CINTA SEORANG PANGERAN

Konsultasi



Konsultasi

0Nizam menutup matanya ketika dokter wanita itu memeriksanya. Tapi rasa khawatirnya melupakan rasa malunya. Dokter wanita itu tersenyum melihat tingkah Pangeran yang sedang diperiksanya bertingkah malu-malu. Pantas saja tadi malam Ia melakukan kesalahan fatal pada Istrinya. Pengetahuan Nizam tentang seks benar-benar nol besar.     

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan yang Mulia. Untungnya Putri Alena bukan ahli ilmu beladiri. Cuma memar sedikit. Nanti sore juga sembuh"     

Nizam menarik nafas lega. Ia lalu membuka matanya sambil tersenyum manis.     

"Berikan Aku nomor rekening mu!"     

"Jangan Yang Mulia tidak usah. Hamba sudah merasa cukup dengan apa yang sudah diberikan oleh pihak kerajaan kepada hamba"     

"Kamu sudah menghilangkan rasa khawatirku, Aku sangat berterima kasih kalau masalah ini cukup sampai di sini" Kata Nizam sambil tetap tersenyum tapi pandangan matanya terasa mengancam. Dokter wanita itu menggelengkan kepalanya dengan kuat.     

"Hamba tidak berani Yang Mulia" Dokter itu menundukkan wajahnya.     

"Dokter..." Nizam hendak mengatakan sesuatu tapi Ia ragu-ragu.     

"Ya..Yang Mulia"     

"Mmm...Dokterkan yang menangani Alena tadi malam. Apakah ada hal yang harus dikhawatirkan?" Nizam bertanya dengan bahasa yang tersamarkan tapi Dokter itu segera tahu apa yang dimaksud oleh orang terpenting kedua setelah Yang Mulia Baginda Raja Al-Walid.     

"Ada robekan yang sedikit diluar kebiasaan. Tapi sudah ditangani dengan baik. Seminggu kemudian Insha Allah sudah membaik, asalkan Yang Mulia tidak menyentuhnya dulu"     

"Mengapa sampai bisa ...mmm robek. Apa yang salah?" Tanya Nizam. Ia menahan rasa malu tapi Ia ingin tahu kenapa bisa Istrinya robek.     

"Yang Mulia kurang melakukan pemanasan"     

"Mmmm pemanasan?? maksudnya dok?" Nizam bertanya sambil menatap penuh rasa ingin tahu.     

Kalau saja yang di depannya bukan calon raja Ia pasti sudah ngakak guling-guling. Tapi tentu saja dokter itu tidak berani, bahkan tersenyum pun tidak. Ia malah pasang wajah begitu wibawa dan berpura-pura bahwa persoalan Nizam adalah persoalan biasa.     

"Begini yang Mulia, ibarat orang yang akan berolahraga maka perlu melakukan pemanasan agar badan siap melakukan olahraga tersebut."     

"Mmmm...." Nizam mengguman Ia mulai memahami karena pada dasarnya Ia bukan orang bodoh.     

"Apa yang paling disukai wanita dalam melakukan pemanasan." Nizam masih belum paham tapi pertanyaannya adalah pertanyaan yang cerdas bagi orang yang tidak tahu apa-apa.     

"Yang mulia bisa menciumnya dengan bibir, dengan tangan bahkan dengan lidah di seluruh tubuhnya"     

"Di seluruh tubuhnya??" Nizam menegaskan.     

"Ya..diseluruh tubuhnya termasuk yang sudah dilukai oleh yang Mulia. Sampai wanita itu siap menerima yang Mulia."     

Mata Nizam melebar tapi bukan Nizam kalau Ia tidak menguasai emosinya dengan cepat.     

"Tapi kapan kita tahu kalau seorang wanita sudah merasa siap untuk menerimanya"     

"Yang Mulia bisa melihat dari gesture tubuh wanita tersebut. Jika nanti seorang wanita sudah merasa siap, maka wanita itu sendirilah yang nanti akan membimbing paduka untuk melakukannya."     

Wajah Nizam langsung berubah merah padam. Ia merutuki dirinya sendiri mengapa Ia baru tahu masalah yang sepele ini setelah hidup 25 tahun. Mengapa Ia begitu sombong dengan kecerdasannya. Mengapa Ia mengira bahwa malam pertama bisa dilalui hanya dengan mengandalkan naluriahnya sebagai laki-laki. Seandainya Ia tahu ilmu ini sebelumnya pasti tadi malam akan berjalan dengan lancar. Ia sudah bersusah payah menutupi cerita tentang perayaan kesucian pada Alena Ia sendiri malah merusaknya sendiri.     

"Dokter, satu hal lagi. Bagaimana seorang wanita menunjukkan kalau Ia sudah merasa puas atau tidak?"     

"Hal ini sedikit susah untuk dijelaskan, Yang Mulia hanya bisa merasakan perubahan yang terjadi pada tubuh wanita tersebut. Karena apa yang disebut dengan kepuasan antara pria dan wanita sedikit berbeda."     

Nizam menghela nafas panjang. " Baiklah Aku sudah paham. Terima kasih Dokter, Kamu boleh pergi. Jangan lupa untuk memberikan nomor rekeningmu pada Pelayanku. Kamu tidak bisa menolaknya karena ini perintah."     

"Terima kasih yang Mulia, Semoga Alloh selalu melindungi yang Mulia dan semoga Yang Mulia segera dikaruniai keturunan yang Sholeh."     

"Aamiin..."     

****     

Alena duduk sambil memakan sarapannya. Ia tidak melihat suaminya diperiksa karena memang Nizam sengaja memilih tempat yang sedikit jauh dari kamar Alena. Nizam berjalan menghampiri Alena. Tapi tidak berani mendekat Ia takut Alena histeris lagi.     

Alena memandang Nizam yang berdiri di depannya. Untungnya Ia sudah memakan suapan yang terakhir. Perutnya sudah kenyang dan amarahnya sudah habis Ia lampiaskan tadi. Jadi sekarang Ia merasa moodnya sudah baik. Walaupun badannya masih sedikit sakit tapi obat yang diberikan oleh dokter sangat manjur.     

"Apa Kamu masih marah??" Tanya Nizam.     

Alena cemberut tidak menjawab.     

"Ya Sudah kalau masih marah, Aku keluar saja..". Nizam memutar tubuhnya mau pergi.     

"Jangan pergi!!!" Alena berteriak.     

Nizam tersenyum, mood Alena memang bisa berubah dengan cepat.     

"Kemarilah..."     

Nizam membalikkan badannya pura-pura enggan.     

"Nanti Aku ditendang lagi." Katanya sambil meringis.     

"Tidak... tidak akan. " Suara Alena melemah.     

"Maafkan Aku, Aku tadi emosi." Mata Alena berkaca-kaca. Ia tampak menyesal. Nizam menghampiri Alena. Alena memeluknya dengan penuh cinta. Nizam melabuhkan kepalanya di dada Alena minta disayang. Alena mengusap-usap kepala Nizam dengan lembut.     

"Mana yang sakit???" Tanya Alena sambil membelai bahu Nizam.     

"Ini..." Nizam menunjuk pipinya yang kena gampar Alena tadi. Pipi yang tirus itu tampak merah. Alena mencium pipi Nizam dengan lembut .     

"Mana lagi yang sakit??" Tanya Alena. Wajah Nizam langsung merah. Ia memegang tangan Alena lalu membawanya ke bawah. Tubuh Alena langsung mengejang ketakutan. Ia mengibaskan tangan Nizam. Ia lupa kalau Ia tadi menendang Nizam tepat diselangkangan. Nizam mencium leher Alena. "Maafkan Aku Alena, Aku janji tidak akan menyakitimu lagi"     

"Benarkah..??" Alena bertanya dengan mata yang sayu.     

"Aku berjanji, Kalau aku menyakitimu lagi. Aku bersedia kau potong"     

"Apanya yang dipotong?" Alena kaget.     

"Tadi kamu mau motong apa?"     

"Oh...ha...ha...ha...tadi. Aduuh maaf. tadi Aku khilaf. emosi.." Alena cekikikan Ia mencubit pinggang Nizam.     

Nizam jadi gemas, sudah menghajarnya sedemikian rupa sekarang cekikikan bagai tak berdosa. Nizam memegang kepala Alena dengan kedua tangannya lalu mencium bibirnya dengan penuh kasih sayang. Alena membalasnya dengan penuh cinta. Lupalah Ia akan kejadian semalam. Kedua tangan Alena memeluk leher Nizam dengan erat. Nafasnya memburu dengan cepat. Ia merasa gairahnya naik dengan cepat.     

Nizam membopong Istrinya menuju tempat tidur. Ia menyuruh keluar para pelayan dengan isyarat matanya. Para pelayan segera keluar secara teratur sambil menutup pintu dengan rapat.     

"Nizam..." Alena menatap wajah Suaminya dengan penuh gairah. Ia diam ketika Nizam mulai melucuti pakaiannya.     

"Benarkah tidak akan sakit lagi? " Alena bertanya dengan suara perlahan.     

"Kalau sakit kamu bilang saja. Aku akan menghentikannya" Kata Nizam sambil mencium Alena dibibirnya. Tangannya mengelus wajah Alena dengan lembut lalu menurunkan elusannya. Alena menggigit bibir Nizam dengan lembut ketika tangan Nizam semakin meluncur ke bawah.     

"Jangan keras-keras.. masih sakit"Alena tampak khawatir. Nizam melepaskan ciumannya. Ia menatap Alena dengan lembut.     

"Aku sudah berjanji tidak akan menyakitimu." kata Nizam sambil menundukkan wajahnya ke tubuh Alena. Lidahnya menelusuri setiap inchi tubuh Alena.     

Mata Alena terbelalak ketika lidah Nizam menjulur ke arah tubuhnya yang sakit. Bagaimana bisa suaminya melakukan itu. Melakukan hal yang menjijikkan tapi kenapa rasanya sangat membuatnya melayang...melayang sangat tinggi.     

Lidah itu membuat dirinya mengawang-awang sampai langit ke tujuh. Ia mencengkram kepala Nizam dengan erat lalu Ia menekankan dengan kuat ke arah tubuhnya. Tidak lama tubuh Alena bergetar dengan hebat. Ia melenguh dengan panjang. Rasa sakit dan perih hilang sudah berganti dengan rasa yang tidak pernah Ia lupakan seumur hidupnya.     

"Nizam...Aku mencintaimu.." Alena berbisik sebelum tubuhnya terhempas dengan lunglai ke atas ranjang. Nizam mengangkat wajahnya dari tubuh Alena. Ia mengusap bibirnya yang lembab karena tubuh Alena. Ia memandang wajah Alena yang menyiratkan kepuasan yang tidak terhingga. Dan perasaan yang Ia miliki sekarang seribu kali lebih membahagiakan dari semalam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.