Pangeran Yang Dikutuk

Nasihat Yang Diberikan Sambil Lalu



Nasihat Yang Diberikan Sambil Lalu

0"Oh, Emmelyn. Kemarilah, perkenalkan ini teman lamaku," kata Nenek Isabelle ketika melihat Emmelyn masuk melalui pintu. "Kau bisa memanggilnya Nenek Thessalis."     

Emmelyn keluar sepanjang hari untuk mencari berita tentang kerabatnya yang lain. Dari ekspresinya yang suram, Isabelle Sovie dapat menyimpulkan bahwa Emmelyn tidak mendapatkan kabar baik. Jadi, ia tidak bertanya kepada Emmelyn apa ada hasil yang memuaskan yang ia peroleh hari ini.     

"Halo, senang bertemu denganmu, Nenek Thessalis. Namaku Emmelyn Rosehill." Emmelyn menganggukkan kepalanya sedikit kepada wanita tua yang duduk di sebelah Isabelle.     

Wanita yang ia panggil Nenek Thessalis mengenakan jubah hitam dan wajahnya terlihat sangat pucat, terlihat sangat kontras dengan pakaiannya yang serba gelap. Jari-jarinya yang kurus mencengkeram erat ke kantong kecil di pangkuannya.     

Emmelyn bertanya-tanya apa yang begitu berharga di dalam kantong itu sehingga nenek tua itu memegangnya begitu erat, seperti kantong yang berisi emas.     

Di samping kursinya terlihat sebuah tongkat kayu bersandar di dinding. Melihat itu, Emmelyn beranggapan Thessalis membutuhkan tongkat itu untuk membantunya berjalan. Hal ini membuatnya semakin bertanya-tanya apakah wanita itu cacat.     

Tidak ada hal yang benar-benar berkesan darinya kecuali wajahnya yang pucat dan tongkat putihnya. Bagi Emmelyn, ia sama seperti kebanyakan wanita tua lainnya yang pernah ia temui dalam hidupnya.     

Ia tidak memperhatikan bagaimana mata Thessalis bersinar bahagia ketika ia melihat Emmelyn untuk pertama kalinya. Mungkin, jika Emmelyn tidak berduka untuk keluarganya, ia akan lebih memperhatikan hal itu.     

Saat melihat Emmelyn datang, Thessalis langsung menyadari betapa gadis cantik itu dikelilingi oleh aura yang sangat gelap. Thessalis dapat melihat bahwa Emmelyn ditandai dengan kutukan Leoralei yang terkenal itu.     

Ia sudah mendengar dari Isabelle sebelum datang bahwa keponakannya kini tinggal bersama mereka setelah melakukan petualangan di Atlantea. Apakah yang Isabelle maksud gadis ini? Ah... pasti begitu, pikirnya.     

Gadis ini pasti pernah bertemu dengan Leoralei dan membuat mereka kesal. Thessalis bertanya-tanya apa yang Emmelyn sudah lakukan sehingga pantas mendapatkan kutukan yang begitu mengerikan.     

"Thessalis, ini putri bungsu keponakanku. Kau mungkin masih ingat dengan mendiang ratu Wintermere," kata Isabelle Sovie kepada tamunya. "Kau sudah bertemu dengannya dua kali."     

Thessalis menyipitkan matanya dan menatap Emmelyn lagi. "Ahh... tidak heran aku merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Kau terlihat sama cantiknya dengan ibumu."     

"Terima kasih." Emmelyn tersenyum pahit dan menghela napas.     

Sementara itu, Isabelle Sovie menundukkan kepalanya. Mau tidak mau, ia harus teringat dengan mendiang putrinya sendiri.     

Ia tidak mengatakan apa-apa tapi Thessalis bisa membaca pikirannya. Sepertinya masa lalu Isabelle dan suaminya menghantui mereka bahkan setelah 25 tahun.     

"Aku turut prihatin atas tragedi yang sudah terjadi kepada keluargamu," Thessalis menyampaikan belasungkawanya kepada Emmelyn dengan suara lembut. Ia tampak tulus dan berempati ketika ia berbicara. "Aku berharap suatu hari nanti kau akan menemukan kedamaian."     

Emmelyn memaksakan senyum ketika ia mendengar kata-kata Thessalis.     

Pernyataan yang cukup aneh untuk diucapkan kepada seseorang yang sedang berduka, pikirnya. Namun, Emmelyn tidak begitu memikirkannya. Ia sudah sangat sibuk memikirkan tentang rencana balas dendamnya.     

Emmelyn hanya menggigit bibirnya ketika ia menjawab, "Aku rasa aku tidak akan pernah menemukan kedamaian."     

"Kau harus melepaskan amarahmu dan membuat orang yang bersalah membayar harga atas dosa-dosa mereka. Utang nyawa dibayar nyawa," lanjut Thessalis. "Aku tahu karena aku pun menemukan kedamaianku dengan cara itu."     

Emmelyn menatap wanita berjubah hitam itu dengan penuh minat. Ia tidak menyadari bagaimana Nenek Isabelle tiba-tiba menjadi tidak nyaman dan segera membuang muka.     

"Hanya tinggal tersisa diriku," gumam Emmelyn hampir tak terdengar, "Bagaimana aku akan membalas dendam terhadap sebuah kerajaan yang sangat besar?"     

"Jangan meremehkan dirimu sendiri," kata Thessalis penuh makna. "Untuk membunuh seekor ular, kau hanya perlu memotong kepalanya dan seluruh tubuhnya akan mati bersamanya."     

Emmelyn terdiam saat mendengar wanita tua itu. Kata-kata Thessalis masuk akal baginya. Itu memang benar. Ia tidak harus melawan ribuan prajurit itu jika ia bisa membunuh raja.     

Dan seolah-olah sambil lalu, Thessalis menyentuh rambut indah Emmelyn dan berkata dengan kagum, "Kau adalah wanita yang sangat cantik. Tidak, sebenarnya, kau wanita yang cantik dan pintar. Aku yakin kau telah berhasil menaklukkan begitu banyak pria dalam hidupmu."     

Ia membiarkan kata-katanya terucap begitu saja di udara dan kemudian pergi.     

"Sayangku, Isabelle, terima kasih telah menjamuku hari ini. Aku senang melihat keadaanmu baik-baik saja dan sehat. Tolong sampaikan salamku kepada Elroy," Thessalis bangkit dari kursinya. "Aku akan menemuimu dalam beberapa bulan ke depan."     

"Terima kasih sudah datang, Thessalis," kata Isabelle Sovie sambil tersenyum. "Hati-hati dan sampai jumpa lagi."     

Setelah Thessalis pergi, Isabelle bertanya kepada Emmelyn apa yang ia temukan ketika ia keluar untuk mendapatkan informasi tentang kerabatnya yang tersisa.     

"Tidak ada yang selamat," jawab Emmelyn datar. Ia sudah terbiasa menerima kabar buruk setiap harinya sehingga ia hampir mati rasa sekarang. Ia pergi ke selatan untuk mencari keluarga sepupunya dan menemukan bahwa mereka juga terbunuh dalam perang.     

Keluarganya yang lain yang tinggal di perbatasan Asguay juga tewas. Begitu juga dengan keluarga dari mertua saudaranya.     

Mereka yang tidak mati dalam pertempuran memutuskan untuk mengambil nyawa mereka sendiri karena takut ditawan dan kemudian diperbudak atau dilecehkan secara seksual.     

Emmelyn sudah tidak bisa menghitung lagi berapa banyak anggota keluarga yang musnah setelah Draec menaklukkan Wintermere. Keluarga Sovie adalah satu-satunya kerabat terakhir yang tersisa yang ia miliki.     

Namun, Kakek Elroy dan Nenek Isabelle juga sudah sangat tua. Hanya masalah waktu sampai mereka juga akan mati dan meninggalkannya sendirian di dunia yang kejam ini.     

"Oh… Aku sangat sedih mendengarnya," kata Nenek Isabelle dengan suara serak. Ia berusaha untuk tidak menangis di depan Emmelyn karena ia tidak ingin membuatnya semakin sedih.     

"Nenek... sepertinya aku akan segera pergi ke Draec," kata Emmelyn tiba-tiba. Ia menatap wanita tua itu dengan tekad di matanya. "Aku akan membalas dendamku."     

Jantung Isabelle Sovie berdetak kencang saat mendengar Emmelyn menyebut Draec.     

Ingatannya mengembara ke rumahnya yang indah di ibu kota Draec yang harus ia tinggalkan dengan tergesa-gesa, dua puluh lima tahun yang lalu.     

Ia merindukan rumahnya. Meskipun ia dan suaminya telah lama menetap di Wintermere, jauh di lubuk hatinya ia masih merindukan rumah keluarganya di Draec. Di sanalah mereka menguburkan satu-satunya putri mereka.     

Selama 25 tahun, mereka hanya bisa merindukannya dari jauh dan tidak berani mengunjungi makamnya.     

Sekarang setelah ia mendengar Emmelyn menyebut-nyebut Draec, kerinduannya kembali dengan sepenuh hati.     

Sudah begitu lama sejak ia dan suaminya melarikan diri dari rumah mereka. Kerinduan terhadap kampung halaman dan makam anak prempuan satu-satunya kerap menghantui hati Nenek Isabelle. Namun, sayangnya, ia hanya dapat menyimpan kerinduan ini sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.