Kerajaan Valerian

Pengakuan - Bagian 1



Pengakuan - Bagian 1

0Melihat Alexander menatapnya dengan tajam, Katie sadar bahwa jemari Alexander masih berada di pipinya.     

Membuka mulutnya dia mulai bicara, "ini adalah-"     

"Aku ingin mendengar hal yang sebenarnya," Alexander menginterupsi kata-katanya dengan senyuman di wajahnya, "Tidak ada kebohongan. langsung ke intinya."     

Ada waktu dimana waktu seperti ini dia berharap untuk tidak melihat senyuman Alexander. Itu adalah senyuman yang emosinya tidak sampai di matanya. Sebuah senyuman yang membuat tidak nyaman orang yang melihatnya.     

Hal itu mengingatkannya saat ketika mereka kembali dari rumah Tuan Weaver, ketika dia berbohong tentang rasa sakit di tangannya yang disebabkan oleh irisan orang tua itu di tangannya. Saat itu Alexander telah menekan lukanya dengan lembut untuk mendapatkan kebenaran darinya.     

"Ini terjadi di kota tadi siang. Dua pria datang entah dari mana dan memukulku. Mereka telah memperingatkanku untuk meninggalkan istana," dia menjelaskan sementara Alexander mendengarkan dengan cermat.     

"Tidakkah ada orang bersama denganmu? Bukankah barang belanjaan dibawa bersama Nyonya Hicks dan lainnya? Ke mana mereka?" dia bertanya setelah masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.     

"Kami pergi bersama-sama. Setelah menyelesaikan pekerjaan dengan Nyonya Hicks aku melakukan sebuah tugas yang tersisa dan meminta mereka untuk tidak menunggu," dia menggigit bibirnya dengan gugup dan Alexander mengisyaratkannya untuk duduk dengannya di atas tempat tidur.     

"Begitu rupanya," dia bergumam sambil mengambil kapas dari sebuah kotak dan mengoleskannya dengan cairan. Tanpa menunggu izin darinya, alexander meletakan jemarinya di bawah dagunya untuk mengangkat kepalanya, "Apa kau melihat wajah-wajah mereka?" sambil menekan kapas itu ke pipinya.     

"Tidak. Wajah mereka tertutup," dia melihat Alexander mengobati pipinya dengan penuh lemah lembut dan memastikan dia tidak memberi tekanan pada wajahnya. Hal itu membuatnya tersenyum.     

Alexander menangkapnya sedang tersenyum dan dia menaikan keningnya dan Katie menggelengkan kepalanya sambil menundukan wajahnya.     

"Di mana lagi kau terluka?" Alexander bertanya setelah selesai dengan pipinya.     

"Perutku dan punggungku," dia menjawab.     

"Lepaskan pakaianmu."     

"Apa?" dia bertanya dengan mata terbuka lebar.     

"Aku harus melihat luka itu. Jangan sampai luka itu menyebabkan infeksi, bukan begitu?" Alexander menyatakan fakta sebelum terkekeh.     

"T-tidak apa-apa, Raja Alexander. Aku bisa melakukannya sendiri," dia menjawab dan dengan cepat mengambil kapas yang sudah dipakai dan berdiri dari tempat tidur dan membuangnya ke tempat sampah, "dan perutku sudah baikan-"     

"Aku yakin punggungmu sakit, dengan caramu berjalan." Alexander menginterupsinya.     

Katie tidak tahu jika dia harus memuji atau mengutuk kemampuan Raja untuk mengobservasi ketika berada di sekitarnya. Punggungnya sakit setiap kali kain dari pakaiannya bergesekan dengan luka di punggungnya.     

Walaupun dia berterima kasih atas sikap baik Raja untuk menolongnya, dia terlalu malu untuk melakukan hal yang dimintanya.     

"Aku akan meminta seseorang untuk membantuku," Katie berkata dengan wajah malu, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri.     

"Aku berjanji aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak sopan," Alexander menatapnya dengan tatapan yang tidak tergoyahkan, "Kemarilah," dia berkata sambil mengulurkan tangannya.     

Kelihatannya bahwa bukan hanya dia satu-satunya yang merasa malu dengan saran itu. Alexander berdiri di sana dengan wajah yang tidak berubah sambil menunggu tangannya diraih.     

Banyak dari gaun-gaun mempunyai kancing yang terletak di depan tetapi yang dipakainya malam ini mempunyai kancing di depan dan di belakang. Dia tidak perlu melepaskan semua pakaiannya. Malu-malu dia mengambil beberapa langkah maju ke arah Alexander dan meletakan tangannya di atas tangan Alexander membuatnya tersenyum seperti seorang malaikat yang bercahaya.     

"Balikan badanmu," dan dia membalikkan badannya sehingga punggungnya menghadap ke arah Alexander.     

Dia mencoba meredakan kegugupannya disertai detak jantungnya yang berdebar begitu kencang ketika tangan Alexander menyentuh punggungnya, membuka kancing gaunnya satu per satu dari atas. Setelah Alexander selesai membuka setengah kancing gaunnya dia merasa jarinya membuka bagian belakang gaunnya, dan jarinya menyentuh punggungnya.     

Walaupun ada angin segar masuk melalui jendela-jendela dia merasa tubuhnya menjadi panas. Dengan kedua tangannya di depan dia terdiam di tempatnya.     

"Aku tidak bisa menunggu untuk menemukan orang yang melakukan hal ini padamu," ada nada dingin di suara alexander ketika dia mengatakan hal itu.     

Sama seperti pipinya, kulit di bagian punggungnya telah berubah menjadi biru keunguan dan juga sobekan di permukaan kulitnya. Darah telah lama mengering. Mengambil sebuah kapas dan membasahinya dengan cairan dari botol, Alexander membersihkan luka itu dan mendengar Katie terkesiap.     

Cairan itu adalah cairan untuk infeksi. Ketika dibubuhkan di luka yang terbuka rasanya sangat menyengat.     

Dia merasa tangan Alexander bekerja di lukanya dengan pergerakan yang berhati-hati.     

Alexander menyentuh luka dengan kemarahan di matanya. Seseorang telah membuat hal seperti itu, mencoba untuk mencabut sayap kupu-kupunya.     

Merasa Alexander telah mengancingkan kembali gaunnya, Katie membalikan badannya untuk berterima kasih tetapi Alexander menariknya ke dalam pelukannya. Dan dia membenamkan hidungnya ke dada Alexander. Bau baju bersih tercampur dengan baunya yang maskulin. Dan dia terasa lebih hangat daripada perapian di musim dingin.     

Walaupun dia telah mengakui perasaannya, dia masih belum yakin dengan apa perasaan Alexander padanya.     

"Alex?"     

"Hmm," Alexander bergumam kemudian bicara, "Raja sebelumnya dari daerah selatan telah menciptakan dokumen secara curang untuk menjatuhkan Raja-Raja berdarah vampire dari kedudukan mereka di dewan. Selain itu ada argumentasi dalam membagi keRajaan dan makhluk-makhluknya untuk menghindari konflik di masa depan."     

"Dibagi?" dia bertanya dengan bingung.     

"Ya. Norman adalah orang yang sangat pintar untuk ukuran manusia. Walaupun dia sudah berumur lima puluh tahun, dia ingin mensabotase dan melemahkan hubungan antara vampire dan manusia," Alexander menjelaskan, "Ada terlalu banyak tubuh manusia mati yang berasal di kerajaan selatan dan dia menuduh bahwa itu adalah perbuatan para vampire. Dia menginginkan keRajaan yang bebas dari vampire dan hanya manusia yang berada di sana."     

"Tetapi hal itu dapat menyebabkan ketidakseimbangan," dia berkata dan Alexander mengangguk.     

"Itu adalah hal yang dia inginkan. Percikan api kecil di hutan dapat menyebabkan seluruh hutan terbakar rata dengan tanah. Kita semua sadar akan hal itu; tetapi semuanya sedang diteliti dengan hati-hati. Aku senang aku tidak tinggal dengan dewan untuk beberapa minggu lagi," Alexander bergumam sebelum mendorong sedikit tubuhnya untuk menatapnya.     

Mata merahnya sungguh menarik. Mereka adalah mata yang memancarkan kekuatan dan dominasi. Katie dengan perlahan melepaskan genggaman dari pakaian Alexander tetapi dia menangkap tangannya.     

"Jangan pernah meninggalkan istana," perkataannya membuat jantung Katie berdetak lebih cepat. Perkataannya merujuk pada perkataan pria yang di lorong katakan padanya.     

"Aku tidak akan pergi," dia berbisik tetapi Raja tidak terlihat yakin dengan jawabannya.     

"Aku bersungguh-sungguh, Katie. Aku ingin berada di mana mataku bisa menemukanmu. Dengan semua kejadian yang terjadi padamu, aku tidak tahu apakah masalah yang mengikutimu atau kau yang mengikuti masalah. Membuatku ingin mengurungmu di sebuah Menara tinggi dan kuncinya hanya ada di tanganku." Alexander kemudian melihat wajah Katie yang khawatir dia tertawa, "Aku bercanda."     

"Ha ha," Katie ikut tertawa tetapi tetap bertanya-tanya jika hal itu benar-benar sebuah candaan.     

"Aku tidak akan mengampuni siapapun yang mencoba untuk menyakitimu. Sebuah tangan sebagai ganti mata," Alexander berkata padanya.     

"Tetapi mengapa?" dia bertanya, matanya yang lugu menatapnya.     

"Aku akan mengatakan ini hanya sekali saja jadi dengarkan dengan baik," dia mendengar Alexander berkata sambil tangannya mengambil untaian rambutnya dan menyisipkannya di belakang telinganya, "Aku tahu bahwa kau mengetahui hubunganku dengan wanita-wanita yang lain. Aku tidak tahu bagaimana denganmu tetapi kau membuatku tertarik tidak seperti yang lainnya. Aku merasa kau adalah milikku yang harus aku jaga dan lindungi. Dan aku akan berjanji bahwa aku tidak akan menyentuh wanita lain," Katie merasa pipinya merona mendengar apa yang dikatakannya.     

Dia bisa mati oleh karena bahagia sekarang juga. Jika dia bisa, dia akan pergi ke balkon dan berteriak sampai tenggorokannya kering.     

Katie menutup kotak P3K dan menyimpannya di kamar mandi sementara Alexander memungut kapas yang sudah digunakan dan dibuang. Ketika Alexander berniat untuk membuang kapas itu dia menemukan beberapa kertas yang sobek.     

Ada beberapa tulisan. Ingin tahu dia mengambilnya sebelum meletakanya di sakunya.     

"Aku tidak akan mengganggumu lagi. Tidurlah sekarang. Selamat malam,"     

Alexander mencondongkan tubuh ke depan ketika Katie kembali dari kamar mandi, mencium dahinya dengan lembut.     

"Selamat malam," dia mengucapkannya dan Alexander meninggalkan kamar itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.