Gadis itu menyeret tubuhnya yang lelah kembali ke tendanya sendiri, dia hanya ingin tidur saja. Saat dia berjalan menuju Kemah Barat, suara dua orang penjaga terdengar olehnya.     

"Aku yakin Yang Mulia menginginkan mereka mati. Bahkan Jenderal Liu yang hanya membantah Yang Mulia dalam rapat, menghilang secara misterius di medan perang. Area yang dijaga oleh Jenderal Liu berada di baris belakang, dan tidak ada musuh sama sekali. Aku tebak, sepertinya dia sudah dibunuh."     

"Tepat sekali. Mereka telah membuat keributan besar. Kalau bukan karena Nona Chu dari Kantor Staf Militer yang melindungi mereka, aku yakin mereka pasti sudah dikirim ke sang pencipta."     

Seorang prajurit tua mendesah. "Yang Mulia memiliki kepribadian yang berbeda dari Majikan kita yang dahulu. Kalau dipikir-pikir, tampaknya keadaan lebih baik ketika Tuan Wu yang memimpin, dan bahkan Nona Chu juga lebih pantas."     

"Itu benar," seseorang ikut setuju. "Dia tidak hanya cantik, tetapi suaranya juga manis. Ditambah lagi, dia sangat masuk akal dan adil. Tidak heran kalau mereka begitu setia pada gadis itu."     

Sambil merengut, Chu Qiao berdeham dan berjalan keluar dengan perlahan. Orang-orang itu adalah para penjaga yang sedang bertugas pada malam itu. Mendengar langkah kaki gadis itu, mereka terkejut, dan terburu-buru meraih senjata mereka sebelum melihat gadis itu dan terkejut.     

"Menggunjingkan Yang Mulia adalah pelanggaran berat."     

"Nona, Nona, kami tahu kami salah. Tolong ampuni kami, dan biarkan kami hidup." Para prajurit itu jatuh berlutut di atas tanah saat mereka memohon pengampunan dari gadis tersebut.     

Chu Qiao melihat mereka dan perlahan menyatakan, "Hanya boleh ada satu komandan di dalam pasukan, dan Yan Bei hanya memiliki satu orang pemimpin. Yang Mulia adalah putra dari Tuan Besar Yan, dan merupakan Tuan dari Yan Bei. Kalian harus mengerti kepada siapa kalian harus bersumpah setia. Ini adalah tentara, bukan kelompok amal. Kesalahan harus dihukum, dan orang mati di medan perang. Semua ini bukan hal yang aneh. Kalau sampai aku menangkap kalian menggunjingkan Yang Mulia di belakang lagi, aku akan menghukum kalian dengan hukum militer!"     

Para prajurit itu berlutut di tanah dan menjawab dengan cepat, "Baik, baik, kami mengerti."     

"Setelah malam ini, pergi ke Departemen Hukuman Militer, dan minta 30 pukulan untuk masing-masing. Bilang saja aku yang menyuruh kalian semua."     

"Baik, baik."     

Tanpa mengubah raut wajahnya, Chu Qiao berbalik dan pergi. Tetapi, dia tidak bergegas kembali ke tendanya sendiri, melainkan menuju langsung ke perkemahan Garnisun Utusan Barat Daya.     

Apa yang terjadi? Apa yang sedang dibicarakan para penjaga itu? Misi macam apa yang ditugaskan Cheng Yuan kepada Garnisun Utusan Barat Daya? Semua ini bisa diketahui kalau gadis itu menuju ke perkemahan mereka.     

"Nona?" Prajurit muda itu berbinar dengan bahagia saat melihat Chu Qiao, dan dengan riang berlari mendekat sambil bertanya, "Nona, bagaimana Anda punya waktu untuk mengunjungi kami?"     

"Di mana He Xiao? Panggil dia untuk menemui saya," Chu Qiao memberi perintah dengan buru-buru.     

Prajurit itu terkejut, dan menjawab, "Komandan He membawa pasukan kami keluar untuk sebuah misi."     

"Keluar untuk menjalankan misi? Apa yang ditugaskan untuk mereka?"     

"Kamp Pengintai kekurangan orang, jadi kami ditugaskan di bawah Kamp Pengintai."     

Sambil merengut, Chu Qiao bertanya perlahan. "Siapa yang memberikan perintah tersebut?"     

Wajah prajurit itu penuh kejengkelan, dan dia menjawab, "Siapa lagi, kalau bukan Jenderal Cheng yang begitu haus prestasi?"     

"Ke mana mereka malam ini?"     

"Saya dengar mereka menuju ke Lereng Xiong Xi."     

Sesuai dugaan! Tatapan Chu Qiao menjadi tajam. Cheng Yuan, kalau kamu berani bertindak gegabah, aku jamin kamu tidak akan melihat matahari esok.     

Chu Qiao mengambil seekor kuda dari Garnisun Utusan Barat Daya, menungganginya, dan memberi perintah, "Bawa sisa orang yang ada, dan ikuti aku."     

Dalam angin yang menusuk sampai ke tulang, sekelompok kuda memacu menembus salju dalam kegelapan yang hitam pekat. Namun, tepat pada saat ini, di Lereng Xiong Xi yang berjarak 40 kilometer dari sana, seluruh tempat itu dipenuhi kekacauan.     

"Serangan musuh!" Para penjaga mengangkat obor dengan terburu-buru dan berlari melewati para kuda sambil mengumumkan dengan keras, "Waspada! Waspada!"     

"Siapa? Siapa yang menyerang?" dengan mata merah, He Xiao bertanya. Walaupun mereka telah mendirikan kemah di sini, mereka hanya kelompok kecil beranggotakan 1.000 orang prajurit kavaleri. Mereka baru saja menerima perintah untuk beristirahat di sini, bagaimana mungkin musuh sudah mengetahui posisi mereka dengan begitu cepat?     

"Saya tidak tahu, Jenderal," prajurit itu menjawab dengan lantang, "Musuh itu datang dari arah Barat Laut, dan sulit untuk melihat apakah mereka kawan atau lawan. Apa yang harus kita lakukan?"     

Kalimat itu membawa banyak informasi yang tersirat. Arah Barat Laut? Itu membuatnya semakin sulit untuk membedakan apakah pasukan yang datang itu Pasukan Xia atau prajurit dari Yan Bei. Kalau mempertimbangkan keadaan Garnisun Utusan Barat Daya saat ini, keduanya itu mungkin saja, dan bahkan, lebih besar kemungkinan kalau itu prajurit dari Yan Bei. Sungguh ironis! He Xiao mengernyit, dan dengan suara mendalam, dia memberikan perintah, "Berkumpul dan perketat formasi kita. Kita tidak akan melawan mereka sampai kita bisa memastikan identitas mereka."     

"Tuan, Petugas Gu telah menyerbu keluar dengan pasukan garis depan!"     

He Xiao menyerbu ke atas lereng, dan melihat kobaran api di mana-mana, suara pertarungan dan suara tanda bahaya memenuhi area itu. Para prajurit semuanya bertarung sendiri-sendiri, tanpa formasi apa pun. Kalau bukan karena Garnisun Utusan Barat Daya terdiri dari pasukan yang sangat berpengalaman, mereka pasti sudah diterobos oleh lawan.     

Masih ada kesempatan, masih ada kesempatan. He Xiao merengut, dia berpikir sejenak, dan bertanya, "Di mana Jenderal Cheng dan orang-orangnya?"     

"Dia pergi dua jam yang lalu."     

"S*alan!" He Xiao mengumpat. Dia berteriak, "Siapkan kuda untukku! Cepat!" Namun, pada saat itu, sebuah panah melesat di udara. Bagaikan binatang buas yang haus darah, panah itu terbang lurus ke arah kepala He Xiao! Pria itu tidak memiliki waktu untuk bereaksi, dan dia tidak bisa menangkis ataupun menghindar. Panah itu terlalu cepat, ditambah lagi dengan aura haus darah yang begitu mencekam, panah itu menuju tepat ke arah He Xiao. Seolah-olah penerangan di area itu menjadi redup, dan hanya ada panah tersebut yang terbang menembus udara. Malam yang hitam pekat itu dipenuhi suara logam yang beradu, seperti pesta jamuan yang berdarah.     

Mata He Xiao membelalak, pandangannya semakin tajam. Kulitnya merinding seolah-olah dirinya sudah tertusuk. Dia sendiri adalah seorang ahli dalam memanah, dan sangat jarang menemui lawan yang seimbang dalam kemampuan memanah. Tetapi, menghadapi panah ini, dia merasa dirinya hanya seorang anak kecil, tidak berdaya melawan sama sekali. Ini bagaikan seorang petani yang menghadapi pendekar pedang yang ahli. Meskipun si petani mengayunkan tinjunya sekuat tenaga, tetapi hanya akan memukul udara kosong. Sedangkan si pendekar pedang hanya perlu melakukan ayunan yang sederhana namun indah untuk mengalahkan si petani.     

Terlalu cepat. Sebelum dia sempat bereaksi, panah itu sudah di depan matanya. Dia bisa merasakan jeritan dari anak buahnya, dan teriakan dari orang-orang di sekitar. Matanya terbelalak tetapi dia tidak bisa mengucapkan apa pun. Tetapi, dia masih berpikir, sebenarnya siapa yang melepaskan anak panah ini yang sanggup menandingi kemampuan memanah Nona? Bisa tewas di tangan seorang ahli panah seperti ini, dirinya tidak menyesal.     

Ting! Suara tajam dari logam beradu menggema. Setelah itu, hanya ada kesunyian. Chu Qiao telah tiba di atas kudanya, dan dengan satu lompatan, gadis itu berdiri di depan He Xiao, dengan panahnya di sisinya. Di atas tanah di depan kudanya, ada sepasang anak panah dengan ujungnya yang saling menyilang, terlihat seperti dua bunga yang saling berhadapan.     

"Nona!" Para prajurit dari Garnisun Utusan Barat Daya bersorak, "Nona sudah datang!"     

Tak disangka, musuh mereka berhenti menyerang. Kedua pihak mulai mempererat formasi masing-masing, dan berdiri berhadapan di dalam kegelapan, dengan api yang menerangi medan perang tersebut.     

Chu Qiao mengerutkan keningnya. Cara terbang panah itu sangat akrab. Hati gadis itu berdegup kencang penuh harapan, namun alisnya berkerut erat dengan khawatir dan rasa takut, bersama setitik rasa senang. Kalau tebakannya benar, maka malam ini ada kemungkinan … untuk mundur tanpa perlu bertempur lebih lanjut ….     

Musuh terbagi menjadi 2, saat seekor kuda putih berjalan keluar dari belakang para prajurit. Pria di atas kuda putih itu mengenakan jubah berwarna ungu, dan pakaian sutra, sama sekali tidak terlihat seperti seorang prajurit. Tatapannya tenang seperti danau yang tidak terusik, dan pria itu melirik ke arah Chu Qiao dan yang lainnya. Dengan kesombongan di wajahnya, pria itu menunggu sejenak sebelum membuka mulutnya. "Mereka hanya sekelompok pengungsi. Mundur."     

"Tuan!" Seorang petugas melesat keluar, dan dengan cepat bertanya, "Mana mungkin mereka pengungsi? Mereka sangat ahli dalam bertarung, dan ini pasti pasukan elite dari Yan Bei."     

Mendengar itu, pria itu sedikit mengangkat alisnya. Melihat ke bawah dari kudanya, pria itu melirik petugas itu dari sudut matanya lalu bertanya, "Apakah kamu memiliki masalah dengan penilaian saya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.