Kerajaan Valerian

Skakmat – Bagian 3



Skakmat – Bagian 3

0"Tidak perlu untuk penyihir itu mati, darahnya tidak akan cukup," mereka mendengar suara Raja Alexander. Memutarkan tubuhnya mereka menemukannya sedang berdiri di sebelah sebuah pohon.     

"Aku dengar kau mempersilahkan dirimu sendiri untuk keluar dari penjara dan hal itu membuatku bertanya-tanya kapan kau akan tiba di sini. Apa kau sudah memutuskan anak muda? Jika kau ingin bergabung dengan kami," Ester bertanya, matanya penuh dengan rasa ingin tahu," bergabung dengan kami dan kau akan melihat bagaimana rasanya memerintah empat kerajaan."     

"Idemu sangat menarik tetapi aku harus menolak. Aku lebih suka bekerja sendirian daripada mempunyai pasangan, kau tidak pernah tahu siapa yang akan menikammu dari belakang," Alexander menjawab dengan tenang     

"Begitu rupanya," Ester tersenyum dan dengan cepat dia menarik jantung penyihir putih dan melemparkannya ke perapian, "Aku rasa kita tidak punya waktu untuk bicara omong kosong. Saudari-saudariku ambil darah penyihir khitam itu," Dia memerintahkan dan semua penyihir di tempat itu menatap Alexander dan berubah ke bentuk asli mereka.     

Penyihir yang paling dekat dengan Alexander melompat dan menyerangnya tetapi dia terlempar sebelum bisa menyentuhnya. Mereka mendengar suara tembakan saat penyihir itu jatuh ke atas tanah. Mereka mencari arah suara tembakan tersebut dan menemukan seorang pria berdiri di samping penyihir yang sudah terkapar mati di atas tanah.     

"Selamat malam, Nyonya Ester," Raja Nicholas menyapa dengan senyuman.     

Dan dengan cepat para penyihir membubarkan diri mereka, beberapa mencoba untuk melarikan diri saat lebih banyak suara tembakan terdengar sementara yang lain maju dan menyerang mereka.     

"Malphus, yang lainnya juga berada di sini," Katie berbalik tetapi tidak menemukan Malphus di manapun, "Malphus?" dia mendesah, Malphus telah menghilang tanpa sepatah katapun.     

Para penyihir mulai meramalkan mantra di seluruh tempat, percikan api mulai terbang ke mana-mana sehingga Katie harus menunduk sebelum salah satu darinya mengenainya.     

Tiba-tiba seseorang melemparkan sebuah senjata ke arahnya. Mendongak dia menemukan Sylvia, "Aku pikir kau merasa bosan. Gunakan in," dan dia ikut dalam pertempuran.     

Dia tidak pernah menggunakan senjata sebelumnya dan saat pikiran itu muncul seorang penyihir melompat ke arahnya dan dia menutup mata karena ketakutan dan menarik pelatuk membuat penyihir itu jatuh. Sayang sekali dia tidak tahu jika peluru dalam senjatanya terbatas sehingga dia memuntahkan semuanya dalam satu tarikan pelatuk. Penyihir yang lain menariknya sampai jatuh, kali ini penyihihirnya lebih kuat daripada yang sebelumnya. Dia mencoba untuk melawannya dengan sebuah cabang kayu tetapi penyihir itu mematahkan kayu itu seperti cabang kering. Dia mencoba untuk lari tetapi penyihir tersebut menarik kakinya dan menancapkan giginya yang tajam membuatnya berteriak kesakitan. Setiap ototnya terasa seperti di putuskan.     

Katie mengambil sebuah batu dari tanah dengan ujung yang tajam dan menghantampakannya dengan sekuat tenaga membuat penyihir itu meringis kesakitan. Diliputi dengan emosi marah dan kesakitan, dia menghantamkan batu itu lagi dan lagi di wajah penyihir itu.     

Jika bukan karena mereka, orang tuanya, paman dan bibinya serta sepupunya pasti masih berada dengannya sekarang ini. Mereka telah membunuh keluarganya, semua dari keluarganya. Setelah beberapa detik dia menyadari bahwa penyihir itu telah kehilangan kesadaran. Tersadar dengan apa yang dia telah lakukan dia melepaskan genggaman batu di tangannya.     

Dia berdiri dan mengeluh kesakitan. Dia melihat ke arah kakinya dan melihat darah mengalir dari lukanya, luka itu begitu dalam seperti gigitan seekor hewan. Walaupun kesakitan dia tetap berdiri dan berjalan ke arah yang lainnya. Dia melihat Alexander, Raja Nicholas, Sylvia dan yang lainnya seperti Quill sedang bertarung dengan para penyihir.     

Dia tidak bisa menemukan Ester dan ketika mencoba mencarinya dari tempat dia berdiri, dia melihatnya berada tepat di belakang Alexander.     

"Alex!!" Katie berteriak tetapi semuanya terlambat saat Ester telah menikamnya dari belakang membuatnya jatuh bertumpu pada lututnya.     

Ester berjalan ke perapian dan menjatuhkan benda yang berlumuran darah ke dalamnya. Dia melanjutkan mantra yang belum selesai saat bulan menyala dengan terang. Mereka mendengar bunyi ledakan yang asalnya dari kota yang sedang terbakar.     

"Tidak…" Katie berbisik dengan rasa tidak percaya. Dia bisa mendengar kobaran api dan teriakan-teriakan.     

"Hahaha! Apa kau benar-benar berpikir bisa mengalahkanku?" Ester tertawa melihat Alexander yang menggeliat kesakitan, "Aku jauh lebih tua darimu dalam permainan ini dan aku bisa menjalaninya sesuai dengan keinginanku. Aku berjanji untuk memberikanmu kematian yang manis, bukan begitu? Racun akan mengalir melalui darahmu sehingga kau akan berubah menjadi abu."     

"Tipuan tua pasti selalu berhasil. Seperti yang kau lihat, garis pentagram telah berhasil dan pengorbanan-pengorbanan telah selesai. Tidak ada. Tidak ada yang bisa menghentikan kami dalam menyelesaikan apa yang telah kami mulai," Ester menaikan kedua tangannya dan menatap ke arah langit.     

"Aku senang mendengar bahwa kau sudah tua. Kau mengorbankan suamimu juga," Alexander berkata sambil meletakan tangannya di luka yang terbuka yang terdapat pada sisi pinggang nya.     

"Sangat lancang walaupun sedang menghadapi kematianmu sendiri," dia berkomentar sambil tersenyum dengan liciknya, "Dia bukanlah apa-apa selain sebuah alat, sebagai pijakan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Sekarang pembantaian telah diselesaikan sehingga aku tidak membutuhkannya. Dia pantas untuk mati."     

"Tidak punya hati," Alexander menjawab.     

"Tentu saja kita semua seperti itu. Sangat disayangkan bahwa kau harus mati. Kau bisa berubah menjadi penyihir kegelapan yang hebat. Mengapa kekuatan kami belum berubah?" Dia bergumam kepada dirinya sendiri, dan kali ini Alexander tertawa, "Apakah ketakutan karena kematian telah mempengaruhimu sekarang?"     

"Ester Ester," Alexander berkata sambil berdiri , "Kau sudah tua. Apakah kau lupa bawah vampire berdarah murni tidak semudah itu untuk dibunuh? Walaupun tanganmu sendiri yang membuat racunnya. Maafkan aku tetapi trik tuamu itu tidak akan berpengaruh pada diriku. Betapa bodohnya kau ini?"     

"Tidak masalah jika kau belum mati saat ini. Kau akan mati secepatnya," dia berkata sambil melemparkan sebuah balok kayu ke arahnya tetapi Alexander mengangkat tangannya dan menghentikan balok kayu itu dengan mudah.     

"Apa kau benar-benar berpikir bahwa pembantaian telah diselesaikan sementara seisi kota masih dalam keadaan yang aman?"     

"Apa maksudmu?" Ester bertanya dengan skeptis, mata birunya menyipit ke arah Alexander.     

"Kau telah bermain sesuai dengan keinginanku. Biar aku jelaskan. Agar pembantaian terjadi, kau dengan pintarnya mengambil langkah pencegahan dengan menyediakan rumah-rumah bagi orang miskin yang telah membentuk garis pentagram. Bagi para penduduk kota kau adalah seorang dewi tetapi sekarang mereka telah mengetahui bahwa yang mereka sebut sebagai dewi telah merencanakan kematian mereka. Ketika kau menangkapku aku telah mengirimkan orang-orangku untuk menghancurkan garis-garis itu dengan menghancurkan rumah-rumah yang ada. Sesuatu yang telah kamu kerjakan selama berbulan-bulan dan aku menghancurkannya hanya dalam waktu dua hari," Alexander menjelaskan.     

"Kau pasti bodoh berpikir bahwa kami akan mempercayai kata-katamu. Lihat ke arah api dan teriakan teriakan itu!" Ujar salah satu penyihir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.