Pangeran Yang Dikutuk

Badai Menutupi Gunung Tempest



Badai Menutupi Gunung Tempest

0Mars sangat merindukan istrinya dan dia ingin bertemu dengan istrinya melalui putri mereka. Namun, Harlow hanya terlihat seperti dirinya. Dia menyesal tidak membuat lukisan Emmelyn saat dia masih hidup. Sekarang, dia hanya bisa mengingatnya dari ingatan yang ia miliki.     

Ahh... ibunya memang pernah berkata bahwa ia ingin membuat banyak lukisan Emmelyn dan Mars untuk memenuhi dinding istana. Sayangnya, dia meninggal sebelum bisa mewujudkannya.     

Dia dibunuh oleh Ellena dan Thessalis.     

Ugh... Mars mengepalkan tinjunya saat mengingat kedua wanita jahat itu. Dia telah membunuh Thessalis, tapi bahkan kematiannya pun tidak memberinya kepuasan. Itu terlalu mudah.     

Dia menghela nafas dan pikirannya mengembara ke Ellena. Sekarang, dia yakin bahwa Ellena-lah yang membunuh ibunya dalam upaya menjebak Emmelyn. Dan dia melakukannya dengan bekerja sama dengan Roshan, kepala pelayan Mars yang telah bekerja untuknya selama bertahun-tahun.     

Berapa banyak uang yang didapat Roshan dari Ellena untuk mengkhianati majikannya seperti itu? Roshan pun sudah mati dan kematiannya cukup mudah. Mars membayangkan dari luka yang sangat rapi di lehernya, Roshan terbunuh dalam satu serangan yang kuat.     

Apa Emmelyn yang membunuh Roshan? Sepertinya begitu. Siapa lagi yang akan menuliskan kata 'PENGHIANAT' di tubuh kepala pelayan kalau bukan dia?     

Astaga... memikirkan hal itu membuat hatinya kembali dilanda kesedihan. Mars bersama Roshan hanya beberapa jam sebelum kepala pelayan itu terbunuh. Itu berarti Emmelyn tidak jauh darinya saat itu.     

Apa dia melihatnya? Apa dia mencari kesempatan untuk bertemu dengannya?     

Mars menghela nafas.     

Tak ada gunanya menangisi apa yang sudah terjadi, pikirnya. Sekarang, dia hanya harus fokus pada bagaimana dia bisa menghukum Ellena dan keluarganya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk mengabulkan permintaan terakhir Emmelyn.     

***     

"Itu Gunung Tempest," kata Maxim, sambil mengarahkan jarinya ke gunung hitam di depan mereka. "Jika kita terus berjalan, kita akan tiba di puncaknya dalam tiga hari."     

Emmelyn mengangguk. "Ya. Kita bisa mendakinya. Tapi bagaimana dengan Lysander? Dia pasti ingin pergi ke Castilse sesegera mungkin."     

"Kau bisa bertanya padanya apakah dia ingin bergabung dengan kita atau melanjutkan perjalanan sendirian," kata Maxim. Dia menoleh ke arah Lysander dan memintanya untuk mendekat. "Lysander, Emmelyn ingin tahu apa kau berencana untuk langsung pergi ke Castilse atau kau ingin bergabung dengan kami ke Gunung Tempest."     

Lysander segera mengerti bahwa raja ingin dia bergabung dengan mereka ke Gunung Tempest dari raut wajahnya. Ksatria itu menjawab, "Aku tidak punya pekerjaan di ibu kota dan ingin sekali bergabung dengan kalian dalam petualangan ini... jika kalian mengizinkan."     

"Ahh... baiklah," Emmelyn mengangguk. Dia senang mendengar kata-kata Lysander. Ia pikir lebih banyak orang yang ikut akan lebih baik untuk berjaga kalau-kalau si penyihir putih itu bukanlah Margueritte yang ia cari dan sebenarnya adalah orang yang jahat. "Kalau begitu, kita pergi bersama."     

Kira juga terlihat senang. Wajahnya berseri-seri karena kegembiraan saat menyebutkan petualangan. Puncak gunung yang tertutup salju membuatnya senang karena dia belum pernah melihat salju sebelumnya.     

"Benda putih apa yang ada di atas gunung itu?" tanyanya pada Emmelyn dengan penuh minat.     

"Aku kira itu salju," kata Emmelyn. "Lucu sekali melihat salju di musim panas seperti ini. Tapi aku rasa Gunung Tempest adalah tempat yang istimewa."     

"Lucu kenapa?" Kira bertanya.     

"Di tempatku, kami memiliki empat musim dan salju hanya turun di musim dingin. Tapi sekarang musim panas dan Gunung Tempest memiliki salju di puncaknya. Jadi kurasa, ini adalah salju abadi."     

"Kau benar," jawab Maxim. "Gunung Tempest memang bersalju sepanjang tahun. Ini cukup unik. Kau sudah bisa merasakan dinginnya dari jarak ini."     

"Kita harus membeli lebih banyak mantel agar tidak kedinginan," saran Emmelyn.     

"Harus. Ada sebuah kota berjarak setengah hari dari sini. Kita bisa beristirahat di sana sebentar dan membeli perbekalan lagi. Setelah itu kita naik ke Gunung Tempest," kata Maxim.     

"Itu ide yang bagus," Emmelyn mengangguk senang. Ia merasa senang karena memiliki teman perjalanan yang cakap. Mereka membuat perjalanannya terasa mudah dan nyaman.     

Mereka mampir ke kota berikutnya yang bernama Kilshade untuk beristirahat dan membeli beberapa perbekalan serta mantel baru untuk mengatasi cuaca dingin di gunung. Kira sangat senang dengan kesempatan untuk mengunjungi Gunung Tempest dan melihat salju abadi.     

"Kalian akan pergi ke Gunung Tempest?" pemilik penginapan terkejut ketika mendengar rencana mereka. Wajahnya menjadi pucat seolah-olah mereka mengatakan bahwa mereka akan bertemu dengan iblis.     

"Apa itu salah?" Emmelyn bertanya kepada pemilik penginapan. "Mengapa kau terlihat takut?"     

"Yah..." pemilik penginapan itu menelan ludah. "Orang-orang sebisa mungkin berusaha menghindari Gunung Tempest. Jika kau tidak mengganggunya, maka dia tidak akan mengganggumu. Anggap saja seperti itu."     

"Ahh... aku mengerti," Emmelyn dan Maxim saling bertukar pandang. Penyihir itu sepertinya ditakuti oleh penduduk setempat. Apakah penyihir putih itu melakukan sesuatu pada mereka yang membuat orang-orang merasa takut padanya?     

"Apakah dia mengutuk seseorang atau...?" Maxim memutuskan untuk menyelidiki pemilik penginapan. Dia ingin mengetahui lawan mereka jika penyihir putih itu ternyata adalah orang yang jahat. "Apa yang dia lakukan pada orang-orang yang 'mengganggunya'?"     

"Oh, ya... dia sudah mengutuk banyak orang menjadi es," kata pemilik penginapan. "Dia sangat kuat. Kami membiarkannya dan berusaha untuk tidak menghalanginya."     

"Apa? Dia mengutuk orang-orang menjadi es?" Emmelyn tidak bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang dikutuk oleh penyihir putih itu.     

"Ya... Mereka akan berubah menjadi patung es. Kau akan melihat begitu banyak dari mereka dalam perjalanan menuju kastilnya."     

Emmelyn menelan ludah dengan susah payah. Ini terdengar sangat berbahaya. Ia bukan penyihir dan tidak punya kekuatan magis untuk melawan The Snow Queen jika mereka pergi ke puncak Gunung Tempest dan menemukan bahwa ia bukan Margueritte, atau jika ia memang Margueritte namun ia tidak peduli dengan hubungan Emmelyn dan Nyonya Adler.     

"Mungkin... lebih baik kita lanjutkan saja perjalanan kita ke Castilse dan menemui ibumu," kata Emmelyn dengan suara pelan kepada Maxim. Dia berpikir keinginannya ke gunung tersebut tidak sepadan dengan risiko yang akan mereka hadapi jika bertemu The Snow Queen.     

"Tapi kau ingin memastikan bahwa The Snow Queen adalah saudara perempuan temanmu," kata Maxim. "Jika kau tidak pernah bertanya, kau tidak akan pernah tahu. Kita sudah sampai di sini. Kenapa tidak naik saja? Kecuali jika kau sedang terburu-buru untuk pergi ke Myreen."     

"Aku ingin pergi ke Gunung Tempest... tapi aku khawatir kita akan menemui orang yang salah dan menyinggung perasaan The Snow Queen. Aku sudah punya cukup banyak masalah. Aku tidak boleh mengambil risiko dan menyinggung perasaan penyihir lain saat mencoba membuat keluarga penyihir lain mencabut kutukanku," jelas Emmelyn.     

Maxim menatapnya dalam-dalam, mencoba melihat apa yang paling mengganggu Emmelyn hingga dia tiba-tiba berubah pikiran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.