Pangeran Yang Dikutuk

Mengunjungi Penyihir Lagi



Mengunjungi Penyihir Lagi

0"Yang Mulia mau ke Desa Bydell lagi?" tanya Roshan kepada Emmelyn. "Sekarang?"     

Emmelyn mengangguk. "Benar. Tolong siapkan kereta."     

"Baik, Yang Mulia."     

Setelah melihat Roshan pergi keluar untuk menyiapkan pengawal dan kereta, Emmelyn segera naik ke kamarnya untuk berganti pakaian laki-laki. Ia akan kembali menyamar sebagai laki-laki agar tidak menarik perhatian orang.     

Tidak lupa, ia juga membawa apple pie di dalam kotak kayu untuk diberikan kepada sang penyihir sebagai tanda permintaan maafnya kepada wanita tua itu karena telah berusaha mengancamnya di pertemuan mereka yang lalu.     

Tidak lama kemudian ia dan Roshan, seperti biasa dengan para pengawal yang mengawasi mereka dari kejauhan, telah berada di tengah Desa Bydell. Dengan cepat gadis itu berjalan menuju ke arah rumah sang penyihir.     

Seperti sebelumnya, Emmelyn mengetuk pintu pondok berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban.     

Emmelyn ingat saat itu ia datang ke sini pada jam yang sama. Jadi seharusnya kalaupun Nyonya Adler bepergian untuk mencari rempah-rempah, seharusnya sekarang ia sudah pulang.     

"Kita tunggu saja," kata Emmelyn kepada Roshan sambil duduk di bangku kayu yang terletak di depan pondok.     

Ia menatap lalu lalang warga desa yang membawa barang-barang pertanian dari pasar untuk mencari kesibukan. Ahh... ia mengambil keputusan yang benar dengan datang ke sini. Setidaknya, di sini ia dapat melihat-lihat kesibukan warga desa.     

Kalau di kastil, ia hanya dapat menjahit, membaca, atau berkeliling area kastil. Ia sudah bosan menjelajahi setiap lantai di kastil dan benar-benar ingin bicara dengan orang lain.     

"Yang Mulia... eh, Tuan... mau sampai kapan menunggu di sini?" tanya Roshan sejam kemudian.     

Ia melihat kerumunan orang-orang sudah mulai berkurang dan matahari mulai turun ke arah barat. Ia juga melihat Emmelyn mengkerutkan tubuhnya sambil merapatkan mantelnya karena udara mulai terasa dingin.     

"Kenapa penyihir itu belum juga pulang?" tanya Emmelyn keheranan. Hari sudah mulai sore tetapi ia tidak melihat tanda-tanda Nyonya Adler pulang ke rumahnya. Apakah penyihir itu masih di hutan mengumpulkan rempah-rempah.     

"Mungkin ia sedang keluar kota?" tanya Roshan. "Aku akan menanyakan kepada tetangganya. Tuan tunggu di sini."     

Ia berjalan meninggalkan Emmelyn menuju ke pondok lain yang terletak di sebelah kanan dan mengetuk pintunya.     

Sementara itu, Emmelyn yang sedang duduk dengan bertopang dagu mengarahkan pandangannya ke ujung jalan, berusaha melihat-lihat siapa tahu Nyonya Adler datang dari arah sana.     

"Eh.. itu dia!" tanpa sadar Emmelyn bergumam kepada dirinya sendiri, saat ia melihat sosok wanita tua itu berjalan terseok-seok membawa keranjangnya yang besar dan berisi berbagai tanaman rempah.     

Gadis itu segera berdiri dan berjalan menyongsong Nyonya Adler dan menawarkan diri membawakan keranjangnya.     

"Sini aku bantu, Nek..." kata gadis itu dengan ramah.     

Nyonya Adler menatap Emmelyn dengan sorot mata curiga. "Kenapa kau tiba-tiba ramah begini kepadaku?"     

Emmelyn menggaruk-garuk kepalanya dan tersenyum malu. "Maafkan aku. Pertemuan pertama kita berlangsung kurang menyenangkan. Waktu itu aku hanya kaget. Kau bilang auraku sangat buruk dan aku menyebabkan terjadinya perang... Aku menyadari bahwa tidak seharusnya aku mengancammu."     

Nyonya Adler mendengus, tetapi ia menyerahkan keranjangnya kepada Emmelyn dan berjalan terseok-seok menuju ke rumah.     

"Untuk seorang putri, kau ini sangat kurang tata kramanya," omel Nyonya Adler saat tiba di depan rumahnya dan membuka pintu.     

Emmelyn menunduk. Ia ingat Mars juga pernah berkomentar hal yang sama, bahwa ia tidak memiliki tata krama dan menanyakan apakah semua gadis dari Wintermere tidak tahu sopan santun seperti Emmelyn.     

"Maafkan aku..." kata gadis itu dengan suara pelan. Dalam hati ia meminta maaf kepada ibunya yang selalu berusaha keras mendidiknya sebagai gadis terhormat, tetapi Emmelyn ternyata tidak tumbuh menjadi gadis anggun dengan tata krama yang baik.     

"Masuklah, dan taruh keranjangku di lantai," kata Nyonya Adler saat ia masuk ke dalam pondoknya. Ia menunjuk lantai yang beralaskan karpet tipis. "Kau bisa duduk di situ."     

Emmelyn menuruti kata-kata penyihir tua itu dan menaruh keranjang di lantai dan kemudian duduk di sampingnya. "Ada yang bisa kubantu?"     

Ia memperhatikan Nyonya Adler berjalan menuju tungku di bagian belakang pondok dan menyalakan api untuk menyalakan api. Ia kemudian menuang air ke panci kecil dan bersiap merebus air. Karena itulah Emmelyn menawarkan bantuan.     

Nyonya Adler hanya tertawa mendengar tawaran Emmelyn. "Aku memang sudah tua, tetapi aku masih bisa memasak air sendiri."     

Emmelyn mengangguk. "Baiklah."     

Sementara menunggu Nyonya Adler merebus air, Emmelyn mengarahkan pandangannya ke sekitar pondok itu untuk melihat-lihat.     

Pondok kayu ini terlihat sangat normal, sama seperti rumah penduduk lainnya. Bentuknya kecil, sederhana, dan hanya memiliki sangat sedikit perabotan.     

Ia dapat melihat sebuah dipan kayu dengan selimut dan beberapa peti yang sepertinya digunakan untuk menyimpan barang-barang.     

Lalu, di bagian belakang ada area dapur yang memiliki tungku dan beberapa panci kehitaman. Benar-benar tidak ada yang istimewa.     

Kalau ia tidak berinteraksi langsung dengan Nyonya Adler beberapa hari yang lalu dan mendengar betapa wanita itu sepertinya tahu banyak tentang Emmelyn, mungkin ia tidak akan menduga bahwa wanita tua itu adalah seorang penyihir.     

"Apakah nenek tinggal sendirian?" tanya Emmelyn kemudian. Ia hendak mengajak Nyonya Adler bicara untuk meredakan kebosanannya.     

Nyonya Adler tidak menjawab. Ia tampak mengaduk-aduk sesuatu di dalam teko dan tidak mempedulikan pertanyaan Emmelyn. Gadis itu akhirnya diam saja dan menunggu dengan sabar.     

Ia tidak akan membuat kesalahan lagi dengan bersikap tidak sopan kepada tuan rumah.     

Sepuluh menit kemudian, ia mencium wangi teh menguar di udara. Ah, sepertinya Nyonya Adler merebus air untuk membuat teh. Tidak lama kemudian, wanita tua itu mendatangi Emmelyn dengan membawa dua buah cangkir berisi teh dan sebuah bungkusan kain kecil.     

Ia menaruh kedua cangkir teh di atas karpet dan menyerahkan bungkusan kain itu kepada sang putri.     

"Kau meninggalkan barangmu di sini," kata wanita tua itu dengan suara serak.     

Emmelyn segera teringat bahwa ia melemparkan pisaunya ke sudut ruangan pondok itu karena kaget saat ia datang kemari pertama kali dan ia lupa mengambilnya. Saat itu sempat menganggap pisaunya benar-benar telah berubah menjadi ular.     

"Oh..." gumamnya sambil menerima bungkusan itu dan membuka isinya.     

Benar dugaannya. Di dalam bungkusan itu ada sebilah belati tajam berwarna abu-abu dengan ukiran bunga wintermere di gagangnya.     

Ia menatap Nyonya Adler dengan pandangan penuh terima kasih. "Maaf aku sempat mengancammu dengan pisau ini. Terima kasih sudah mengembalikannya.."     

"Hmm..." Nyonya Adler mengambil cangkir tehnya dan menyesap teh pelan-pelan. Suaranya terdengar serak ketika ia bicara. "Aku merasa harus mengembalikannya ketika aku melihat bunga wintermere di gagang pisaumu itu... Jadi, aku hanya menunggu. Kalau kau datang lagi, maka kau boleh menerimanya kembali. Kalau tidak, berarti kau yang rugi."     

"A-apa kau bilang?" Emmelyn sangat terkejut mendengar kata-kata Nyonya Adler.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.