Kerajaan Valerian

Menggoda – Bagian 1



Menggoda – Bagian 1

0Katie menjadi beku saat Alexander berdiri di hadapannya, matanya merah gelap dan taringnya kelihatan. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan terlalu takut untuk menggerakan satupun otot di tubuhnya.     

Dia merasa jika dia melarikan diri, maka Alexander pasti akan mengejarnya seperti mengejar mangsa. Dia melihat Alexander melangkah ke arahnya membuatnya meremas bajunya dengan kuat.     

Satu langkah diikuti langkah yang lain sampai dia berdiri di depannya.dia harus mendongak untuk melihat mata Alexander dan mereka bertatapan, Raja meletakan tangannya di samping kepalanya dan dia menelan ludah.     

Wajahnya terlalu tenang dan tidak berubah, dia tidak tahu mengapa tetapi kelihatannya pria itu sedang marah ataukah karena dia menginginkan darah? Beberapa orang berpikir bahwa sebuah kehormatan untuk memberikan darah mereka kepada bangsawan tetapi dia tidak tahu harus berpikiran apa, sebab seorang vampir membenamkan taringnya ke lehernya tidak pernah dipikirkan sebelumnya.     

"Apa kau akan meminum darahku?" dia bertanya dengan ragu-ragu dan Alexander tertawa.     

Dia bergerak perlahan seperti seekor siput sehingga Alexander tidak akan menyadarinya tetapi dia adalah Raja Valeria. Dia menempatkan tangannya yang lain di dinding sehingga dia tidak bisa bergerak.     

"Tergantung dari apa yang akan kau tawarkan untuk aku minum," dia menjawab dengan liciknya.     

"Tawaran?" dia bertanya sedikit bingung dengan kata-katanya.     

"Ya," dia menjawab sambil mencondongkan badannya ke depan.     

"Leherku?" Katie tahu bahwa vampir lebih memilih menghisap darah dari leher oleh karena lebih mudah untuk menghisap darah dari bagian kulit yang lembek.     

Dia mempersiapkan mentalnya dengan menutup matanya menunggu untuk di gigit. Hal itu membuat dirinya takut tetapi dalam waktu yang bersamaan tubuhnya merasa geli dengan antisipasi, emosinya campur aduk. Ketika tidak ada yang terjadi dia membuka matanya dan melihat bahwa mata Alexander telah berubah menjadi matanya yang biasa.     

Alexander menatap mata gadis di depannya yang terbuka lebar, wajahnya menunjukan rasa tidak percaya. Keluguannya adalah satu hal yang harus dipikirkan, pikirnya. Dia bisa mengendalikan rasa haus akan darah tetapi hari ini dia hampir saja kehilangan kontrol.     

Jika di depannya adalah orang lain dia tidak akan berpikir sebelum menancapkan gigi taringnya dan menghisap seluruh darah korbannya tetapi yang satu ini sangatlah spesial.     

"Kau tidak akan menggigitku?" dia mendengar gadis itu bertanya dengan rasa syukur dalam nada bicaranya tetapi wajahnya memancarkan kekecewaan.     

"Kau ingin aku menggigitmu?" dia mempertanyakan pertanyaan gadis itu.     

"T-tidak tidak!" gadis itu tergagap sambil mengalihkan pandangannya membuat Alexander tersenyum. Gadis itu bergerak dengan gelisah dan melihatnya seperti itu membuat dirinya pantas untuk disayangi.     

Dia bermaksud untuk menggodanya ketika dia mendengar gadis itu masuk ke kamar mandinya, tetapi, dia telah menghilang dari pandangannya selama dua hari. Dia kaget ketika melihat gadis itu bekerja di kandang kuda dan pemikiran bahwa gadis itu menghindarinya membuatnya kesal. Saat itu dia melihat seorang pria memandangi gadis itu dengan pandangan yang berani dan dia ingin mencabut matanya itu.     

Gadis ini naif. Terlalu naif, pikirnya.     

Dia tidak mempunyai hak untuk mengontrol keputusannya sama seperti yang dilakukannya dengan orang lain. Cara yang terbaik adalah menyuruh Martin untuk bicara dengan gadis itu untuk kembali ke pekerjaannya yang semula.     

"Apa kau kehujanan?" rambutnya kelihatan lembab.     

Melangkah mundur, dia membuka salah satu laci lemari dan mengambil sebuah kunci berkarat dan meletakannya dalam saku bajunya.     

"Ah iya, aku pergi ke kuburan dan kehujanan saat aku kembali dari sana," jawab Katie.     

"Mulai dari sekarang kau bisa pergi dengan kereta. Kau tidak perlu berjalan ke sana," Raja Valerian berbaik hati membuatnya tersenyum dan mengangguk, "Aku perlu bicara tentang satu hal penting denganmu. Ayo kita pergi ke ruang belajar."     

Sesampainya di ruangan belajar Katie melihat Alexander menutup pintu di belakangnya sebelum duduk di belakang sebuah meja. Katie pun ikut duduk bertanya-tanya apa yang ingin didiskusikan oleh Alexander.     

"Aku menerima informasi tentang pembantaian yang terjadi di kotamu. Oliver dan yang lainnya menemukan seorang penyihir dalam ekspedisi mereka dan menemukan dua mayat yang berasal dari kotamu," Saat Alexander menjelaskan, Katie merasa dirinya sangat kecewa dengan berita itu, "Penyihir itu terbunuh dan tubuh mereka telah dibawa ke tempat ini."     

"Bisakah..aku melihat mereka?" dia bertanya.     

"Mayat-mayat itu sedang diselidiki sekarang. Kita bisa pergi kesana setelah mereka selesai," dia menjawab dan sebuah ketukan di pintu menginterupsi pembicaraan mereka.     

Yang mengetuk adalah salah seorang jenderal yang datang untuk bicara dengan Alexander, Alexander melangkah ke luar dan menutup pintu. Dia dapat mendengar obrolan mereka tetapi dia tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan, pikirannya sedang melayang pada informasi yang diberikan oleh Raja Valerian.     

Dia sangat takut tetapi pada waktu yang bersamaan dia ingin meyakinkan dirinya bahwa sepupunya masih hidup.     

Saat pikirannya memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan, selembar kertas di meja menarik perhatiannya, terdapat nama Juliet di atas kertas itu. Dia mengambil kertas itu dan membaca, kertas itu tertulis nama-nama orang yang telah meninggal bulan ini oleh karena sakit ataupun kecelakaan., termasuk di dalamnya penduduk yang menghilang dari kota.     

Dia mendengar suara Alexander di belakangnya membuatnya meletakan kembali kertas itu dengan terburu-buru di atas meja.     

"Maaf," dia meminta maaf dengan malu-malu dan melipat tangannya agar tidak gemetar, "Aku melihat nama yang aku kenal dan itu membuatku ingin tahu."     

"Oh begitu," jawabnya sambil mengambil kertas yang diletakan gadis itu di meja.     

"Ya, anak perempuan Tuan Weaver juga bernama Juliet. Dia kelihatannya sangat sedih ketika aku bertemu dengannya di pemakaman," jawab Katie.     

"Observasi sudah selesai, maukah kau melihat mereka?" dia bertanya dan Katie menganggukan kepalanya.     

Tubuh-tubuh itu disimpan di ruangan bawah tanah dekat dengan kandang kuda. Tempat itulah yang dilihatnya tadi siang. Sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari batu berwarna hitam. Ada penjaga di setiap empat ruangan sel yang kosong. Hal itu membuatnya tidak nyaman dengan setiap langkah yang diambil oleh karena kematian yang terasa di udara.     

Tetapi ruangan sel itu kosong, tidak ada tahanan atau penjahat di dalamnya. Dia melihat di ujung ruangan itu ada sebuah lorong yang menuju ke ruangan bawah yang terdapat di bawah tanah.     

Katie merasa tangan Alexander di punggungnya ketika mereka sampai di sebuah sel, di sana dia melihat tiga buah tubuh, dua di sisi lain dan satu di sisi lain ruangan. Penjaga yang menemani mereka membuka kunci pintu sehingga mereka dapat masuk ke dalam. Dia harus menutup hidungnya dengan tangannya untuk menghentikan bau busuk yang berasal dari darah dan tubuh yang membusuk.     

"Pergilah," dia mendengar Alexander bicara dengan lembut padanya, dan dia melangkah untuk melihat tubuh yang telah dibaringkan.     

Wajah-wajah itu rusak dengan luka potongan dan lebam. Melihat lebih dekat kedua wajah itu, dia merasa lega. Tidak ada satupun dari mereka adalah sepupunya. Membalikan badan dia menggelengkan kepalanya kepada Alexander.     

Matanya kemudian tertuju pada tubuh yang diletakan di sisi lain ruangan itu.     

"Dia adalah penyihir yang terlibat pada malam pembantaian," Alexander berkata saat Katie melangkah untuk melihat salah satu dari mereka yang membunuh di kotanya.     

Katie tidak pernah bertemu dengan penyihir dan yang satu ini mempunyai kulit berwarna putih pucat, kulitnya rusak yang menunjukan uratnya yang membentuk suatu pola di wajahnya. Bibirnya pecah, dan kuku yang berubah menjadi hitam. Lebih mendekat wajahnya mengerut sebelum matanya terbuka lebar oleh karena kaget.     

Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak bisa mengerti fakta bahwa wanita yang terbaring itu telah berada di sekitar keluarganya, diantara penduduk kota sama seperti manusia yang lain. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Pikirnya.     

"Ada apa Katie?" dia mendengar Alexander bertanya saat dia mendekati tempat di mana dia berdiri.     

"Aku mengenalnya. Dia akan menjadi tunangan Ralph," dia berbisik, "Velma. Namanya Velma."     

"Kelihatannya para penyihir hitam masih tinggal di kota dengan menyamar," Alexander bergumman dan melanjutkan pertanyaannya, "apakah kau menyadari sesuatu yang berbeda darinya? Sesuatu yang menjadi kebiasaan atau sesuatu yang mungkin dia katakan?"     

"Dia mulai tinggal di kota sejak tiga tahun lalu dan dia sama seperti yang lainnya. Dia tersenyum, tertawa, marah ketika seseorang melakukan tipuan padanya dimana hal itu dilakukan sepupuku untuk menarik perhatiannya. Dia tidak makan terlalu banyak ketika diundang untuk makan malam. Seperti dia tidak bisa makan," jawab Katie sambil mengingat-ingat kembali, "pamanku pernah melihatnya pulang saat subuh. Ketika Ralph bertanya padanya sambil bercanda dia kelihatannya sedikit kesal, itu saja."     

Dia seharusnya menyadari tetapi bagaimana bisa seseorang tahu bahwa seorang penyihir hitam tinggal bersama dengan mereka.     

"Apa kau ingat kapan hal itu terjadi?" Alexander bertanya lagi.     

"Satu minggu sebelum perayaan musim panas. Aku ingat Ralph akan pergi menemuinya pagi itu dimana pembantaian terjadi," jawab Katie sebelum menatap Alexander, "bisakah kita pergi dari sini?"     

"Tentu saja," jawab Alexander yang memerintahkan untuk mengunci pintu sel saat mereka pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.