Kerajaan Valerian

Hitam dan Putih - Bagian 2



Hitam dan Putih - Bagian 2

0

Gadis itu sangat terkejut ketika Alexander mengajaknya berdansa dan ketika dia sadar keduanya telah berada di tengah-tengah lantai dansa. Tidak seperti wanita yang lain di ruangan itu dia tidak pernah diajarkan etika berdansa bukan karena dia tidak menginginkannya. Dia tidak pernah punya waktu dan uang untuk hal itu. Etika dansa diadakan hanya untuk wanita kaya dan dia bukan salah satunya.

"Aku tidak tahu caranya berdansa," Dia berbisik sehingga hanya Alexander yang mendengar.

"Apakah seperti itu," Alexander menjawab dengan seringai di wajahnya dan dia meletakan tangannya di pinggang gadis itu, "Berarti sekarang adalah waktunya untuk belajar."

Katherine lega mendengar musik yang dimainkan bermelodi lembut dan pelan, sehingga tidak butuh baginya menggunakan begitu banyak gerakan tangan. PIkirannya terlalu sibuk dengan langkah kaki yang harus dilakukannya dan tidak membuat percakapan dengan Alexander. Dia menginjak kaki Alexander dua kali tanpa sengaja dan merasakan wajahnya memerah karena malu.

"Maafkan aku," dia meminta maaf dengan cepat dan menutup matanya. Alexander tertawa. Dia menyadari bahwa sangat menghibur Katherin berdansa seperti seekor bebek.

Ini sangat memalukan. Ini menjadi sejarah yang sangat memalukan bagi dirinya, pikir Katherine.

"Jangan merasa seperti itu," Alexander menjawab sambil memutarkan tubuh Katherine dan saling berpandangan. Sambil menatap matanya Alexander melanjutkan, "Tidak pernah seseorang belajar tanpa melakukan kesalahan. Jika kau tidak pernah melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahanmu, kau tidak akan pernah belajar apapun."

Perkataan Alexander memberikan keberanian kepada Kathie. Menit berlalu dan dia belajar mengikuti langkah Alexander, mengikuti langkahnya menjadi lebih mudah sekarang.

Tiba-tiba lampu menjadi padam di ruangan utama dan napasnya tercekat di tenggorokan ketika dia merasakan jemari Alexander di lehernya.

"Kau tetap menjaga benda ini," Alexander berbisik di telinganya ketika jarinya menyentuh kalung perak yang berada di lehernya. Dan dua detik kemudian lampu kembali menyala begitu juga dengan kelanjutan dansa mereka.

Pandangannya tertuju pada jam yang berdentang di sebuah menara. Jam menunjukan pukul 11.

"Apa kau punya tumpangan pulang ke rumah?" tanya Alexander yg dibalas dengan gelengan kepala. Untuk beberapa saat dia berpikir bahwa Alexander akan mengantarkannya pulang tetapi hal itu tidak akan terjadi, "Aku akan menyiapkan kereta untukmu dan juga penjaga untuk menjagamu tiba dengan selamat," dia memanggil seorang penjaga yang sedang lewat, menyuruhnya menyiapkan sebuah kereta.

Walaupun dia ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Alexander, tetapi dia tidak mempunyai keberanian untuk mengutarakan keinginannya. Alexander pasti sibuk dan dia pasti hanya akan mengganggu.

Dia merasakan kehangatan ketika Nicholas datang untuk mengucapkan salam perpisahan. Nicholas telah berbaik hati kepadanya sepanjang malam dan dia sangat berterima kasih atas kebaikannya.

Alexander mengantarkan Katie keluar dari aula menuju kereta yang sudah menunggu. Angin berhembus ketika mereka berjalan ke luar, dedaunan bergesekan dengan tenang. Satu helai rambutnya yang di taruh di belakang telinganya jatuh ke sisi wajahnya.

Alexander menatap Katie saat kereta kuda berhenti di depan mereka. Secara alami dia sangat cantik dan lembut. Itu membangkitkan hewan di dalam dirinya seperti sebuah cahaya, dia ingin menodai jiwa murninya.

Dia telah melihat bagaimana para pria menatapnya dan itu membuatnya kesal.

Dia menghibur Caroline hanya karena dia berguna untuknya. Sebuah bidak yang dapat digunakan dan buang, bukanlah sebuah masalah baginya.

Alexander tahu bahwa dia harus menjaga jarak dengan Katherine jika dia menginginkan gadis itu aman. Terlalu banyak orang yang ingin mengetahui kelemahannya untuk menjatuhkannya dan Katie hanyalah seorang manusia. Begitu banyak musuh yang berkeliaran, sama seperti salah satu yang sedang berdiri di belakang sebuah pilar saat ini.

Pengendara kereta turun dari kereta dan membuka pintu sehingga Katie dapat naik ke dalam kereta, tetapi seseorang melangkah keluar.

Orang itu adalah Elliot Havok, Komandan ketiga Raja Alexander berdiri dengan senyuman di wajahnya, rambutnya yang bergelombang dipotong pendek di satu sisi sementara di sisi yang lain dibiarkan panjang.

"Elliot," Ucapan Katie membuat wajahnya berseri lebih daripada matahari. Sylvia yang baru saja selesai melakukan pekerjaannya dan baru saja kembali ke istana menatap gadis di depannya, dia juga tersenyum.

"Katie, kau mengingatku! Aku merindukanmu," Seru Elliot dan memeluk Katie dan memutarkannya seperti dia masih berumur 6 tahun membuat Katie tertawa.

Katie mengingat dimana Elliot membacakan dongeng sebelum tidur walaupun ingatannya terasa samar, tetapi dia tidak akan pernah melupakan Elliot. Elliot dan Sylvia telah menjadi temannya selama dia tinggal di istana.

Walaupun Alexander dan yang lainnya tidak pernah menemuinya, mereka memastikan bahwa dia bertumbuh dengan baik dari orang-orang yang ditugaskan untuk mengawasinya dan mengumpulkan informasi.

Sylvia melihat ke arah Alexander yang memicingkan matanya ketika dia melihat Elliot menggenggam tangan Katie. Akhirnya akan ada warna di istana. Elliot sangatlah senang melihat Katie, pikir Sylvia, Katie seperti anak angkat baginya. Dia tidak dapat menunggu peristiwa yang akan terjadi nanti.

Elliot dan Sylvia menemani Katie dalam kereta dan Katie merasa sangat bahagia. Tiba di kota setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Katie turun dari kereta dan melambaikan tangannya ketika dia melihat kereta itu pergi. Dia tidak dapat menunggu untuk menceritakan kepada bibinya tentang kejadian yang terjadi sepanjang malam itu.

Hari sudah jauh malam dan dingin dan dia mengetuk pintu rumah. Semua orang telah tidur.

Dia mengetuk pintu lebih keras dan menemukan bahwa pintu tidak terkunci. Sangat aneh, pikirnya. Melangkah ke dalam dia menuju ke dapur untuk melihat jika bibinya masih terjaga tetapi langkahnya terhenti ketika dia melihat darah tergenang di lantai. Baik bibi dan pamannya tergeletak di lantai dengan leher mereka yang terpotong.

"Tidak," bisiknya sambil menggelengkan kepalanya, "RALPH!," dia berteriak memanggil nama sepupunya tetapi tidak ada suara lain terdengar selain suara napasnya yang menderu.

Dia berlari ke kamar sepupunya dan menemukan segala sesuatu rusak dan berceceran di lantai. Darah di dinding tetapi dia tidak menemukan sepupunya. Dia turun kembali ke ruangan bawah di mana paman dan bibinya berada dan menggerakan tubuh mereka tetapi mereka telah tiada.

"Apa yang terjadi di sini?!"

Itu adalah suara Sylvia yang kembali untuk memberikan sekotak Coklat untuk Katie yang dia lupa untuk berikan sebelumnya. Oleh karena merasa ganjil, dia merasa curiga dengan kota itu, terlalu sepi walaupun manusia hidup di bagian Selatan kerajaan Mythweald.

Ketika dia melangkah masuk ke dalam rumah, dia mencium bau darah. Dengan cepat dia menemukan asal bau darah tersebut, seseorang telah membunuh saudara Katie.

"Elliot tubuh-tubuh ini-"

"Ada di mana saja," Elliot menyela membuat keningnya mengerut dan Sylvia menatapnya dengan wajah bingung, "Kau dapat menciumnya."

Elliot benar. Ketika Sylvia menarik napas panjang dia dapat mencium bau darah dan bukan hanya di rumah ini saja. Seolah-olah setiap rumah seperti itu.

"Katie?" Elliot memanggil namanya tetapi tidak ada tanggapan. Dia berjalan ke arah Katie dan duduk di depannya dan melihat wajahnya menatap kosong tanpa ekspresi.

Katie tidak menyadari kehadiran Elliot maupun Sylvia oleh karena dia sangat terkejut dengan apa yang ada di depannya. Ketika seseorang menggoyangkan bahunya dia melihat dan menatap Elliot yang balas memandangnya dengan wajah yang khawatir. Pandangannya kembali ke keluarganya dan semua emosi kembali ke dirinya seperti banjir yang tak tertahankan.

"Dia mengalami serangan panik," Sylvia menyadari napas Katie yang memburu dan tatapan matanya menjadi kosong, "Katie kau harus bernapas. Benar, tarik napas dan keluarkan secara perlahan," dia memberikan nasihat ketika napas gadis itu menjadi tidak teratur. Pada saat itu pengendara kereta mereka tiba di pintu.

"Tuan Elliot, ada mayat di setiap rumah di kota ini."

"Ini adalah pembantaian," Bisik Sylvia dengan khawatir dan bertanya, "Sekarang apa?"

Elliot membalikan badannya ke arah pengendara kereta dan memberikan perintah.

"Kabarkan hal ini kepada Raja Alexander."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.