Pangeran Yang Dikutuk

Jauh Di Lubuk Hatinya



Jauh Di Lubuk Hatinya

0***     

Emmelyn diam saja di sepanjang perjalanan mereka keluar dari istana dalam menuju ke halaman istana dan keretanya. Mars juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia memikirkan kata-kata Lady Preston tentang kemungkinan bahwa ia sudah bebas dari kutukan.     

Bagaimana kalau ia memang sudah bebas dari kutukan itu? Apakah Mars benar-benar tidak ingin mengetahui yang sebenarnya?     

"Selamat sore, Yang Mulia..." Sang pengemudi kereta membungkuk hormat ketika melihat Mars dan Emmelyn tiba di depan kereta yang diparkir di halaman istana.     

Dengan sigap ia lalu membukakan pintu kereta untuk Emmelyn dan membantu gadis itu naik. Mars masih tampak melamun ketika pintu kereta ditutup dan sais naik ke atas kereta.     

Emmelyn membuka tirai jendela dan menatap keluar, ke arah sang pangeran yang masih berdiri melamun di tempatnya. Dalam hati, Emmelyn bertanya-tanya, apa gerangan yang sedang dipikirkan pria itu.     

Apakah Mars sedang memikirkan kemungkinan bahwa ia sebenarnya sudah bebas dari kutukan? Bayangkan begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi jika kutukan itu memang sudah lepas...     

Mars akan dapat hidup seperti laki-laki normal.     

Setelah 27 tahun hidup dalam kekangan kutuk.... Ia akan bebas.     

Mungkin Pangeran Mars memang berkata di depan Lady Preston bahwa ia tidak ingin tahu, karena tidak ingin jatuh korban lagi.     

Tetapi di dalam hatinya... jauh di lubuk hatinya yang paling dalam... apakah ia benar-benar tidak ingin tahu?     

Mungkin Pangeran Mars memang berkata di depan Lady Preston bahwa ia tidak ingin tahu, karena tidak ingin jatuh korban lagi.     

Tetapi di dalam hatinya... jauh di lubuk hatinya yang paling dalam... apakah ia benar-benar tidak ingin tahu?     

"Pak.. jalan saja," kata Emmelyn sambil mengetuk dinding kereta, memberi tanda kepada sais untuk menjalankan keretanya.     

Ketika kereta akhirnya berjalan, barulah Mars tergugah dari lamunannya. Ia lalu naik ke atas kudanya dan mengikuti kereta yang membawa Emmelyn pulang kembali ke kastilnya.     

Perjalanan menempuh jarak beberapa kilometer itu terasa begitu cepat dan tahu-tahu mereka sudah tiba di gerbang kastil pangeran putra mahkota.     

Suasana di halaman kastil tampak sepi. Para prajurit sudah kembali ke tempat masing-masing. Lord Gewen dan Lord Edgar juga sudah tidak ada.     

Kereta berhenti di depan pintu utama dan sais segera turun untuk membantu Emmelyn turun dari kereta. Gadis itu berhenti sejenak di depan pintu, melihat ke arah Mars yang masih tampak melamun.     

Karena pria itu sama sekali tidak berkata apa-apa, Emmelyn dapat menduga bahwa di sepanjang perjalanan tadi, ia juga memikirkan hal yang sama seperti dirinya.     

Bagaimana jika memang benar, kutukan itu sudah dipatahkan?     

Akhirnya Emmelyn memutuskan masuk ke dalam kastil dan naik ke lantai tiga, menuju kamarnya. Hari ini cukup membuatnya lelah. Mulai dari berlatih pedang dan panahan, dan kemudian acara minum teh yang intense.     

Ia merasa ingin membaringkan tubuhnya dan tidur sampai pagi.     

"Kau mau kemana?"     

Emmelyn menoleh saat mendengar suara Mars memanggilnya dari bawah tangga. Gadis itu berbalik dan menatap pria itu lekat-lekat. Entah kenapa, kali ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada penampilan sang pangeran.     

Apa yang berbeda pada dirinya? Emmelyn tidak dapat mengerti. Yang jelas, hatinya yang selama ini dingin karena dendam, kali ini tidak terasa sedingin biasanya. Ia mulai melihat pria ini dengan sudut pandang baru.     

"Aku mau ke kamar dan beristirahat," kata Emmelyn. Kali ini suaranya tidak terdengar ketus seperti biasa.     

"Kau mau duduk minum wine bersamaku?" tanya pria itu dengan sungguh-sungguh. "Kurasa aku butuh minum."     

Emmelyn tertegun mendengar kata-kata pria itu. Ah, ia ingat terakhir kali ia merasa sangat kesal, ia minum sangat banyak wine hingga menghabiskan seisi guci, tetapi Mars tidak mau minum bersamanya.     

Tetapi kini justru pria itu yang menawarkannya. Apakah ini berarti Mars sedang resah? Ahh.. Emmelyn tahu betapa enaknya wine yang ada di kastil ini. Tentu saja ia tidak akan menolak.     

Gadis itu mengangguk dan turun dari tangga menghampiri Mars.     

"Minum di mana?" tanyanya.     

Mars menarik tangannya dan menggenggamnya lalu berjalan ke arah ruang makan. Emmelyn secara otomatis mengikuti pria itu dengan dada berdebar-debar.     

Ketika Mars memegang tangannya barusan, tiba-tiba kembali timbul pertanyaan dalam hati Emmelyn, bagaimana kalau memang kutukannya sudah patah?     

Tangan besar sang pangeran ini akan dapat menggenggam tangan siapa pun yang ia inginkan, bukan hanya tangan Emmelyn.     

Gadis itu mengerling ke arah tangan mereka berdua yang saling terkait dan entah kenapa dadanya mulai dipenuhi rasa tidak rela dan cemburu.     

Ia tidak ingin Mars menggenggam tangan wanita lain.     

Ketika mereka tiba di ruang makan kecil tempat mereka biasa duduk untuk makan siang dan makan malam, Roshan segera datang menghampiri majikannya dan membungkuk hormat.     

"Selamat sore, Yang Mulia.. apakah Yang Mulia mau makan malam sekarang?" tanyanya.     

Mars menggeleng. "Bawakan kami wine terbaik. Kami mau minum dulu sebelum makan."     

"Baik, Yang Mulia."     

Roshan segera undur diri dan kembali tidak lama kemudian dengan seorang pelayan yang membawa kendi berisi wine dari Southberry dan dua buah cangkir.     

Dengan hormat ia lalu menuangkan wine ke masing-masing cangkir lalu undur diri.     

Mars duduk di salah satu kursi, diikuti oleh Emmelyn. Tanpa dikomando, keduanya mengambil cangkir berisi wine dan minum pelan-pelan.     

Tidak ada yang berbicara.     

Setelah satu cangkir habis, Emmelyn hendak menuangkan wine kembali untuk dirinya, tetapi belum sempat ia menyentuh kendi berisi wine, tangan Mars telah menahan tangannya.     

"Jangan banyak-banyak," tegur pria itu.     

"Tapi aku kedinginan," protes Emmelyn sambil mengerucutkan bibirnya.     

"Aku yang akan menghangatkanmu nanti," kata Mars sambil menggeleng, ekspresinya tampak seperti sedang menegur anak kecil.     

Kata-kata sang pangeran barusan membuat Emmelyn tertegun. Pipinya seketika terasa panas dan tanpa sadar ia menelan ludah.     

Dasar mesum, omel Emmelyn dalam hati. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Hanya sepasang mata birunya yang indah tampak masih berusaha protes.     

"Kau minumnya terlalu cepat, seperti ikan," Mars menambahkan. "Wine itu harus disesap pelan-pelan dan dinikmati. Kau tidak ingat apa yang kau lakukan saat terakhir kali kau mabuk?"     

Emmelyn membelalakkan matanya mendengar kata-kata sang pangeran.     

"Aku tidak pernah mabuk," tukas gadis itu.     

"Pernah," kata Mars sambil tersenyum. Ini adalah senyum pertamanya hari itu, dan entah kenapa membuat dada Emmelyn menjadi berdebar-debar.     

Aneh sekali. Ini kan bukan baru pertama kali Emmelyn melihat senyum di wajah tampan si pangeran brengsek ini? Tapi kenapa hari ini rasanya senyumnya berbeda?     

Mars sekarang benar-benar terlihat seperti malaikat, dengan wajahnya yang tampan, sepasang mata keemasannya, dan rambut panjang yang tergerai hingga ke bahunya.     

"Kau ingat waktu aku menyuruh koki membuatkan sup hangover untukmu di pagi hari?" tanya pria itu lagi. "Malam sebelumnya kau minum banyak sekali hingga menghabiskan satu kendi wine dan kau mabuk..."     

"Astaga..." Emmelyn menekap bibirnya karena kaget. Ia baru ingat bahwa ia memang pernah minum banyak sekali karena sedang merasa kesal kepada Mars. Saat itu, sang pangeran mendiamkannya.     

Ia tidak tahu bahwa ia mabuk malam sebelumnya. Ia tidak ingat apa-apa, selain hangover keesokan paginya. Duh.. apakah ia melakukan hal memalukan saat ia mabuk?     

"Kau berteriak-teriak sepanjang malam dan berlarian keluar lapangan dengan keadaan telanjang bulat," kata Mars berbohong. "Aku sampai capek mengejarmu. Kau lincah sekali."     

"Oh, Tuhan....!!" Emmelyn benar-benar terpukul mendengar perkataan Mars. Gila! Mengapa ia bisa berlaku sememalukan itu saat ia mabuk?     

Mau ditaruh di mana mukanya sekarang????     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.