CINTA SEORANG PANGERAN

Jangan marah-marah!!



Jangan marah-marah!!

0"Bicaralah!!" Kata Alena. Fuad terdiam kebingungan. Kalau Alena bertanya berarti Nizam tidak berbicara apapun tentang kejadian ini. Dan itu artinya adalah Nizam tidak ingin Alena tahu. Tetapi disatu sisi Ia merasa Alena sudah menyelamatkan dirinya dan Ali. Fuad menelan ludahnya. Alena menatap dengan pandangan polos tetapi Ia kemudian menyadari apa yang terjadi. Fuad kebingungan untuk berterus terang.     

"Kamu pasti ketakutan untuk berterus terang. Sudahlah anggap aku tidak bertanya apa-apa."     

Kata Alena sambil tersenyum lucu.     

Melihat senyum Alena wajah Fuad yang muram langsung cerah berbinar. Rasa ketakutannya hilang seketika.     

"Yang Mulia, Sungguh suatu keberuntungan Azura memiliki Yang Mulia sebagai seorang Ratu. Sungguh Yang Mulia sangat murah hati. Hamba berjanji asalkan tidak bertentangan dengan Yang Mulia Pangeran Putra Mahkota, Hamba akan selalu berada di belakang Yang Mulia" Fuad mengucapkan janjinya.     

"Terimakasih Fuad, Kau cukup mengabdi kepada tuanmu saja. Kau jagalah dia karena kalau ada apa-apa dengan dia Aku tidak akan bisa hidup. Maafkan Aku sudah menyusahkan kalian. Kedepannya Aku akan berusaha untuk mengikuti apapun keinginan kalian kalau itu untuk kebaikanku." Kata Alena sambil menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi.     

Mata Fuad berkaca-kaca mendengar kata-kata Alena. "Semoga Yang Mulia selalu diberkahi oleh Alloh SWT. Panjang umur dan selalu bahagia."     

Alena bergumam Amin bertepatan dengan pintu dibuka dari luar. Ali tampak mempersilahkan Nizam untuk masuk ke dalam mobil. Nizam segera masuk dan duduk disamping Alena.     

"Apakah Kau sudah memberikan bonus untuk para pegawai Restoran itu?."     

Nizam menganggukan kepalanya sambil tersenyum dan berkata, " Sesuai dengan titahmu yang mulia" Katanya seraya mencubit hidung mungil Alena. Alena tertawa kecil sambil memeluk lengan Nizam yang besar.     

Baru saja Nizam duduk dengan tenang, tiba-tiba Alena bertanya dengan nada tenang tapi di telinga suaminya bagaikan suara petir.     

"Kemana Arani? biasanya Ia menempel kepadamu bagaikan bayangan. Pagi ini Aku tidak melihat batang hidungnya."     

Wajah Nizam berubah sedikit pucat walaupun kemudian Ia kembali menguasai perasaannya. Ia mengambil tangan Alena lalu mengelusnya dengan lembut. "Arani tadi terjatuh, dahinya terantuk batu. Berdarah tapi sudah diobati"     

Alena terkejut menatap suaminya dengan kening berkerut. "Mengapa dia bisa jatuh? Bukankah dia begitu sigap, tangkas dan hati-hati. Orang seperti Arani sulit dipercaya bisa jatuh." Alena menatap seakan tidak percaya.     

"Mengapa Kau berkata seperti itu? Bukankah dia manusia biasa. Kau pernah mendengar tidak ada peribahasa sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Setangkas-tangkasnya Arani Ia jatuh juga" Kata Nizam dengan tenang. Tangannya mengelus perut Alena dengan lembut.     

"Apakah dia jatuh terpeleset? terperosok atau terjerembab? Mengapa kita makan-makan dengan mewah ketika dia sedang kena musibah?" Alena nyerocos terus menerus kepada Nizam.     

"Hadeuuh...mana aku tahu dia jatuh dalam keadaan apa. Tau-tau dia sudah ada dihadapanku dengan posisi keningnya diperban" Nizam cemberut mendengar Alena membombardir nya dengan pertanyaan. Heran mengapa Alena jadi kritis seperti itu.     

"Mengapa kamu jadi morang-maring. Pake cemberut segala? Arani kan asisten pribadimu. Masa kamu tidak perhatian. Kamu tuh belajar peka sama orang lain. Jangan cuma marah-marah terus. Nanti kamu bisa jantungan"     

Nizam melotot, "Apa kamu mendoakan Aku menderita penyakit jantung?"     

"Yang Mulia, mana berani Aku mendoakan mu menderita penyakit jantung. Aku tidak mau jadi janda muda. Aku hanya ingin kau belajar untuk tidak temperamental. Aku tidak mau nanti anakku memiliki ayah seorang yang pemarah"     

"Mmmm...." Nizam mengguman, tetapi dalam hatinya Ia membenarkan kata-kata Alena.     

"Nizam..coba sini, lihat Aku" Kata Alena sambil memegang kedua pipi Nizam menggunakan kedua telapak tangannya.     

Nizam dengan patuh menatap Alena.     

"Marah itu seperti api dan api itu adalah setan. kalau kau marah-marah terus maka kau nanti jadi pengabdi setan"     

Nizam jadi manyun. "Terus kalau ada yang berbuat salah. Aku harus apa? harus tersenyum?"     

Alena menaruh telunjuknya di bibir Nizam yang sedang manyun. "Sayangku Nizam yang tampannya selangit. Bukankah Kau begitu jenius dan pintar. Masa tidak bisa mencari solusi selain marah. Aku selalu ketakutan melihat kau marah-marah. Aku stress dan tertekan. Aku depresi" Kata Alena setengah mengeluh.     

"Alena..apa kau begitu ketakutan kalau Aku marah?" Tanya Nizam hati-hati. Ia mulai serius menanggapi perkataan Alena. Soalnya jarang-jarang Alena berpikir serius.     

"Tentu saja. Badanku sampai gemetar kalau kau sudah marah-marah. Wajahmu nanti cepat keriput dan tidak tampan lagi" Alena menelusuri wajah Nizam dengan telunjuknya.     

"Mmmm...kalau Aku sudah tua lalu kau mau apa? Selingkuh?? cari pria lain??" Wajah Nizam kembali masam.     

Alena menggelengkan kepalanya. " Nih.. otak jenius tapi isinya cemburu melulu. Kalau kamu sudah tua aku juga pasti sudah tua, bagaimana bisa selingkuh. Kalau aku mau selingkuh. Sudah saja sekarang ga usah nunggu kamu tua"     

Alena cekikikan membuat Nizam ikut tertawa. Mereka lalu saling gelitik membuat di dalam mobil menjadi riuh. Ali dan Fuad hanya bisa berpandangan tanpa ekspresi.     

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Rombongan Nizam ada dua mobil. Alena, Nizam, Fuad dan Ali ada di satu mobil. Sisanya ada di mobil yang lain. Tanpa mereka sadari bahwa ada mobil lain yang mengikuti mereka secara diam-diam. Tetapi kemudian Ali menyadari ada mobil yang mengikuti mereka. Ali melihat ke arah kaca spion mobil Ia memandang ke belakang ke arah Nizam, dan Nizam segera mengetahui ada sesuatu yang tidak beres.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.