You Are Mine, Viona : The Revenge

Tak tenang



Tak tenang

0Bruce, Loren dan para bodyguard sangat terkejut mendengar cerita Aaric. Karena Dominic Adison dibawa ke rumah sakit melalui jalan khusus, alhasil mereka tak tahu menahu dengan apa yang terjadi di dalam gedung.      

"Kau yakin pelaku tak meninggalkan jejak lain tuan?" Loren kembali memberikan pertanyaan yang sama para Aaric untuk ketiga kalinya.     

"Tidak Loren, hanya benang itu saja,"jawab Aaric singkat.      

"Berarti orang itu profesional Aaric, aku yakin sekali,"ucap Bruce pelan sambil terus mengamati benang emas yang ada di tangannya tanpa berkedip.      

"Aku rasa dia belum terlalu lama memegang senjata api Bruce, kalau memang dia penembak jitu seharusnya ia tak menunggu waktu lama untuk menarik pelatuknya dan tak banyak pertimbangan seperti itu,"sahut Aaric datar dengan kembali mengingat kondisi kipas angin yang berada di dunia.      

"Apa maksudmu tuan?"tanya Loren bingung.      

Aaric menarik nafas panjang dan mulai menceritakan apa yang ia temukan di toilet yang dijadikan untuk tempat menembak itu, awalnya Aaric bingung karena tak menemukan apapun namun saat ia memperhatikan lebih detail ke kipas angin yang dijadikan tempat untuk menahan senjata Aaric menemukan fakta baru bahwa ada goresan baru yang cukup dalam di kipas angin itu. Yang artinya si pelaku sudah meletakkan senjatanya lebih dari lima belas menit di antara baling-baling dari kipas angin itu.     

"Tapi itu tak jadi patokan Aaric, seorang sniper handal juga akan membutuhkan waktu lama untuk menyeting senjatanya agar bisa nyaman dan mudah digunakan ketika mengintai musuh. Jadi itu tak bisa dijadikan acuan,"sahut Bruce pelan memberikan pendapatnya.      

"Iya kau benar Bruce, tapi penembak ini posisinya sangat nyaman. Dibawah persis kipas angin itu ada wastafel yang dapat digulung untuk pijakan dan sebuah daun pintu yang berada di sampingnya, kalau dia seorang profesional seharusnya ia tak menekan terlalu kuat senjatanya di sela-sela kipas angin itu. Karena hal itu akan fatal untuknya,"ucap Aaric kembali sambil tersenyum penuhi arti.      

"Diatas wastafel...diatas wastafel...tapi kan wastafel itu tak terlalu kuat, tapi bagaimana bisa dia berdiri di atas wastafel dengan tenang? Meskipun disampingnya ada daun pintu untuk membantunya bertahan, tapi tetap saja wastafel itu tak akan sekuat itu menopang…"     

"Tubuh wanita tak akan seberat tubuh seorang pria Bruce,"sahut Aaric dengan cepat memotong perkataan Bruce.     

Deg     

Bruce, Loren dan para bodyguard lainnya yang sedang berpikir langsung mengangkat wajahnya dan menatap tuan mereka tanpa berkedip.     

"Wa-wanita, tapi bagaimana mungkin seorang wanita bisa melakukan hal seperti itu?"tanya Loren tanpa sadar, ia tak percaya ada wanita yang mampu melakukan hal mengerikan seperti itu.     

"Iya, aku yakin sekali pelakunya adalah wanita. Hanya wanita yang memakai baju yang memiliki benang warna gold dan mampu berdiri cukup lama diatas wastafel, karena kalau pelakunya seorang pria maka wastafel itu pasti akan hancur seketika. Meskipun dia sudah terlatih untuk hal-hal seperti ini tapi aku yakin sekali ia belum lama memegang senjata, karena kalau ia sudah profesional maka…"     

"Maka apa?"potong Bruce tak sabar.     

"Maka seharusnya paman Dominic bisa mati saat itu juga, karena posisi penembak itu dari atas yang mana ia bisa melihat semuanya dan pada saat kejadian tak ada siapa-siapa disekitar paman kecuali aku yang berada di samping kirinya. Kalau penembak itu memang benar ingin membunuh paman Dominic seharusnya ia lebih cepat menarik pelatuknya, tak seperti tadi. Entahlah ini hanya perasaanku saja atau apa, aku juga tak tahu,"jawab Aaric pelan mengutarakan isi hatinya, Aaric juga tak tahu kenapa bisa bicara seperti ini.      

Bruce menggerakan tangannya dan menepuk pundak Aaric dengan perlahan. "Kau butuh istirahat Aaric, aku yakin kau sangat shock. Lebih baik kita cari makan, aku lapar sekali."      

Aaric tersenyum, ia mengerti kemana arah pembicaraan Bruce. Tanpa bicara ia lalu melangkahkan kakinya menuju mobil yang sudah bersiap, tak lama kemudian mobil-mobil milik Aaric itu pun pergi meninggalkan tempat acara. Bruce sengaja mengajak Aaric pergi dari tempat itu karena khawatir ada orang yang mendengar percakapan mereka, tepat setelah mobil Aaric pergi dari tempat acara Elsa keluar dari gedung. Ia berpakaian seperti petugas kebersihan dengan membawa sapu dan ember lengkap dengan sebuah kain kecil yang berada di atas pundaknya, dengan penampilan seperti itu Elsa berhasil lolos dari pemeriksaan para petugas keamanan gedung yang melakukan pengamanan di sekitar gedung bersama para polisi yang baru datang.      

"Aaric sialan, lagi-lagi kau menggagalkan rencanaku. Tunggu saatnya Aaric, giliranmu masih lama. Nanti saat aku mendapatkan perintah dari paman Collins maka dari itu akan menjadi hari terakhirmu menghirup oksigen di bumi ini,"ucap Elsa pelan sambil melepaskan pakaian petugas kebersihan yang melekat di tubuhnya dijalan yang sepi, ia lalu mengeluarkan senjata yang disembunyikan di dalam ember bersama perlengkapan kebersihan lainnya.      

Karena senjata Elsa adalah senjata rakitan maka mudah saja ia menyimpan di tempat kecil seperti itu, setelah memasukkan senjata itu ke dalam tas ranselnya kembali Elsa lalu membuang pakaian petugas kebersihan yang ia curi ke tempat sampah organik yang berada tak jauh darinya. Elsa sengaja membuang semua barang-barang itu ke dalam tempat sampah organik supaya menghilangkan sidik jarinya yang menempel di barang-barang itu, apalagi tempat sampah organik itu saat ini kondisinya sedang basah karena penuh dengan sisa-sisa makanan yang dibuang orang-orang.      

Setelah memastikan semuanya aman Elsa lalu mempercepat langkahnya menuju ke jalan raya untuk memesan sebuah taksi, ia harus segera sampai ke apartemen untuk melaporkan kegagalan tugasnya pada sang paman. Sepanjang perjalan menuju apartemen Elsa terlihat berdoa, ia berharap semoga pamannya tak marah kepada dirinya karena gagal menjalankan tugasnya. Elsa benar-benar ketakutan saat ini, ia takut kalau pamannya akan memutus biaya hidup untuk sang nenek di desa. Sejak Elsa ikut Adam Collins untuk berlatih, semua biaya hidup sang nenek ditanggung oleh Adam Collins. Karena itulah Elsa tak berani menyanggah perintah sang paman Collins, meskipun berkali-kali paman Collinsnya itu mengatakan padanya kalau mereka keluarga namun Elsa sadar bahwa neneknya lah satu-satunya keluarga kandung yang tersisa. Maka dari itu Elsa berusaha patuh kepada perkataan sang paman demi kelangsungan hidup sang nenek, walaupun ia harus menghilang kan nyawa orang lain sekalipun.     

"Terima kasih pak,"ucap Elsa pelan pada supir taksi yang sudah berhenti didepan pintu gerbang apartemennya.      

"Sama-sama nak dan jangan sedih lagi nak, hidup itu memang berat tapi percayalah kita semua punya Tuhan. Tuhan tak akan mungkin membiarkan kita para hamba-Nya kesulitan,"sahut sang supir taksi dengan bijak, ia merasa kasihan pada Elsa yang terlibat sangat tak tenang sepanjang perjalanan tadi.      

Elsa tertegun mendengar perkataan sang supir taksi, dengan mulut bergetar Elsa berkata. "Aku tak percaya Tuhan, Tuhan itu tidak ada bagiku."      

Setelah berkata seperti itu Elsa lalu bergegas masuk ke dalam apartemen, meninggalkan sang supir taksi yang masih menatapnya tanpa berkedip dari dalam mobil. Kedua mata Elsa terlihat berkaca-kaca saat berada di lift, jantungnya pun juga berdetak kencang.     

"Ada apa denganku, kenapa aku menjadi tak tenang seperti ini hanya karena beberapa patah kalimat supir taksi itu,"ucap Elsa lirih sambil bersandar pada lift dengan tangan yang masih memegangi dada kirinya.     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.