CINTA SEORANG PANGERAN

Antara Mawar dan Gemintang



Antara Mawar dan Gemintang

0Tiba-tiba perut Alena merasa mual. Alena memandang Suaminya dan dengan mata berkaca-kaca dia bicara." Aku mual..ingin muntah. Bolehkah Aku pamit ke toilet?" Kepala Alena terasa sangat pusing.     

Belum juga Nizam menjawab, tanpa sadar AKBP Santosa segera bangkit. "Silahkan Nyonya..mari saya antar" Katanya. Gerakan dan perkataan yang dilakukan oleh Komandan polisi itu adalah gerakan refleks yang dilakukan tanpa kesadaran yang nyata. Hampir mirip dengan gerakan ketika kita menghindari dari suatu kecelakaan. Gerakan yang keluar karena dorongan Indra terpesonanya secara naluriah seorang laki-laki terhadap seorang wanita dibawah kesadaran.     

Nizam mengerutkan keningnya melihat tingkah pria yang memiliki kegantengan khas Indonesia didepannya itu. Apa maksudnya dengan mari saya antar. Apa pria itu berpikir bahwa dirinya adalah sebuah batu benda mati, yang tidak bisa mengantarkan Istrinya sendiri ke toilet. Wajah Nizam berubah menjadi gelap.     

Apa pesona Istrinya sudah mulai hendak menjerat pria lagi. Nizam mengusap tekuknya yang tiba-tiba terasa dingin. Ia mencekal pegangan kursi dengan erat.     

Apalagi kemudian Alena berbalik memandang Komandan polisi yang begitu menawan dalam seragam polisinya yang memukau. Pandangan polos penuh rasa heran. AKBP Santosa semakin terpanah. Namun Nizam segera memotong pancaran mata yang terpesona pada Istrinya dengan mengeluarkan suara dan berkata"Tolong tunjukkan tempatnya pada Kami. Biar Kami pergi sendiri"     

Suara Nizam seakan memutuskan gelombang pesona Alena pada mata Komandan polisi itu. Mata AKBP Santosa mengerjap. Kesadarannya segera pulih. Wajahnya memerah merasakan suatu kebodohan karena terpesona oleh gemintang dilangit yang tidak akan pernah terjangkau olehnya. Ia lalu menatap ke arah Nizam. Membungkuk sedikit dan berkata:     

"Tentu saja Yang Mulia. Saya tadi hanya akan bilang bahwa saya dapat mengantar Yang Mulia menuju toilet nya" Komandan polisi itu berdiri lalu berjalan keluar. Anak buahnya yang berdiri di depan pintu segera membukakan pintu. Nizam menuntun Alena yang sudah berkeringat dingin.     

AKBP Santosa tampak memerintahkan seorang polwan untuk menunjukkan arah toilet.     

Polwan berjalan di depan dengan penuh rasa hormat. Alena tergesa-gesa mengikuti langkah Polwan. Dan Nizam mengikutinya dengan langkahnya yang panjang.     

Seorang Polwan bagian Administrasi tampak berdiri dengan sopan di sisi komandannya. Ia sedari tadi melihat mata sang komandan yang tidak lepas dari istri Pangeran Nizam.     

"Baru pertama kali ini saya melihat pandangan yang begitu penuh minat pada sosok wanita." Kata Polwan yang bernama Nastiti itu sambil tersenyum penasaran. AKBP Santosa memalingkan wajahnya ke anak buahnya lalu tertawa kecil sambil masuk kembali ke Aula. Nastiti Polwan itu yang memang merupakan asisten pribadi Komandan menjadi penasaran. Ia mengikuti Komandannya ke dalam sambil membawa beberapa berkas tambahan tuntutan terhadap Alena dari Hartono selaku orangtua Korban.     

"Simpan saja berkasnya di sana!!" Kata AKBP Santosa. Sambil menunjuk ke arah tumpukan berkas yang lain.     

Nastiti menyimpan dengan patuh. Tapi Ia sangat penasaran terhadap atasannya ini. AKBP Santosa sampai sekarang masih melajang. Katanya konon Ia belum berminat untuk menjalani ikatan sakral suatu pernikahan. Padahal karirnya sangat moncer. Jangankan calon istri melirik seorang wanita saja tidak pernah. Komandannya ini sangat cool. Sopan terhadap siapapun tapi tegas terhadap suatu kasus.     

Nastiti adalah orang yang terdekat dengan nya. Sekali pandang Ia langsung tahu bahwa Komandannya ini tidak dapat menahan naluri laki-lakinya untuk menatap makhluk cantik yang memiliki pesona luar biasa di depan matanya.     

"Komandan!!" Nastiti mendesak ingin tahu. Dan AKBP Santosa malah tersenyum sambil memeriksa tambahan berkas wanita yang sempat membuat goncang hatinya.     

"Kau bisa tahu sekarang, Kalau Aku adalah pria yang normal. Selama ini Kau selalu mempertanyakan apakah Aku normal atau tidak karena masih melajang. Sekarang Kau tahu sekarang Aku normal."     

"Tapi wanita ini adalah..."Nastiti tidak melanjutkan perkataannya. Ia mendapat lirikan mata yang tajam.     

"Kau tidak usah khawatir, Aku adalah pria yang masih waras. Aku tidak akan pernah mencintai bayangan orang lain. Karena akhir dari mencintai bayangan orang lain akan bernasib konyol seperti dua orang yang kasusnya sedang kita hadapi. "     

"Lalu wanita siapa yang akan begitu sangat beruntung menjadi bayangan komandan. Yang nantinya akan menjadi Ketua Bhayangkari Kita"     

"Yang pasti bukan wanita cerewet yang sering nanya-nanya hal yang gak penting seperti sekarang ini" Kata AKBP Santosa dengan wajah datar. Nastiti langsung merasa tertohok. Ia cemberut sambil memberikan hormat lalu berkata.     

"Baiklah, izinkan wanita yang cerewet ini untuk berlalu dan menabur kepingan hati yang pecah ini di taman makam pahlawan"     

AKBP Santosa hanya tersenyum. Kecantikan Nastiti memang sangat jauh dari pesona Alena tetapi jelas Nastiti adalah sebuah bunga mawar merah cantik di tengah taman yang indah. Mawar itu akan sangat mudah Ia petik daripada gemintang yang bersinar menebarkan pesonanya dilangit tetapi amat sangat tidak mungkin Ia raih. Bahkan untuk memandangnya saja tidak akan pernah leluasa.     

***     

Didalam toilet yang pintunya tidak sempat ditutup karena Alena dan Nizam masuk tergesa-gesa. Alena memuntahkan semua isi perutnya di dalam toilet. Nizam memijat tekuknya.     

"Aku pusing sekali..."Kata Alena sambil memegang lengan Suaminya dengan erat.     

"Kau kurang tidur dan istirahat" Kata Nizam sambil melap mulut Alena yang basah dengan tisu. Bau muntahan langsung menyeruak di dalam kamar mandi yang kecil. Nizam lalu menyiramkan air untuk menghilangkan bau muntahan. Alena berkumur-kumur dengan air mineral yang dibawa Nizam     

"Iya..Aku juga merasa sangat lelah" Kata Alena sambil menatap suaminya. Terlihat bibir Nizam melekuk ke atas sehingga kedua belahan bibirnya yang ikal itu maju ke depan. Ia lalu memajukan wajahnya ke wajah Alena, memiringkan mukanya dengan bibir tepat ada didepan telinga Alena     

"Semalaman Kau menyiksaku tanpa belas kasihan. Sekarang Kau yang terkena Azhab. Aku sudah minta ampun tapi Kau terus menerus mendesakku. Sampai lututku gemetaran." Nizam berbisik ditelinga Alena. Nizam mengingatkan perkataan Alena pada Cynthia saat Alena mengira Chyntia terkena azab karena menyiksa Pangeran Thalal.     

Alena memekik kecil dengan wajah merah padam. Ia sangat malu dengan perkataan Nizam sehingga Ia langsung memukul perut Nizam yang keras. "Ugh.." Nizam langsung terbatuk-batuk.     

Alena langsung pucat. "Kamu tidak apa-apa? Maafkan Aku.."     

Nizam menatap tajam lalu Ia menutup pintu toilet yang terbuka. Polwan yang sedari tadi memperhatikan tingkah Nizam dan Alena di dalam toilet terus menatap penuh rasa takjub dan syukur sudah mendapatkan pemandangan yang luar biasa indah di depannya. Ketika pintu toilet ditutup. Polwan itu sedikit mengernyitkan keningnya.     

Nizam mendesakan tubuh Alena ke dinding toilet. Dan tanpa menunggu Alena mengeluarkan perkataan Nizam langsung mencium mulut Alena. Alena langsung merasa risih. Ia habis muntah walaupun Ia sudah kumur-kumur tapi tetap saja Ia merasa tidak nyaman. Tapi Nizam seakan tidak perduli. Melihat Alena malah sedikit menolak Ia semakin buas mencium mulutnya.     

Beberapa saat kemudian Nizam melepaskan ciumannya. Ia lalu mengusap bibirnya dengan ujung jempolnya menatap sambil tersenyum. Alena manyun riasan Wajahnya pasti hancur sekarang.     

Alena lalu mencari bedak di tasnya. Dan ketika Ia mau membukanya Nizam menahan tangannya. "Biarkan wajahmu seperti itu jangan berhias lagi."     

"Tapi mengapa??" Alena heran menatap suaminya.     

"Wajahmu sudah banyak menyiksa hati laki-laki. Kau membuat Kami kaum laki-laki jadi tidak tenang. Mungkin sudah saatnya Kau mengenakan cadar" Kata Nizam sambil membuka pintu toilet.     

"Aku tidak mau bercadar!!!" Kata Alena sambil melotot.     

Nizam nyengir sambil menarik tangan Alena keluar dari toilet. Di depan mereka berdiri polwan yang sedang menunggui mereka. Nizam tersenyum pada Polwan itu. Wajah cantik si Polwan langsung memerah panas. Dengan gugup Ia mempersilakan Nizam dan Alena untuk kembali ke Aula.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.